Pengeseran kewenangan Administrasi Negara

Pengeseran kewenangan Administrasi Negara : Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan saat ini telah diperlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah membawa berbagai implikasi sebagai akibat adanya pergeseran kewenangan yang semua bersifat sentralistik menjadi desentralistik. Artinya kewenangan –kewenangan yang semua diatur dan ditentukan oleh Pemerintah Pusat otonotis berpindah dan telah menjadi kewenangan dan tanggung jawab Daerah.

Dalam pada itu, bila dicermati pengertian Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 diterangkan bahwa kewenangan bidang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pemberdayaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standardisasi nasional, disebutkan bahwa posisi pemerintah pusat hanya sebatas menyiapkan dan berbuat yang bersifat kebijakan-kebijakan saja, dengan pengertian tidak lagi bertindak sebagai menetapkan setiap kebutuhan daerah.

Bila pergeseran kewenangan termasuk kewenangan yang bertalian dalam menerbitkan berbagai bentuk tata usaha negara atau administrasi negara yang semula terpusat/terkonsentrasi (dikuasai) oleh pemerintah pusat tentu pergesaran tersebut akan termasuk berbagai kewenangan tata usaha negara atau administrasi negara yang selama ini ditangani pusat akan menjadi kewenangan dan tanggung jawab daerah.

Selain itu, dalam Undang-Undang Pemerintaha Daerah disebutkan pula bahwa otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi tersebut berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan.

Makna pengertian Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan pengertian otonomi bertanggung jawab, akan terlepasnya hak dan kewenangan pusat berupa ijin yang meliputi pengesahan, penghapusan, persetujuan, penetapan dan berbagai kewenangan lain bergeser/berpindah menjadi hak dan kewenangan Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota. 

Begitupun dalam pengertian otonomi luas vide Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dari Daerah dalam sistem Negara Kesatuan RI inilah prinsip dari otonomi seluas-luasnya itu yaitu berdasarkan asas otonomi dan urusan pembantuan.

Menurut Bagir Manan, ketentuan ini memberikan gambaran bahwa otonomi daerah itu merupakan wewenang dari daerah.

1) Efektivitas Reformasi Perpajakan

Upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak salah satunya melalui:
Reformasi perpajakan (1983) dengan perubahan sistem perpajakan yaitu dari sistem official assesment, menjadi sistem self assesment. Perubahan sistem perpajakan didikuti dengan penyempurnaan administrasi perpajakan melalui perubahan struktur organisasi melalui reorganisasi, harus terus dilakukan secara berkesinambungan. Dengan harapan dapat meningkatkan kinerja yang dapat diukur berdasarkan produktivitas, responsivitas dan akuntabilitas.

Sasaran Administrasi perpajakan adalah untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak (Toshiyuki). : Target Akhir administrasi perpajakan adalah untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, bahwa dalam sistem self assesment aktifitas utama administrasi perpajakan adalah untuk mengawasi kepatuhan dan meyakinkan bahwa wajib pajak menjalankan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam hal:
- Pendaftaran wajib pajak
- Penilaian 
- Menjalankan Prosedur pemungutan
- Pelaporan penghindaran dan penggelapan pajak

Menurut Bird dan Jantscher terdapat hubungan antara administrasi perpajakan dengan kepatuhan wajib pajak yang dapat memperkecil angka ketidak patuhan. Bukan hanya melihat dari aspek peningkatan penerimaan saja.

Administrasi pajak yang baik pada dasarnya tidak mampu mengumpulkan penerimaan pajak sebesar-besarnya. Administrasi perpajakan yang mudah ditagih, seperti gaji pegawai, tetapi tidak mampu untuk menagih pajak dari perusahaan-perusahaan dan profesional, jadi penerimaan pajak bukan merupakan ukuran yang tepat atas efektivitas administrasi perpajakan. Pengukuran lebih akurat untuk mengetahui efektivitas administrasi perpajakan adalah berapa besarnya jurang kepatuhan, yaitu selisih antara penerimaan pajak yang sesungguhnya dengan penerimaan pajak potensial dengan tingkat kepatuhan dari masing-masing sektor perpajakan.

Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dikatakan bahwa kepatuhan wajib pajak saat ini masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari aspek pemenuhan kewajiban perpajakan, khususnya yang berkaitan dengan kewajiban; pendaftaran, pelaporan SPT dan pelunasan pajak terhutang, pendeknya kepatuhan WP dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
Pertama : Kepatuhan wajib pajak dalam mendaftarkan diri, jumlah wajib pajak yang terdaftar pada administrasi pajak masih sangat rendah (pada tahun 2002 dari 210 juta jumlah penduduk wajib pajak orang pribadi dan badan yang terdaftar hanya 2.583.960 wajib pajak. Artinya Sistem Perpajakan Nasional belum dapat meningkatkan pembayaran beban pajak yang terdistribusi secara merata, karena hanya 10 % lebih wajib pajak yang menanggung beban pajak (Tax Corverage Ratio).
Kedua : Kepatuhan wajib pajak untuk menyetor kembali Surat Pemberitahuan (SPT).
Ketiga : Kepatuhan wajib pajak dalam perhitungan dan pembayaran pajak terhutang masih rendah (1.068.467 WP atau 41,35% dari keseluruhan wajib pajak efektif yaitu 2.583.960 wajib pajak).
Keempat : Kepatuhan dalam pembayaran tunggakan pajak, akumulasi jumlah nominal tunggakan pajak cukup besar (sampai tahun 2000 Rp. 17,3 Triliun, besarnya jumlah tunggakan dan rendahnya pencapaian penagihan pajak tiap tahun menunjukkan bahwa penegakkan hukum melalui penagihan aktif belum dilaksanakan secara optimal sesuai dengan ketentuan.

Dengan demikian menurut Chaizi Naruha tersebut terlihat bahwa ada hubungan/korelasi antara reformasi perpajakan dengan tingkat kepatuhan wajib pajak.

Menurut Andreoni et, al; Kepatuhan wajib pajak dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain: Pelayanan Publik, kebijakan dan keuangan publik, penawaran tenaga kerja, jenis pekerjaan, bentuk organisasi, moral wajib pajak, tarif pajak, demografi (jenis kelamin dan umur), kondisi sosial masyarakat, penegakan hukum (audit dan penalti), kompleksitas dan amnesti pajak.

Mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak, untuk membatasi permasalahan penelitian ini hanya difokuskan pada pengaruh efektivitas reformasi administrasi perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak yang meliputi reformasi organisasi, prosedur organisasi, strategi organisasi dan budaya organisasi.

Berdasarkan gambaran di atas, terlihat bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak dipengaruhi oleh bagaimana administrasi perpajakan dijalanka. 

Administrasi perpajakan yang lemah, baik yang menyangkut aspek struktur organisasi, prosedur organisasi, strategi organisasi maupun budaya organisasi dapat menyebabkan akuntabilitas organisasi dan tingkat kepatuhan wajib pajak rendah dan ini berdampak juga pada rendahnya kinerja perpajakan.

Permasalahan pokok yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah apakah reformasi administrasi perpajakan yang telah dilakukan selama ini sudah atau belum secara menyeluruh mencakup perubahan dari aspek struktur organisasi, prosedur, strategi organisasi, dan budaya organisasi, sehingga berpengaruh terhadap akuntabilitas organisasi, (SAMSAT/UPTD) dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

2) Kinerja Sektor Publik
Kinerja merupakan tingkat pencapaian tujuan organisasi menurut, Rue dan Bryan, kinerja adalah tingkat pencapaian (the degree of accomplishment).

Kinerja bagi setiap organisasi sangat penting terutama penilaian ukuran keberhasilan suatu organisasi dalam batas waktu tertentu. Berbagai pendapat menyamakan kinerja (performance) dengan prestasi kualitas pelaksanaan tugas atau aktivitas pencapaian tujuan dan misinya.

Di samping itu ada pula pendapat yang menyamakan pengertian kinerja dengan efisiensi dan efektivitas. (Miles dan Snow 1978, 77-78). (Interplant, 1969 : 15)

Atmo Sudirjo, berpendapat bahwa kinerja dapat berarti prestasi kerja, prestasi penyelenggaraan sesuatu.

Levine, Lima indikator untuk mengukur kinerja sektor publik, produktifitas, kualitas pelayanan, responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas.
a. Produktivitas adalah ukuran seberapa pelayanan publik itu menghasilkan yang diharapkan, dari segi efisiensi dan efektivitas.
b. Kualitas pelayanan adalah ukuran-ukuran citra yang diakui masyarakat mengenai pelayanan yang diberikan yaitu masyarakat merasa puas atau tidak puas.
c. Responsivitas adalah ukuran kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan publik sesuai kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
d. Responsibilitas adalah ukuran apakah pelaksanaan kegiatan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar.
e. Akuntabilitas adalah ukuran seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat atau konsisten dengan kehendak rakyat.

4) Pelayanan Publik dalam Administrasi Negara
Pengertian pelayanan adalah suatu proses bantuan kepada orang lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal agar terciptanya kepuasan dan keberhasilan. Sedangkan pelayanan umum menurut Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara ( Men-Pan ) No. 81 Tahun 1993 adalah segala bentuk pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah dan lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa, bai dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari pengertian tentang pelayanan umu di atas, terkait beberapa istilah dalam administrasi Negara, seperti instansi pemerintah, tata laksana, tata kerja, prosedur kerja, sistem kerja, kewajiban dan seterusnya yang diuraikan di bawah ini.

1. Instansi Pemerintah
Yang dimaksud dengan instansi pemerintah di sini adalah sebutan kolektif yang meliputi satuan kerja atau satuan organisasi suatu departemen, lembaga pemerintah bukan departemen, instansi pemerintah lainnya, baik instansi pemerintah di tingkat pusat maupun instansi pemerintah di tingkat daerah, termasuk BUMN dan BUMD.

2. Tata Laksana
Yang dimaksud dengan tata laksana adalah segala aturan yang ditetapkan oleh pimpinan instansi pemerintah yang menyangkut tata cara, prosedur dan sistem kerja dalam melaksanakan kegiatan yang berkenaan dengan penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintah dan pembangunan pelayanan di bidang umum.

3. Tata Kerja
Tata kerja dimaksudkan sebagai cara-cara pelaksanaan kerja yang efisien mengenai satu atau serangkaian tugas dengan memperhatikan segi-segi tujuan, peralatan, fasilitas, tenaga waktu, ruang, biaya yang tersedia.

4. Prosedur Kerja
Yang dimaksud dengan prosedur kerja adalah rangkaian tata kerja yang berkaitan satu sama lain, sehingga menunjukkan adanya urutan secara jelas dan pasti serta cara-cara yang harus ditempuh dalam rangka penyelesaian suatu bidang tugas.

5. Sistem Kerja
Sistem kerja di sini diartikan dengan rangkaian tata kerja dan prosedur kerja yang membentuk suatu kebulatan pola kerja tertentu dalam rangka mencapai hasil kerja yang diharapkan.

6. Kewajiban
Kewajiban di sini diartikan sebagai aparatur penyelenggaraan pelayanan umum untuk mengambil tindakan dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Dalam rangka memuaskan masyarakat sebagai pelanggan, kewajiban bukan hanya melekat pada pejabat, tetapi setiap aparatur dalam lingkungan kerja ketika bertemu dengan pelanggan. Misalnya wajib untuk menanyakan apa yang diinginkan pelanggan yang hadir pada waktu itu. Artinya harus proaktif dalam menyambut kedatangan pelanggan.

a. Pendekatan
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan empiris menurut penelitian hukum sosiologis untuk mengetahui efektivitas dan dampak hukum dari adanya kebijaksanaan publik pelayanan di bidang perpajakan. Yang diukur dari standar waktu dan biaya berdasarkan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Dalam hal ini secara normatif apakah telah berhasil atau gagal menciptakan kinerja (pencapaian target penerimaan/ pemungutan pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor) secara bersamaan yang ditilik dari aspek kepatuhan wajib pajak (kesadaran hukum masyarakat) dan pemahaman aparat perpajakan dalam memberikan pelayanan saat mengemban tugasnya sehari-hari. Penelitian ini menggunakan data kuantitatif dan kualitatif yang diperdapat saat survey deskriptif, yang disampaikan dalam bentuk deskripsi kualitatif.

b. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada Kantor Bersama SAMSAT/ UPTD Pelayanan Pendapatan Provinsi Sumatera Barat di Padang dengan wilayah kerja meliputi wilayah otonom dan Administratif Kota Padang yang terdiri dari sebelas Kecamatan, yaitu Kecamatan Padang Timur, Padang Barat, Padang Utara, Padang Selatan, Lubuk Begalung, Kuranji, Nanggalo, Koto Tangah, Teluk Kabung, Lubuk Kilangan dan Pauh dengan 103 kelurahannya. Pengambilan sampel penelitian diambil dari lima kecamatan tertentu yang padat penduduknya di Kota Padang, sedangkan kecamatan lain (6 kecamatan) hanya 2 kecamatan (diambil/dipilih) secara acak, sesuai dengan kompetensi keperluan situasi dan kondisi sampel.

c. Metode dan Alat Pengumpulan bahan hukum.
Teknik pengumpulan data yang digunakan tergantung kepada data dan sumber data yang dibutuhkan, antara lain adalah : 
1) Dokumentasi; untuk mengumpulkan data primer dan sekunder, penulis menganalisa dokumen-dokumen dalam bentuk tulisan. Data yang dikumpulkan antara lain tentang APBD, Pendapatan Asli Daerah, Hukum Pajak Daerah, data kepegawaian, data statistik berupa PDRB, laporan-laparan dan lain-lain yang berkaitan dengan tujuan penelitian. 

2) Observasi; untuk memperoteh informasi serta gambaran empirik tentang data-­data yang diperlukan dengan mengadakan pengamatan langsung pada obyek penelitian. 

3) Wawancara; adalah percakapan langsung dengan maksud untuk memperkuat data sekunder yang diperlukan dalam penelitian. Percakapan itu dilakukan aleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (responden). Tehnik wawancara yang digunakan adalah wawancara terbuka (open interview) dengan maksud agar responden tahu bahwa mereka sedang diwawancarai dan mengetahui pula maksud wawancara tersebut. Untuk itu instrumen penelitian yang digunakan adalah pedoman wawancara (indepth interview) yang merupakan penuntun bagi peneliti dalam mengembangkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat terbuka sehingga memberikan kebebasan yang seluas-luasnya bagi responden untuk menyampaikan pendapatnya.

4) Untuk melengkapi sumber data primer dalam penelitian ini, juga ditetapkan para fungsionaris pejabat terkait yang berkompeten mengambil kebijakan terhadap kinerja Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Barat dan UPTD Samsat Padang yakni pejabat yang menempati tingkatan (top management, middle management, dan lower rrranagement' serta staf) serta para penentu kebijakan pada Pemerintah Propinsi Sumatera Barat dan Jajaran Polda Sumatera Barat. 

d. Populasi dan Sampel
Dari populasi 420 yang didapatkan dari jumlah rata-rata wajib pajak dan aparat perpajakan terkait setiap harinya, diambil sebagai sampel sebanyak 42 orang (10%), yang ada pada Kantor Bersama SAMSAT/UPTD Pelayanan Pendapatan Provinsi Sumatera Barat di Padang, dari para wajib pajak dipilih sampelnya sebanyak 42 orang yang berasal dari masyarakat Kota Padang dalam wilayah 5 kecamatan sampel/terpilih yaitu Kecamatan Padang Timur 8 orang, Kecamatan Padang Barat 8 orang, Kecamatan Koto Tangah 8 orang, Kecamatan Lubuk Begalung 8 orang dan Kecamatan Bungus 28 orang dan 2 orang dari aparat pajak yang berdomisili di luar Kota Padang.

Teknik yang dipakai dalam pengambilan sampel adalah Stratified random sampling, karena dcngan cara ini sub kelompok yang spesifik akan memiliki jumlah yang cukup terwakili dalam sampel, serta menyediakan jumlah sampel sebagai sub analisis dari anggota kelompok tersebut. Dalam strategi ini populasi dikategorikan dalam kelompok-kelompok yang memiliki strata yang sama sesuai karakteristik masing-masing responden.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari responden (wajib pajak) dan petugas pajak serta pejabat yang berwenang/ terkait. Untuk melengkapi data yang diperoleh secara langsung dari responden tersebut, data juga diperoleh dari beberapa informan tertentu, yaitu orang-orang yang relevan dianggap mengetahui masalah objek penelitian dengan melakukan wawancara.

Sedangkan Data Sekunder merupakan data yang diperoleh dari buku referensi dan data yang ada di Dispenda Provinsi Sumatera Barat, Ditlantas Polda Sumatera Barat, PT. Jasa Raharja (Persero) Cabang Sumatera Barat dan Kantor Bersama Samsat Sumatera Barat di Padang. Data yang diperoleh antara lain yang berkaitan dengan situasi dan Kondisi Samsat, seperti sumber daya yang tersedia, meliputi manusia (kualitas dan kuantitas) dan prasarana serta wajib pajak yang dilayani.

Selain itu, Data Sekunder ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang bersumber dari :

1. Bahan Hukum Primer, antara lain : 
a. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;
b. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.
c. Instruktur Presiden No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan.
d. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintahan Kepada Masyarakat.
e. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63/KEP/ M.PAN/2003 tentang Pedoman Umum Penyeleng-garaan Pelayanan Publik.
f. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2006 tentang Standarisasi Sarana dan Prasarana Kerja Pemerintah Daerah.
g. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
h. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara : Kep/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah.
i. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. Kep/26/M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
j. Surat Keputusan Bersama Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI, Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor PoI/KEP/13/XII/1976, Nomor KEP.1693/MK/TU/12/1976 dan Nomor 311 Tahun 1976, tentang Peningkatan Kerjasama antara Pemerintah Daerah Tingkat I, Komando Daerah Kepolisian dan Aparat Departemen Keuangan dalam rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat serta peningkatan Pendapatan Daerah khususrya mengenai Pajak Kendaraan Bermotor;
k. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
l. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003 tentang Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
m. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan;
n. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1973 tentang Pembentukan Dinas Pendapatan Daerah;
o. Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 22 Tahun 2001 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Provinsi Sumatera Barat;
p. Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 57 Tahun 2004 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat.
q. Surat Keputusan Bersama Direktur Lalu Lintas Kepolisian Daerah Sumatera Barat dan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Sumatera Barat dan Kepala Cabang Jasa Raharja ( Persero ) Sumatera Barat Nomor : B/24/I/2006/DITLANTAS per Nomor: 973/043/ PAJAK-2006/ Nomor: P/1/SPP/2006, tanggal 24 Januari 2006, tentang Standar Pelayanan Minimal Penerbit STNK, Pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor ( PKB ), Bea Balik Nama Kendaraan Bermtor ( BBNKB ), dan Sumbangan Wajib dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan ( SWDKLLJ ). Pada Kantor Bersama SAMSAT Di Sumatera Barat. 
r. Surat Edaran Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 065/181/Dipenda-2006, 28 Februari Tahun 2006 tentang Standar Pelayanan Minimal ”Penerbitan Naskah Dinas dalam bentuk surat yang berkaitan dengan Pelayanan Umum yang diberikan oleh Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Barat.
s. Produk hukum yang berlaku dan relevan lainnya.

2. Bahan Hukum Sekunder
Dihimpun melalui kegiatan penelitian dengan memanfaatkan media cetak dan elektronik berupa buku-buku, tesis, majalah, surat kabar, internet dan sebagainya.

3. Bahan Hukum Tertier
Yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum sekunder, seperti ensiklopedi, kamus, dan lain-lain

d. Teknik Analisis Bahan Hukum (Kualitatif)
Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif. Setelah data primer terkumpul, dilakukan pengelompokan data dan pengeditan guna mengidentifikasi data yang relevan dengan pokok permasalahan penelitian. Setelah itu data dianalisis.

Analisis data dimaksudkan adalah untuk menyederhana-kan data agar menjadi informasi yang dapat digunakan dalam menjelaskan permasalahan penelitian. Pada tahap ini analisis data dilakukan setelah semua informasi dianggap cukup memadai oleh peneliti. Langkah yang dilakukan untuk menganalisi data yaitu melakukan penyederhanaan informasi yang diperoleh dengan memilah-milah informasi berdasarkan kategori yang telah disiapkan dalam blanko tanggapan dan daftar wawancara dengan menggunakan aturan positif yang ada dan teori-teori maupun pendapat yang disinggung dalam tinjauan pustaka, sehingga dapat ditafsirkan untuk merumuskan kesimpulan penelitian.
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson