Pemberdayaan Desa Adat Dalam Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup

Pemberdayaan Desa Adat Dalam Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup : Dalam Pasal 1 butir e Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 06 Tahun 1986 dinyatakan, bahwa desa adat sebagai desa dresta adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai kesatuan tradisi dan tata karma pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.

Desa Adat di Bali selama ini memegang peranan yang sangat penting dalam menata dan membina kehidupan masyarakat desa adat maupun dalam proses pembangunan, baik dalam bidang agama, idiologi Negara, sosial kultural, ekonomi, dan pertahanan keamanan. Hal ini sudah sering dilontarkan dalam berbagai media masa baik sebagai pernyataan pribadi maupun sebagai pernyataan pemegang otoritas. Seperti yang dinyatakan Joop Ave dalam Bali Post tertanggal 20 Agustus 1998, bahwa dalam bidang pariwisata, adat dan budaya Bali merupakan kekuatan Bali dalam menyedot wisatawan. Namun tidak disertai dengan kekuatan hukum yang menetapkan peran serta masyarakat adat dalam pembangunan Bali. Lebih lanjut dinyatakan, bahwa pengusaha dan aparat pemerintah alergi menerima kritik. Pemilik modal masih berpikir sebatas ujung hidung, sehingga industri pariwisata hadir sebagai monster yang rakus dan merusak Bali secara fisik. Ironisnya pejabat selalu berorientasi keuntungan pribadi berkedok Pendapatan Asli Daerah jika ada Investor yang berniat menanamkan investasi di daerahnya. Oleh karena itu diharapkan pembangunan pariwisata di Bali tidak napak tilas dijalan yang keliru. Industri pariwisata harus mampu memakmurkan masyarakat, bukan memiskinkan baik secara fisik, sosial, budaya.

Banyak kegiatan yang merupakan program pemerintah selalu mendompleng pada kehidupan desa adat untuk mencapai tingkat keberhasilan yang optimal. Seperti pelaksanaan program Keluarga Berencana dengan sistem banjar dalam menanggulangi jumlah penduduk yang keberhasilannya sudah diakui masyarakat dunia. Demikian pula kegiatan Posyandu di tiap-tiap banjar yang menampakkan keefektifannya. Semua ini adalah tidak terlepas dari peranan hukum adat (Bali) sebagai daya rekat dalam kehidupan masyarakat hukum adatnya yang sudah demikian menyatu dalam keseimbangan sesuai dengan ajaran Trihitakarana, sehingga tidaklah berlebihan apabila I Gusti Ketut Sutha menyatakan, bahwa pembangunan yang mengabaikan dan bahkan acuh tak acuh terhadap hukum adat serta adat yang mengatur perhubungan diantara unsur-unsur dari ajaran keseimbangan tersebut akan mengalami kesulitan dan bahkan mengalami kegagalan total. Oleh karena itu, pembangunan di Bali selalu akan melibatkan desa adat dalam proses sosialnya maupun dalam implementasinya, karena yang punya pendukung sebagai warga (krama) adalah desa adat dengan banjar-banjarnya.

Melalui kolom Bali Post, 14 September 1998 dinyatakan bahwa desa adat di Bali senantiasa tersanjung dalam mendukung program pembangunan. Akan tetapi selalu buntung, karena sering hanya menjadi alat bagi kepentingan politik golongan penguasa. Lembaga kemasyarakatan yang terikat wilayah (palemahan), warga desa adat (pawongan), dan tempat suci (parhyangan), terikat pula oleh kekuasaan. Jadi kalau dimanfaatkan oleh kekuasaan, itu tentunya sah-sah dalam sebuah sistem kekuasaan.

Hanya tempat suci yang boleh tidak terikat kekuasaan. Tetapi penguasa berusaha juga mengikat kelembagaan ini dalam kekuasaan. Pada masa Bali Kuno. Dalem Bali membuat Pura Pusering Jagat untuk mengikatkan Kahyangan desa ini dengan kekuasaan. Pada masa Bali-Jawa, Dalem Bali membuat Pura Dasar Gelgel untuk mengikatkan Kahyangan Desa ini dengan kekuasaan. Pada masa kerajaan di Bali menjadi Sembilan, tiap kerajaan membuat sebuah Pura Kerajaan untuk mengikat Parhyangan desa adat. Raja-raja di Bali ketika itu juga menyimpan cincin panawaratna (cincin dengan permata Sembilan warna) yang dipakai ngawangsuh tirta, suatu persyaratan untuk memohonkan air suci tiap Kahyangan Desa Adat. Ini rekayasa politik kekuasaan untuk mengikatkan Kahyangan Desa dengan kekuasaan.

Tradisi tersebut, tanpa sadar dilanjutkan juga pada masa Republik ini. Tradisi mendem pedagingan (menanam logam mulia dibawah bangunan suci) yang mesti dihadiri wakil pemerintahan, merupakan usaha-usaha pengikatan Kahyangan Desa Adat pada kekuasaan. Jika kemudian desa adat menjadi alat kekuasaan, siapa yang mesti disalahkan?. Masalahnya bukan apakah desa adat menjadi alat kekuasaan atau tidak. Menjadi alat kekuasaan adalah sebuah konsekuensi logis dari sebuah wilayah yang berada dalam kekuasaan. Masalahnya, apakah desa adat sudah menjadi alat yang baik?. Sudahkah desa adat berdaya menghadapi kekuasaan yang kurang baik?. Namun apabila dicermati keberhasilan desa adat dalam mendukung program pembangunan, sebenarnya lembaga ini telah menjadi alat kekuasaan yang baik.

Desa Adat sebagai sistem sosial, pada awalnya dibentuk sebagai wilayah yang mandiri yang berasal dari tradisi Weda di india yang ketika itu sistem sosial terendah yang otonom disebut gramani. Di Bali dikembangkan menjadi Kramam yang selanjutnya menjadi Pekraman.

Ide-ide besar tradisi Weda ini banyak menarik hati para pemimpin dunia. Mahatma Gandhi juga merancang kehidupan seperti ini dengan sevagram. Dengan rancangannya ini seluruh potensi desa diusahakan diberdayakan (sarvadaya). Dia diharapkan bisa mencukupi kebutuhannya sendiri (swadeshi). Jika semua desa dapat ber-swadeshi, maka Negara pun akan mampu ber-swadeshi. Mohammad Hatta salah satu proklamator Repbulik Indonesia dalam beberapa butir pemikirannya sangat menginginkan terbentuknya perekonomian desa, dengan menjadikan koperasi sebagai wadahnya.

Ide-ide besar tradisi Weda kemudian kalah oleh kepentingan ekonomi sesaat yang lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi. Perekonomian desa dikerdilkan. Pemerintah lebih senang mengundang pemodal besar yang diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi dengan membuka lapangan pekerjaan dan sebagainya. Dalam jangka pendek hasilnya sangat terasa. Pendapatan per kapita masyarakat meningkat. Tetapi jangka panjang, masyarakat dibuat tergantung kepada kekuasaan.

Di Bali, tanah-tanah desa adat sebagian telah di jual kepada pemilik modal, hanya dengan satu janji akan diterima bekerja diperusahaan yang didirikan. Bangunan sosial Weda atas dasar cinta kasih (Prema). Paras Paros Sarpanaya salunglung sebayantaka, cepat atau lambat akan berganti dengan kebencian kepada pemodal (yang umumnya ingkar janji karena memang saat berjanji hanya basa-basi), yaitu yang disebabkan adanya back-up penguasa kepada pemodal (investor), sehingga kebencian bermuara kepada penguasa. Jika desa adat sekarang diisi kebencian, cepat atau lambat iapun akan runtuh. 

Melalui Seminar Nasional tentang Lembaga Tradisional dalam Pembangunan Bangsa, Ida Bagus Rata menyatakan bahwa meningkatkan Keberdayaan desa adat adalah menjadi tanggung jawab bersama, karena desa adat adalah sebagai salah satu benteng kebudayaan Bali. Potensi utama daerah Bali adalah kebudayaan yang dijiwai oleh Agama Hindu dan merupakan bagian integral dari kebudayaan nasional. Lebih lanjut dinyatakan bahwa desa adat pada dasarnya secara tradisional cukup mampu dalam melestarikan nilai dasar atau basevalue dari kebudayaan seperti :
a. Bakti kepada leluhur dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini tercermin dari tetap ajegnya tempat pemujaan keluarga, yaitu Sanggah atau Pemerajan, Dadia Paibon dan Kahyangan Tiga yang dipuja oleh warga (Krama) Desa adat.
b. Nilai kebersamaan yang tercermin dari masih kuatnya gotong royong, tolong menolong walaupun bentuknya telah disesuaikan dengan situasi dan kondisi kehidupan warga desa sekarang.
c. Nilai keseimbangan seperti yang terdapat dalam filsafat Trihitakarana, pada umumnya masih tampak dalam penataan wilayah desa adat. Keseimbangan antara Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan masih diupayakan secara optimal dalam pembangunan di desa adat terutama pada kawasan pedesaan. Di perkotaan memang sulit diterapkan, karena mahalnya harga tanah dan padatnya penduduk. Unsur yang tetap ajeg adalah adanya prasarana pemujaan pada pekarangan umat Hindu.

Lingkungan Hidup Indonesia sebagai suatu karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia, merupakan ruang bagi kehidupan bangsa Indonesia dalam segala aspek dan matranya sesuai dengan Wawasan Nusantara. Dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk kesejahteraan umum seperti termuat dalam UUD 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu diupayakan pelestarian fungsi lingkungan hidup secara serasi dan seimbang.

Dengan mencermati, bahwa corak desa adat di Bali adalah Hinduistis, maka penampilan masalah ini dimaksudkan untuk menemukan bagaimana implikasi persepsi Hindu yang menjiwai kehidupan desa adat di Bali dengan pelestarian lingkungan hidup secara konseptual.

1. Filsafat Trihitakarana
Kata atau istilah Trihitakarana berasal dari bahasa Sansekerta, yang berarti tiga penyebab kemakmuran, yaitu : Parhyangan, Palemahan, dan Pawongan.

Parhyangan berarti Ketuhanan atau hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan (Hindu) dalam rangka memuja Hyang Widhi sebagai Maha Pencipta (Prima causa). Beliau adalah sumber dari pada segala yang ada. Beliaulah yang mengadakan alam semesta ini beserta isinya dan sebagai asal serta tujuan akhir. Di desa adat diwujudkan dalam bentuk aktivitas keagamaan dalam rangka memuja dan berbakti kepada Hyang Widhi, yaitu yang meliputi sarana pemujaan terutama sekali Kahyangan Tiga seperti Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem, dan juga Pura lainnya yang merupakan pemujaan bersama di desa adat, serta upacara keagamaan yang tercakup dalam Panca Yadnya.

Palemahan berarti tanah atau buwana atau alam secara sempit disebut wilayah pemukiman atau tempat tinggal. Di desa adat diwujudkan sebagai teritorial atau wilayah desa adat. Sedangkan Pawongan adalah orang atau perihal yang berkaitan dengan orang dalam suatu kehidupan masyarakat (community). Di desa adat disebut sebagai Krama Desa yang mencakup Krama Banjar yang ada di desa adat itu.

Trihitakarana inilah yang melandasi dan juga merupakan suatu identitas bagi keberadaan desa adat di Bali. Perpaduan ketiga unsur ini secara harmonis menjadi landasan terciptanya kehidupan yang aman, tentram, dan damai dalam mewujudkan kesejahteraan lahir batin di desa adat. Oleh karena itu desa adat di Bali adalah merupakan lembaga sosial keagamaan yang hidup kokoh dari jaman dahulu kala dan berlanjut sepanjang jaman.

2. Peranan Desa Adat Dalam Pelestarian Fungsi Lingkungan
Untuk mengantisipasi adanya eksploitasi sumber daya secara berlebihan, maka sejak GBHN 1973-1978 melalui arah Pembangunan Jangka Panjang ditegaskan, bahwa dalam pelaksanaan pembangunan sumber-sumber alam Indonesia harus digunakan secara rasional. Penggalian sumber kekayaan alam Indonesia harus diusahakan agar tidak merusak tata lingkungan hidup manusia, dilaksanakan dengan kebijaksanaan yang menyeluruh dan dengan memperhitungkan kebutuhan generasi-generasi yang akan datang. Oleh karena itu dibentuklah Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai penyempurnaan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982.

Sebagai asas pengelolaan lingkungan ditegaskan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997, yaitu : Pengelolaan lingkungan hidup berasaskan pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkeseimbangan bagi peningkatan kesejahteraan manusia. Sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk didalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya. Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan, dan pengembangan lingkungan hidup.

Dalam penjelasan Pasal 3 tersebut di atas dinyatakan, bahwa pengertian pelestarian mengandung makna tercapainya kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang, dan peningkatan kemampuan tersebut. Hanya dalam lingkungan yang serasi dan seimbang dapat dicapai kehidupan yang optimal.

Dari asas tersebut ada tiga yang perlu dicermati, yaitu :
a. Pengelolaan lingkungan hidup berasaskan pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang;
b. Untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan; dan
c. Peningkatan kesejahteraan manusia.

Kata pelestarian sering dibenturkan dengan kata pembangunan, karena pelestarian yang berasal dari kata lestari mempunyai makna langgeng, tidak berubah. Sedangkan pembangunan berarti selalu perubahan. Membangun adalah merubah sesuatu untuk mencapai taraf yang lebih baik. Apabila dalam proses pembangunan terjadi dampak kurang baik terhadap lingkungan. Haruslah dilakukan upaya untuk meniadakan atau mengurangi dampak negatif tersebut. Sehingga keadaan lingkungan menjadi menjadi serasi dan seimbang lagi. Oleh karena itu yang dilestarikan bukanlah Lingkungannya an sich, akan tetapi Kemampuan lingkungan. Kemampuan yang serasi dan seimbang inilah yang perlu dilestarikan sehingga setiap perubahan yang diadakan selalu disertai dengan upaya mencapai keserasian dan keseimbangan lingkungan pada tingkatan yang baru. Lebih lanjut ditegaskan, bahwa istilah pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang membawa kepada keserasian antara pembangunan dan lingkungan, sehingga kedua pengertian itu, yaitu pembangunan dan lingkungan tidak dipertentangkan satu dengan yang lain. Adapun pelestarian lingkungan yang bermakna melestarikan itu an sich digunakan dalam rangka kawasan pelestarian alam dan kawasan suaka alam.

Emil Salim menyatakan, bahwa satu-satunya bumi yang kita huni ini memerlukan penyelamatan dari ancaman yang dibuat manusia sendiri. Bumi ini masih bisa menopang kehidupan manusia, berapapun pertambahan penduduknya, asalkan pembangunan dilangsungkan secara bijaksana dengan mengindahkan keutuhan fungsi lingkungan dalam proses pengembangannya.

Asas pengelolaan lingkungan hidup dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 juga diletakkan dalam Pasal 3 yaitu : Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab Negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam penjelasan Pasal ini dinyatakan, bahwa berdasarkan asas tanggung jawab Negara, di satu sisi, Negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan. Di lain sisi Negara mencegah dilakukannya kegiatan memanfaatkan sumber daya alam dalam wilayah yuridiksinya yang menimbulkan kerugian terhadap wilayah yuridiksi Negara lain, serta melindungi Negara terhadap dampak kegiatan diluar wilayah Negara. Asas melindungi Negara terhadap dampak kegiatan diluar Negara. Asas keterlanjutan mengandung makna setiap orang memikul kewajibannya dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang, dan terhadap sesamanya dalam satu generasi. Untuk terlaksananya kewajiban dan tanggung jawab tersebut, kemampuan lingkungan hidup, harus dilestarikan. Terlestarikannya kemampuan lingkungan hidup menjadi tumpuan terlanjutkannya pembangunan.

Istilah pelestarian fungsi lingkungan yang tercantum dalam GBHN 1993-1998 adalah meliputi kedua pengertian tersebut diatas, yaitu pelestarian kemampuan lingkungan sepanjang mengenai kawasan budi daya dan pelestarian lingkungan sepanjang mengenai kawasan lindung.

Pembangunan yang berkesinambungan tidak dimaksudkan untuk pembangunan yang terjadi hanya sekali atau incidental, tetapi selalu dikaitkan dengan manfaat pembangunan yang harus dirasakan oleh generasi demi generasi. Keseluruhan pengelolaan adalah bagi peningkatan kesejahteraan manusia, yaitu yang hanya dapat dicapai apabila ada keseimbangan di antara komponen-komponen atau subsistem-subsistem yang ada dalam lingkungan hidup ini.

Dalam butir 5 Pola Dasar Pembangunan Daerah Bali 1993-1998 dinyatakan, bahwa asas pembangunan daerah adalah asas keseimbangan, keserasian, keselarasan dalam perikehidupan, artinya dalam pembangunan daerah haruslah ada keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat, material dan spiritual, jiwa dan raga, individu dan masyarakat, dan kepentingan perikehidupan darat, laut, udara dirgantara dan kepentingan daerah dan nasional.

Desa adat di Bali yang Hinduistis adalah dilandasi falsafah Trihitakarana dan adat istiadatnya dilandasi Catur Dresta sehingga apabila kehidupan di desa adat secara mendalam, maka akan ditemukan adanya pancaran sinar dari Agama Hindu dan sekaligus menjadi sumber orientasi dan arahan dalam kehidupan Krama Desa-nya. Oleh karena itu penampilan peranan desa adat dalam pelestarian fungsi lingkungan akan bertumpu pada konsep Hindu yang menjiwai kehidupan desa adat di Bali, sekaligus menemukan implikasi Agama Hindu dengan lingkungan hidup di desa adat.

Jika dicermati hubungan alam dengan tujuan hidup manusia, konsep Hindu memandang alam sebagai tempat manusia menempuh kehidupan. Alam sebagai sumber materi yang diperlukan untuk hidup, alam memberikan rangsangan rasa etis artistik, alam memberikan inspirasi dan sesungguhnya jasmani manusia berasal dari unsur-unsur pancamahabhuta (zat padat, zat cair, panas, wayu/udara, dan akasa/ether) yang merupakan unsur sama dengan unsur yang membentuk alam sebagai ciptaan Hyang Widhi. Hindu mengajarkan agar manusia menjaga keharmonisan antara bhuawana alit dan bhuwana agung. Oleh karena itu keseimbangan ekosistem perlu dijaga. Konsekuensinya, mausia harus mengharmoniskan diri dengan lingkungan hidup yang telah nyata memberikan rasa aman, tenteram, dan bahagia dalam kehidupan.

Dalam konsep ini, Hyang Widhi adalah Prima Causa (Maha Pencipta), sehingga Palemahan sebagai territorial dalam suatu wilayah seperti wilayah desa adat sebagai perwujudan bhuwana agung dalam lingkup lebih kecil adalah yang mula pertama diciptakan. Dalam periodisasi kemudian diciptakan mahluk lainnya, dan yang terakhir adalah manusia yang dalam lingkup Desa Adat disebut Krama Desa (Pawongan) yang mempunyai ikatan filsofis, ekonomis, dan budaya dengan palemahan sebagai wujud lingkungan hidup yang melingkupi kehidupannya. Oleh karena itu harmonisasi antara krama desa dengan palemahan dalam arti lingkungan hidup adalah mutlak perlu untuk mendapatkan kebahagiaan jasmani dan rohani melalui pengolahan lingkungan hidup secara teratur dan bijaksana, sehingga menjadikan produktif dan lestari.

Mencermati pada kondisi diatas peranan desa adat dalam pelestarian fungsi lingkungan adalah sangat penting karena dengan melalui desa adat akan dikoordinasikan ulah perilaku krama desanya dalam memanfaatkan lingkungan hidup. Oleh karena itu semua elemen lingkungan hidup dalam palemahan desa adat mendapatkan pengaturan melalui Awig-awig desa adat, seperti pengaturan pemeliharaan ternak (ubuhan), tanaman (pepayonan), palemahan (marga/jalan, rurung/gang, telajakan, petluan/pertigaan, pempatan/perempatan, teba/tempat pembuangan. Demikian pula tentang perilaku manusia sebagai krama desa yang dianggap patut dan tidak patut, serta pengaturan tempat suci dengan berbagai upacaranya. Oleh karena itu adalah sangat perlu dicermati pernyataan budayawan, seperti Prof. Bagus dan Prof. Rata, bahwa : “Perlunya melibatkan krama/warga desa adat atau yang mewakili dalam tim penyusunan Analisis mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), yaitu untuk mengurangi protes masyarakat terhadap pembangunan atau proyek yang sedang berjalan, seperti kasus Padanggalak, Tanah Lot (Bali Post, 16 Oktober 1997).

Lebih lanjut ditegaskan, bahwa kelemahan pembangunan suatu proyek yang bermasalah, karena masyarakat belum dilibatkan dan kurangnya Sosialisasi rencana proyek kepada masyarakat. Oleh karena itu perlu dilakukan perencanaan yang matang. Penyertaan warga desa adat atau yang mewakili dalam tim penyusunan Amdal karena adanya persepsi yang berbeda antara masyarakat yang satu dengan yang lain terhadap “sesuatu hal” yang berlaku di desa adat yang bersangkutan yang diakibatkan orang yang terlibat dalam tim adalah biasanya orang luar/asing dari wilayah yang dijadikan objek sasaran Amdal. Namun yang lebih penting adalah kemandirian tim penyusunan Amdal, karena disinilah letak objektivitas dan kebenaran suatu Amdal. Hal ini adalah sangat relevan dengan ketentuan Pasal 7 Ayat (1) dan Pasal 9 Ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1997, yaitu yang menyangkut pemberian kesempatan yang sama dan seluas-luasnya bagi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup dan pengelolaan yang berorientasi pada nilai-nilai Agama, adat istiadat dan nilai yang hidup dalam masyarakat. Kalau tidak demikian pembuatan Amdal hanya semata mengikuti pesanan investor dan tidak menganalisis tentang layak atau tidaknya suatu pembangunan proyek yang akan dilaksanakan, karena “lobi investor saat ini dengan materi yang dimilikinya sangat kuat mempengaruhi kekuasaan”. 
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson