Peran Fungisida Sintetis

Peran Fungisida Sintetis 
Berdasarkan kerugian yang dapat ditimbulkan oleh adanya penyakit tanaman dan masih belum dapat diselesaikan permasalahan penyakit tanaman di lapangan, maka penyakit tanaman saat ini masih tetap menjadi pusat perhatian bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia pertanian. Apabila hal ini terus berlanjut dan belum ada cara tepat untuk mengendalikan patogen tanaman, maka dapat dipastikan pertumbuhan tanaman tidak akan dapat selamat dan produk yang dihasilkan tidak optimum atau sesuai dengan sasaran dan tujuan. Kerugian yang dapat ditimbulkan oleh penyakit tanaman tersebut dapat berakibat lebih luas dan berdampak negatif pada keberlanjutan tanaman, yang sangat terkait erat dengan keberlangsungan ketahanan pangan. 

Upaya untuk mengendalikan penyakit tanaman telah banyak dilakukan dan akan terus diupayakan, meskipun sampai saat ini masih belum dapat memecahkan masalah tersebut. Cara yang paling umum dilakukan untuk mengendalikan penyakit tanaman, adalah dengan bahan kimia, karena hasilnya dapat langsung dilihat dan cepat dirasakan. Akan tetapi, tidak selamanya bahan kimia dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit tanaman. Banyak berita tentang ketidak-mampuan bahan kimia di dalam mengatasi masalah penyakit tanaman, sehingga petani harus menggunakannya dengan cara yang tidak bijaksana, misalnya dengan tidak memperhatikan dosis anjuran, menyampur lebih dari satu macam bahan kimia, dan cara memberikannya tidak disemprotkan, tetapi disiramkan ke tanaman atau ke tanah. Hal tersebut dilakukan karena para petani kita sudah tidak sabar lagi di dalam mengatasi masalah penyakit tanaman, di samping karena ketidak-tahuan petani akan akibat negatif yang ditanggung baik oleh petani dan keluarganya, lingkungan, maupun oleh konsumen. 

Ada beberapa bahan kimia yang telah dilarang digunakan lagi untuk mengendalikan penyakit tanaman (Hassan, 1998). Hal ini karena penggunaan bahan kimia dapat berakibat negatif (Oudejans, 1985; Untung, 1996; Gamliel et al., 1997), di antaranya menimbulkan ketahanan pada patogen tanaman yang menyebabkan bahan kimia tidak mempan digunakan, terbunuhnya mikroba bukan sasaran dan munculnya patogen sekunder yang lebih berbahaya, menambah biaya produksi karena semakin mahalnya harga bahan kimia, menyebabkan polusi lingkungan terutama air tanah dan tanah, memengaruhi kesehatan petani dan keluarganya terutama bila yang berhadapan langsung di lapangan adalah ibu yang sedang hamil atau menyusui, dan memengaruhi kesehatan konsumen yang mengonsumsi produk pertanian tercemar bahan kimia tersebut.

Oleh karena itu, untuk mencegah atau menghindari dampak negatif tersebut, perlu diupayakan pengembangan dan pemanfaatan pestisida yang ramah lingkungan, yang merupakan salah satu cakupan ”revolusi hijau lestari”, untuk menunjang tercapainya ketahanan pangan yang kokoh kuat (Ghose, 2004 dalam Adnyana, 2006). Pestisida yang ramah lingkungan akhir-akhir ini telah banyak dibicarakan, dikembangkan, dan digunakan dalam dunia pertanian. Misalnya, pengembangan pestisida nabati yang berasal dari bahan tanaman dan tumbuhan, meskipun hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut dan mendalam. 
Fungisida Sintetis


Selain itu, pemanfaatan mikroba berguna untuk mengendalikan mikroba patogen tanaman dan hama tanaman juga telah banyak dikembangkan; bahkan sudah ada yang dipasarkan secara komersial, misalnya pengendalian hama tanaman dengan menggunakan insektisida hayati berbahan aktif bakteri Bacillus turingiensis. Hal inilah yang dikenal dengan istilah pengendalian hayati. Istilah pengendalian hayati, secara umum, adalah pengendalian patogen tanaman dengan menggunakan agensia hidup selain manusia, dan bukan dengan agensia kimia sintetis, atau meminjam istilah iklan ”jeruk makan jeruk”, maka di dalam pengendalian hayati, mikroba patogen dihadapi dengan mikroba berguna atau antagonis.

Sebelum lebih jauh membicarakan pengendalian hayati, maka terlebih dahulu saya akan menyampaikan pemikiran saya tentang peristilahan. Istilah ”agensia” merupakan istilah yang sengaja saya usulkan untuk digunakan sebagai pengganti istilah ”agens”, yang berkonotasi majemuk dengan adanya huruf akhir ”s” pada kata ”agens”, meskipun istilah agens tersebut telah dimasukkan ke dalam kamus Bahasa Indonesia. Pada hal, dalam Bahasa Indonesia sendiri, kita tidak mengenal kata berakhiran huruf ”s” yang menunjukkan kata tersebut sebagai kata majemuk (plural), seperti yang dijumpai dalam Bahasa Inggris.
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson