Mengarusutamakan Masyarakat Adat dalam Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim

Mengarusutamakan Masyarakat Adat dalam Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim 
Posisi Konstitusional Masyarakat Adat di Indonesia
Komunitas-komunitas adat telah hidup dan berkembang selama ribuan tahun di Kepulauan Nusantara, kawasan yang sekarang menjadi Republik Indonesia. Ribuan komunitas adat dengan latar belakang berbeda ini memiliki ikatan sejarah yang erat dengan wilayah adatnya, mempraktikkan nilai-nilai spiritual yang kuat, hukum adat yang mengatur harmonisasi kehidupan komunitas, struktur sosial dan kelembagaan adat yang unik, pengelolaan tanah, wilayah dan sumber daya alam melalui kearifan tradisional, serta aturan hidup berdampingan dengan komunitas lainnya.

Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia tahun 1945 sebagai konstitusi negara, mengakui keberadaan masyarakat adat beserta hak-haknya, oleh sebab itu, masyarakat adat memiliki posisi konstitusional di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini ditegaskan dalam amandemen Konstitusi 1945 pada Pasal 18 B yang menyatakan bahwa ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undangundang” 

Pada pasal 28 I ayat 3 menyatakan bahwa ”Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. 

Kebijakan Pemerintah Indonesia Berkaitan dengan Masyarakat Adat Sebagian produk perundang-undangan di Indonesia telah mengadopsi pengakuan terhadap eksistensi masyarakat adat di Indonesia, misalnya Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Undang-Undang ini mengakui hak kepemilikan masyarakat adat atas wilayah adat di pesisir dan pulau-pulau kecil, serta hak pengelolaannya. Selain itu, Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup juga mengakui eksistensi dan hak-hak kearifan tradisional masyarakat adat. Ketentuan Umum di dalam Undang-Undang tersebut menjelaskan tentang terminologi masyarakat hukum adat, yaitu “kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu, karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum”.

Meskipun demikian, Pemerintah Indonesia belum memiliki kebijakan yang menyeluruh dan terintegrasi berkaitan dengan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat di Indonesia. Hal ini tercermin dari berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang belum sepenuhnya mengakui eksistensi, hak, dan aspirasi masyarakat adat. Dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, pemerintah menggunakan terminologi masyarakat hukum adat pada pasal 4 yang menyatakan penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Undang-Undang Kehutanan menyatakan bahwa hutan adat adalah hutan negara, serta menunjukkan bahwa fungsi hutan menentukan status penguasaan. Dengan demikian hutan adat sebagai salah satu identitas penting yang terkait langsung dengan kelangsungan hidup masyarakat adat, tidak mendapatkan pengakuan dari pemerintah karena dikuasai penuh oleh negara.

Adanya penggunaan istilah masyarakat adat dan masyarakat hukum adat dalam berbagai produk perundang-undangan, menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia tidak memiliki kesatuan pemahaman tentang masyarakat adat. Hal ini menyebabkan kurangnya sensitivitas terhadap berbagai masalah di masyarakat adat yang ditimbulkan oleh ketidakjelasan status ini. Keberadaan masyarakat hukum adat harus mendapatkan pengakuan terlebih dahulu oleh pemerintah, tetapi tidak ada penjelasan yang dapat menjadi acuan tentang definisi masyarakat hukum adat, serta mekanisme pengakuannya. Tanpa kedua hal ini, maka pengakuan terhadap eksistensi, hak, dan aspirasi masyarakat adat, tidak memiliki suatu acuan substantif dan operasional yang jelas, yang dibutuhkan pemerintah untuk mengakui dan melindungi eksistensi dan hak mereka dalam berbagai kebijakan sektoral di Indonesia.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyadari bahwa dibutuhkan intervensi yang kuat terhadap proses-proses politik perumusan kebijakan di tingkat nasional. Oleh sebab itu, AMAN mengambil inisiatif untuk memulai proses penyusunan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat, yang akan menjadi acuan bagi berbagai undang-undang dan kebijakan sektoral lainnya terkait isu-isu masyarakat adat. 

Sementara proses ini sedang berlangsung, beberapa lembaga pemerintah mengambil inisiatif bersama AMAN untuk melaksanakan program-program yang melibatkan masyarakat adat. Menteri Negara Lingkungan Hidup telah menandatangani memorandum saling pengertian (MoU) dengan AMAN untuk melibatkan masyarakat adat dalam setiap kebijakan lingkungan hidup. Selain itu, ada pula MoU antara AMAN dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang membahas kerjasama dalam mengarusutamakan isu masyarakat adat, serta penanganan kasus-kasus yang melibatkan masyarakat adat. AMAN juga memberikan masukan secara resmi terhadap Strategi Nasional REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) yang diterbitkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), yang kemudian mengadopsi program pemetaan partisipatif oleh komunitas-komunitas adat dan pengakuan terhadap partisipasi masyarakat adat di dalam pengambilan kebijakan.

Respon pemerintah dan lembaga-lembaga negara di tingkat nasional ini menunjukkan bahwa aspirasi AMAN dan lembaga masyarakat sipil lainnya untuk memperjuangkan pengakuan dan perlindungan atas eksistensi dan hak-hak masyarakat adat di Indonesia, ternyata tidak saling bertolak belakang tetapi justru berada dalam satu arus besar yang harus terus diperkuat.

Kondisi Objektif Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Indonesia yang Mempengaruhi Masyarakat Adat
Permasalahan dalam sejarah pengelolaan hutan di Indonesia, sering diwarnai konflik perebutan hak kepemilikan dan pengelolaan atas lahan, wilayah dan sumber daya hutan serta keadilan dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Konflik-konflik ini melibatkan pemerintah atau perusahaan pemegang konsesi dengan komunitas-komunitas adat. Konflik-konflik yang sudah dimulai sejak jaman kolonial dan berlanjut sampai rejim Orde Baru (1967-1998) serta era Reformasi hari ini merupakan implikasi dari belum adanya jaminan terhadap kepastian kepemilikan lahan (land tenurial rights).

Beragam penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi konflik sosial dan tenurial yang pernah tejadi, yang tentu saja menghasilkan jumlah yang beragam pula. Berdasarkan hasil pengumpulan dan observasi sejak tahun 1990 dari dokumen-dokumen di organisasi masyarakat adat, publikasi dari organisasi masyarakat sipil, maupun artikel dari berbagai media massa, sementara ini tercatat ada sekitar 2.585 kasus konflik di 27 provinsi yang sebagian melibatkan masyarakat adat (lokal) dan didominasi oleh isu tenurial. 

Masalah-masalah utama dalam konflik masyarakat adat (lokal) didominasi oleh masalah kehutanan sebesar 41,2%, disusul oleh kasus perkebunan dan pertanian. Konflik tenurial antara perusahaan dengan masyarakat adat terdiri dari berbagai varian, antara lain tumpang tindih lahan masyarakat dengan izin usaha di sector kehutanan, perkebunan, pertanian dan pertambangan; perampasan tanah ulayat untuk kepentingan bisnis; tumpang tindih peruntukan lahan dan kawasan hutan; dan ketidakjelasan tata batas dan kepemilikan lahan.

Pemberian konsesi hutan tanpa kendali kepada sektor bisnis, ternyata membawa dampak buruk. Selama beberapa dekade, laju kerusakan hutan Indonesia akibat salah urus mencapai 2,0 juta hektare per tahun, bahkan Kementerian (Departemen) Kehutanan pernah mengeluarkan angka kerusakan 2,8 juta ha per tahun para periode 2000-20063. Dampak kehilangan keanekaragaman hayati, sumber-sumber air, sumber oksigen, pengatur iklim mikro dan kehilangan lainnya, sangat mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat adat di seluruh Indonesia.

Tahun 2009, komitmen Kementerian Kehutanan dalam pencapaian MDG's telah menargetkan luas kawasan hutan yang dikelola masyarakat akan mencapai 2,1 juta hektare pada tahun 2015, dengan target 400 ribu hektare setiap tahun yang dikelola melalui skema hutan kemasyarakatan, hutan desa, dan hutan tanaman rakyat. Hanya saja masih sulit mengetahui perkembangan realisasi progam ini karena minimnya data resmi berapa total luas hutan yang telah dikelola masyarakat dan beraktifitas dengan baik.

Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Komunitas Masyarakat Adat di Indonesia
Perubahan iklim global secara langsung telah mempengaruhi iklim mikro, yang selama ini merupakan acuan bagi masyarakat adat untuk merencanakan suatu kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup.

Dampak nyata dari perubahan iklim ini sangat terasa ketika masyarakat adat sedang menghadapi musim tanam maupun musim panen. Ketidakpastian kalender musim dikarenakan adanya pergeseran waktu, telah menyebabkan terjadinya gagal panen di komunitas-komunitas adat. Produktivitas pertanian juga akan mengalami penurunan bila terjadi kenaikan suhu rata-rata global antara 1-2 derajat Celcius, sehingga meningkatkan resiko bencana kelaparan.

Dampak lain yang akan ditimbulkan oleh perubahaan iklim global adalah meningkatnya frekuensi kekeringan dan banjir. Sebagai kelompok masyarakat yang tergantung langsung kepada kualitas dan kuantitas sumberdaya alam, maka masyarakat adat adalah kelompok-kelompok yang paling rentan akibat terjadinya perubahan iklim dan pemanasan global.

Masyarakat Adat di Indonesia Merupakan Solusi terhadap Program Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim
Hutan adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan komunitas masyarakat adat sebagai penghuninya. Masyarakat adat memandang bahwa manusia adalah bagian dari alam yang harus saling memelihara dan menjaga keseimbangan dan harmoni di antara keduanya. Untuk menjaga keharmonisan tersebut, masyarakat adat mengembangkan konsep kepemilikan (property rights) secara komunal dan bersifat eksklusif atas suatu kawasan hutan adat.

Faktor-faktor penting lainnya antara lain:
a. Masyarakat adat memiliki motivasi yang kuat dan mendapatkan insentif yang paling bernilai untuk melindungi sumber daya alam, dibandingkan pihak-pihak lain karena menyangkut keberlanjutan hidup mereka.
b. Masyarakat adat memiliki pengetahuan asli bagaimana memelihara dan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di dalam habitat mereka.
c. Masyarakat adat memiliki hukum adat yang umumnya juga mengatur tentang pengelolaan sumberdaya alam.
d. Masyarakat adat memiliki kelembagaan adat yang mengatur interaksi harmonis antara mereka dengan ekosistemnya.
e. Sebagian dari masyarakat adat sudah memiliki organisasi dan jaringan kerja untuk membangun solidaritas di antara komunitas-komunitas masyarakat adat, dan juga mengorganisasikan dukungan politis dan teknis dari pihak-pihak luar.
f. Masyarakat adat dilindungi UUD 1945 dan diatur dalam beberapa instrumen internasional yang mengharuskan negara mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak tradisional.

Posisi Masyarakat Adat di Indonesia Berkaitan dengan Program Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim
Sikap komunitas-komunitas adat yang tergabung di dalam AMAN berkaitan dengan program pengurangan emisi dari sektor kehutanan khususnya Program REDD+, antara lain tergambar melalui slogan No Rights No REDD. Sebagai representasi dari 1.163 komunitas masyarakat adat di Indonesia, maka AMAN menyampaikan pernyataan resmi tentang prasyarat yang dibutuhkan masyarakat adat untuk berperan secara efektif dalam konteks adaptasi dan mitigasi mengatasi dampak perubahan iklim atau dalam mendukung REDD+, yaitu:
· Kepastian hak kepemilikan dan pengelolan wilayah adat · Dukungan terhadap pengetahuan dan kearifan tradisional sebagai alternatif solusi mitigasi dan adaptasi
· Kapasitas organisasi masyarakat adat yang kuat dan komunitas yang solid Masyarakat adat sudah melaksanakan REDD+ dalam skala komunitas, jauh sebelum Republik Indonesia terbentuk tahun 1945. Artinya, sebelum ada konvensi, peraturan, dan izin-izin yang diberikan pemerintah kepada para pengusaha di sektor kehutanan, kelompok masyarakat adat ini telah lebih dulu melaksanakan program REDD+ meski dalam skala kecil, dengan cara melestarikan hutan tempat mereka tinggal. Salah satu bukti nyata, masyarakat adat Sui Utik, di Kabupaten Kapuas Hulu, mendapatkan pengakuan nasional dan internasional karena menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan hutan berkelanjutan.

Sumber: Overlay tutupan hutan (interprestasi Citra ETM7+) dengan peta wilayah adat, FWI, 2011
Catatan: Warna merah adalah hutan yang terdeforestasi, dominan berada di luar wilayah adat

Justru konsensi dan izin-izin pengelolaan hutan skala besar (izin usaha pengelolaan hasil hutan kayu) itulah yang berkontribusi merusak sistem dan mengganggu REDD di wilayah adat. Dalam hal ini, dibutuhkan komitmen pemerintah untuk merevisi UU No. 41 tahun 1999 yang sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), dan harus mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat atas hutan adat.

Termasuk melakukan revisi terhadap Permenhut No. 30 Tahun 2009 tentang Implementasi REDD karena tidak memberikan hak penuh kepada masyarakat adat untuk berpartisipasi dalam penyelamatan hutan. 

Kemudian insiatif yang mendukung pengelolaan hutan berbasis masyarakat secara berkelanjutan (sustainable community based forest management), termasuk pada wilayah kelola masyarakat adat atau sustainable community logging, menjadi salah satu elemen penting dalam skema REDD+. Sementara ini CCBS (Community Climate & Biodiversity Standard) yang digunakan sebagai standar minimum untuk mekanisme distribusi pendapatan dan perdagangan, walaupun akan terus dikaji keefektifan dan kontribusinya terhadap masyarakat adat. Fakta membuktikan bahwa banyak wilayah hutan adat yang telah diambil untuk kepentingan kegiatan eksploitasi skala besar ternyata cenderung meningkatkan pelepasan emisi ke atmosfer. Pelindungan atas wilayah kelola masyarakat adat beserta sumberdaya hayati yang terkandung didalamnya adalah solusi untuk mereduksi konsentrasi gas rumah kaca, dengan sebuah aksi nyata di tingkat komunitas.

Masalah-Masalah Masyarakat Adat yang Harus Segera dipecahkan untuk Memungkinkan Masyarakat Adat Berpartisipasi Lebih Baik dalam Program Adaptasi dan Mitigasi Terhadap Perubahan Iklim

Masalah-Masalah Masyarakat Adat yang Harus Segera dipecahkan diantaranya :
· Pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat, yang diinternalisasikan dalam berbagai perundang-undangan terkait dan peraturan turunannya.
· Harmonisasi peraturan dan koordinasi di antara lembaga-lembaga dan pejabat pemerintah, khususnya di dalam kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
· Kepastian hak-hak masyarakat adat atas free, prior, informed and consent (FPIC).
· Penyiapan masyarakat adat melalui peningkatan pengetahuan tentang REDD (+) dan perubahan iklim serta pemahaman hak atas FPIC dan UNDRIP.
· Adanya program-program pendukung sebagai bentuk pengakuan dan perlindungan eksistensi mayarakat adat, antara lain pendataan komunitas dan wilayah adat, pengakuan dan perlindungan atas model-model pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat adat, dan pembuatan mekanisme penyelesaian konflik tenurial yang terjadi di wilayah dan hutan adat
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson