Membangun Budaya Organisasi Dalam Rangka Reformasi Birokrasi

Membangun Budaya Organisasi Dalam Rangka Reformasi Birokrasi 
Sejak bergulirnya reformasi pada tahun 1998, terjadi perubahan yang cukup radikal terhadap sistem politik dan pemerintahan di Indonesia. Reformasi di sektor pemerintahan difokuskan kepada bagaimana meciptakan suatu tatanan pemerintahan yang baik, transparan dan bertanggung jawab. Secara umum ada tiga tujuan yang akan di capai di dalam reformasi tata pemerintahan yang ditempuh oleh Pemerintah Indonesia yakni, penataan struktur pemerintahan negara, desentralisasi pemerintahan, dan reformasi keuangan negara. Ketiga tujuan tersebut di dalam implementasinya telah berjalan cukup lancar tetapi belum berhasil seperti diharapkan. 

Skala reformasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dinilai mempunyai cakupan yang sangat luas. Bahkan seringkali dipandang terlalu luas dan terlalu cepat jika dibandingkan dengan apa yang pernah dilakukan oleh banyak negara di dunia. Indonesia juga dipandang telah melakukan perubahan radikal dalam tata hubungan antara pusat dan daerah melalui program desentralisasi pemerintahan yang belum pernah ditempuh oleh negara mana pun di dunia.

Namun demikian reformasi yang demikian luas dan begitu radikal perubahannya tersebut, ternyata belum berhasil menciptakan tata pemerintahan yang baik di Indonesia. Seperti diketahui bersama bahwa secara sederhana visi reformasi, khususnya reformasi birokrasi adalah terwujudnya tata pemerintahan yang baik, sementara itu misi daripada reformasi birokrasi adalah membangun, menata ulang, menyempurnakan, membina, dan menertibkan birokrasi pemerintahan, agar mampu dan komunikatif dalam menjalankan peranan dan fungsinya.

Target dan sasaran reformasi birokrasi ada lima hal. Pertama, terbentuknya birokrasi yang bersih, yaitu birokrasi yang anti KKN dan berkurangnya perilaku koruptif pegawai negeri. Kedua, birokrasi yang efisien dan hemat dalam menggunakan sumber daya yang terbatas. Ketiga, birokrasi yang transparan yakni birokrasi yang seluruh kebijakan dan aktivitasnya diketahui masyarakat dan masyarakat dapat mengaksesnya dengan mudah. Keempat, birokrasi yang melayani, yaitu birokrasi yang tidak minta dilayani, tetapi birokrasi yang melayani masyarakat. Kelima, birokrasi yang terdesentralisasi, yaitu kewenangan pengambilan keputusan terdesentralisasi kepada pimpinan unit kerja terdepan.

Kelima target dan sasaran daripada reformasi birokrasi tersebut selama ini masih belum mampu diwujudkan secara nyata oleh pemerintah. Hal ini menurut Thoha (2002) disebabkan karena birokrasi pemerintah semakin terkooptasi dan diintervensi oleh partai politik yang mempersiapkan kemenangan pemilu bagi partainya. Kepentingan subjektivitas partai semakin kuat untuk menguasai birokrasi pemerintah. Hal ini mengakibatkan birokrasi pemerintah terkotak-kotak sebagai kapling partai politik. Partai politik membangun blok (building block) di birokrasi pemerintah untuk kepentingan partainya. Netralitas birokrasi pemerintah terhadap kekuatan partai politik sulit bisa dihindari.

Kehadiran partai politik dalam pemerintahan memang tidak bisa lagi dihindari. Akan tetapi kebutuhnan menciptakan sistem birokrasi pemerintahan yang netral, profesional, dan mantap tidak bisa juga dihindari. Keduanya merupakan kebutuhan yang esensial yang mestinya disadari oleh pemerintah. Kelembagaan birokrasi pemerintah mestinya memperoleh perhatian yang pertama sebelum semuanya diperbaiki.

Kondisi seperti tersebut di atas seharusnya bisa dipergunakan sebagai salah satu strategi perubahan atau reformasi birokrasi. Strategi ini bisa diawali dengan reformasi kelembagaan birokrasi pemerintah. Menurut Thoha (2002) lembaga birokrasi merupakan suatu bentuk dan tatanan yang mengandung struktur dan kultur.

Struktur mengacu pada susunan dari suatu tatanan, sementara itu kultur mengandung nilai, sistem, dan kebiasaan yang dilakukan oleh para pelakunya yang mencerminkan perilaku dari sumber daya manusianya. Oleh karena itu reformasi dari kelembagaan birokrasi meliputi susunan dari suatu tatanan birokrasi pemerintah, serta reformasi tata nilai, tata sistem, dan tata perilaku dari aparatnya.

Dari uraian tersebut terlihat bahwa ada dua aspek yang cukup penting di dalam pelaksanaan reformasi birokrasi. Pertama, adalah reformasi dari aspek kelembagaan, yaitu birokrasi pemerintah harus menata ulang lembaga-lembaga yang ada selama ini. Penataan ini dapat dilakukan baik dari aspek strukturnya, jenjang hirarki maupun sistem manajemennya. Kedua, adalah reformasi dari aspek budayanya. Yaitu menata ulang budaya birokrasi yang selama ini dijalankan.

Effendi (2005) kegagalan dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia selama ini salah satu sebabnya adalah kurangnya perhatian terhadap perubahan pola budaya organisasi yang ada dalam birokrasi pemerintah. Padahal tanpa adanya perubahan budaya organisasi tidak mungkin tata pemerintahan yang amanah dapat terwujud.

A. Budaya Organisasi
Budaya organisasi memiliki makna yang luas. Menurut Luthans (1998) budaya organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota organisasi. Setiap anggota akan berperilaku sesuai dengan budaya yang berlaku agar diterima oleh lingkungannya.

Sharplin (1995) mengatakan bahwa budaya organisasi merupakan suatu sistem nilai, kepercayaan dan kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur sistem formalnya untuk menghasilkan norma-norma perilaku organisasi.

Sementara itu Stoner, Freeman & Gilbert (1995) mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu cognitive framework yang meliputi sikap, nilai-nilai, norma perilaku dan harapan-harapan yang disumbangkan oleh anggota organisasi. Davis (1984) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai organisasi yang dipahami, dijiwai dan dipraktikkan oleh organisasi sehingga pola tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar aturan berperilaku dalam organisasi.

Schein (1992) mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu pola dari asumsi-asumsi dasar yang ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dengan maksud agar organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi masalah-masalahnya yang timbul akibat adaptasi eksternal dan integrasi internal yang sudah berjalan dengan cukup baik, sehingga perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami, memikirkan dan merasakan berkenaan dengan masalah-masalah tersebut.

Sedangkan Hodge, Anthony & Gales (1996), mengatakan bahwa budaya organisasi sebagai konstruksi dari dua tingkat karakteristik, yaitu karakteristik organisasi yang kelihatan (observable) dan yang tidak kelihatan (unobsevable). Pada level observable, budaya organisasi mencakup beberapa aspek organisasi seperti arsitektur, seragam, pola perilaku, peraturan, legenda, mitos, bahasa, dan seremoni yang dilakukan organisasi. Sedangkan pada level unobservable, budaya organisasi mencakup shared values, norma-norma, kepercayaan, asumsi-asumsi para anggota organisasi untuk mengelola masalah dan keadaan-keadaan disekitarnya. Budaya organisasi juga dianggap sebagai alat untuk menentukan arah organisasi, mengarahkan apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, serta bagaimana mengalokasikan sumber daya dan mengelola sumber daya organisasi, dan sebagai alat untuk menghadapi masalah dan peluang dari lingkungan.

Budaya organisasi adalah semua ciri yang menunjukkan kepribadian suatu organisasi : keyakinan bersama, nilai-nilai dan perilaku-perlaku yang dianut oleh semua anggota organisasi. Budaya organisasi adalah tradisi yang sangat sukar diubah.

Sethia & Glinow (dalam Collins & Mc Laughlin, 1996) membedakan adanya empat macam budaya organisasi, yaitu : Pertama, Apathetic Culture. Dalam tipe ini perhatian anggota organisasi terhadap hubungan antar manusia maupun kinerja pelaksanaan tugas, dua-duanya rendah. Disini penghargaan diberikan terutama berdasarkan permainan politik dan pemanipulasian orang-orang lain. Kedua, Caring Culture. Budaya organisasi tipe ini dicirikan oleh rendahnya perhatian terhadap kinerja dan tingginya perhatian terhadap hubungan antar manusia. Penghargaan lebih didasarkan atas kepaduan tim dan harmoni, dan bukan didasarkan atas kinerja pelaksanaan tugas. Ketiga, Exacting Culture. Ciri utama tipe ini adalah bahwa perhatian terhadap orang sangat rendah, tetapi perhatian terhadap kinerja sangat tinggi. Disini secara ekonomis penghargaan sangat memuaskan, tetapi hukuman atas kegagalan yang dilakukan juga sangat berat. Dengan demikian tingkat keamanan pekerjaan menjandi sangat rendah. Keempat, Integrative Culture. Dalam organisasi yang memiliki budaya integrative, perhatian terhadap orang maupun kinerja, keduanya sangat tinggi.

Dari uraian tersebut di atas jika organisasi birokrasi di Indonesia dianalisis dengan menggunakan empat tipe budaya tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar organisasi birokrasi di Indonesia memiliki budaya organisasi yang bertipe Caring. Pada umumnya organisasi birokrasi di Indonesia biasanya memiliki perhatian yang sangat rendah terhadap kinerja pelaksanaan tugas, tetapi memiliki perhatian yang sangat tinggi terhadap hubungan antar manusia. Hal ini tampak dari ciri-ciri birokrat sebagai berikut :
1. Lebih mementingkan kepentingan pimpinan ketimbang kepentingan klien atau pengguna jasa.
2. Lebih merasa sebagai abdi negara daripada abdi masyarakat.
3. Meminimalkan resiko dengan cara menghindari inisiatif.
4. Menghindari tanggung jawab.
5. Menolak tantangan.
6. Tidak suka berkreasi dan berinovasi dalam melaksanakan tugas-tugasnya.

Budaya caring ini tidak cocok dalam organisasi yang berorientasi pada pelayanan publik, oleh sebab itu perlu diadopsi budaya organisasi baru yang lebih sesuai dan kondusif dengan manajemen pelayanan publik.

Menurut Kotter & Kotter (1992) suatu organisasi yang memiliki budaya yang kuat mempunyai pengaruh secara langsung terhadap pola perilaku dan berfikir seluruh anggota organisasi. Oleh sebab itu Darsono (2006) mengatakan bahwa Budaya yang kuat dapat menciptakan kinerja yang bagus (tinggi) atau dengan kata lain budaya organisasi yang kuat memiliki korelasi yang positif dengan kinerja anggota organisasi karena anggota organisasi memiliki motivasi tinggi, loyalitas, kerja keras, karena mereka merasa sedang berada (bekerja) dalam organisasi, dan anggota organisasi memiliki kesadaran yang tinggi tentang kelangsungan hidup organisasi.

Sementara itu Kotter & Heskett (1992) menyebutkan bahwa kepustakaan yang ada pada saat ini sudah cukup mendukung asumsi bahwa budaya yang kuat mengarah pada kinerja yang lebih tinggi, sehingga yang lebih penting lagi adalah melakukan telaah lebih lanjut lagi.

Perspektif “telaah lebih lanjut lagi” ini penting, paling tidak untuk tiga alasan, yaitu : (a) mungkin merupakan usaha besar pertama yang berusaha mengaitkan budaya organisasi dengan kinerja ekonomi jangka panjang; (b) karena menyoroti efek dari budaya yang kuat terhadap pencapaian tujuan, motivasi dan kontrol; dan (c) karena merebut perhatian banyak orang. Perspektif ini mengatakan bahwa budaya yang kuat menyebabkan kinerja yang kuat, tetapi sebaliknya, ternyata terjadi pula bahwa kinerja yang kuat dapat membantu menciptakan budaya yang kuat (Schein, 1992).

Sehubungan dengan hal itu maka Lako (2004) berpandangan bahwa budaya organisasi mempunyai sejumlah peran strategis. Pertama sebagai “perekat” antar para pelaku organisasi yang memiliki tujuan dan kepentingan yang berbeda-beda. Kedua, sebagai alat untuk membentuk sense of belonging (rasa ikut memiliki) dan sense of indentity (rasa bangga sebagai bagian dari suatu organisasi) para pelaku organisasi. Ketiga, sebagai core organizational values yang dapat mendorong : (1) para karyawan untuk memberikan ide-ide barunya; (2) organisasi agar selalu sensitif terhadap kepuasan pelanggan (customer satisfaction) dan tuntutan stakeholders-nya; (3) para pelaku organisasi agar selalu membangun komunikasi iklim organisasi yang harmonis dan kondusif; dan (4) menanamkan komitmen para pelaku organisasi untuk menerima segala resiko yang mungkin saja terjadi, baik yang disebabkan oleh kegagalan organisasi itu sendiri maupun yang disebabkan oleh peristiwa-peristiwa yang tidak dapat dikendalikan oleh organisasi. Keempat, sebagai alat yang efektif untuk membangun efektivitas kesuksesan kinerja ekonomi dan kinerja organisasi dalam jangka panjang (secara berkelanjutan).

B. Reformasi Birokrasi
Kata “reformasi” sudah menjadi semacam komoditas dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia akhir-akhir ini. Dimana-mana kita pasti mendengar reformasi, entah kita menghadiri diskusi, seminar ataupun perbincangan sehari-hari. Meluasnya pembicaraan tentang reformasi menyebabkan munculnya berbagai interpretasi tentang makna reformasi itu sendiri. Kata reformasi berasal dari kata Inggris “reform” yang artinya perbaikan atau pembaruan.

Sarundajang (2003), pada hakikatnya reformasi merupakan bagian dari dinamika masyarakat, dalam arti bahwa perkembangan akan menyebabkan tuntutan terhadap pembaruan dan perubahan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan tersebut. Karena itu reformasi bagi suatu organisasi adalah alamiah dan wajar. Hanya saja reformasi dalam konteks Indonesia telah dipandang sebagai suatu perubahan yang sifatnya radikal. Reformasi bahkan telah dijadikan justifikasi terhadap berbagai perilaku anggota masyarakat yang anarkis dan melanggar hukum, sehingga pemahaman terhadap reformasi telah dibelokkan dalam konteks yang keliru.

Namun demikian terlepas dari penyimpangan terhadap pemahaman mengenai reformasi tersebut, publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya reformasi akan diikuti pula dengan perubahan besar pada desain kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara, baik yang menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi, maupun kultural. Perubahan struktur, kultur dan paradigma birokrasi dalam berhadapan dengan masyarakat menjadi begitu mendesak untuk segera dilakukan mengingat birokrasi mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis multidimensional yang sampai saat ini belum juga terselesaikan.

Dwiyanto, et.al (2006) mengatakan bahwa reformasi birokrasi dalam penyelengaaraan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik diarahkan untuk menciptakan kinerja birokrasi yang profesional dan akuntabel. Birokrasi dalam melakukan berbagai kegiatan perbaikan pelayanan diharapkan lebih berorientasi pada kepuasan pelanggan, yakni masyarakat pengguna jasa.

Sementara itu Hardjapamekas (2003) mengatakan bahwa Pola birokrasi yang cenderung sentralisitik, dan kurang peka terhadap perkembangan ekonomi, sosial dan politik masyarakat harus ditinggalkan, dan diarahkan seiring dengan tuntutan masyarakat. Harus diciptakan birokrasi yang terbuka, profesional dan akuntabel.

Lebih lanjut dikatakan pula bahwa reformasi birokrasi menjadi usaha mendesak mengingat implikasinya yang begitu luas bagi masyarakat dan negara. Perlu usaha-usaha serius agar pembaharuan birokrasi menjadi lancar dan berkelanjutan. berikut ini adalah langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk menuju reformasi birokrasi.

Reformasi birokrasi di Indonesia, menurut Sarundajang (2003) merupakan tindakan perubahan atau pembaharuan yang berdimensi restrukturisasi, revitalisasi dan refungsionalisasi. Restrukturisasi adalah tindakan untuk mengubah struktur yang dipandang sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman dan dianggap tidak efektif lagi dalam memajukan organisasi. Revitalisasi merupakan upaya untuk memberikan tambahan energi atau daya kepada suatu organisasi atau lembaga agar dapat mengoptimalkan kinerja organisasi. Oleh sebab itu revitalisasi akan berkaitan dengan perumusan kembali uraian tugas, penambahan kewenangan kepada unit-unit strategis, peningkatan alokasi anggaran, penambahan atau penggantian berbagai instrumen pendukung dalam menjalankan tugas-tugas organisasi. Sedangkan refungsionalisasi lebih berkaitan dengan tindakan atau upaya untuk memfungsikan kembali sesuatu yang sebelumnya tidak berfungsi. Dalam hal ini refungsionalisasi lebih mengarah pada penajaman profesionalisme organisasi dalam mengemban misinya.

Dari uraian di atas maka dengan demikian reformasi birokrasi akan mengarah pada tiga dimensi reformasi tersebut. Dalam hubungan ini reformasi birokrasi dilakukan untuk membentuk organisasi birokrasi yang benar-benar dapat memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat dengan pelayanan yang lebih cepat (faster), lebih murah (cheaper), dan lebih baik (better).

C. Hubungan Antara Budaya Organisasi Dengan Reformasi Birokrasi
Pada uraian terdahulu telah disinggung bahwa salah satu penyebab kurang berhasilnya reformasi birokrasi untuk mendukung penyelenggaraan tata pemerintahan yang amanah adalah karena pemerintah belum menaruh perhatian yang serius terhadap perubahan budaya organisasi.

Budaya organisasi amat besar pengaruhnya pada keberhasilan dan mati hidup sebuah organisasi. Karena itulah jika sebuah perusahaan bersedia mengeluarkan dana yang amat besar untuk mengubah budaya perusahaan (corporate culture) agar selalu sesuai dengan lingkungannya yang selalu berubah dengan cepat. Sebaliknya, birokrasi pemerintahan negara kurang punya perhatian terhadap perubahan lingkungan karena dua alasan. Pertama, secara konseptual ketika Max Weber merumuskan konsep birokrasi kira-kira 140 tahun yang lalu, organisasi birokratis diasumsikan sebagai bentuk organsasi yang cocok untuk lingkungan yang stabil dan untuk menjalankan tugas-tugas yang bersifat massif tetapi redundant. Dengan demikian bentuk dan budaya organisasi harus berubah bila tugas organisasi dan lingkungannya berubah.

Ada asumsi yang cukup menarik untuk dipertanyakan : apakah budaya organisasi mempengaruhi proses reformasi birokrasi, ataukah reformasi birokrasi mempengaruhi dan menciptakan budaya organisasi ? Jika yang pertama terjadi maka akan terjadi stagnasi dan kekuatan status-quo dalam organisasi birokrasi, sementara itu jika yang kedua terjadi maka akan tercipta perubahan dan pengembangan organisasi birokrasi yang dinamis.

Budaya organisasi (birokrasi) merupakan kesepakatan bersama tentang nilai-nilai bersama dalam kehidupan organisasi dan mengikat semua orang dalam organisasi yang bersangkutan (Sondang P.Siagian,1995). Oleh karena itu budaya organisasi birokrasi akan menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para anggota organisasi; menentukan batas-batas normatif perilaku anggota organisasai; menentukan sifat dan bentuk-bentuk pengendalian dan pengawasan organisasi; menentukan gaya manajerial yang dapat diterima oleh para anggota organisasi; menentukan cara-cara kerja yang tepat, dan sebagainya. Secara spesifik peran penting yang dimainkan oleh budaya organisasi (birokrasi) adalah membantu menciptakan rasa memiliki terhadap organisasi; menciptakan jati diri para anggota organisasi; menciptakan keterikatan emosional antara organisasi dan pekerja yang terlibat didalamnya; membantu menciptakan stabilitas organisasi sebagai sistem sosial; dan menemukan pola pedoman perilaku sebagai hasil dari norma-norma kebiasaan yang terbentuk dalam keseharian.

Begitu kuatnya pengaruh budaya organisasi (birokrasi) terhadap perilaku para anggota organisasi, maka budaya organisasi (birokrasi) mampu menetapkan tapal batas untuk membedakan dengan organisasi (birokrasi) lain; mampu membentuk identitas organisasi dan identitas kepribadian anggota organisasi; mampu mempermudah terciptanya komitmen organisasi daripada komitmen yang bersifat kepentingan individu; mampu meningkatkan kemantapan keterikatan sistem sosial; dan mampu berfungsi sebagai mekanisme pembuatan makna dan simbol-simbol kendali perilaku para anggota organisasi.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka reformasi birokrasi sebagai sebuah proses, haruslah berpedoman pada rambu-rambu aturan normatif yang telah ditentukan oleh organisasi birokrasi yang bersangkutan sebagai perwujudan daripada budaya organisasi. Oleh sebab itu kegagalan di dalam reformasi birokrasi seringkali disebabkan karena aparat birokrasi tidak menyadari adanya perubahan dan pergeseran yang terjadi dalam budaya masyarakat lingkungannya.

Salah satu kendala yang seringkali dihadapi dalam pelaksanaan reformasi birokrasi adalah tidak adanya budaya antikorupsi. Tidak adanya budaya antikorupsi membuat nilai-nilai etis tentang kekuasaan, konflik kepentingan, keadilan, dan kepantasan tidak berkembang dalam kehidupan birokrasi pemerintahan dan masyarakat luas. Akibatnya toleransi masyarakat terhadap pungli sangat tinggi. Sebagian besar para pemangku kepentingan menilai pemberian pungli sebagai hal yang wajar.

Budaya antikorupsi penting dikembangkan karena tindakan korupsi pertama-tama adalah masalah nilai, akhlak, dan moralitas. Keinginan untuk melakukan tindakan korupsi kebanyakan muncul karena berkembangnya nilai-nilai yang salah dan akhlak serta moral yang buruk untuk memperkaya diri atau mengumpulkan harta dengan cara yang mudah dan tanpa harus kerja keras. Keinginan untuk mengumpulkan harta yang berlebihan dengan tanpa kerja keras menjadi biang keladi dari menjamurnya praktik korupsi di Indonesia. Korupsi karenanya tidak seharusnya hanya dilihat sebagai salah satu bentuk pelanggaran hukum atau penyalahgunaan kekuasaan dalam birokrasi pemerintah. Mereduksi pemahaman konsep korupsi menjadi masalah pelanggaran hukum, penyalahgunaan kekuasaan birokrasi, atau rendahnya tingkat kesejahteraan pegawai dan pejabat publik adalah penyederhanaan konsep korupsi yang berlebihan dan dapat menyesatkan. Sebaliknya, menjadikan masalah korupsi sebagai masalah budaya semata-mata tentu tidak bijaksana karena sesungguhnya korupsi di Indonesia adalah fenomena yang kompleks dan multidimensional.

Pengembangan strategi budaya ditonjolkan disini karena upaya membangun budaya baru yang melembagakan nilai-nilai antikorupsi kurang memperoleh perhatian dari para pejabat publik dan pemangku kepentingan. Perang melawan korupsi yang dicanangkan oleh presiden SBY akhir-akhir ini cenderung menggunakan strategi yang sempit karena lebih banyak memusatkan pada aspek penegakan hukum tetapi belum banyak menyentuh dimensi-dimensi lainnya, seperti pembenahan birokrasi publik, pendidikan antikorupsi, dan pengembangan budaya, akhlak, budi pekerti dan nilai-nilai luhur yang mampu membentengi para pejabat publik dari perilaku yang tercela. Penegakan hukum tentu sangat penting dan harus dilakukan dengan tegas, namun tidak cukup untuk memberantas korupsi. Penegakan hukum yang keras dan tegas tanpa diikuti oleh perubahan-perubahan sistim nilai dan akhlak hanya akan membuat praktik korupsi menjadi semakin canggih. Akibatnya, di Indonesia sekarang ini banyak berkembang tindakan yang pada dasarnya bersifat koruptif, tetapi tidak melanggar hukum.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dalam reformasi birokrasi perlu dikembangkan suatu pola budaya yang mengandung nilai-nilai dan etika yang anti kecurangan, antikorupsi dan beorientasi pada kepentingan publik.

D. Membangun Etika Perilaku dan Budaya Organisasi
Amrizal (2004) mengatakan bahwa setiap organisasi bertanggung jawab untuk berusaha mengembangkan suatu pola perilaku organisasi yang mencerminkan kejujuran dan etika yang dikomunikasikan secara tertulis dan dapat dijadikan pegangan oleh seluruh pegawai. Kultur tersebut harus memiliki akar dan memiliki nilai-nilai luhur yang menjadi dasar bagi etika pengelolaan suatu organisasi atau suatu entitas.

Membangun etika perilaku dan budaya organisasi akan mendukung secara efektif dalam rangka pelaksanaan reformasi birokrasi. Oleh sebab itu untuk membangun etika perilaku dan budaya organisasi yang kuat sangat ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut :

1. Komitmen Dari Top Management Dalam Organisasi
Manajemen harus memberikan tauladan dan kemauan yang kuat untuk membangun suatu kultur yang kuat dalam organisasi yang dipimpinnya. Peranan moral/kepribadian yang baik dari seorang pimpinan dan komitmennya yang kuat sangat mendorong tegaknya suatu etika prilaku dalam suatu organisasi dan dapat dijadikan dasar bertindak dan suri tauladan bagi seluruh pegawai. Oleh sebab itu komitmen moral dan keterbukaan di dalam komunikasi menjadi dua hal yang sangat untuk membangun budaya yang baik.

2. Membangun Lingkungan Organisasi Yang Kondusif
Banyak hasil penelitian memberikan indikasi perbuatan salah atau perbuatan curang seperti tindak pidana korupsi terjadi dalam suatu organisasi karena kurangnya kepedulian positif karyawan terhadap perbuatan salah tersebut bahkan dipandang sudah hal yang biasa atau pura-pura tidak mengetahuinya. Kepedulian positif dari lingkungan kerja sangat diperlukan dalam membangun suatu etika perilaku dan kultur oganisasi yang kuat. Rendahnya kepedulian dan rendahnya moral akan menyuburkan tindakan kecurangan yang pada akhirnya akan merusak bahkan dapat menghancurkan organisasi.

3. Perekrutan dan Promosi Pegawai
Setiap pegawai memiliki masing-masing seperangkat nilai-nilai kejujuran, integritas dan kode etik personal. Ketika suatu organisasi atau entitas berhasil dalam pencegahan kecurangan, dipastikan organisasi tersebut sudah memiliki kebijakan-kebijakan yang efektif yang dapat meminimalkan kemungkinan adanya merekrut atau mempromosikan pegawai yang memiliki tingkat kejujuran yang rendah, terutama untuk posisi yang memerlukan tingkat kepercayaaan. 

4. Pelatihan Yang Berkesinambungan
Pegawai baru sebaiknya diberi pelatihan tentang nilai-nilai organisasi atau entitas dan standar-standar pelaksanaan pada saat perekrutan.

5. Menciptakan Saluran Komunikasi Yang Efektif
Manajemen membutuhkan informasi mengenai pelaksanaan dan pertanggungjawaban pekerjaan apakah sudah sesuai dengan kode etik atau tidak dari masing-masing pegawai. Masing-masing pegawai harus dapat menginformasikan tentang pelaksanaan kode etik tersebut mulai dari pemegang posisi tertinggi sampai yang terendah. Permintaan komfirmasi tersebut minimal dilakukan setahun sekali, hal ini bukan hanya formalitas saja tetapi laporan tersebut betul-betul dapat digunakan sebagai pencegahan dan pendekteksian bila terjadinya perbuatan curang dalam organisasi. Laporan yang jujur dari karyawan sangat dibutuhkan dan bukan atas dasar sakit hati atau irihati pada seseorang.

6. Penegakan Disiplin
Kedisiplinan merupakan suatu kunci penting keberasilan dalam menerapkan dan memelihara kode etik dalam suatu organisasi. Tindakan disiplin akan dapat mengurangi perbuatan curang yang 

Di dalam proses reformasi birokrasi, sering timbul pertanyaan, model budaya organisasi macam apakah yang sebaiknya dibangun ? Dan bagaimana cara membangun budaya seperti itu ?

Menurut Lako (2004) model budaya organisasi yang ideal untuk suatu organisasi adalah yang memiliki paling tidak dua sifat. Pertama, kuat (strong), artinya budaya organisasi yang dibangun harus mampu mengikat dan mempengaruhi perilaku individu untuk menyelaraskan antara tujuan individu dan tujuan kelompok dengan tujuan organisasi. Selain itu budaya organisasi yang dibangun harus mampu mendorong para pelaku organisasi dan organisasi itu sendiri untuk memiliki tujuan, sasaran, persepsi, perasaan, nilai dan kepercayaan, interaksi sosial dan norma-norma bersama yang mempunyai arah yang jelas sehingga mereka mampu bekerja dan mengekspresikan potensi mereka dalam arah dan tujuan yang sama, serta dalam semangat yang sama pula.

Kedua, dinamis dan adaptif , artinya budaya organisasi yang akan dibangun harus fleksibel dan responsif terhadap perkembangan lingkungan internal dan eksternal organisasi. 

Menurut Noe & Mondy (1996) ada dua variabel lingkungan yang membentuk dan mempengaruhi efektivitas budaya suatu organisasi, yaitu : 
1. Faktor-faktor yang berasal dari variabel lingkungan internal organisasi, meliputi misi, visi, peraturan dan nilai-nilai yang ditanamkan oleh para pendahulu atau pendiri organisasi dan nilai-nilai yang ditanamkan oleh para pimpinan, komitmen, moral dan etika serta suasana kekeluargaan, gaya kepemimpinan, karakteristik organisasi, otonomi dan kompleksitas organisasi, sistem penghargaan, sistem komunikasi dan konflik/kerjasama serta toleransi.
2. Faktor-faktor yang berasal dari lingkungan global meliputi kecenderungan perubahan globalisasi ekonomi, tuntutan hukum, sosial dan ekonomi, perkembangan teknologi, transformasi teknologi informasi dan perubahan ekologi.

Untuk membangun model budaya organisasi yang memiliki sifat-sifat tersebut, menurut Porter & Parker (1992) ada sejumlah kondisi (prasyarat) yang harus dilakukan, yaitu :
1. Adanya perasaan membutuhkan (felt need) dari semua pelaku organisasi.
2. Adanya komitmen dari manajemen puncak (management commitment).
3. Adanya shared mindset, yaitu para fasilitator perlu bekerja keras untuk mendorong setiap anggota organisasi untuk memfokuskan pada pemahaman kemana organisasi akan melangkah di masa datang dan apa maknanya bagi peran individu.
4. Adanya keterlibatan karyawan (employee involvement), yaitu bahwa semua karyawan harus terlibat aktif dalam proses membuat perubahan menjadi suatu realitas.
5. Adanya pelatihan yang memadai (focused training).
6. Adanya akuntabilitas (accountibility).

Menurut Lako (2004) ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan oleh para pelaku organisasi, terutama para eksekutif yang mempunyai power di dalam memanajemeni organisasi, untuk membangun model budaya adalah : pertama, pendekatan top-down (top-down approach), artinya top management berinisiatif mengambil prakarsa untuk merumuskan, mengembangkan dan mengoperasionalkan suatu model budaya organisasi yang kuat, adaptif dan dinamis, dan kemudian dikomunikasikan kepada seluruh anggota organisasi untuk dilaksana-kan secara konsisten.

Kedua, bottom-up approach, artinya perumusan dan pengembangan suatu model budaya organisasi yang ideal diserahkan sepenuhnya kepada manajemen level bawah dan menengah serta seluruh karyawan, sedangkan manajemen puncak bertindak sebagai pengarah dan perangkum.

Pendekatan yang ketiga adalah inter-active approach, artinya top management dan level-level manajemen bawah serta karyawan secara bersama-sama “duduk dalam satu meja bundar” untuk merumuskan suatu model budaya organisasi yang ideal dan cocok dengan visi, misi dan tujuan organisasi.

Dari ketiga pendekatan tersebut, pendekatan yang terakhir adalah yang paling baik dan memiliki resiko kegagalan minimal karena mengakomodasikan semua pemikiran dan kepentingan dari masing-masing pihak dalam organisasi yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda.

Dalam konteks pelaksanaan reformasi birokrasi, ada beberapa langkah praktis yang perlu dilakukan oleh suatu organisasi birokrasi dalam membangun budaya organisasi. Pertama, merombak gaya kepemimpinan yang otoriter, kaku dan tertutup terhadap karyawan, dengan gaya kepemimpinan yang terbuka dan transformatif. Gaya kepemimpinan yang terbuka artinya adanya transparansi dan akuntabilitas dari pimpinan untuk memberikan pertanggungjawaban atau penjelasan secara terbuka dan jujur kepada para karyawan tentang segala hal yang berkaitan dengan apa saja yang telah, sedang dan akan dilaksanakan atau dicapai oleh organisasi. Gaya kepemimpinan yang transformatif, artinya kepemimpinan yang memiliki visi kedepan dan mampu mengidentifikasi perubahan lingkungan serta mampu mentransformasikan perubahan tersebut ke dalam organisasi, mempelopori perubahan dan memberikan motivasi dan inspirasi kepada individu-individu karyawan untuk kreatif dan inovatif, serta membangun teamwork yang solid; membawa pembaharuan dalam etos kerja dan kinerja manajemen; berani dan bertanggung jawab memimpin dan mengendalikan organisasi.

Kedua, mengajak seluruh karyawan untuk mendialogkan secara terbuka dan jujur mengenai segala hal, baik yang menyangkut masalah-masalah karyawan, manajemen, organisasi, maupun harapan-harapan organisasi dan karyawan untuk membangun kesuksesan organisasi yang berkelanjutan.

Ketiga, mensosialisasikan kepada seluruh anggota organisasi untuk melakukan reformasi budaya organisasi dan mengajak mereka untuk terlibat aktif dalam proses reformasi tersebut. Dalam proses ini paradigma lama yang menganggap para karyawan sebagai asset organisasi harus diubah menjadi paradigma baru bahwa mereka merupakan stakeholder yang ikut memiliki organisasi.

Keempat, memberikan pelatihan, pengembangan dan sosialisasi yang memadai kepada seluruh anggota organisasi agar mereka dapat memahami dan mengimplementasikan visi, misi, tujuan dan sasaran dari budaya organisasi yang baru dibangun.

Kelima, Medesain kembali sistem manajemen dan sistem pengendalian organisasi yang sesuai dengan jiwa dan semangat baru budaya organisasi yang baru dibangun.

Keenam, jika mengalami kesulitan di dalam membangun dan mendesain budaya organisasi, gunakanlah jasa konsultan untuk mengidentifikasi, mendesain dan membangun kembali suatu model budaya organisasi yang kuat, dinamis dan adaptif yang cocok dengan bentuk, karakteristik, mission statement, tujuan dan sasaran organisasi.

CONTOH MAKALAH MENATA MARTABAT NEGARA KESEJAHTERAAN DENGAN PENGUATAN PERAN KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

MENATA MARTABAT NEGARA KESEJAHTERAAN DENGAN PENGUATAN PERAN KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
A. Pendahuluan 
Tuntutan terhadap kemampuan negara untuk mensejahterakan bangsa merupakan suatu kewajiban yang dijanjikan oleh negara sendiri sebagaimana dituangkan pada ketentuan yuridis. Indonesia menuangkan janji bertanggungjawab mensejahterakan bangsa melalui pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea 4 yang menyatakan bahwa “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, …..”.
  1. Menurut Miriam Budiardjo, setiap undang-undang dasar memuat ketentuan-ketentuan mengenai: 
  2. Organisasi negara, 
  3. Hak-hak asasi manusia (biasanya disebut Bill of Rights, dan berbentuk naskah tersendiri), 
  4. Prosedur mengubah undang-undang dasar (amandemen), 
  5. Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari undang-undang dasar
  6. Merupakan aturan hukum yang tertinggi yang mengikat semua warga negara dan lembaga negara tanpa terkecuali
Persoalannya adalah janji yang tertuang pada pembukaan UndangUndang Dasar 1945 itu memerlukan implementasi yang signifikan dengan kondisi kontekstual negara saat sekarang. Berbagai tantangan menghadang peran negara untuk mensejahterakan bangsa salah satunya adalah globalisasi tentang hak asasi manusia. Kecenderungan umum menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat domestik atau lokal terintegrasi ke dalam komunitas global di berbagai bidang. Berbagai tantangan dari persoalan lokal, pertukaran dan perkembangan ide-ide mengenai demokratisasi, hak asasi manusia dan lingkungan hidup, migrasi dan berbagai fenomena human trafficking lainnya yang melintas batas-batas lokalitas dan nasional kini merupakan fenomena umum yang berlangsung hingga ke tingkat komunitas paling lokal sekalipun.

Hal ini menunjukkan komunitas domestik atau lokal kini adalah bagian dari rantai perdagangan, pertukaran ide dan komunitas internasional. Dampak yang muncul adalah implikasi dari kecenderungankecenderungan itu memerlukan perhatian berbagai pihak dalam pengelolaan hak asasi manusia oleh negara, dan pada perkembangannya munculnya global governance yang mengatur berbagai kecenderungan tadi.

Negara selaku pemegang kewenangan menerima amanah dari rakyat, hal ini sebagaimana disampaikan John Locke yang meletakkan dasar-dasar hak asasi manusia. Menurut pendapatnya, hak asasi manusia harus dilindungi dan harus menjamin kepentingan masyarakat dalam suatu peraturan perundang-undangan. 

John Locke menyimpulkan bahwa terbentuknya negara melalui perjanjian adalah sebagai berikut: 
  1. Pactum unionis, yaitu perjanjian antar individu untuk membentuk suatu negara.
  2. Pactum subjektionis, yaitu perjanjian antara individu dan wadah atau negara untuk memberi kewenangan atau mandat kepada negara berdasarkan konstitusi atau UUD.
Demikian pula Jean Jacques Rousseau yang hidup pada abad ke-18 menyampaikan pemikiran tentang kedaulatan rakyat dengan menyatakan bahwa individu menyerahkan hak-haknya kepada negara untuk dilindungi. Kemudian, negara harus melindungi dan mengembalikan hak-hak warga negara. Oleh karena itu, penguasa dibentuk berdasarkan kehendak rakyat. Hal ini melahirkan sebuah negara demokrasi (kedaulatan rakyat). Dalam teori perjanjian masyarakat, akan muncul sebuah negara yang kedaulatannya di tangan raja (Thomas Hobbes) dan kedaulatan yang berada di tangan rakyat (John Locke dan Jean Jacques Rousseau). Di dalam negara demokrasi, rakyat yang berdaulat dan penguasa-penguasa negara hanya merupakan wakil-wakil rakyat. Dengan demikian, kedaulatan rakyat membawa akibat rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam bernegara. Kedaulatan rakyat juga dapat berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Pada abad 21 ini tuntutan terhadap negara yang didasarkan pada komitmen negara hukum diberi limpahan wewenang dari rakyat pada penyelenggara negara untuk menyelenggarakan kesejahteraan bangsanya melalui pengelolaan perlindungan hak asasi manusia karena tuntutan zaman. Ruang demokrasi yang makin terbuka menyebabkan kualitas dan kuantitas pelanggaran hak asasi manusia semakin banyak, juga beragam terjadi di negeri Indonesia. Paradigma negara kesejahteraan menuntut negara agar mendasarkan pada hukum dimana nilai dasar hukum adalah memberi penghormatan teratas pada pemajuan hak asasi manusia guna mendasari peningkatan harkat dan martabat warga negara Indonesia.

Sedangkan fenomena reformasi yang mengubah negara otoritarian menjadi demokratis dan menyelenggarakan kehidupan bangsa yang lebih bermartabat, muncul disebabkan adanya desakan terhadap pemajuan perlindungan hak asasi manusia. Salah satu langkah yang harus ditempuh adalah melengkapi negara dengan lembaga yang mengelola penyelesaian persoalan hak asasi manusia. Pada tanggal 23 September 1999 telah disahkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang tersebut selain mengatur mengenai hak asasi manusia, juga mengatur kelembagaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM). Lembaga Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang kedudukannya berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia. Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa parameter negara demokrasi dapat terlihat dari penegakan hak asasi manusia. Iklim kehidupan berbangsa harus memihak pada hak asasi manusia. Tolak ukur demokrasi bagi negara maju adalah dengan menempatkan hak asasi manusia sebagai roh. Kalau perspektif negara adalah hak asasi manusia, kondisinya akan lebih baik.

Untuk menelaah kembali tentang peran KOMNAS HAM yang diberi tanggung jawab untuk turut terlibat menata martabat negara Indonesia sebagai negara kesejahteraan, maka tulisan ini bermaksud akan mengurai tentang kedudukan KOMNAS HAM pada sudut pandang hukum administrasi negara dengan cara mempertanyakan bagaimanakah KOMNAS HAM memberi penguatan pada negara agar Indonesia bermartabat dalam kapasitasnya sebagai negara kesejahteraan. 

B. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara 
Memasuki wilayah hukum administrasi negara, dikenal adanya  kapasitas negara kesejahteraan. Paradigma negara kesejahteraan menempatkan warga negara ataupun orang perorang menjadi subyek hukum, yang harus dilindungi serta disejahterakan dalam segala aspek kehidupannya. Negara dalam paradigma negara kesejahteraan, menempatkan warga negara sebagai subyek, dan tidak lagi menempatkan warga negara sebagai obyek. Negara mempunyai kewajiban untuk masuk ke dalam wilayah kehidupan warganya dalam rangka menjalankan fungsinya, yaitu melayani dan mengupayakan kesejahteraan (bestuurszorg).

Adanya kewajiban untuk melayani warga negaranya, negara hukum modern berusaha menggunakan institusi hukum administrasi negara sebagai instrumen pengendalian administrasi negara. Penggunaan hukum administrasi, tidak hanya sebagai alat pengatur dan pemaksa, tetapi juga sebagai sarana pembatas kekuasaan negara itu sendiri. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa sejak berabad-abad lamanya pemegang kekuasaan cenderung akan menggunakan kekuasaan sebagaimana dalil Lord Acton: “power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”. Dalil itu tampaknya tepat untuk menggambarkan penguasa yang ingin menyalahgunakan kekuasaannya.

Konteks konsep negara kesejahteraan tidak hanya mencakup deskripsi mengenai sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare) atau pelayanan sosial (social services), melainkan juga sebuah konsep normatif atau sistem pendekatan ideal yang menekankan bahwa setiap orang harus memperoleh pelayanan sosial sebagai haknya. Negara kesejahteraan juga merupakan anak kandung pergumulan ideologi dan teori, khususnya yang bermatra sayap kiri (left wing view), seperti Marxisme, Sosialisme, dan Sosial Demokratik. Namun demikian, konsep negara kesejahteraan justru tumbuh subur di negara-negara demokratis dan kapitalis, bukan di negara-negara sosialis. 

Di negara-negara Barat, negara kesejahteraan sering dipandang sebagai strategi ‘penawar racun’ kapitalisme, yakni dampak negatif ekonomi pasar bebas. Karenanya, welfare state sering disebut sebagai bentuk dari ‘kapitalisme baik hati’ (compassionate capitalism). Sebagai ilustrasi, Thoenes mendefinisikan welfare state sebagai “a form of society characterised by a system of democratic government-sponsored welfare placed on a new footing and offering a guarantee of collective social care to its citizens, concurrently with the maintenance of a capitalist system of production”.

Menurut Bessant, Watts, Dalton dan Smith (2006), ide dasar negara kesejahteraan beranjak dari abad ke-18 ketika Jeremy Bentham (1748-1832) mempromosikan gagasan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness (atau welfare) of the greatest number of their citizens. Bentham menggunakan istilah ‘utility’ (kegunaan) untuk menjelaskan konsep kebahagiaan atau kesejahteraan. Berdasarkan prinsip utilitarianisme yang ia kembangkan, Bentham berpendapat bahwa sesuatu yang dapat menimbulkan kebahagiaan ekstra adalah sesuatu yang baik. Sebaliknya, sesuatu yang menimbulkan sakit adalah buruk. Menurutnya, aksi-aksi pemerintah harus selalu diarahkan untuk meningkatkan kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Gagasan Bentham mengenai reformasi hukum, peranan konstitusi dan penelitian sosial bagi pengembangan kebijakan sosial membuat ia dikenal sebagai “bapak negara kesejahteraan” (father of welfare states).

Di dalam konteks kapitalisme, Marshall berargumen bahwa warga negara memiliki kewajiban kolektif untuk turut memperjuangkan kesejahteraan orang lain melalui lembaga yang disebut negara.11 Ketidaksempurnaan pasar dalam menyediakan pelayanan sosial yang menjadi hak warga negara telah menimbulkan ketidakadilan. Ketidakadilan pasar harus dikurangi oleh negara untuk menjamin stabilitas sosial dan mengurangi dampak-dampak negatif kapitalisme. Marshall melihat sistem negara kesejahteraan sebagai kompensasi yang harus dibayar oleh kelas penguasa dan pekerja untuk menciptakan stabilitas sosial dan memelihara masyarakat kapitalis. Pelayanan sosial yang diberikan pada dasarnya merupakan ekspresi material dari hak-hak warga negara dalam merespon konsekuensi-konsekuensi kapitalisme.

Mengenali tanggung jawab negara Indonesia dalam menyelenggarakan negara kesejahteraan adalah dengan kesediaan negara untuk terus melakukan serta merespon tuntutan warga negara untuk turut serta memecahkan masalah yang dihadapi warga negaranya pada problem-problem pelanggaran hak asasi manusia. 

Hal tersebut tentu tidak keliru ketika KOMNAS HAM dibentuk dengan tujuan: 
  1. Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. 
  2. Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Persoalan menjadi lebih kompleks dengan adanya peristiwa faktual pelanggaran hak asasi manusia yang sangat beragam dan berkembang sangat pesat. Besarnya harapan masyarakat terhadap KOMNAS HAM dan menganggap KOMNAS HAM sebagai lembaga super body, diartikan sebagai lembaga harapan akhir masyarakat, yang dianggap dapat menyelesaikan semua permasalahan masyarakat. Situasi ini telah menjadi beban yang sangat berat bagi KOMNAS HAM dalam menjalankan amanat tersebut.12 Besarnya harapan masyarakat terutama korban ternyata tidak diimbangi dengan kewenangan yang diberikan kepada KOMNAS HAM, sehingga masyarakat kecewa dengan kinerja KOMNAS HAM karena ternyata lembaga ini tidak dapat memenuhi harapan masyarakat. Karena itu, tuntutan yang sangat besar atas peranan lembaga KOMNAS HAM dalam mengemban tanggung jawab lembaga untuk melakukan pemajuan, penegakan dan perlindungan hak asasi manusia sangat perlu dilengkapi dengan sistem hukum sebagai pendukung agar memiliki kinerja seperti yang diharapkan masyarakat.

Lawrence Freidman menyampaikan bahwa unsur-unsur sistem hukum terdiri dari struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture).13 Struktur hukum terwujud melalui pembentukan KOMNAS HAM ataupun partisipasi masyarakat dalam wujud LSM, LBH maupun lembaga advokasi serta lembaga edukasi yang terlibat dalam pemajuan hak asasi manusia. Substansi hukum adalah instrumen yang diperlukan agar struktur hukum bentukan negara bisa bekerja berdasarkan pada asas legalitasnya, komponen ini ada pada lahirnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dilengkapi dengan berbagai peraturan yang dimaksudkan agar struktur hukum melaksanakan kegiatannya sesuai aturan yang dibakukan negara. Sedangkan budaya hukum pada sistem hukum adalah faktor yang cukup efektif untuk mendukung bekerjanya sistem hukum karena budaya hukum adalah merupakan penentu dalam implementasi kebijakan negara.

Latar belakang pemahaman hukum sebagai suatu sistem menurut Schore dan Voich tidak lain adalah agar kita dapat memahami hukum secara komprehensif, tidak sepotong-potong dan parsial. Makna dasar sistem yaitu: 
  1. Selalu berorientasi pada tujuan;
  2. Keseluruhan, lebih dari sekedar jumlah dan bagianbagiannya; 
  3. Selalu berorientasi dengan sistem yang lebih besar; 
  4. Bagian dari sistem sosial yang menciptakan sesuatu yang berharga. 
Sedangkan Shrode dan Voich mendefinisikan sistem sebagai a set of interrelated parts, working independently and jointly, in pursuit of common objective of the whole within a comply environment.

Dari uraian di atas, penulis ingin memaparkan bahwa persoalan hukum itu rumit dan kompleks, dimana hukum bukan hanya sebagai sistem nilai, tetapi juga sebagai sub sistem dari sistem sosial yang lebih besar, yaitu masyarakat dimana hukum diberlakukan. Hukum sebagai sistem dapat dijabarkan menjadi hukum yang secara hirarkis dipayungi oleh norma dasar tertinggi (groundnorm) yang berperan memberi isi, substansi, dasar, norma-norma dibawahnya sehingga norma hukum tidak lain adalah penjabaran, break down dari groundnorm, dimana norma hukum di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan “groundnorm” Pancasila.

Esmi Warassih dalam pidato pengukuhan sebagai guru besar menyatakan bahwa “Penerapan suatu sistem hukum yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari kandungan masyarakat merupakan masalah, khususnya di negara-negara yang sedang berubah karena terjadi ketidakcocokan antara nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem hukum dari negara lain dengan nilai-nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat itu sendiri”. Meskipun hal tersebut di atas juga disadari, akan tetapi tampaknya untuk membangun hukum nasional dengan bermula dari titik nol, apalagi bertolak dari suatu konfigurasi baru yang masih harus ditemukan terlebih dahulu, jelas tidak mungkin. Ditambah pula oleh budaya hukum para yuris yang mendukung beban kewajiban membangun hukum nasional amat sulit untuk menemukan pemikiran-pemikiran yang lateral dan menerobos.

Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 baik sebelum amandemen maupun sesudahnya, menganut prinsip keseimbangan antara individualisme dan kolektivisme dengan titik berat pembangunan keadilan sosial. Hak milik pribadi diakui, tetapi harus diletakkan dalam kerangka kebersamaan dalam kesatuan masyarakat. Oleh sebab itu, hak milik juga mengandung fungsi sosial, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar atas Tanah dan UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Hal ini sejalan dengan prinsip pembangunan kesejahteraan umum dan keadilan sosial yang diamanahkan di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, sikap konstitusi atas sumber daya alam dalam politik hukum adalah “menguasai” seperti diatur dalam Pasal 33 ayat 2 dan ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 33 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara yag menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”

Sedangkan Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya diuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Kata “dikuasai” bukanlah diartikan dengan memiliki seperti yang terjadi di negara-negara komunis yang tidak mengakui hak milik pribadi. Hak menguasai oleh negara artinya adalah hak mengatur agar sumber daya alam dapat dimanfaatkan sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar untuk mencapai tujuan negara.

Dari sudut ekonomi politik sejauh menyangkut pilihan nilai kepentingan, politik hukum yang demikian juga mengandung konsep prismatik yakni mempertemukan atau menyeimbangkan antara kepentingan perseorangan (individu) dan kepentingan masyarakat sebagai kesatuan. Dalam hubungan ini, barangkali masih relevan apa yang disebut Fred W. Riggs (1985) masyarakat prismatik (prismatic society) ketika menjelaskan proses transisi negara-negara sedang berkembang. Masyarakat prismatik ditandai oleh tiga gejala utama, yakni heterogenitas, formalisme, dan kehidupan yang tumpang-tindih.

Negara Pancasila merupakan konsepsi prismatik (Fred W. Riggs, 1964) yang memadukan inti nilai yang baik dari berbagai nilai yang saling bertentangan. Konsepsi prismatik tersebut minimal dicirikan oleh empat hal, meliputi: 
  1. Pancasila memadukan unsur yang baik dari paham individualisme dan kolektivisme. Di sini diakui bahwa manusia sebagai pribadi mempunyai hak dan kebebasan asasi, namun sekaligus melekat padanya kewajiban asasi sebagai makhluk Tuhan dan makhluk sosial.
  2. Pancasila mengintegrasikan konsepsi negara hukum “rechtsstaat” yang menekankan pada civil law dan kepastian hukum serta konsepsi negara hukum “the rule of law” yang menekankan pada common law dan rasa keadilan. 
  3. Pancasila menerima hukum sebagai alat pembaruan masyarakat (law as tool of social engineering) sekaligus hukum sebagai cermin rasa keadilan yang hidup di masyarakat (living law). 
  4. Pancasila menganut paham religious nation state, tidak menganut atau dikendalikan satu agama tertentu (karena bukan negara agama), tapi juga tidak hampa agama (karena bukan negara sekuler). Di sini, negara harus melindungi dan membina semua pemeluk agama tanpa diskriminasi berdasar pertimbangan mayoritas dan minoritas.

Dengan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, maka sistem hukum di tanah air juga akan berbeda dengan sistem hukum di negara lain. Sistem hukum Pancasila sangat berbeda dengan sistem hukum Eropa Continental yang hanya menekankan pada legisme, civil law, administrasi, kepastian hukum dan hukum-hukum tertulis yang negara hukumnya disebut rechtsstaat.

Sistem hukum Pancasila juga sangat berbeda dengan sistem hukum Anglo-Saxon yang hanya menekankan pada peranan yudisial, common law dan substansi keadilan yang negara hukumnya disebut the rule of law (Anglo-Saxon). Sistem hukum Pancasila mengambil segi-segi terbaik dari kedua sistem hukum tersebut yang mana didalamnya bertemu dalam sebuah ikatan prismatic dan integrative prinsip kepastian hukum dan keadilan substansial. Dalam bidang penegakan hukum, sistem hukum Pancasila menghendaki terciptanya kepastian hukum bahwa keadilan telah ditegakkan sesuai dengan nilai hak asasi manusia.

Namun sampai saat ini, nampaknya apa yang terkandung dalam Pancasila sama sekali tidak pernah dijalankan secara konsisten sesuai dengan keadilan substansial yang dituntut warga negara guna pemajuan hak asasi manusia. Sejak bangsa ini merdeka sampai era reformasi saat ini, belum ada pemimpin yang mampu menjalankan Pancasila sebagai landasan berpijak, berpikir dan berbuat untuk membangun negeri ini.

Pemantauan hak asasi manusia yang dilakukan pada tahun 2011 oleh Asian Human Rights Commission (AHRC) menyaksikan bahwa Indonesia, khususnya dalam segi kebebasan beragama serta peran dan akuntabilitas lembaga peradilan terhadap yang dilakukan oleh aparat keamanan, mengalami kemerosotan hak asasi manusia. Laporan ini, yang didasarkan pada kerja dokumentasi dan monitoring AHRC, menunjukkan bahwa Indonesia masih mengalami pelanggaran hak asasi manusia berat dan kurangnya rule of law. Minimnya pencegahan yang efektif dan langkah hukum yang ditempuh oleh aparat penegak hukum terhadap kelompok fundamentalis menunjukkan ketidakmampuan negara untuk menjamin hak asasi manusia yang paling mendasar seperti hak untuk hidup dan hak untuk kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. 

C. Peran Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam Meningkatkan Martabat Negara Kesejahteraan 
KOMNAS HAM merupakan lembaga yang efektif dan mempunyai kelayakan untuk disebut sebagai sebuah institusi nasional. Untuk itulah, maka pembentukan institusi nasional yang bergerak di sektor hak asasi manusia idealnya memenuhi elemen-elemen yang diatur di dalam standar internasional pembentukan institusi nasional hak asasi manusia sebagaimana disebutkan di dalam Prinsip-Prinsip Paris 1991 atau Paris Principle 1991. 

Guna membantu masyarakat korban pelanggaran hak asasi manusia untuk memulihkan hak-haknya, maka dibutuhkan adanya KOMNAS HAM. Komisi ini dibentuk pada tanggal 7 Juni 1993 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Keputusan Presiden tersebut lahir menindaklanjuti hasil rekomendasi lokakarya tentang hak asasi manusia yang diprakarsai oleh Departemen Luar Negeri Republik Indonesia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang diselenggarakan pada tanggal 22 Januari 1991 di Jakarta. 

Berdasarkan Keputusan Presiden tersebut, Komnas HAM bertujuan pertama, membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Kedua, meningkatkan perlindungan hak asasi manusia guna mendukung terwujudnya pembangunan manusia nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya maupun pembangunan masyarakat pada umumnya. 

Berawal dengan sumber daya manusia, sumber dana dan fasilitas yang seadanya, sebanyak 25 anggota KOMNAS HAM yang diangkat untuk pertama kalinya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 455/M.1993 telah melakukan rangkaian kegiatan antara lain: 
  1. Penyebarluasan wawasan nasional dan internasional mengenai hak asasi manusia baik kepada masyarakat Indonesia maupun kepada masyarakat internasional. 
  2. Pengkajian instrumen internasional hak asasi manusia dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan/atau ratifikasinya. 
  3. Pemantauan dan penyelidikan pelaksanaan hak asasi manusia serta memberikan pendapat, pertimbangan dan saran kepada badan pemerintahan negara mengenai pelaksanaan hak asasi manusia.

Menyikapi adanya berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia tersebut di atas, maka guna menghindari jatuhnya korban pelanggaran yang lebih banyak dan untuk menciptakan kondisi yang kondusif serta penguatan peran lembaga yang mengelola hak asasi manusia, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat telah mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998. Ketetapan tersebut menugasi lembaga-lembaga tinggi negara dan seluruh aparatur pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat. Selain itu, ketetapan tersebut juga menyebutkan bahwa pelaksanaan penyuluhan, pengkajian, pemantauan, penelitian dan mediasi tentang hak asasi manusia dilakukan oleh suatu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang ditetapkan dengan undangundang. Menindaklanjuti amanat Ketetapan MPR tersebut, maka pada tanggal 23 September 1999 telah disahkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Undang-Undang tersebut selain mengatur mengenai hak asasi manusia, juga mengenai kelembagaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. 

Sampai dengan tahun 2012 ini, KOMNAS HAM menghadapi berbagai tantangan dalam persoalan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini bisa dilihat dari isu pelanggaran yang masih marak di negara Indonesia dari keagamaan, seperti pelaksanaan hukum syariah di Aceh hinggga persoalan hak asasi manusia di Papua. Persoalan lainnya ialah terorisme, sengketa tanah, serta tuntutan akan kebebasan berekspresi oleh para pembela hak asasi manusia merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh KOMNAS HAM

Guna kepentingan tersebut, maka diperlukan yurisdiksi yang jelas dan wewenang yang memadai. Yurisdiksi pokok haruslah disebutkan dengan jelas di dalam undang-undang pembentukan seperti memberikan pendidikan tentang hak asasi manusia, membantu pemerintah dalam masalah-masalah legislatif serta menerima dan menangani pengaduan pelanggaran hak asasi manusia.

Mengubah lembaga KOMNAS HAM menjadi penting apabila mengingat sangat kompleksnya persoalan yang dihadapi lembaga tersebut. Dalam hal ini, karena dibentuknya lembaga KOMNAS HAM sebagai lembaga yang independen dan sebagai birokrasi yang memiliki tanggung jawab untuk pemajuan dan penegakan hak asasi manusia, maka KOMNAS HAM harus berada pada kapasitas independen, imparsial, transparan dan akuntabel. Sebab, secara internasional telah dikeluarkan Prinsip-Prinsip Paris yang pada workshop internasionalnya yang pertama pada 7-9 Oktober 1991 di Paris, memberi landasan kerja bagi institusi nasional untuk promosi dan perlindungan hak asasi manusia. Prinsip tersebut kemudian diadopsi oleh Komisi HAM PBB dengan Resolusi 1992/54 Tahun 1992, dan oleh Majelis Umum PBB dengan Resolusi 48/134 Tahun 1993. Prinsip-Prinsip Paris berhubungan dengan status dan fungsi lembaga-lembaga nasional untuk perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia. 

Serangkaian rekomendasi memiliki lima ketentuan: 
  1. Lembaga ini akan memantau setiap situasi pelanggaran hak asasi manusia yang sudah diputuskan untuk mengambil tindakan. 
  2. Lembaga harus mampu memberikan saran kepada pemerintah, parlemen dan badan berwenang lainnya atas pelanggaran tertentu, pada masalah yang berkaitan dengan undang-undang dan kepatuhan umum dan pelaksanaan dengan instrumen internasional hak asasi manusia. 
  3. Lembaga ini harus berhubungan dengan organisasi regional dan internasional. 
  4. Institusi harus memiliki mandat untuk mendidik dan menginformasikan di bidang hak asasi manusia. 
  5. Beberapa lembaga yang diberi kewenangan kuasi-yudisial. 
Dengan demikian, diharapkan lembaga nasional yang berkaitan dengan hak asasi manusia menjadi lembaga nasional yang bebas dari intervensi birokrasi pemerintah dan mampu mewadahi kepentingan pluralitas. Sehubungan dengan independensi, sesuai dengan ketentuan Prinsip-Prinsip Paris, pengangkatan komisioner harus didasarkan pada undang-undang resmi dengan masa kerja yang mungkin diperbarui.3 Jadi kepatuhan terhadap Prinsip-Prinsip Paris adalah kebutuhan utama dari proses akreditasi yang mengatur akses National Human Rights Institution (NHRI) untuk PBB, Dewan Hak Asasi Manusia dan badanbadan lainnya. Ini adalah sistem review yang dioperasikan oleh sebuah sub komite dari Komite Internasional Koordinasi NHRI, yaitu sebuah lembaga komite internasional yang mengatur koordinasi bagi institusi hak asasi manusia nasional.

D. Tantangan Kedepan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 
Perjalanan bangsa Indonesia pasti dipenuhi berbagai peristiwa politik, ekonomi, maupun sosial, dan banyak yang cenderung berpotensi konflik dan melanggar hak asasi manusia. Hal ini bisa dilihat pada apa yang sedang berlangsung sekarang, diantaranya, kenaikan harga bahan bakar minyak, eskalasi peningkatan ketegangan pada ranah politik dengan dipicunya kegiatan Pemilihan Kepala Daerah  maupun persiapan pemilu tahun 2014, semakin maraknya pergerakan buruh untuk demonstrasi di jalan-jalan yang dipicu semakin rendahnya daya beli mereka, meningkatnya kasus trafficking yang dipicu oleh kemiskinan dan rendahnya latar belakang pendidikan pelaku, persoalan terorisme yang terus berkembang dan bergerak di Indonesia, pelanggaran hak asasi manusia masa lalu yang hingga saat ini belum diusut tuntas, serta aksi premanisme yang meresahkan masyarakat. 

Berkaca dari kemungkinan peristiwa yang ada, maka KOMNAS HAM kini dituntut masyarakat harus memiliki daya tawar politik yang tinggi agar bisa menegakkan hak asasi manusia di Indonesia. Selain itu, komisioner KOMNAS HAM mendatang harus berani dan memegang prinsip keadilan sosial. Hal itu menjadi masukan yang tidak bisa ditawar lagi dan menjadi bagian pekerjaan para Komisioner KOMNAS HAM periode 2012-2017. Sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang diinginkan masyarakat saat ini adalah KOMNAS HAM yang berfungsi dan bekerja untuk masyarakat.

Citra birokrasi untuk kepentingan layanan publik di Indonesia, dari dulu hingga kini, lebih dominan sisi gelapnya ketimbang sisi terangnya. Selain mekanisme birokrasi yang bertele-tele, ditambah lagi dengan petugas birokrasi yang tidak profesional. Sudah tidak asing lagi jika layanan publik di Indonesia dicitrakan sebagai salah satu sumber korupsi dan juga sangat beralasan kalau World Bank, dalam World Development Report 2004, memberikan stigma bahwa layanan publik di Indonesia sulit diakses oleh orang miskin, dan menjadi pemicu ekonomi biaya tinggi (high cost economy) yang pada akhirnya membebani kinerja ekonomi makro, alias membebani publik (masyarakat). Jadi sangat dibutuhkan peningkatan kualitas dan jaminan penyediaan pelayanan publik yang baik serta melindungi warga negara dari penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah secara konstitusional juga merupakan kewajiban negara untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka pelayanan publik.

Sebagaimana diketahui bersama, secara konstitusional negara Indonesia sebagai penganut paham good governance, memiliki konsekuensi logis untuk menyelaraskan tuntutan masyarakat atas kemampuan kinerja negara dengan melengkapi perintah konstitusi yang telah diamandemen. Sejatinya, saat-saat terdahulu sebelum lahir amandemen Undang-Undang Dasar 1945 tidak perlu diadakan lembaga seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Yudisial (KY) Mahkamah Konstitusi (MK) maupun Komisi Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), maka begitu kelahiran amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Pemerintah Indonesia menerbitkan lembaga negara yang tersebut di atas sesuai dengan tuntutan konstitusi agar memenuhi kebutuhan negara demokrasi yang sesuai dengan hal-hal yang dimaksud untuk mewujudkan negara yang menganut paham good governance tersebut. 

Secara umum good governance memiliki sepuluh prinsip, yaitu: 
1. Akuntabilitas. Meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat. 
2. Pengawasan. Meningkatkan upaya pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengusahakan keterlibatan swasta dan masyarakat luas. 
3. Daya tanggap. Meningkatkan kepekaan para penyelenggara pemerintahan terhadap aspirasi masyarakat tanpa kecuali. 
4. Profesionalisme. Meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggaraan pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya terjangkau. 
5. Efisiensi dan efektifitas. Menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggungjawab. 
6. Transparansi. Menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan didalam memperoleh informasi. 
7. Kesetaraan. Memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. 
8. Wawasan Kedepan. Membangun daerah berdasarkan visi dan strategis yang jelas dan mengikutsertakan warga dalam seluruh proses pembangunan, sehingga warga merasa  memiliki dan ikut bertanggungjawab terhadap kemajuan daerahnya.
 9. Partisipasi. Mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung mapun tidak langsung. 
10. Penegakan Hukum. Mewujudkan penegakan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Mengenali sepuluh prinsip yang ditekankan oleh model good governance, maka konteks untuk kepentingan menolok ukur kinerja anggota KOMNAS HAM mendatang diperlukan syarat-syarat yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan jaman, yaitu: 
1. Para calon anggota memiliki strategi yang visioner terhadap berbagai persoalan dan tantangan penegakan hak asasi manusia yang muncul, termasuk pencegahan pelanggaran manusia. 
2. Memiliki integritas dan keberanian dalam perlindungan, penghormatan, penegakan dan pemajuan hak asasi manusia. 
3. Memiliki perspektif korban pelanggaran hak asasi manusia. 
4. Tidak pernah terlibat kejahatan pelanggaran hak asasi manusia, korupsi dan kejahatan lainnya. 
5. Memiliki kemampuan mendorong penyelesaian kasuskasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu yang terhambat di Kejaksaan Agung, Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.
6. Memilikikemampuan memaksimalkan kewenangan penyelidikan pro justisia. 
7. Memiliki kemampuan mengupayakan terobosan dan melakukan kreativitas untuk melawan impunitas terhadap kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu.
8. Memiliki kemampuan membangun relasi dan kerja sama yang baik, independen dan setara dengan lembaga-lembaga negara lainnya, sehingga KOMNAS HAM bisa dianggap baik oleh masyarakat jika bisa bekerja untuk masyarakat dan memiliki kredibilitas yang baik. 
9. Memiliki kemampuan menghadapi tantangan yang lebih besar dimasa mendatang karena Rancangan Undang-Undang KOMNAS HAM masuk dalam Prolegnas 2014 mendatang. Salah satu yang tertuang dalam rancangan undang-undang tersebut adalah penguatan kewenangan KOMNAS HAM.

Di dalam Pasal 84 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa yang dapat diangkat menjadi anggota KOMNAS HAM adalah warga negara Indonesia yang: 
1. Memiliki pengalaman dalam upaya memajukan dan melindungi orang atau kelompok yang dilanggar hak asasi manusianya, 
2. Berpengalaman sebagai hakim, jaksa, polisi, pengacara atau pengemban profesi hukum lainnya, 
3. Berpengalaman di bidang legislatif,eksekutif, dan lembaga tinggi negara, atau 
4. Merupakan tokoh agama, tokoh masyarakat, anggota lembaga swadaya masyarakat dan kalangan perguruan tinggi.

Persyaratan yang dilahirkan Pasal 84 undang-undang tersebut diharapkan memperhatikan keragaman latar belakang calon anggota KOMNAS HAM yang akan diusulkan, karena keragaman itu mencerminkan ketangguhan KOMNAS HAM dalam menghadapi tantangan masa datang. Keragaman yang dituntut adalah baik dalam arti keahlian, maupun geografis. Keahlian yang dibutuhkan oleh KOMNAS HAM kedepan adalah hukum, khususnya pidana, sosiologi dan sejarah, antropologi dan psikologi, penyelidik dan penyidik, serta keahlian spesifik tentang perempuan.

Sementara keragaman geografis yang dituntut berbagai pihak adalah agar KOMNAS HAM tidak didominasi oleh mereka yang berasal dari Jawa, tetapi juga diisi oleh tokoh-tokoh potensial dari luar Jawa khususnya dari Aceh dan Papua serta Kalimantan. Individu yang tangguh diperlukan KOMNAS HAM, karena ada beberapa tantangan berat di depan mata. Pertama telah berkembangnya secara signifikan norma- norma hak asasi manusia dalam hukum positif nasional. Dengan kata lain seseorang yang menjadi anggota KOMNAS HAM semestinya menjadi tokoh nasional yang mampu menelurkan alternative value bagi masyarakat. Pada sisi lain, adanya tuntutan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia di masa datang yang juga merupakan tuntutan yang konstitusional. Kedua, berubahnya format politik nasional dari sentralis menjadi desentralis. Dalam format politik yang terdesentralisasi, instansi di daerah memainkan peran penting dalam perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, khususnya dimensi ekonomi, sosial dan budaya. Ketiga, dianutnya sistem multipartai dan pemilihan langsung dalam politik nasional. Dalam sistem multipartai, rekrutmen para elit nasional dan lokal baik di jajaran eksekutif maupun legislatif didominasi oleh elit partai politik. Berubahnya konfigurasi elit di tingkat nasional atau daerah akan mempengaruhi secara langsung kondisi perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia secara nasional dan regional.

Perpaduan faktor kedua dan ketiga di atas dalam lima tahun kedepan berpotensi menimbulkan gejolak. Gejolak tersebut tidak menutup kemungkinan bisa menjadi amok terhadap orang atau harta milik orang lain. Seluruh tantangan yang terpapar di atas kian menuntut para anggota KOMNAS HAM untuk jauh lebih cerdas, tangkas dan arif dalam menyikapi setiap perkembangan serta mampu mengkomunikasikannya secara arif kepada masyarakat dan instansi negara lainnya. 

E. Peran Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Masa Datang 
Negara bertekad memecahkan problem hak asasi manusia yang secara faktual terjadi, namun juga banyak persoalan pelanggaran yang tidak sederhana mengatasinya. Selama lebih dari tiga puluh tahun rakyat terkooptasi dengan orde pemerintahan otoriter yanag berdampak pada pengabaian pelanggaran hak asasi manusia. Dalam berbagai kebijakan maupun dalam proses penyelesaian, menuntut perubahan paradigma. Setelah reformasi, demokrasi serta hak asasi manusia merupakan standar penyelenggaraan pemerintahan. Wacana demokrasi dan hak asasi manusia juga digunakan baik oleh kalangan rakyat yang merasa tertindas maupun oleh pemerintahan negara-negara lain yang merasa berkepentingan untuk mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia di negara-negara lain yang dianggap tidak demokratis. Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa parameter negara demokrasi dapat terlihat dari penegakan hak asasi manusianya. Menurutnya, iklim (kehidupan berbangsa) harus memihak pada hak asasi manusia. 

Tolak ukur demokrasi bagi negara maju menempatkan hak asasi manusia sebagai roh. Kalau perspektif negara adalah hak asasi manusia, kondisinya akan lebih baik. Salah satu langkah yang dibuat negara adalah dengan membentuk KOMNAS HAM yang memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan beberapa lainnya, termasuk KOMNAS HAM yang memiliki fungsi untuk melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia. 

F. Penguatan Peran KOMNAS HAM 
Fenomena yang berhadapan dengan persoalan hak asasi manusia cukup kompleks. Lahirnya lembaga baru KOMNAS HAM yang belum kokoh bahkan embedded dengan berbagai kepentingan kita. Good governance di berbagai area yang sebagian sudah disebut, tidak saja menggambarkan kompleksitas persoalannya, tetapi juga sekaligus menawarkan ide atau bahkan aturan main alternatif untuk mengelola dan menyelesaikan persoalan-persoalan di seputar isu-isu itu. Sebagai contoh, isu perburuhan yang berkaitan dengan persoalan hak asasi manusia dalam konteks negara kapitalis, menunjukkan eskalasi. Dalam hal perburuhan, Indonesia juga adalah anggota ILO (International Labor Organization) yang mendesak untuk semakin memperhatikan prinsip-prinsip penerapan hak asasi manusia dalam kehidupan kaum buruh. Demikian pula dalam isu-isu yang berhubungan dengan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan hidup, kita termasuk salah satu negara yang menandatangani Protokol Kyoto yang mengatur pengurangan emisi karbon dan sejumlah gas lainnya yang mengancam keberadaan ozon dan menimbulkan efek pemanasan global. 

Melihat implikasi yang isunya begitu beragam tetapi begitu mendalam dan spesifik konteks persoalannya, globalisasi bukanlah fenomena hitam putih yang bisa secara mudah dan cepat dikelola. Eksplorasi berbagai ide, inisiatif dan tindakan yang berasal dari kalangan domestik atau lokal (local genuines) perlu secara serius dilakukan agar pertentangan global versus lokal tidak menemukan jalan keluar yang ekstrim, yaitu either simply ‘join the club’ or ‘go to hell with globalization’. Proses ‘glokalisasi’ yang menggabungkan arus globalisasi dengan berbagai tradisi, nilai atau ide lokal adalah salah satu tema yang perlu mendapat kajian mendalam. KOMNAS HAM sebagai institusi yang bertanggungjawab untuk memajukan hak asasi manusia diharapkan cerdas memanfaatkan prinsip-prinsip hak asasi manusia internasional dengan melihat persoalan hak asasi manusia secara nasional.

Dalam sejumlah studi, proses ini tidak hanya mengidentifikasi kecenderungan-kecenderungan yang berorientasi ke politik dan pasar global, tetapi juga kecenderungan fragmentasi kultural dan sosial yang bermuara pada penemuan kembali (reinvention) tradisi-tradisi dan identitas lokal. Eropa adalah salah satu contoh dimana pusaran pasar dan politik global tidak serta-merta menghilangkan identitas lokal. Ketika Belgia mendesentralisasi proses dan kegiatan politiknya, Catalonia pada saat yang sama mendapatkan otonomi yang lebih besar. Proses globalization from below dengan demikian perlu dikembangkan untuk menandingi dan sekaligus mendampingi proses hiper-globalisasi yang selama ini digambarkan amat menakutkan. Pertanyaannya: bagaimana melakukan itu? Pada level negara/pemerintah, untuk pemajuan dan pengembangan hak asasi manusia maka proses itu bisa dilakukan dengan menerapkan kebijakan-kebijakan hak asasi manusia yang dituntun oleh strategi penyesuaian yang cocok untuk merespon perubahan-perubahan tuntutan di tingkat global sehingga masukan yang paling banyak disuarakan masyarakat adalah yang terkait dengan konflik agraria, pluralisme, buruh migran.

Banyak sekali faktor determinan yang mempengaruhi bekerjanya sebuah lembaga, khususnya KOMNAS HAM yang nota bene dibentuk dalam rangka perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia. Independensi, imparsialitas, transparansi, accountability, dan keragaman merupakan prinsip-prinsip yang tidak boleh ditinggalkan ketika suatu negara hendak membentuk lembaga ini. Hal ini merupakan prasyarat terbentuknya suatu lembaga yang kuat dan mandiri dalam pemajuan, perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. Karena tanpa prinsip-prinsip ini, lembaga KOMNAS HAM hanya akan menjadi sebuah lembaga yang turut serta melegitimasi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan negara dan aparatusnya terhadap warga negaranya.

Tantangan negara Indonesia untuk mereformasi model dan kewenangan yang digulirkan pada akhir tahun 1990-an pada dasarnya bertujuan untuk mendorong proses demokratisasi dan meningkatkan pelayanan kepada publik dan kesejahteraan masyarakat, terutama bagi penduduk yang berpendapatan rendah, diharapkan menjadikan pemerintah semakin dekat dengan masyarakat, menguatkan peran pemerintah daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan masyarakat lokal serta menjadikan penggunaan dana publik menjadi lebih transparandan efektif serta efisien dalam upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik.

Proses pembentukan KOMNAS HAM yang independen, imparsial, transparan, accountable dan mencerminkan keragaman ini dimulai ketika Panitia Seleksi memilih dan menetapkan calon-calon anggota yang dengan pengalaman dalam perlindungan dan penegakan hak asasi manusia telah memberikan kontribusi terhadap pemajuan demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Dan yang paling penting dari semua itu, Komisioner tidak pernah terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia secara langsung atau tidak langsung, baik sebagai pelaku atau perancang pelanggaran hak asasi manusia. Sehingga ke depan, Indonesia akan memiliki Komisioner KOMNAS HAM yang mampu melakukan pemajuan, penegakan dan perlindungan hak asasi manusia. Perlu ditegaskan saat ini, Panitia Seleksi adalah ujung tombak dalam menentukan komposisi anggota dan kualitas anggota KOMNAS HAM. Sementara proses pemilihan di Sidang Pleno KOMNAS dan DPR tidak lebih dari sekedar proses formalisme politik ketimbang proses. Penilaian kemampuan dan kualitas dari para calon komisioner harus terukur.

G. Penutup 
Semangat negara Indonesia melakukan penguatan terhadap peningkatan martabat dan harkat bangsa Indonesia perlu diimbangi dengan lembaga negara yang secara intens dan konsisten terus menempatkan hak asasi manusia sebagai fokus sentral, yang tentunya perlu didukung oleh anggota KOMNAS HAM yang tangguh dalam menghadapi tantangan masa datang. Hal ini harus didorong dengan memperhatikan keragaman latar belakang calon anggota KOMNAS HAM yang akan diusulkan, karena masyarakat Indonesia sangat heterogen. Keragaman yang dimaksud adalah dalam arti keahlian maupun geografis. Keahlian yang dibutuhkan oleh KOMNAS HAM kedepan adalah keahlian dalam bidang hukum, sosiologi dan sejarah, antropologi dan psikologi, penyelidik dan penyidik, serta keahlian spesifik tentang perempuan. Sementara keragaman geografis adalah agar KOMNAS HAM tidak didominasi oleh mereka yang berasal dari Jawa, tetapi juga diisi oleh tokoh-tokoh potensial dari luar Jawa, khususnya dari Aceh dan Papua serta Kalimantan. Individu yang tangguh diperlukan KOMNAS HAM, karena ada beberapa tantangan berat di depan mata. 

Tantangan itu adalah pertama, telah berkembangnya normanorma hak asasi manusia dalam hukum positif nasional dan masih diberlakukannya hukum positif yang tidak dilandasi oleh norma-norma hak asasi manusia. Dengan kata lain, seseorang yang menjadi anggota KOMNAS HAM, semestinya menjadi tokoh nasional yang mampu menelorkan alternative value bagi masyarakat. Kedua, berubahnya format politik nasional dari sentralis menjadi desentralis. Dalam format politik yang terdesentralisasi, instansi di daerah memainkan peran penting dalam perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia khususnya hak ekonomi, sosial dan budaya. Ketiga, dianutnya sistem multipartai dan pemilihan langsung dalam politik nasional. Dalam sistem multipartai, rekrutmen para elit nasional dan lokal baik di jajaran eksekutif maupun legislatif didominasi oleh elit partai politik. Berubahnya konfigurasi elit di tingkat nasional atau daerah akan mempengaruhi secara langsung kondisi perlindungan dan pemenuhan hak asasi secara nasional dan regional. Perpaduan faktor tersebut di masa depan akan berpotensi menimbulkan gejolak. Gejolak tersebut tidak menutup kemungkinan bisa menjadi amok terhadap orang atau harta milik orang lain.

Seluruh tantangan menuntut para anggota KOMNAS HAM yang jauh lebih cerdas, tangkas dan arif dalam menyikapi setiap perkembangan serta kemudian mampu mengkomunikasikannya secara arif kepada masyarakat dan instansi negara lainnya. Dengan kata lain seseorang yang menjadi anggota KOMNAS HAM, semestinya menjadi tokoh nasional yang mampu mencetuskan alternative value bagi masyarakat. Dan pada saatnya diharapkan martabat bangsa dan harkat bangsa akan menjadi lebih sejahtera dengan keberadaan lembaga KOMNAS HAM. Untuk memperbaiki keadaan, kita harus selalu berpikir besar. Namun pikiran besar itu tidak akan ada gunanya apabila kita tidak memulai dengan hal-hal yang kecil, dan hal kecil itu pun baru akan benar-benar berguna apabila kita dapat laksanakan dengan tindakan nyata sekarang juga. Karena itu, salah satu maxim yang dijadikan motivasi di bidang manajemen dan kepemimpinan adalah “Think Big, Start Small, and Now”

DAFTAR PUSTAKA 
Buku Daniel S. Lev, Negara Pancasila Bukan Negara Sekuler, Liberty, Yogyakarta, 2003. 

Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, Alfabeta, Bandung, 2005. 

Edi Suharto, Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran, LSP Press, Bandung, 1997. 

Lawrence Friedman, “American Law”, W.W. Norton & Company, London, 1984. 

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1992. 

Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konsitusi Indonesia, Liberty, Yogyakarta,1993.

Contoh Jurnal Optimalisasi Macromedia Flash Untuk Mendukung Pembelajaran Berbasis Komputer

Optimalisasi Macromedia Flash Untuk Mendukung Pembelajaran Berbasis Komputer
I. PENGANTAR 
Pengembang media pembelajaran dan pemrograman, dapat memberikan kontribusi dalam hal penyediaan media berupa softwaresoftware yang dapat menunjang suatu pembelajaran. Bagi peseta didik terutama calon pendidik, perhatian dapat diarahkan pada upaya penyusunan program pembelajaran dengan menggunakan aplikasi program komputer. Pembelajaran dengan menggunakan animasi komputer memberikan kesempatan kepada peseta didik untuk belajar secara dinamis dan interaktif. Berangkat dari pemikiran tersebut, perlu dikembangkan pendidikan berbasis teknologi informasi dan komunikasi (ICT) dalam pembelajaran, yakni dengan membuat software pembelajaran multimedia interaktif. 

Pembuatan software pembelajaran mengacu pada aspek pedagogi materi subjek dengan harapan memberikan pemahaman yang mendasar kepada peseta didik terhadap materi subjek. Software pembelajaran multimedia interaktif dapat dikembang dengan menggunakan sebuah bahasa pemprograman dan disajikan dalam bentuk CD pembelajaran. Media pembelajaran adalah semua alat bantu atau benda yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar, dengan maksud untuk menyampaikan pesan pembelajaran dari sumber (guru maupun sumber lain) kepada penerima (dalam hal ini anak didik ataupun warga belajar). 

Pesan yang disampaikan melalui media, dalam bentuk isi atau materi pengajaran itu harus dapat diterima oleh penerima pesan (anak didik), dengan menggunakan salah satu ataupun gabungan beberapa alat indera mereka. Bahkan lebih baik lagi bila seluruh alat indera yang dimiliki mampu menerima isi pesan yang disampaikan. Komputer dalam perkembangan masa kini merupakan suatu peralatan yang canggih dan dapat dimanfaatkan diantaranya dalam masalah pendidikan dan pembelajaran. Dengan memanfaatkan kelebihan-kelebihan komputer, maka komputer dapat dijadikan sebagai media dan sumber belajar dalam bidang studi tertentu disamping media yang lain. 

Penggunaan komputer dalam pembelajaran di sekolah, dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis, yaitu: 
  1. Program latihan (drill and practice), yaitu program yang dirancang untuk digunakan pembelajar dalam melakukan latihan-latihan soal. 
  2. Program tutorial, yaitu program yang dirancang agar komputer dapat berlaku sebagai tutor dalam proses pembelajaran.
  3. Program demonstrasi, yaitu program yang digunakan untuk memvisualisasikan konsep yang abstrak. 
  4. Program simulasi, yaitu program yang digunakan untuk memvisualisasikan proses yang dinamik. 
  5. Program permainan instruksional, yaitu program yang digunakan untuk permainan dengan menggunakan instruksi-instruksi komputer dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman materi yang diajarkan. 

Jika merujuk pada pengklasifikasian penggunaan komputer dalam pembelajaran di sekolah, maka model pembelajaran berbasis komputer ini mencakup program tutorial, program demonstrasi dan program simulasi. 

II. PERMASALAHAN 
Salah satu penilaian yang digunakan dalam lingkungan software pembelajaran adalah penilaian performent pembelajar. Walaupun prinsip-prinsip penilaian performent pembelajar tidak berubah ketika diterapkan dengan software pembelajaran, tetapi lingkungan pembelajaran terdapat perbedaan yang cukup signifikan dari model pembelajaran konvensional. Lingkungan software pembelajaran menciptakan penilaian yang lebih intensif, yaitu disaat teknologi meningkatkan efisiensi penilaian dalam lingkungan software pembelajaran. 

Prinsip-prinsip penilaian software pembelajaran berkaitan dengan beberapa hal sebagai berikut: 
  • Instrumen dan aktivitas penilaian seharusnya kongruen dengan tujuan dan kecakapan belajar yang dibutuhkan pembelajar melalui suatu program pendidikan jarak jauh. 
  • Penilaian dan strategi manajemen seharusnya menjadi bagian integral dari pengalaman belajar, memudahkan pembelajar menilai kemajuannya, dan membuat kembali tujuan belajar atau pelajaran. 

Berdasarkan hal di atas, rumusan masalah yang akan diungkap dalam penelitian ini adalah : ”Bagaimanakah mengembangkan model media pembelajaran yang efektif dengan menggunakan software macromedia flash ?” 

Untuk lebih mengarahkan penelitian ini, rumusan masalah dijabarkan menjadi beberapa submasalah sebagai berikut. 
  1. Bagaimanakah disain software pembelajaran yang optimal? 
  2. Sejauhmana macromedia flash mendukung software pembelajaran yang optimal? 
  3. Bagaimanakah peningkatan pemahaman mahasiswa setelah pembelajaran dengan media berbasis software? 
III. TUJUAN DAN MANFAATPENELITIAN 
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan suatu model software pembelajaran dengan macromedia flash untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa. 

Secara khusus penelitian ini bertujuan antara lain : 
  1. Merancang model media yang optimal untuk sebuah pembelajaran. 
  2. Mengkaji potensi software macromedia flas untuk mendukung model media pembelajaran. 
  3. Mengkaji peningkatan kompetensi mahasiswa setelah mendapat pembelajaran dengan media berbasis software. 
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan media pembelajaran berdasarkan pandangan pedagogi materi subjek dengan menyajikan dalam bentuk software multimedia pembelajaran sehingga dapat ditampilkan lebih kongkrit dan menyerupai dunia nyata dengan menggunakan visualisasi agar dapat membantu peserta didik dalam memahami dan mempelajarinya. Software pembelajaran multimedia interaktif disajikan dalam bentuk presentasi berupa teks, foto, grafik, suara dan animasi, dibantu dengan serangkaian pertanyaan sebagai pemandu dalam urutan presentasi yang dapat langsung direspon oleh peseta didik . 

Secara khusus penelitian ini bertujuan antara lain : 
  1. Merancang model multimedia interaktif untuk sebuah pembelajaran. 
  2. Mengkaji potensi software pembelajaran berbasis multimedia yang dikembangkan dari asek pedagogi dan materi subjek. 
  3. Mengkaji peningkatan kompetensi mahasiswa setelah mendapat ruang pembelajaran mandiri dari software pembelajaran yang dikembangkan. 
  4. Mengkaji kultur dan potensi pengembangan pembelajaran berbasis multimedia interaktif. 

IV. STUDI PUSTAKA 
4.1 Komputer Sebagai Alat Bantu Pembelajaran 
Banyak keuntungan diperoleh dari penggunaan media komputer sebagai alat bantu pembelajaran. Beberapa ahli menyatakan bahwa pengajaran yang menggunakan komputer dapat mengembangkan keterampilan berpikir. Selain itu penggunaan media komputer dapat menyeimbangkan kebutuhan waktu dan keperluan pemrosesan dari tugas-tugas tertentu, serta memungkinkan pengembangan pendekatan pembelajaran bervariasi. 

Komputer (mikro) dapat merupakan media pengajaran yang dapat memvisualisasikan berbagai fakta, keterampilan, konsep dan komputer juga menampilkan gambar-gambar yang bergerak sesuai dengan keperluannya. Penggunaan komputer yang bersifat interaktif dengan pemakainya bahwa program komputer yang dapat menampilkan diagram atau gambar dapat dirancang untuk menyesuaikan dengan respon pembelajar . 

Selain itu, penggunaan komputer dapat dirancang sedemikian sehingga dapat berinteraksi dengan pemakainya. Komputer selain dapat menciptakan iklim belajar yang efektif bagi mahasiswa yang lambat (slow learner), tetapi juga dapat memacu efektivitas belajar bagi mahasiswa yang lebih cepat (fast learner). Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Heinich, kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa kecepatan pembelajar mempelajari suatu materi tidak hanya ditunjang oleh kemampuan kognisi pembelajar tetapi juga dipengaruhi oleh kemampuan pembelajar dalam mengoperasikan komputer. 

Ada beberapa kelemahan penggunaan komputer sebagai media pembelajaran. Tidak semua komputer dapat digunakan sebagai media pembelajaran, komputer harus menunjukkan kinerja yang baik ditinjau dari segi teknis dan spesifikasinya. Belajar dengan menggunakan media komputer menjadikan pembelajar aktif dalam belajar karena adanya pertanyaan-pertanyaan yang disertai dengan pernyataan penguatan. Motivasi pembelajar bertambah karena mereka lebih mudah mengikuti dan memahami materi yang diberikan. 

Beberapa kelebihan komputer antara lain: 
  1. Bekerja dengan komputer sebagai sesuatu yang baru bagi pembelajar , menimbulkan motivasi bagi mereka untuk lebih menekuni materi yang disajikan. 
  2. Dengan adanya warna, musik, dan grafik yang dianimasi dapat menambahkan realisme, dan merangsang untuk mengadakan latihanlatihan kerja, kegiatan laboratorium, simulasi dan sebagainya. 
  3. Kecepatannya dalam hal menanggapi respon pembelajar , justru merupakan sesuatu yang mengandung nilai-nilai penguatan (reinforcement). 
  4. Kemampuannya untuk mengingat secara cepat dan tepat, memungkinkan perlakuan/pekerjaan pembelajar yang lalu dapat dicatat dengan baik, dan dapat digunakan untuk merencanakan langkah-langkah selanjutnya. 
  5. Andaikata komputer itu manusia, maka dapat digambarkan sebagai suatu pribadi yang sabar, sehinga dalam hal menggunakannya nampak suatu suasana tenang, aman, positif, dan tepat guna. 
  6. Kemampuan komputer dalam hal menyimpan dokumen secara aman, memungkinkan pengajaran individual dapat dijalankan dengan baik. Bagi guru, persiapan-persiapan dapat dijalankan dengan baik untuk semua pembelajar (khususnya bagi pembelajar -pembelajar yang berbakat), dan kemajuan mereka dapat dimonitor. 
  7. Jangkauan kontrol guru lebih luas, dan banyak informasi dapat diperoleh; membantu guru mengadakan kontrol yang lebih ketat dan baik, tertuju pada bagian-bagian yang secara langsung merupakan kesulitan bagi pembelajar . 
Disamping beberapa keunggulan penggunaan komputer dalam pembelajaran, ternyata komputer mempunyai kelemahankelemahan dalam penggunaannya, yaitu: 
  1. Komputer tidak dapat membuat setiap hal jelas, seperti apa yang dikehendaki guru. Gagasan guru yang telah tersusun dalam perangkat pembelajaran belum tentu dapat diterima jelas oleh semua pembelajar . Komputer membantu guru dalam menjelaskan sebagian dari peran guru. 
  2. Komputer bukanlah alat bantu yang harus digunakan secara terus menerus, melainkan digunakan pada saat-saat tertentu dimana diperlukan oleh guru dan pembelajar . Penggunaan komputer dalam pengajaran dapat digunakan pada saat pembelajar memerlukan bantuan untuk meningkatkan prestasi belajarnya. 
  3. Komputer tidak dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi secara individual dalam proses pembelajaran. Dan disinilah peran guru sangat penting untuk mengatasi permasalahan tersebut, sehingga komputer tidak mungkin menggantikan peran guru dalam proses pembelajaran, terutama pembelajar yang lambat daya tangkapnya terhadap informasi yang disampaikan. 
  4. Komputer tidak dapat menjangkau aspek afektif / sikap dari ranah pembelajaran sehingga komputer belum dapat digunakan mengubah tingkah laku pembelajar ke arah yang lebih baik.
  5. Proses pembelajaran dengan komputer relatif lebih mahal dari media lain. Komputer memerlukan adanya pemikiran yang matang sebelum menggunakan komputer dalam pembelajaran; ditinjau dari segi biaya serta kegunaannya. Pemeliharaannya pun merupakan masalah yang perlu dipikirkan. 
  6. Merancang dan produksi program untuk kepentingan proses pembelajaran dengan komputer mempunyai konsekuensi biaya, waktu dan tenaga yang tidak sedikit. 
  7. Sering ada masalah yang tumpang tindih. Sering perangkat lunak (software) yang disiapkan untuk digunakan pada satu komputer tidak cocok untuk digunakan pada komputer lain. 

Kelemahan-kelemahan penggunaan komputer dalam pembelajaran sebenarnya dapat diatasi walaupun tidak seluruhnya, jika program pembelajaran menggunakan komputer dibuat interaktif. Penerapan teknologi komputer mendorong proses pembelajaran ke arah “individual learning”, di mana posisi guru bergeser dari instruktur tradisional ke arah mentor. Selain itu, pembelajaran individu mendorong pembelajar ke arah belajar aktif, kreatif dan interaktif. Dengan demikian maka perolehan pengetahuan pembelajar tidak lagi bersumber dari transfer ilmu oleh guru, melainkan melalui kegiatan membangun ilmu oleh pembelajar itu sendiri. 

Tuntutan konstruktivisme saat ini dapat dipenuhi dengan baik oleh berbagai jenis software hypermedia interaktif yang berkembang saat ini. Dalam software ini, dengan mengklik suatu struktur menu/icon, pembelajar dapat dengan leluasa menelusuri, mencari, menemukan, membandingkan, mempertentangkan, menjawab soal (problem solving) dari materi pembelajaran yang mengintegrasikan teks, grafik animasi, simulasi, video dan suara yang dapat membuat pembelajar tertarik sebagai user. Dengan demikian akan terbangun suatu proses belajar yang interaktif sehingga sangat mungkin pembelajar dapat menemukan konsep, menciptakan pengertian dan pemahamannya serta membangun ilmunya sendiri melalui mentoring guru. 

4.2 Software Macromedia Flash Macromedia 
Flash adalah software yang dipakai luas oleh para profesional web karena kemampuannya yang mengagumkan dalam menampilkan multimedia, menggabungkan unsur teks, grafis, animasi, suara dan serta interaktivitas bagi pengguna program animasi internet. Dewasa ini Macromedia Flash telah menjadi primadona para designer web sebagai sarana untuk menciptakan sebuah situs web yang menarik dan interaktif. Macromedia Flash (Flash MX) merupakan sebuah program aplikasi standar authoring tool profesional yang digunakan untuk membuat animasi vektor dan bitmap yang sangat menakjubkan untuk keperluan pembuatan situs web yang interaktif dan dinamis. 

Selain itu, aplikasi ini juga dapat digunakan untuk membuat animasi logo, movie, game, pembuatan navigasi pada situs web, banner, tombol animasi, menu interaktif, interaktif form isian, e-card, screen saver dan pembuatan keseluruhan isi web atau pembuatan aplikasi-aplikasi web lain. Animasi dan gambar yang dibuat dengan flash akan tetap terlihat bagus pada ukuran windows dan resolusi layar berapapun. Hal ini disebabkan karena flash dibuat dengan teknologi vector graphic yang mendeskripsikan gambar memakai garis dan kurva, sehingga ukurannya dapat diubah sesuai kebutuhan tanpa mengurangi atau mempengaruhi kualitas dari gambar tersebut. 

Waktu loading (kecepatan gambar atau animasi yang muncul) lebih cepat dibanding dengan pengolahan animasi lainnya, seperti animated gifs dan java applet. Juga mampu membuat website yang interaktif, karena user dapat menggunakan keyboard atau mouse untuk berpindah ke bagian lain dari halaman web atau movie, memindahkan objek, memasukkan informasi di form. Mampu menganimasi grafis yang rumit dengan sangat cepat, sehingga membuat animasi layar penuh bisa langsung disambung ke situs web. 

Dapat diintegrasikan dengan server side scripting seperti CGI, ASP dan PHP untuk membuat aplikasi web database yang indah. Selain itu, dapat juga dipakai untuk membuat film pendek atau kartun, presentasi, iklan atau web banner, animasi logo, kontrol navigasi dan lain-lain. Flash MX juga menyediakan kemampuan streaming video yang baru yang telah dikembangkan ke berbagai format video termasuk format MPG, DV (Digital Video), MOV (Quick time) dan AVI. Format-format video tersebut dapat disimpan ke dalam file flash MX menggunakan kompresi file yang lebih baik. Dukungan video yang lebih luas tersebut memungkinkan kreativitas yang lebih baik dalam membuat movie flash. 

Kelebihan-kelebihan Macromedia Flash MX dapat dimanfaatkan dalam dunia pendidikan guna tercapainya tujuan pembelajaran. Kelebihan ini telah digunakan dalam merancang program pembelajaran IPA berbasis komputer seperti kemampuannya menggabungkan kemampuan animasi huruf dan gambar yang menarik, animasi gambar dan huruf tetap terlihat bagus pada ukuran windows dan resolusi layar berapapun, kecepatan gambar, animasi atau huruf yang akan ditampilkan (muncul) dapat diatur kecepatannya serta dilengkapi dengan fasilitas tombol untuk dapat berpindah dari satu bagian ke bagian lainnya. 

V. METODOLOGI DAN DISAIN PENELITIAN 
5.1 Disain Penelitian 
Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen. Metode yang dikembangkan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut : 
  1. Mendisain model software pembelajaran, 
  2. Mengembangkan konten software, 
  3. Melakukan integrasi dan uji coba model software,
  4. Melakukan analisis hasil pembelajaran software. 

5.2 Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data 
Software yang dikembangkan adalah media aplikasi yang interaktif. Untuk menguji tingkat interaktifitas model, akan dikembangkan : Intrumen berupa kwesioner masing-masing untuk dosen, dan mahasiswa, dan Frekuensi akses mahasiswa. Software yang dikembangkan adalah sarana belajar yang bertujuan untuk meningkatkan transfer informasi. Untuk menguji kinerja model yang dikembangkan, akan dilakukan uji performent melalui prestasi penguasaan akademik melalui beberapa tes akademik. Berdasarkan hasil uji performent akademik akan dilakukan analisis gain dan retensi yang dikelompokkan kedalam 3 (tiga) kategori : tinggi, sedang, dan rendah. 

5.3 Subyek Penelitian 
Seluruh rangkaian kegiatan penelitian ini mulai dari disain model, instalasi, uji coba model sampai analisis akan dilaksanakan di Laboratorium Multimedia dan Pengajaran Program Studi Pendidikan Ilmu Komputer FPMIPA UPI. 

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 
Software ini diimplementasikan sebagai salah satu media pembelajaran mata kuliah Jaringan Komputer untuk kelas Pendidikan Ilmu Komputer angkatan 2005 FPMIPA UPI. Berikut ini adalah aliran data dan screenshot dari software pembelajaran yang dibuat :
Pengguna memulai aplikasi dari halaman utama yang memiliki 3 menu yaitu : 
  1. Sejarah; 
  2. TCP/IP; dan 
  3. IP Addressing. 
Dari setiap menu tersebut terdapat penjelasan singkat mengenai materi yang dibahas. Dalam menu IP Addressing terdapat beberapa submenu lain diantaranya Classfull (termasuk didalamnya Subnet, Supernet, berikut contoh soalnya), Classless (termasuk didalamnya Subnet berikut contoh soalnya), dan Contoh Soal dari IP Addressing.

Ini merupakan tampilan menu Sejarah, didalamnya membahas sejarah singkat komputer dan jaringan.

Ini adalah tampilan menu TCP/IP. Membahas tentang TCP/IP, fungsi dan kegunaan bagianbagian (layer-layer), yang terdapat didalamnya.

Ini adalah tampilan menu IP Addressing. Membahas pengalamatan IP pada komputer dalam suatu jaringan dan beberapa contoh. Didalamnya terdapat 2 submenu yaitu Classfull dan Classless.

Classfull membahas mengenai pengalamatan IP dengan kelas-kelas tertentu, juga membahas mengenai subnetting, supernetting dan contoh soal.

Classless membahas mengenai pengalamatan yang melibatkan seluruh alamat IP menjadi suatu kesatuan yang tidak terbagi dalam kelas tertentu.

VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 
Pembelajaran dengan menggunakan aplikasi komputer memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar secara dinamis dan interaktif. Bagi peserta didik terutama calon pendidik, perhatian dapat diarahkan pada upaya penyusunan program pembelajaran dengan menggunakan aplikasi program komputer. Berangkat dari pemikiran tersebut, perlu dikembangkan pendidikan berbasis teknologi informasi dan komunikasi (ICT) dalam pembelajaran, yakni dengan membuat software pembelajaran multimedia interaktif khususnya untuk beberapa mata kuliah yang memerlukan suatu alat peraga interaktif dalam kegiatan belajar mengajar seperti pada mata kuliah jaringan komputer ini. 

Software pembelajaran multimedia interaktif dapat dikembangkan dengan menggunakan suatu bahasa pemrograman dan disajikan dalam bentuk CD pembelajaran. Media pembelajaran adalah semua alat bantu atau benda yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar, dengan maksud untuk menyampaikan pesan pembelajaran dari sumber (guru maupun sumber lain) kepada penerima (dalam hal ini anak didik ataupun warga belajar). 

Pesan yang disampaikan melalui media, dalam bentuk isi atau materi pengajaran itu harus dapat diterima oleh penerima pesan (anak didik), dengan menggunakan salah satu ataupun gabungan beberapa alat indera mereka. Bahkan lebih baik lagi bila seluruh alat indera yang dimiliki mampu menerima isi pesan yang disampaikan. Metode seperti ini diharapkan dapat diterapkan dalam mata kuliah lain yang sejenis, yang memerlukan media pembelajaran dan alat peraga interaktif dalam kegiatan belajar mengajar.

DAFTAR PUSTAKA 
[1] Kerka, S., &Wonacott, M.E. (2000). Assessing learners online : practitioner file. Colombus : Ohio State University  ERIC Clearing House on Adult, Career, and Vocational Education Center on Education and Training for Employment. 
[2] Kibby, M. (1999). Assessing student online. The University of New Castle. Retrieved from http://www.newcastle.edu.au/departmen t/so/assess.htm 
[3] Meyen, E.L. (2000). Using technology to move research to practise: The Online Academmy. Their World 2000. New York: National Centre for Learning Disabilities. 
[4] SWAP. (2004). Assessment. Retrieved from SWAP website printed page: www.swap/learning/assessment.asp 
[5] Webb, N.L. (1992). Assessment of Student Knowledge of Mathematics: Step toward a Theory. University of Wisconsin Madison. [6] Wiggins, G. (1998). Educative assessment: designing assessments to reform and improve group performance. San Francisco: Jossey Bass
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson