Pengertian Dan Penjelasan Globalisasi

Pengertian Dan Penjelasan Globalisasi 
Kata ‘globalisasi’ makin lama makin menjadi sajian sehari-hari melalui berbagai pemyataan publik dan liputan media massa; dan kalau semuanya itu kita perhatikan secara saksama, maka akan ternyata betapa kata ‘globalisasi’ itu cenderung dilontarkan tanpa terlalu dihiraukan apa maknanya. Pernyataan seperti “dalam era globalisasi dewasa mi” berarti bahwa kita telah berada dalam era globalisasi; lain lagi halnya kandungan pernyataan “menjelang era globalisasi” yang berarti kita belum berada dalam era tersebut. Kelatahan dalam penggunaan kata ‘globalisasi’ sedemikian itu akhimya mengesankan kesembarangan arti kata globalisasi, dan makin mengaburkan implikasi dan komplikasi makna yang terkandung di dalamnya. (Sudarmajid, 2003 : 23).

Menurut Aditya (2004 : 11) globalisasi pada hakikatnya adalah proses yang ditimbulkan oleh sesuatu kegiatan atau prakarsa yang dampaknya bekelanjutan melampaui batas­batas kebangsaan (nation-hood) dan kenegaraan (state-hood); dan mengingat bahwa jagad kemanusiaan ditandai oleh pluralisme budaya, maka globalisasi sebagai proses juga menggejala sebagai peristiwa yang melanda dunia secara lintas-budaya (trans-cultural). Dalam gerak lintas-budaya mi terjadi berbagai pertemuan antar-budaya (cultural encounters) yang sekaligus mewujudkan proses saling-pengaruh antar-budaya, dengan kemungkinan satu fihak lebih besar pengaruhnya ketimbang fihak lainnya. Pertemuan antar-budaya memang menggej ala sebagai keterbukaan (exposure) fihak yang satu terhadap lainnya; namun pengaruh-mempengaruhi dalarn pertemuan antar-budaya itu tidak selalu berlangsung sebagai proses dua-arah atau timbal-balik yang berimbang, melainkan bolehjadi juga terjadi sebagai proses imposisi budaya yang satu terhadap lainnya; yaitu, terpaan budaya yang satu berpengaruh dominan terhadap budaya lainnya.

Apakah yang kita maksudkan dengan ‘budaya’ atau ‘kebudayaan’ itu? Untuk memberikan jawaban atas pertanyaan mi banyak cara dapat ditempuh. Kita dapat mencari jawaban berdasarkan etimologi; cara mi mungkin menarik secara akademik namun mungkin terlalu steril untuk diturunkan sebagai medium analisis dalam terapan empirikal. Cara lain ialah memperbandingkan berbagai definisi yang dapat dipandang terkemuka dalam literatur; cara mi akan membutuhkan uraian panjang lebar karena biasanya perlu diperjelas dengan tafsiran konseptual dan kontekstual. Mungkin juga kita lakukan pendekatan komparatif antara suatu teori dengan lainnya; cara mi jelas dapat memperkaya wawasan kita tentang kebudayaan, tapi keunggulan suatu teori berkenaan dengan sesuatu gej ala budaya tidak selalu bearti keunggulan teori itu secara menyeluruh; tiap teori bisa saja memiliki keunggulan dalam satu dan lain hal, sehingga konvergensi antar-teori mungkin saja digunakan dalam usaha memahami berbagai manifestasi budaya.

Kalau kita sarikan muatan berbagai definisi yang terkemuka, maka tidak terlalu keliru kiranya kalau kita mengartikan kebudayaan sebagai sehimpunan nilai-nilai yang oleh masyarakat pendukungnya dijadikan acuan bagi perilaku warganya. Nilai-nilai itu juga berpengaruh sebagai kerangka untuk membentuk pandangan hidup yang kemudian relatif menetap dan tampil melalui pilihan warga budaya itu untuk menentukan sikapnya terhadap berbagai gejala dan peristiwa kehidupan. Nilai-nilai itu pada sendirinya barn merupakan acuan dasar yang keberlakuannya disadarkan melalui ikhtiar pendidikan sejak dini, seperti misalnya usaha pengenalan dan penyadaran tentang apa yang ‘baik’, ‘buruk’, ‘dosa’, ‘indah’, dsb dalam tindak-tanduk seseorang. Sebagai sumber acuan, persepi terhadap nilai-nilai itu masih besifat umum; batas antara apa yang dinilai sebagai kebajikan (good) atau kejahatan (evil) berlaku dalam garis besar yang memisahkan satu dan lainnya; belum lagi antara keduanya diperbedakan dalam perbandingan ‘seberapa balk’ atau ‘seberapa buruk’ dipandang dan tolokukur tertentu; tolokukur itu baru menjelma melalui norma-norma sebagai pengatur kepantasan perllaku. Norma (nomos) adalah tolokukur yang memungkinkan terjadinya konformisme perilaku dalam sesuatu masyarakat, dan dengan demikian tersedia pula ukuran untuk non­konformisme. Adanya tolokukur normatif mi menjadi dasar bagm berkembangnya peradaban (civilization) sebagai bagian dan dinamika budaya tertentu.

Dan uraian di atas mi dapat disimpulkan, bahwa kebudayaan adalah kerangka acuan perilaku bagi masyarakat pendukungnya berupa nilai-nilai (kebenaran, keindahan, keadilan, kemanusiaan, kebajikan, dsb), sedangkan peradaban adalah penjabaran nilai-nilai tersebut melalui diwujudkannya norma-norma yang selanjutnya dijadikan tolokukur bagi kepantasan perilaku warga masyarakat ybs. Nilai keadilan diwujudkan melalui hukum dan sistem peradilan; nilai keindahan dijabarkan melalui berbagai norma artistik, nilai kesusllaan dinyatakan melalui berbagai tatakrama, nilai religius diungkapkan melalui berbagai norma agama, dan begitu seterusnya. Singkatnya, penjabaran nilai kebudayaan menjadi norma peradaban dapat dipandang sebagai pengalihan dan sesuatu yang transenden menjadi sesuatu yang immanen. Terjalinnya kesadaran transendensi dan immanensi inilah yang menjadikan dinamika sejarah kemanusiaan sebagai kaleidoskop perkembangan kebudayaan dan peradaban.

Pasang-surutnya kebudayaan sepanjang sejarah kemanusiaan nyata sekali ditentukan oleh sejaubmana kebudayaan itu masih berlanjut sebagai kerangka acuan untuk dijabarkan melalui sesuatu tatanan normatif. Misalnya, kebudayaan Pharaonic yang benlaku dalam masyarakat Mesir kuno surut seiring dengan klan memudarnya kebudayaan itu sebagai sumber acuan untuk penjabaran norma-norma perilaku bagi masyarakat Mesir sekarang. Tapi juga dalam era kontemporer mi suatu kebudayaan sebagai sistem nilai dapat dengan suatu rekayasa didesak oleh sistem nilai barn, sehingga kebudayaan yang lama kehilangan dayanya sebagai acuan untuk menjabarkan norma-norma perllaku. Perhatikan misalnya “Revolusi Kebudayaan” yang secara berencana dilancarkan di Republik Rakyat Cina pada pertengahan tahun 6Oan; perubahan serupa pun teijadi tatkala Partai Komunis Rusia berhasil menggulingkan kekaisaran di Rusia dan memperkenalkan nilai-nllai barn sebagai acuan bagi norma perllaku barn yang ideal bagi suatu masyarakat komunis. Perhatikan pula perubahan yang terjadi di Turki, ketika Kemal Attaturk melancarkan gerakan modernisasi (yang diartikan sebagai ‘westemisasi’). Kesemuanya mi sekaligus menunjukkan bahwa kebudayaan adalah suatu pengejawantahan yang hidup selama ada masyarakat pendukungnya; hal mi berlaku balk bagi kebudayaan yang surut oleh perubahan zaman maupun yang kehadirannya dipaksakan untuk mendesak kebudayaan lama.(Kariadi, 2002)

Dalam sejarah kemanusiaan banyak contoh yang menunjukkan, bahwa timbul-tenggelamnya kebudayaan sangat dipengaruhi oleh apa yang tenjadi dalam pertemuan antarbudaya, yaitu sejauh mana satu di antara fihak yang saling bertemu kurang atau tidak lagi memiliki ketahanan budaya (cultural resilience). Kebudayaan adalah suatu daya yang sekaligus tersimpan (latent) dan nyata (actual). Demikianlah kebudayaan mengandung dua daya sekaligus, yaitu sebagai daya yang cenderung melestanikan dan daya yang cenderung berkembang atas kemekarannya sendiri. Antara kedua daya inilah tiap masyarakat pendukung kebudayaan tertentu berada; satu daya mempertahankannya agar lestani dan daya lainnya menariknya untuk maju; satu daya dengan kecenderungan preservatif dan satunya lagi dengan kecenderungan progresif. 

Dalam kondisi demikian itulah pertemuan antar­budaya sangat berpengaruh atas perimbangan antara kedua daya tersebut. Sampai batas tertentu dan saling-pengaruh yang terjadi itu dapat terpantul seberapa tinggi derajat kesadaran dan tingkat ketahanan budaya masing-masing fihak yang saling bertemu. Tangguh atau rapuhnya ketahanan budaya biasanya dilatani oleh menurunnya kesadaran masyarakat yang bersangkutan terhadap kebudayaannya sebagai pengukuh jatidirinya. Makin rendah derajat ketahanan budaya masyarakat pendukungnya, makin kuat pula budaya asing yang menerpanya berpengaruh dominan terhadap masyarakat itu.

Proses globalisasi yang diakibatkan oleh berbagai prakarsa dan kegiatan pada skala internasional sebagaimana menggej ala dewasa mi pun penlu kita cermati sejauhmana siginifikan pengaruhnya dalam pertemuan antar-budaya. Dalam kaitan mi pertemuan antar-budayajangan terutama digambarkan sebagai pertemuan antara dua fihak belaka, melainkan terjadi dengan ketenlibatan sejumlah fihak secara segera (instantaneous) serta serempak (simultaneous). Kesanggupan sesuatu satuan budaya untuk mempertahankan kesejatiannya dalam pertemuan antar-budaya yang demikian majemuknya itu sangat ditentukan oleh tinggi-rendahnya derajat kesadaran budaya dan tanguh­rapuhnya tingkat ketahanan budaya masyarakat pendukungnya. Budaya asing yang berpengarnh dominan terhadap satuan budaya asli bisa membangkitkan kesan sebagai ‘model’ untuk ditiru. Kecenderungan meniru itu dalam kelanjutannya bisa terpantul melalui berkembangnya gayahidup (ljfestyle) barn yang dianggap superior dibandingkan dengan gayahidup lama. Berkembangnya gayaliidup baru itu dapat menimbulkan kondisi sosial yang ditandai oleh heteronomi, yaitu berlakunya herbagai norma acuan penilaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Perubahan gayahidup yang ditiru dan budaya asing bisa berkelanjutan dengan timbulnya gejala keterasingan dan kebudayaan sendiri (cultural alienation).(Ekawati, 2003)

Karena perhatian akan kita pusatkan pada persoalan pertemuan antar­budaya dalam era globalisasi, maka ada baiknya kita bahas dahulu hal-ihwal yang berkenaan dengan globalisasi sebagai proses maupun globalisme sebagai carapandang yang dewasa mi cenderung dianut dalam tata-pergaulan intemasional. Sebagai proses, globalisasi benlangsung melalui dua dimensi dalam interaksi antarbangsa, yaitu dimensi ruang (space) dan waktu (time). Ruang/jarak makin diperdekat dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi pada skala mondial. Seantero jagad seolah-olah tertangkap dalam satu janingan besar tanpa adanya suatu pusat tunggal. Kendatipun dalam periode Perang Dingin kondisi bipolar seakan-akan membelah-dua dunia mi dengan pengendalian dan dua pusat kekuatan dunia yang saling bertentangan, usainya Perang Dingin tidak menjadikan dunia kita monosentnik. Justru plunisentrisme dan multipolaritas menjadi cmi dunia menjelang akhir abad ke-20 dan memasuki abad ke-2 1. Tidak ada kekuatan tunggal yang mutlak dan sanggup mengabaikan -apalagi mengungguli- kondisi global yang plurisentnik dan multipolar dalam era kontemporer. Dalam kondisi demikian itulah globalisme menjadi cara pandang dalam interaksi antarbangsa, dan hal ml pada gllirannya mendorong berlangsungnya proses globalisasi yang terus berkembang atas kemekarannya sendiri.

Dalam perkembangan sedemikian itu dirasakan makin dipenlukannya suatu tatanan dunia baru yang perwujudannya memperhatikan plurisentrisme dan multipolanitas sebagai kenyataan global masakini. Tatanan itu tentu menuntut dirancangnya berbagai sistem dan pelembagaan yang hams diwujudkan sebagai konsekuensinya. Rancangan demikian itu tentunya hams dapat ditenima oleh majonitas eksponen yang ambilbagian dalam janingan global yang plunisentrik dan multipolar. Ditenimanya suatu tatanan global barn mestinya dapat diandalkan pada tergalangnya konsensus maksimal di antara segenap eksponen yang berperan dalam janingan itu. Dewasa mi sistem dan pelembagaan termaksud tenutama nyata perkembangannya dalam bidang ekonomi dan perdagangan internasional; globalisasi dalam bidang ml sudah dijangkau oleh sistem dan pelembagaan yang makin dijadikan acuan dalam hubungan internasional. 

Dalam bidang mi tampaknya tiada altematif lain bagi kita kecuali turut berperan di dalamnya, suka-tak-suka; sedang kesiapan untuk ambilbagian dalam tatanan barn itu merupakan imperatif yang sukar dielakkan, mau-tak-mau.

Dalam naskah mi perhatian kita pusatkan pada penjelmaan globalisme dalam bidang yang jelas berdampak terhadap wawasan budaya kita, yaitu bidang informasi dan komunikasi yang sangat tertunjang oleh pesatnya laju perkembangan teknologi yang semakin canggih. Dalam bidang inilah terjadi pemadatan dimensi rnang dan waktu (yang disebut Harvey ‘time-space compression’); jarak makin diperdekat dan waktu makin dipersingkat. Dalam bidang informasi, maka terjadilah banjir deras informasi (information glut) yang menghujani kita dan nyanis tak lagi terkendali; dan sebagaimana terjadi dengan setiap banj in, maka dalam hal mi pun terbawa limbah yang samasekali tidak berguna; maka betapa pun paradoksal kedengarannya, banjir informasi melalui sistem dan pelembagaan yang didukung oleh teknologi canggih tidak dengan sendirinya mempenkaya wawasan kita, melainkan bisa juga mencemani kita secara mental. Maka tidaklah mengherankan kalau banjir informasi itu akhirya juga bisa benpengaruh terhadap carapandang maupun gayahidup kita; dan inilah awal dan suatu proses yang akhimya bisa bermuara pada pernbahan sikap mental dan kultural.

Teknologi informasi dan komunikasi dalam era globalisasi mi merupakan pendukung utama bagi tenselenggaranya pertemuan antarbudaya. Dengan dukungan teknologi modem infonmasi dalam berbagai bentuk dan untuk benbagai kepentingan dapat disebarluaskan begitu rnpa, sehingga dengan mudah dapat mempengaruhi carapandang dan gayahidup kita. Kesegeraan dan keserampakan anus informasi yang dengan derasnya menerpa kita seolah-olah tidak membenikan kesempatan pada kita untuk menyerapnya dengan filter mental dan sikap knitis. Perlu dicatat, bahwa dalam pertemuan antar-budaya mengalirnya anus informasi itu tidak senantiasa terjadi secara dua-arah; dominasi cendernng terjadi dan fihak yang memiliki dukungan teknologi lebih maju terhadap fihak yang lebih terbelakang. Makin canggih dukungan tersebut makin besar pula anus informasi dapat dialirkan dengan jangkauan dan dampak global. Kalau dewasa ml dianut asas ‘kebebasan arns informasi’ (free flow of information), maka yang sesungguhnya terjadi bukanlah ‘pertukanan informasi’ (exchange of information) berupa proses dua-arah yang cukup bermmbang, melainkan dominasi anus informasi dan fihak yang didukung oleh kesanggupan merentangkan sistem informasi dengan jangkauan global. Dengan jangkaun sedemikian itu, maka fmhak yang lebih unggul dalam menguasai teknologi informasi dan komunikasi niscaya lebih berkesanggupan untuk membiaskan pengaruhnya secara global. (Ridwansyh, 2001)

Gejala tersebut nyata berpengaruh atas terbentuknya sikap mental dan kultural pada fihak yang diterpa (expose) oleh fihak yang menerpanya (impose) dengan anus informasi. Maka tidak mustahil kemajuan masyarakat yang diterpa cenderung diukur secara memperbandingkan dengan hal-ihwal yang dipenkenalkafl melalui informasi dan fihak yang menerpa. Kecenderungan mi adakalanya dianggap sebagai bagian dan upaya ‘modemisasi’, dan ditenima dengan alasan ‘mengikuti kecenderungafl global’. Sikap yang naif mi antara lain juga ditandai oleh kecenderungan glonifikasi terhadap fihak yang diunggulkan sebagai sumber informasi global dan tampil sebagai penentu kecendeningafl (trend-setter) dalam pembentukan sikap mental dan kultural serta gaya hidup barn.

Contoh Proposal Analisis Faktor Pendukung Pemanfaatan Globalisasi Teknologi Informasi Dalam Pengembangan Kebudayaan

Contoh Proposal Analisis Faktor Pendukung Pemanfaatan Globalisasi Teknologi Informasi Dalam Pengembangan Kebudayaan 
Kehadiran globalisasi membawa pengaruh bagi kehidupan suatu bangsa. Pengaruh globalisasi dirasakan di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain-lain yang akan mempengaruhi nilai-nilai nasionalisme bangsa.

Secara umum globalisasi dapat dikatakan suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah. Menurut Edison A. Jamli (Edison A. Jamli dkk, Kewarganegaraan, 2005), globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa- bangsa di seluruh dunia. Dengan kata lain proses globalisasi akan berdampak melampaui batas-batas kebangsaan dan kenegaraan.
Sebagai sebuah proses, globalisasi berlangsung melalui dua dimensi, dalam interaksi antar bangsa, yaitu dimensi ruang dan dimensi waktu. Dimensi ruang yang dapat diartikan jarak semakin dekat atau dipersempit sedangkan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi pada skala dunia. Hal ini tentunya tidak terlepas dari dukungan pesatnya laju perkembangan teknologi yang semakin canggih khususnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) adalah pendukung utama bagi terselenggaranya globalisasi. Dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi, informasi dalam bentuk apapun dan untuk berbagai kepentingan, dapat disebarluaskan dengan mudah sehingga dapat dengan cepat mempengaruhi cara pandang dan gaya hidup hingga budaya suatu bangsa. Kecepatan arus informasi yang dengan cepat membanjiri kita seolah-olah tidak memberikan kesempatan kepada kita untuk menyerapnya dengan filter mental dan sikap kritis. Makin canggih dukungan teknologi tersebut, makin besar pula arus informasi dapat dialirkan dengan jangkauan dan dampak global. Oleh karena itu selama ini dikenal asas “kebebasan arus informasi” berupa proses dua arah yang cukup berimbang yang dapat saling memberikan pengaruh satu sama lain.
Namun perlu diingat, pengaruh globalisasi dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh positif yang dapat dirasakan dengan adanya TIK adalah peningkatan kecepatan, ketepatan, akurasi dan kemudahan yang memberikan efisiensi dalam berbagai bidang khususnya dalam masalah waktu, tenaga dan biaya. Sebagai contoh manifestasi TIK yang mudah dilihat di sekitar kita adalah pengiriman surat hanya memerlukan waktu singkat, karena kehadiran surat elektronis (email), ketelitian hasil perhitungan dapat ditingkatkan dengan adanya komputasi numeris, pengelolaan data dalam jumlah besar juga bisa dilakukan dengan mudah yaitu dengan basis data (database), dan masih banyak lagi.
Sedangkan pengaruh negatif yang bisa muncul karena adanya TIK, misalnya dari globalisasi aspek ekonomi, terbukanya pasar bebas memungkinkan produk luar negeri masuk dengan mudahnya. Dengan banyaknya produk luar negeri dan ditambahnya harga yang relatif lebih murah dapat mengurangi rasa kecintaan masyarakat terhadap produk dalam negeri. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.
Pada hakikatnya teknologi diciptakan, sejak dulu hingga sekarang ditujukan untuk membantu dan memberikan kemudahan dalam berbagai aspek kehidupan, baik pada saat manusia bekerja, berkomunikasi, bahkan untuk mengatasi berbagai persoalan pelik yang timbul di masyarakat. TIK tidak hanya membantu dan mempermudah manusia tetapi juga menawarkan cara-cara baru di dalam melakukan aktivitas-aktivitas tersebut sehingga dapat mempengaruhi budaya masyarakat yang sudah tertanam sebelumnya.
Budaya atau kebudayaan adalah kerangka acuan perilaku bagi masyarakat pendukungnya yang berupa nilai-nilai (kebenaran, keindahan, keadilan, kemanusiaan, kebijaksanaan, dll ) yang berpengaruh sebagai kerangka untuk membentuk pandangan hidup manusia yang relatif menetap dan dapat dilihat dari pilihan warga budaya itu untuk menentukan sikapnya terhadap berbagai gejala dan peristiwa kehidupan.
Jadi bagaimana TIK dapat mempengaruhi nilai-nilai yang telah tumbuh di masyarakat dalam suatu bangsa itu sangat tergantung dari sikap masyarakat tersebut. Seyogyanya, masyarakat harus selektif dan bersikap kritis terhadap TIK yang berkembang sangat pesat, sehingga semua manfaat positif yang terkandung di dalam TIK mampu dimanifestasikan agar mampu membantu dan mempermudah kehidupan masyarakat, dan efek negatif dapat lebih diminimalkan. 
Demikian halnya perkembangan kebudayaan di Kota Makassar juga ikut berpengaruh terhadap perkembangan globalisasi Teknologi Informasi. Pemanfaatan Teknologi Informasi untuk memberikan data dan informasi tentang perkembangan kebudayaan di Kota Makssar.
Seperti kita ketahui budaya masyarakat Kota Makassar begitu beragam dan perlu dilestarikan sehingga dapat tetap bertahan dan memberikan devisa bagi Kota Makassar khususnya. Untuk memberikan data dan informasi tersebut, maka perlunya ditunjang oleh beberapa faktor dalam mendukung perkembangan kebudayaan di Kota Makassar. Faktor-faktor tersebut seperti kemampuan pemerintah dan masyarakat dalam mendukung dan memahami Teknologi Informasi yang digunakan, sarana atau fasilitas yang digunakan dalam mendukung pemanfaatan Teknologi Informasi tersebut, dan sikap dan perilaku masyarakat terhadap pemanfaatan Teknologi Informasi dalam mendukung perkembangan kebudayaan di Kota Makassar.
Namun permasalahan yang muncul adalah pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi terhada perkembangan budaya Makassar belum terlaksana secara optimal sehingga memerlukan peran serta pemerintah dan masyarakat memanfaatkan globalisasi Teknologi Informasi tersebut.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimanaka faktor pendukung pemanfaatan globalisasi Teknologi Informasi terhadap perkembangan kebudayaan di Kota Makassar ?

Tujuan Penulisan 
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui sejauhmana faktor pendukung pemanfaatan globalisasi Teknologi Informasi terhadap perkembangan kebudayaan di Kota Makassar

Metode Penelitian 
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode survey yang lebih menekankan pada jenis penelitian deksriptif kuantitatif dimana metode ini sangat relevan dengan topik yang akan diteliti, juga sangat membantu untuk mendapatkan data yang obyektif dan valid dalam rangka memahami, memecahkan, serta mengupayakan pemecahan masalah tentang analisis faktor pendukung pemanfaatan globalisasi teknologi informasi terhadap perkembangan kebudayaan di Kota Makassar. Pada penelitian ini yang menjadi populasi adalah masyarakat dan mereka yang memahami tentang pemanfaatan Teknologi Informasi dalam mendukung perkembangan kebudayaan di Kota Makassar. Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiono, 2001 : 57). Oleh karena itu sampel dalam penelitian ini adalah masyarakat yang memahami pemanfaatan Teknologi Informasi dalam mendukung perkembangan kebudayaan di Kota Makassar.

Teknik penarikan sampel yang digunakan adalah teknik aksidental. Teknik aksidental ini adalah mereka yang ditemui dan memahami pemanfaatan globalisasi Teknologi Informasi terhadap perkembangan kebudayaan di Kota Makassar yang dapat diberikan pertanyaan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Wawancara. dari sejumlah informan akan bermanfaat guna mewujudkan validitas data secara keseluruhan, yang dapat ditempuh dengan cara membandingkan data dari responden dengan informan yang . Selanjutnya dengan kuesioner guna mendapatkan data yang akurat dan obyektif terhadap permasalahan yang diteliti, didapat dari responden.

Data mentah yang terkumpul dari hasil jawaban responden maupun yang  didapat  dari  hasil  wawancara,  telaah  dokumen  serta   observasi  akan diolah dengan menggunakan sistem tabulasi data dengan memakai analisis frekuensi. Dengan rumus sebagai berikut :

               F
P = --------------------- x 100 %
      N
Keterangan :
P            = Persentase
F            = Jawaban responden
N= Jumlah responden

Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan diolah dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kuantitatif yang dikualitatifkan, maksudnya data yang ada diangkakan kemudian dideskripsikan.

Telepon Seluler Dan Efektivitas Komunikasi Masyarakat Pedesaan

Telepon Seluler Dan Efektivitas Komunikasi Masyarakat Pedesaan 
Kemajuan dan rambahan  teknologi komunikasi berupa telepon seluler (telepon seluler) yang semakin pesat dan maju tidak dapat kita hindari. Tidak ada khalayak yang secara tegas menolak hadirnya teknologi yang banyak diminati oleh berbagai kalangan tersebut. Secara tidak langsung memang teknologi komunikasi membawa berbagai keuntungan bagi mereka penggunanya. Perkembangan jenis telepon seluler semakin hari semakin meningkat. Mulai dari fasilitas yang disediakan sampai bentuknya. Perkembangan pesat dalam dunia sistem komunikasi kita tentunya akan mengubah pola komunikasi yang terjadi di masyarakat selama ini.

Sebelumnya nyaris sistem komunikasi yang berkembang di Indonesia masih memakai peralatan sederhana (media tradisional maupun tatap muka). Akan tetapi delapan tahun terakhir, Indonesia diramaikan dengan pola komunikasi melalui telepon seluler atau biasa disebut dengan HandPhone (HP). Bagi orang komunikasi, menyebutnya dengan komunikasi seluler.

Melihat data perkembangan pengguna telepon seluler di Indonesia terus berkembang pesat dari tahun ke tahun, sebagai berikut:

Data Perkembangan Pengguna Telepon seluler Di Indonesia
Sumber : http://data.un.org/  diakases tgl 12/5/08
Dan hingga sampai tahun 2007 telah terdapat 85 juta pelanggan telepon seluler dan sementara hanya 10 juta pelanggan telepon tetap (fixed) di Indonesia (http://www.pintunet.com/lihat_opini.php?pg= 2007/10/27102007/65568  - diakses tgl 11/4/08). 


Kepintaran, kecanggihan dan fasilitas yang dimiliki oleh teknologi komunikasi menjadi tolok ukur seberapa besar fungsi dan kebutuhan dari teknologi komunikasi itu bagi penggunanya tanpa memikirkan dampak yang akan timbul dari pemakaian teknologi tersebut. Secara nyata jelas terlihat bahwa teknologi komunikasi memberikan keuntungan yang sangat besar bagi penggunanya terutama dalam hal berkomunikasi (komunikasi tidak lagi rumit seperti dulu). Teknologi telekomunikasi  membuat dunia semakin dekat dan menyatu karena waktu dan jarak semakin pendek, pergerakan informasi berjalan dengan cepat dan menyebar sesuai dengan tujuan tergantung siapa yang membutuhkan. 

Dari pra-riset yang dilakukan peneliti (19-22 Februari 2008) di Desa Pertumbukan, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat diperoleh gambaran tentang pola penggunaan telepon seluler oleh masyarakat desa tersebut yakni, secara umum memberikan kontribusi yang baik dalam kecepatan mendapatkan informasi. Namun kalau diperhatikan secara seksama pola penggunaan telepon seluler berdasarkan motif jelas berbeda dari aspek sosiodemografis masyarakat. Ada yang menggunakan untuk kelancaran usaha/niaga hasil-hasil bumi atau pertanian,  silaturahmi dengan keluarga atau teman, sebagai hiburan dan lain sebagainya. Namun dengan  memiliki telepon seluler juga telah menambah biaya pengeluaran bagi setiap keluarga terutama untuk pembelian pulsa, hal ini masyarakat menjadi konsumtif . Belum lagi berkembangnya model telepon seluler dari berbagai merek dagang yang semakin canggih dan terus bergulir yang menggoda konsumen melalui iklan dengan mengkaitkan terhadap gaya hidup tertentu. Bagaimana tentang pola penggunaan telepon seluler  dan sikap masyarakat desa, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian.

Permasalahan 
Dari fenomena yang terjadi pada masyarakat di atas maka untuk mencari informasi tersebut di rangkum dalam pertanyaan sebagai berikut :
Bagaimanakah penggunaan dan sikap masyarakat Desa Pertumbukan terhadap telepon seluler ?
Tujuan 
Untuk mengetahui bagaimana penggunaan telepon seluler dan sikap masyarakat Desa Pertumbukan.

Manfaat 
Secara praktis, hasil penelitian ini walau dalam cakupan wilayah penelitian yang kecil diharapkan dapat dijadikan masukan bagi pemerintah melalui Depkominfo untuk mengkaji stategi perkembangan TIK khususnya telepon seluler dalam hal tren penggunaannya.

Dan secara teoretis, Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran pada studi Ilmu Komunikasi dan untuk mengetahui perkembangan serta penerapan teori uses and gratification, dimana dalam penelitian ini berusaha untuk menggambarkan motif kebutuhan dalam penggunaan telepon seluler bagi masyarakat pedesaan. Dari penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan studi komunikasi serta mampu memperkaya varian, alternatif rujukan juga sebagai khasanah referensi dalam penelitian-penelitian tentang khalayak di masa mendatang terhadap pemanfaatan industri teknologi komunikasi dan informasi, terutama telepon seluler.

Penelitian Komunikasi Dan Pembangunan

Penelitian Komunikasi Dan Pembangunan 
Di era otonomi daerah saat ini, sistem Pemerintahan Daerah sudah berbeda dibandingkan dengan sistem pemerintah diera orde baru. Kalau diera orde baru, organisasi Pemerintah dan sistem informasinya ditentukan oleh pemerintah pusat, di era otonomi daerah ini pembentukan instansi pemerintah daerah termasuk sistem informasinya ditentukan oleh pemerintah daerah setempat. Oleh karena itu sistem informasi pada setiap daerah bisa berbeda sesuai dengan perkembangan yang terjadi / kebutuhan di daerah masing-masing. 

Pada awal otonomi daerah, Pemerintah di daerah bisa membentuk dinas, Badan dan Lembaga tehnis sesuai dengan kebutuhan daerah setempat. Adanya ketentuan ini membuat berbagai daerah membentuk dinas secara berlebihan untuk menampung sebanyak mungkin pejabat struktural. Ketentuan mengenai pembentukan dinas dan lembaga tehnis tersebut kemudian disusul Peraturan Baru yang memberikan batasan jumlah dinas yang boleh dibentuk di Pemerintah Daerah. Daerah yang sudah terlanjur membentuk dinas dan lembaga teknis daerah melebihi ketentuan akan segera menyesuaikan dengan ketentuan baru dalam pembentukan Dinas dan lembaga teknis. Adanya kebebasan Pemerintah daerah untuk membentuk dinas dan lembaga tehnis di daerah maka bisa terjadi adanya perbedaan nama lembaga/dinas yang menangani informasi. Bahkan penanganan informasi di suatu daerah cukup hanya dimasukkan dalam suatu seksi/bagian dari dinas dan setiap daeah menggunakan istilah yang berbeda seperti : Hubungan Masyarakat (Humas) Informasi Komunikasi (Infokom), BadanInformasi Komunikasi Telematika (BIKT). 

Dengan berbedanya dinas yang berkaitan dengan informasi, maka dimungkinkan terjadinya perbedaan sistem informasi pemerintahan antara satu daerah dengan daerah-daeah lain. Saat ini sistem inforasi di pemerintahan masih berkembang dan mencari model yang tepat untuk kelancaran pelaksanaan pembangunan yang sedang dilaksanakan. 

Adanya dua organisasi di Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah yang secara khusus menangani informasi yaitu Kantor Informasi dan Komunikasi Daerah dan Sub Bagian Hubungan Masyrakat. Kantor Informasi dan Komunikasi Daerah merupakan lembaga hasil peleburan Kantor Departemen Penerangan semasa orde baru sebelum otonomi daerah. Hampir seluruh karyawan Kantor Informasi dan Komunikasi Daerah adalah mantan pegawai Kantor Departemen Penerangan Kabupaten Aceh Tengah Perkantoran yang dipergunakan, sebelumnya juga pernah dipergunakan sebagai Kantor Departemen Penerangan Kabupaten Aceh Tengah Kepala Kantor Informasi dan Komunikasi berada pada eselon III. 

Sub Bagian Humas juga sudah ada sebelum era otonomi daerah. Struktur organisasinya berada di bagian Sekretariat Daerah. Sub Bagian Humas ini berada dibawah Bagian Humas, Pengolah Data Elektronik (PDE) dan Santel, yang berada dibawah Asisten Umum. Sebagai sub bagian di Sekretariat Daerah, Sub Bagian Humas hanya menempati satu ruangan di Kantor Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah Kepala Sub Bagian Humas berada pada eselon IV. 

Adanya dua lembaga yang menangani informasi ini merupakan salah satu unsur sistim informasi di Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah. Kedua lembaga itu bisa secara bersama-sama menjalankan tugasnya dalam diseminasi informasi pada masyarakat. 

Sistem informasi pemerintah ini mempunyai peran yang penting untuk mensukseskan pembangunan di suatu daerah. Sistem informasi yang baik, bisa menciptakan kesatuan gerak dan langkah antar lembaga/dinas untuk mencapai tujuan. Jika sistem informasi antar lembaga/dinas tidak berjalan baik maka dimungkinkan terjadinya tumpang tindih kegiatan, bahkan bisa terjadi kegiatan yang saling bertentangan. Sistem informasi yang baik memungkinkan program-program dan kegiatan yang dilakukan pemerintah bisa direspon oleh masyrakat sehingga bisa meningkatkan partisipasi masyarakat.

Permasalahan 
Berdasarkan latar belakang diatas, dirumuskan permasalahan penelitian yaitu bagaimana pelaksanaan sistem informasi di Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah. 

Tujuan dan Kegunaan 
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan sistem informasi di Kabupaten Aceh Tengah. Dengan diketahuinya pelaksanaan sistem informasi di daerah tersebut dapat menambah pengetahuan mengenai sistem informasi di Kabupaten Aceh Tengah. Hasil penelitian ini juga bisa dimanfaatkan sebagai pembanding sistem informasi di berbagai daerah yang memiliki sistem informasi yang berbeda.

Paradigma Pemikiran Islam

Paradigma Pemikiran Islam 
Iftitah
Sejarah pertumbuhan gerakan pembaruan Islam di Indonesia sudah berjalan hampir satu abad. Selama rentang waktu itu banyak terjadi perubahan, baik yang bersifat sosial, politik, ekonomi maupun perubahan sikap dan pandangan hidup umat Islam yang disebabkan oleh adanya perubahan-perubahan masa dan situasi politik yang penuh gejolak dan pergolakan.

Pola, sasaran dan unsur-unsur gerakan pembaruan tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan ini. Semangat dan kecenderungannya pun menjadi berbeda dilihat dari tingkat pemahaman terhadap corak perubahan yang terjadi, ruang lingkup dan batas-batas yang memungkinkan ditolelirnya perubahan dan pembaharuan. Karena itu, dalam makalah ini penulis mencoba membahas unsur-unsur gerakan pembaruan tersebut, lewat pemikiran Kuntowijoyo yang tertuang dalam beberapa karya dan tulisannya di berbagai tempat, terutama yang berkaitan dengan gagasan paradigma Islam dan transformasi sosialnya.

Setting Sosial  Pemikiran Kuntowijoyo   
Kuntowijoyo (selanjutnya disebut Kunto), pemikir yang dikenal sangat optimis akan masa depan Islam, dan  sosok yang oleh Fakhri Ali dan Bachtiar Efendy dimasukkan dalam kelompok sosialisme-demokrasi Islam disamping Dawam Raharjo dan Adi Sasono ini, lahir di Yogyakarta, 18 September 1943. Pemikiran keislamannya  ditempa dalam berbagai  aktivitas  sosial dan budaya. Ia pernah aktif di PII dan kelompok diskusi Limited Group. Selama menjadi mahasiswa dia banyak aktif dalam bidang kesenian dan kebudayaan sehingga dia lebih dikenal sebagai seorang sastrawan dan budayawan. Karya sastranya banyak  yang diterbitkan dan mendapat penghargaan. Interesnya yang sangat besar terhadap masalah sosial umat Islam juga dilatarbelakangi  oleh bidang keilmuan yang ditekuninya, yaitu ilmu sejarah. Dia menyelesaikan sarjananya di fakultas sastra jurusan sejarah UGM pada 1969. Gelar MA-nya diperoleh dari University of Connecticut, USA, sedang Ph.D dalam studi sejarah dari University of Columbia pada 1980 dengan disertasi berjudul: Social Change in Agrarian Society: Madura 1850-1940.

Selain hal di atas, ada dua hal penting yang melatar belakangi pemikirannya terutama dalam merumuskan gagasan-gagasannya tentang Islam. Pertama, perhatiannya yang sangat besar terhadap  pola pikir masyarakat yang  masih dibelenggu mitos-mitos dan kemudian berkembang  hanya sampai pada tingkat ideologi. Menurutnya, Islam yang masuk ke Indonesia telah mengalami agrarisasi. Peradaban Islam yang bersifat terbuka, global, kosmopolit dan merupakan mata-rantai penting  peradaban dunia telah mengalami penyempitan dan stagnasi dalam bentuk budaya-budaya lokal.

Untuk  itu dia melakukan  analisis-analisis historis dan kultural untuk melihat  perkembangan umat Islam di Indonesia. Kondisi seperti ini telah mendorongnya untuk melontarkan gagasan-gagasan transformasi sosial  melalui re-interpretasi nilai-nilai Islam, yang menurutnya sejak awal telah mendorong manusia berpikir secara rasional dan empiris.

Kedua, adanya respon terhadap tantangan masa depan yang cenderung mereduksi agama dan menekankan sekularisasi sebagai keharusan sejarah. Industrialisasi dan teknokratisasi akan melahirkan moralitas baru yang menekankan pada rasionalitas ekonomi, pencapaian perorangan dan kesamaan. Ini mendorongnya melontarkan gagasannya tentang paradigma Islam, terutama yang berkaitan dengan rumusan teori ilmu-ilmu sosial Islam.

Al-Qur’an  Sebagai Paradigma : Interpretasi Untuk Aksi
Uraian-uraian  tentang Islam di Indonesia yang disoroti oleh Kunto lewat pendekatan historis-sosiologis, sebenarnya ingin diarahkan pada suatu grand project, yaitu menjadikan al-Qur’an sebagai paradigma Islam. Paradigma ini dimaksudkan untuk membangun teori-teori sosial khas Islam yang disebutnya ilmu-ilmu sosial profetik. Paradigma ini dimaksudkan sebagai mode of thought, mode of inquiry, yang kemudian menghasilkan  mode of knowing. Dengan pengertian paradigmatik ini,  dari al-Qur’an dapat diharapkan  suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan memahami  realitas sebagaimana al-Quir’an memahaminya. Demikian lebih lanjut, Kunto menjelaskan:

Paradigma al-Qur’an berarti  suatu konstruksi pengetahuan. Konstruksi pengetahuan itu pada mulanya dibangun dengan tujuan agar kita memeiliki “hikmah” untuk membentuk perilaku yang sejalan dengan sistem Islam, termasuk sistem ilmu pengetahuannya. Jadi, disamping memberikan gambaran aksiologis, paradigma al-Qur’an juga dapat berfungsi untuk memberikan wawasan epistemologis.

Sebagai contoh, kata Kunto, statemen-statemen yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits adalah nilai-nilai normatif. Nilai-nilai normatif ini ada dua, yaitu niali-nilai praktis yang dapat diaktualkan dalam perilaku sehari-hari dan nilai-nilai yang harus diterjemahkan dulu dalam bentuk teori sebelum diterapkan dalam perilaku. Nilai-nilai pertama menurutnya telah dikembangkan dalam bentuk ilmu fiqh, sedang yang kedua  perlu ditransformasikan dalam bentuk ilmu-ilmu sosial Islam. Cara yang kedua ini  lebih relevan pada saat ini, jika kita ingin melakukan restorasi terhadap masyarakat Islam  dalam konteks masyarakat industri. Sampai sekarang ini menurut Konto, kita kekurang ini. Kita memang sudah didesak  untuk segera memikirkan metode transformasi nilai Islam pada level yang empiris melalui  diciptakannya  ilmu-ilmu sosial Islam.

Tampaknya pemikiran Kunto tentang paradigma al-Qur’an ini dipengaruhi oleh pemikiran Fazlur Rahman tentang operasi metodologi tafsir. Cara kerja metodologis penafsiran Rahman yang berusaha memehami al-Qur’an, aktivitas Nabi dan latar sosio-historisnya diarahkan pada perumusan kembali suatu Islam yang utuh, koheren serta berorientasi kepada masa kini. untuk itu menurut Rahman  perlu lebih dahulu perumusan pandangan dunia al-Qur’an.

Sehubungan dengan perumusan worldview al-Qur’an ini, Rahman mengemukakan bahwa  prinsip  penafsiran dengan latar  belakang  sosio-historis  tidak diterapkan dengan cara  yang sama dengan perumusan etika al-Qur’an, atau oleh Kunto disebut  nilai normatif praktis. Menurut Rahman, untuk pertanyaan-pertanyaan teologis atau metafisis, latar belakang spesisfik turunnya wahyu tidak dibutuhkan.  Hanya saja dalam  merumuskan pandangan dunia al-Qur’an tersebut, Rahman tampaknya lebih cenderung  menggunakan prosedur sintesis.

Menurut Kunto, salah satu pendekatan yang menurutnya perlu diperkenalkan dalam rangka mendapatkan pemahaman yang konprehensif terhadap al-Qur’an adalah apa yang dinamakan pendekatan sintetik-analitik. Pendekatan ini menganggap bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu terdiri dari dua bagian, pertama berisi konsep-konsep yang disebut ideal-type, dan kedua berisi kisah-kisah sejarah dan amsal-amsal yang disebut arche-type.

Dalam bagian yang berisi konsep-konsep, al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman yang konprehensif mengenai ajaran Islam. Sedang dalam bagian yang berisi kisah-kisah historis, al-Qur’an ingin mengajak melakukan perenungan untuk memperoleh wisdom. Dengan pendekatan sintetik dimaksudkan untuk menonjolkan nilai subjektif-normatifnya, dengan tujuan mengembangkan perspektif etik dan moral individual. Sedangkan dengan pendekatan analitik dimaksudkan untuk menterjemahkan nilai-nilai normatif ke dalam level objektif. Ini berarti al-Qur’an harus dirumuskan dalam bentuk konstruk-konstruk teoritis.

Untuk dapat menjadikan al-Qur’an sebagai  paradigma dan kemudian merumuskan nilai-nilai normatifnya ke dalam teori-teori sosial, menurut Kunto, diperlukan adanya lima program reinterpretasi, yaitu:
1.      Pengembangan penafsiran sosial struktural lebih daripada penafsiran individual ketika memahami ketentuan-ketentuan al-Qur’an. Ketentuan larangan berfoya-foya misalnya, bukan diarahkan kepada individualnya, tetapi kepada struktur sosial yang menjadi penyebabnya.
2.      Reorientasi cara berpikir dari subjektif ke objektif. Tujuan dilakukannya  reorientasi  berpikir secara objektif ini adalah untuk menyuguhkan Islam pada cita-cita objektifnya. Misalnya zakat yang secara subjektif adalah untuk membersih diri, tetapi juga untuk tertcapainya kesejahteraan umat.
3.      Mengubah Islam yang normatif menjadi teoritis, misalnya konsep fuqara  dan masakin yang normatif dapat diformulasikan menjadi teori-teori sosial.
4.      Mengubah pehaman yang a historis menjadi historis. Kisah-kisah dalam al-Qur’an yang selama ini dipandang a historis, sebenarnya menceriterakan peristiwa yang benar-benar historis, seperti kaum tertindas pada zaman nabi Musa dan lain-lain.
5.      Merumuskan formulasi wahyu yang bersifat umum menjadi  formulasi yang spesifik dan empiris. 

alam hal konsep umum  tentang kecaman terhadap sirkulasi  kekayaan yang hanya berputar  pada orang-orang kaya harus dapat diterjemahkan  ke dalam formulasi-formulasi spesifik dan empiris ke dalam realitas yang kita hadapi sekarang.  Dengan menterjemahkan pernyataan umum secara spesifik  untuk menatap gejala yang empiris, pemahaman terhadap Islam akan selalu menjadi kontekstual, sehingga dapat  menumbuhkan kesadaran mengenai realitas sosial dan pada gilirannya akan menyebabkan Islam menjadi agamayang lebih mengakar di tengah-tengah gejolak sisal. 

Dari uraian tentang paradigma al-Qur’an dan program reinterpretasi, bisa dilihat bahwa Kunto ingin merintis metode baru penafsiran al-Qur’an. Metode tafsir yang ditawarkan adalah memandang al-Qur’an sebagai   akumulasi konsep-konsep normatif. Nilai-nilai yang ada di dalamnya bersifat transendental yang bebas dari konteks dan bias-bias yang mengitarinya. Tampaknya di sini, dia berpegang pada kaidah al-‘ibrah bi umum al-lafaz la bi khusus as-sabab.

Dari konsep-konsep al-Qur’an, menurutnya dapat diciptakan teori-teori “ilmu sosial profetik” yang pada dasarnya bersifat transformatif. Yang dimaksud transformatif di sini oleh Kunto adalah  perubahan sosial,  baik cara berpikir,  sikap  dan  perilaku  secara individual maupun sosial. 

Sebagaimana diungkapkan oleh Abu Baker A. Bagder, ilmu-ilmu sosial telah mendapatkan penghargaan tertinggi di dunia modern karena diyakini bahwa ia menampilkan analisis terhadap peristiwa-peristiwa kontemporer dalam masyarakat. Para pejabat mengambil keputusan dan para perencana program yang menaruh perhatian pada masalah sosial meminta bantuan kepada para pakar ilmu sosial. Para ahli ilmu sosial sendiri mengambil alih berbagai metodologi penelitian ilmu-ilmu kealaman.

Dengan demikian, ilmu-ilmu sosial tidak lagi dikategorikan dengan ilmu-ilmu humaniora dan tidak juga di anggap membawa pendapat-pendapat yang bersifat impresionistik, intuitif ataupun subyektif.

Salah satu kepentingan besar Islam sebagai sebuah ideologi sosial adalah bagaimana mengubah masyarakat sesuai dengan cita-cita dan visinya mengenai transformasi sosial. Semua ideologi atau filsafat sosial menghadapai suatu pertanyaan pokok, yaitu bagaimana mengubah masyarakat dari kondisinya sekarang menuju keadaan yang lebih dekat dengan tataanan idealnya. Elaborasi terhadaap pertanyaan pokok semacam ini biasanya menghasilkan teori-teori sosial yang berfungsi untuk menjelaskan kondisi masyarakat yang empiris pada masa kini,dan sekaligus memberikan insightmengenai perubahan dan transformasinya. Karena teori-teori yang diderivasi dari ideologi-ideologi sosial sangat berkepentingan terhadap terjadinya transformasi sosial, maka dapat dikatakan bahwa hampir semua teori  sosial tersebut bersifat transformatif.

Muslim Abdurrahman pernah menawarkan teologi transformatif, yaitu menekankan hubungan dialogis antara teks dengan konteks dan tidak cenderung melakukan pemaksaan realitas  menurut model ideal –suatu upaya untuk menghidupkan teks dalam realitas empiris dan mengubah  keadaan masyarakat  ke arah transformasi sosial yang diridhoi Allah SWT. Pengembangan teologi transformatif menurutnya merupakan upaya untuk mengatasi perdebatan tentang  pilihan antara pendekatan budaya atau pendekatan struktural dalam pengembangan masyarakat.

Ilmu-ilmu sosial profetik yang ditawarkan Kunto pada mulanya lebih bersifat tawaran alternatif, karena dia kurang sependapat dengan istilah teologi transformatifnya Muslim. Dia mengatakan bahwa dilingkungan kita, gagasan mengenai pembaruan teologi dan sejenisnya tampak  belum dapat diterima. Ini terjadi karena beberapa alasan, terutama berkenaan dengan konsep teologi itu sendiri. Umat Islam memehami teologi  dengan persepsi yang berbeda-beda, sebgaian besar mengartikan  konsep tersebut sebagai suatu cabang dari khazanah ilmu pengetahuan keislaman yang membahas doktrin tentang ketuhanan (tauhid). Mereka menganggap masalah teologi sudah selesai dan tidak perlu dirombak.

Ini berbeda dengan persepsi penganjur pembaruan teologi yang mengartikan teologi sebagai usaha untuk melakukan reorientasi pemahaman keagamaan baik secara individual maupun kolektif untuk menyikapi kenyataan-kenyataan yang empiris menurut perspektif ketuhanan. Yang mereka tawarkan bukan rekomendasi untuk mengubah doktrin, tetapi  mengubah interpretasi  terhadapnya, agar ajaran agama  diberi tafsir baru dalam rangka memahami realitas. Istilah “teologi” menurut Kunto  sebaiknya diganti dengan “ilmu sosial” yaitu mengelaborasi  ajaran-ajaran agama ke dalam bentuk teori sosial, sehingga lingkupnya tidak lagi pada aspek-aspek normatif yang bersifat permanen seperti pada teologi, tapi pada aspek-aspek yang bersifat empiris, historis dan temporal.

Optimisme Kunto untuk membangun paradigma baru  ilmu sosial ini didasari oleh keyakinan bahwa ilmu itu bersifat relatif, atau dalam bahasa Thomas Khun “paradigmatik”, Marx,  bersifat ideologis  dan Wittgenstain, bersifat cagar bahasa. Dalam pandangan Kunto, ilmu-ilmu sosial sekarang mengalami  kemandekan, fungsinya hanya terbatas pada memberi penjelasan terhadap gejala-gejala saja. Ini menurutnya tidak cukup. Ilmu-ilmu sosial disamping menjelaskan, juga harus dapat memberi petunjuk ke arah transformasi, sesuai dengan cita-cita profetiknya, yaitu humanisasi atau emansipasi, liberalisasi dan transendental.

Ikhtitam
Gagasan-gagasan Kuntowijoyo tentang Islam di Indonesia merupakan salah satu fenomena  yang unik, menarik dan sangat mengesankan  untuk ukuran  intelektual  yang dibesarkan bukan dari latar belakang taradisi keagamaan santri, meminjam klasifikasi Gertz. Meskipun pengetahuan keagamaannya  lebih banyak diperoleh lewat studi-studi non-formal,  namun kecintaannya terhadap Islam  dan kuatnya basic keilmuan sejarah dan sosial, telah mendorongnya untuk merumuskan sebuah alternatif keberagamaan yang bersifat  profetik dan transformatif.

Al-Qur’an, yang oleh Kunto dijadikan sebagai paradigma  ilmu-ilmu sosial, tidaklah semata-mata dipahami dari sisi normativitas kewahyuan Islam, yaitu dengan melaksanakan tuntutan-tuntutan ritual-ubudiyah keagamaan saja,  tapi juga  dan bahkan ini yang terpenting adalah  memanifestasikan nilai-nilai historisitas al-Qur’an, dengan cara mengelaborasi  ajaran-ajaran agama ke dalam bentuk teori sosial, sehingga lingkupnya tidak lagi pada aspek-aspek normatif yang bersifat permanen, tapi pada aspek-aspek yang bersifat empiris, historis dan temporal.

Dari pemahaman seperti ini, meskipun tawaran teori-teori  sosial Qur’ani  ini tidak mudah untuk direalisasikan dalam realitas empiris, namun Kunto –dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya--paling tidak telah  membuka  dan merintis sebuah  pendekatan baru  dalam  studi-studi keislaman, lewat kajian-kajian saintis, yang oleh Arkoun dianggap  sebagai  sebuah keniscayaan untuk umat Islam kontemporer.
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson