Analisis Hubungan Value Based Management dengan Corporate Social Responsibility dalam Iklim Bisnis Indonesia

Analisis Hubungan Value Based Management dengan Corporate Social Responsibility dalam Iklim Bisnis Indonesia 
Kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (Narver, 1971; McWilliams dan Siegel, 2000). Keberlanjutan perusahaan (corporate sustainability) hanya akan terjamin apabila perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup. Sudah menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan lingkungan hidup. Contoh di Indonesia adalah kasus Inti Indorayon Utama, Sumatera Utara.

Kesadaran tentang pentingnya mempraktikkan CSR ini menjadi tren global seiring dengan semakin maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial dan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM). Sebagai contoh, boikot terhadap produk sepatu Nike oleh warga di negara Eropa dan Amerika Serikat terjadi ketika pabrik pembuat sepatu Nike di Asia dan Afrika diberitakan mempekerjakan anak di bawah umur dengan upah sangat rendah. Tren global lainnya dalam pelaksanaan CSR di bidang pasar modal adalah penerapan indeks yang memasukkan kategori saham-saham perusahaan yang telah mempraktikkan CSR.

Indonesia tidak ketinggalan untuk menekankan penerapan CSR bagi perusahaan. Pada tanggal 20 Juli 2007, disahkan UU penerapan CSR yang dilaksanakan melalui peraturan pemerintah (PP). Ketentuan itu sudah ditetapkan dalam UU Perseroan Terbatas (PT), UU Investasi dan UU Minerba (Mineral dan Batubara). Peraturan baru ini ditanggapi dengan berbagai respon oleh dunia usaha Indonesia Suara kontra beralasan jika perusahaan dituntut melakukan aktivitas CSR, maka hal tersebut akan menambah biaya operasional, sementara jika tidak dilakukan, akan mendapat sanksi. Suara yang pro menyatakan memang sudah seharusnya perusahaan melakukan CSR sebagai kewajiban tanpa harus dibuatkan peraturan, seperti halnya di luar negeri. Hal ini memperlihatkan bahwa komunitas bisnis Indonesia masih belum yakin bahwa aktivitas CSR akan memberikan dampak positif bagi tujuan utama mereka, yaitu penciptaan kesejahteraan pemegang saham.

Pro dan kontra mengenai penerapan CSR semacam itu memang telah ada sejak dahulu. Perihal yang masih terus menjadi pertanyaan adalah: apakah penciptaan nilai bagi pemegang saham utama konsisten dengan pencapaian tujuan dari stakeholder lainnya, seperti: pemegang saham minoritas, prospective investor, konsumen, pemasok, kreditor, dan komunitas lainnya (Venanzi dan Fidanza, 2006). Menurut Friedman (1980), pandangan bahwa perusahaan harus melakukan tanggung jawab sosial merupakan kesalahan konsep fundamental dari sifat dan karakter ekonomi bebas. Dalam ekonomi bebas, hanya ada satu tanggung jawab sosial perusahaan sebagai pelaku bisnis, yaitu: menggunakan sumber daya dan melakukan aktivitas-aktivitas yang dirancang untuk meningkatkan keuntungan perusahaan selama mungkin. Dalam teori ekonomi modern, hal tersebut dikenal sebagai konsep Value-based Management (VBM) yaitu suatu penciptaan nilai dalam jangka panjang bagi perusahaan. 

Dalam konsep VBM, untuk bertahan dalam jangka panjang, maka seluruh strategi perusahaan haruslah berpaku pada peningkatan kesejahteraan pemegang saham, yang merupakan pemilik perusahaan. Sekilas tampak bahwa ide mengenai maksimalisasi kesejahteraan pemegang saham dan tanggung jawab sosial perusahaan merupakan dua hal yang sangat bertentangan, perusahaan tidak mungkin dapat melayani para pemegang saham dan masyarakat dalam waktu yang bersamaan (Arnold dan Davies, 1999). Apakah benar perusahaan-perusahaan yang menempatkan pemegang saham di urutan pertama cenderung mengorbankan stakeholder lainnya? Atau apakah perusahaan-perusahaan yang memperhatikan kepentingan pemegang saham juga memberikan perhatian yang sama bagi penciptaan kesejahteraan stakeholder lainnya? 

Sejauh ini kami belum menemukan penelitian di bidang tanggung jawab sosial perusahaan yang mencoba menghubungkan dengan konsep VBM. Sehingga kontribusi penelitian ini adalah mencoba memberikan bukti empiris mengenai hal tersebut di Indonesia.

1. Value-Based Management
Utomo (1999) berpendapat bahwa selama ini kinerja sebuah perusahaan lebih banyak diukur berdasarkan rasio-rasio keuangan selama satu periode tertentu. Padahal rasio keuangan ini sangatlah bergantung pada metode atau perlakuan akuntansi yang digunakan dalam menyusun laporan keuangan perusahaan. Sehingga seringkali kinerja perusahaan terlihat baik dan meningkat, yang mana sebenarnya kinerja tidak mengalami peningkatan dan bahkan menurun. Hal tersebut juga dikatakan oleh Pradhono dan Christiawan (2004), bahwa ukuran kinerja keuangan yang mendasarkan pada laba akuntansi (accounting profit), seperti earnings per share, price earning ratio dan return on equity, dianggap tidak lagi memadai untuk mengevaluasi efektivitas dan efisiensi perusahaan. Pada saat ini, banyak perusahaan menggunakan ukuran kinerja yang lebih menekankan value (Value-Based Management/VBM).

Berbagai prinsip, konsep, dan teknik yang mendasari Value Based Management (VBM) telah semakin berkembang dalam mempengaruhi strategi perusahaan-perusahaan di seluruh dunia, terutama di Amerika Serikat dan Eropa (Arnold dan Davies, 1999). Di tahun 1997, The Coca Cola Company mulai menerapkan konsep VBM dalam perusahaan. Masih di tahun 1997, salah satu perusahaan Jerman, yaitu Siemens, mengumumkan bahwa mereka telah mengubah haluan kepada VBM dengan menggunakan Economic Value Added (EVA).

EVA diklaim sebagai metode engukuran kinerja yang terbaik (Stewart, 1991 dalam Iramani dan Febrian, 2005). Metode EVA, yang merupakan salah satu penerapan VBM, pertama kali dikembangkan oleh Joel M. Stern dan Stewart, analis keuangan dari perusahaan konsultan Stern Stewart & Co pada akhir tahun 1980. Menurut Stewart & Company, earnings dan earnings per share adalah pengukuran yang keliru untuk kinerja perusahaan. Konsep EVA sebenarnya mirip dengan pengukuran pendapatan residu (residual income). EVA merupakan metode kinerja keuangan untuk menghitung profit ekonomi yang sebenarnya (true economic profit) dari sebuah perusahaan. Karena EVA mengukur perbedaan tingkat pengembalian antara modal perusahaan dengan biaya modalnya, maka EVA positif mengindikasikan bahwa ada penciptaan nilai bagi pemegang saham, sedangkan EVA negatif mengindikasikan bahwa telah terjadi value destruction.

Menurut Young (1997), EVA dapat dikatakan lebih inovatif karena: EVA tidak dibatasi oleh GAAP, EVA dapat diterapkan sampai pada tingkatan yang rendah dalam organisasi, EVA memiliki sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh pengukuran keuangan lainnya, yaitu cara pengukuran dan pengkomunikasian kinerja yang dapat digunakan di semua area, seperti pasar modal, penilaian investasi modal, dan dalam evaluasi serta kompensasi kinerja manajerial. 

2. Corporate Social Responsibilities dan Corporate Social Performance
Penelitian-penelitian yang dilakukan dalam lingkup corporate social responsibility umumnya mencoba menggali bagaimana penerapan aktivitas hal tersebut didalam perusahaan. Dilakukan dengan melihat bagaimana pengungkapan sosial yang ada. Dalam salah satu penelitian awal tentang praktek pelaporan sosial, Ernst dan Ernst (1978 dalam Abboyy dan Monsen, 1979) melakukan analisa isi (content analysis) laporan tahunan perusahaan-perusahaan yang masuk dalam Fortune 500. Dalam penelitian tersebut, area tanggung jawab sosial diidentifikasikan sebagai: lingkungan, kesempatan yang sama (equal opportunity), personil, keterlibatan dengan komunitas (community involvement), serta produk. Hasil penelitian ini menemukan bahwa di tahun 1974, isu seperti pengendalian polusi dilaporkan hampir 35% dari seluruh perusahaan dan sekitar 19% dari perusahaan-perusahaan tersebut melaporkan aktivitas komunitas dalam laporan tahunan.

Guthrie dan Parker (1990) melakukan penelitian mengenai area pengungkapan sosial dalam laporan tahunan perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa 98% perusahaan Inggris, 85% perusahaan Amerika Serikat, dan 56% perusahaan Australia melaporkan pengungkapan sosial mereka dalam laporan tahunan. Mereka juga menemukan bahwa 40% perusahaan melaporkan isu terkait dengan sumber daya manusia, 31% mengenai isu keterlibatan komunitas, 13% mengenai isu lingkungan, dan 7% mengenai isu terkait dengan energi dan produk. Cakupan pengungkapan tanggung jawab sosial yang hampir sama (sumber daya manusia, produk, praktek bisnis, keterlibatan dengan lingkungan, serta lingkungan) juga terjadi di Kanada (Zeghal dan Ahmed, 1990).

Penelitian di negara berkembang menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Di Malaysia (Kin, 1990), dari 100 perusahaan publik, 64 perusahaan melaporkan informasi mengenai peningkatan produk dan jasa, 31 perusahaan melaporkan isu terkait dengan sumber daya manusia, dan 22 perusahaan melaporkan isu keterlibatan komunitas. Sementara di Hong Kong, Lynn (1992) memperlihatkan bahwa hanya 17 perusahaan (dari 264 yang diteliti) yang mengungkapkan aktivitas sosial, dengan titik berat pada pengembangan staff dan hubungan dengan komunitas.

Dalam perkembangannya, penelitian mengenai corporate social responsibility kemudian berkembang dengan mencoba melihat corporate social performance perusahaan. Selama kurang lebih 30 tahun, telah banyak penelitian yang berusaha melihat hubungan antara Corporate Social Performance (CSP) dengan kinerja perusahaan, terutama kinerja keuangan. Namun, sampai saat ini belum ada kesimpulan mutlak mengenai hubungan tersebut Salah satu alasan fundamental adanya ketidakpastian tentang hubungan antara CSP dan kinerja keuangan adalah karena adanya masalah dalam pengukuran CSP.

CSP bersifat muldimensi, dengan banyak variasi input (seperti investasi dalam peralatan pengendalian polusi, ataupun strategi lingkungan lainnya), proses (seperti perlakukan bagi perempuan dan kaum minoritas, barang yang diproduksi, hubungan dengan konsumen), dan output (seperti hubungan komunitas, dan program filantropi) (Aupperle et al., 1985; Wood, 1991). Selain itu, tiap-tiap industri dengan karakteristik yang berbeda tentu saja akan memiliki domain CSP yang berbeda juga. CSP juga melibatkan berbagai jenis isu, keputusan manajemen, dan juga perilaku perusahaan. 

Dari berbagai penelitian yang ada, selama ini ada tiga cara yang sering digunakan untuk mengukur CSP, yaitu: menggunakan evaluasi kebijakan perusahaan dari para ahli, dalam bentuk indeks reputasi (Folger dan Nutt, 1975), menggunakan content analysis dari laporan tahunan ataupun dokumen-dokumen lain perusahaan (Abbott dan Monsen, 1979; Anderson dan Frankle, 1980; Bowman dan Haire, 1975; Preston, 1978), Menggunakan variabel tertentu sebagai proksi indeks kinerja sosial (Bragdon dan Marlin, 1972; Spicer, 1978).

4. Corporate Social Performance dan Corporate Financial Performance
Secara konseptual, ada tiga kemungkinan hubungan kinerja sosial dengan kinerja keuangan perusahaan: positif, netral, dan negatif. Pihak yang berpandangan negatif menyatakan bahwa tanggung jawab sosial yang tinggi membuat ada biaya tambahan yang menempatkan perusahaan dalam keadaan ekonomi yang tidak menguntungkan dibandingkan perusahaan lain yang kurang bertanggung jawab secara sosial (Aupperle, et al., 1985; McGuire et al., 1988; Ullmann, 1985; Vance, 1975). 

Beberapa hasil penelitian empiris menemukan bahwa tidak ada hubungan antara kinerja sosial dengan kinerja keuangan (netral). Pihak-pihak yang menghasilkan pandangan ini (seperti Ullmann, 1985) berargumen bahwa ada sangat banyak variabel intervening antara kinerja sosial dan kinerja keuangan, sehinga tidak ada alasan untuk mengharapkan terjadinya hubugan antara dua hal tersebut. 

Di sisi lain, pihak yang berpendapat bahwa CSP akan berpengaruh positif bagi perusahaan juga memiliki argumen kuat. Menurut mereka, dengan CSP yang baik akan meningkatkan goodwill karyawan dan konsumen (Solomon dan Hansen, 1985; dalam McGuire et al., 1985), sehingga perusahaan tersebut akan menghadapi masalah dengan tenaga kerja yang lebih sedikit, lalu konsumen akan lebih setia kepada produk perusahaan. Aktivitas tanggung jawab sosial juga dapat meningkatkan hubungan antara perusahaan dengan konstituen penting seperti bank, investor, dan pemerintah. Peningkatan hubungan dengan pihak-pihak penting ini dapat memberikan keuntungan ekonomi (Moussavi dan Evans, 1986; dalam McGuire, et al., 1988). Secara lebih dalam, bank dan investor institusi telah membuktikan bahwa penilaian sosial merupakan salah satu faktor penting dalam keputusan investasi mereka (Spicer, 1978). Sehingga, tanggung jawab sosial yang tinggi akan meningkatkan akses perusahaan terhadap sumber modal. 

Karena selalu menjadi perdebatan, maka banyak sekali pihak yang berusaha mencari pemecahannya dengan melakukan penelitian empiris. Menurut Margolis dan Walsh (2003) antara tahun 1972 sampai 2002, ada 127 publikasi studi empiris yang meneliti mengenai hubungan antara perilaku tanggung jawab sosial perusahaan dengan kinerja keuangan. Kompilasi sederhana dari hasil penelitian-penelitian tersebut menjelaskan bahwa ada hubungan positif, dan hanya sedikit yang bisa membuktikan adanya hubungan negatif antara kinerja sosial dengan kinerja ekonomi perusahaan (Margolis dan Walsh, 2003). 

Studi dengan menggunakan metode meta-analisis terhadap 52 penelitian hubungan CSP-CFP yang dilakukan oleh Orlitzky, Schmidt, dan Rynes (2003) juga menunjukkan substansi kesimpulan yang sama. Jadi dapat dikatakan bahwa jika kinerja sosial perusahaan berkontribusi terhadap kinerja ekonomi perusahaan, berarti sumber daya perusahaan sedang digunakan untuk meningkatkan kepentingan pemegang saham, pihak yang menurut Friedman (1980) harus dinomorsatukan.

5. Value Based Management dan Corporate Social Performance
Salah satu kritik yang sering muncul terkait dengan konsep VBM adalah apakah maksimalisasi kesejahteraan pemegang saham akan dapat juga memaksimalkan kesejahteraan seluruh stakeholder? Literatur-literatur mengenai tanggung jawab sosial dan stakeholder mengemukakan bahwa tidak seharusnya bisnis hanya memperhatikan pemegang saham. 

Copeland et al. (1995) dalam Arnold dan Davies (1999:86), mengungkapkan bukti empiris yang menunjukkan bahwa meningkatkan nilai pemegang saham tidak akan bertentangan dengan kepentingan stakeholder lain dalam jangka panjang. Copeland membagi beberapa negara besar menjadi dua bagian, yaitu: negara-negara yang berfokus pada pemegang saham (seperti Amerika Serikat dan Inggris) dan negara-negara yang lebih berorientasi pada stakeholder (seperti Jerman, Jepang, dan Perancis). Analisa dilakukan dari tahun 1950-1990. Penelitiannya menemukan bahwa negara-negara yang berfokus pada pemegang saham merupakan negara-negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) tertinggi. Namun, di sisi lain, negara-negara yang lebih berorientasi pada stakeholder sebenarnya memiliki pertumbuhan Produk Domestik Bruto per kapita yang lebih tinggi dalam periode yang sama, seperti pertumbuhan PDB per kapita di Jepang sebesar 5.5%, di Jerman sebesar 3%, sementara di Inggris hanya 2% dan Amerika Serikat hanya 1.7%. Fakta di atas menunjukkan bahwa negara-negara yang berfokus pada pemegang saham, seperti Inggris dan Amerika Serikat, menciptakan kesejahteraan yang lebih sedikit dalam periode 1950-1990 dibandingkan dengan negara-negara yang lebih berfokus pada stakeholder. Penelitian ini juga menyebutkan bahwa kesejahteraan di negara-negara yang berorientasi stakeholder memiliki distribusi kesejahteraan yang lebih merata daripada negara-negara yang berfokus pada pemegang saham.

Penelitian sejenis dilakukan oleh Young and O’Byrne (1999) terhadap perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat yang termasuk daftar Stern Stewart 1000 (perusahaan yang memiliki nilai tambah/value creator terbesar di Amerika Serikat. Ternyata sebelas perusahaan dalam 20 besar Stern Stewart 1000 tahun 1996, juga masuk dalam 20 besar Most Admired Companies yang dikeluakan oleh Majalah Fortune. Sementara itu, 17 perusahaan yang berada pada peringkat 20% terbawah dalam Stern Stewart 1000 (value destroyer), juga berada pada 20 terbawah peringkat Most Admired Companies.

Aktivitas Corporate Social Responsibility

Aktivitas Corporate Social Responsibility 
Maraknya penggunaan telepon seluler (ponsel) di zaman modern ini menyebabkan para pengusaha melirik peluang bisnis dalam bidang telekomunikasi. Mereka berbondong-bondong untuk mengembangkan sistem telekomunikasi yang terbaik bagi penggunanya. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, industri telekomunikasi bergerak cepat. Betapa tidak jika pada tahun 1999 laju pertumbuhan sektor telekomunikasi masih relatif kecil dibandingkan pertumbuhan sektor lainnya, misalnya sektor perdagangan dan manufaktur.

Pada tahun 2008, sektor telekomunikasi yang merupakan bagian dari teknologi informasi dan komunikasi (Information, Communication and Technology/ICT) ini mampu memberi satu kontribusi hingga 1,8 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Perkembangan industri, khususnya industri telekomunikasi pada dasarnya ditujukan untuk memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat baik melalui pembukaan lapangan pekerjaan, tersedianya jaringan berkomunikasi melalui ponsel yang berkualitas baik, mendatangkan devisa negara, pembayaran pajak, maupun peningkatan kualitas pendidikan. Namun, pada kenyataannya selain dampak positif di atas, perkembangan industri menuai berbagai dampak negatif antara lain, kerusakan lingkungan hidup serta menimbulkan permasalahan sosial, yaitu konflik antara perusahaan dengan penduduk setempat akibat adanya kesenjangan secara sosial maupun ekonomi antara pelaku usaha (korporat) dengan masyarakat sekitar perusahaan.

Kenyataan bahwa keberadaan perusahaan di lingkungan masyarakat hampir pasti membawa dampak negatif, meskipun memiliki kemanfaatan untuk kesejahteraan dan pembangunan. Beberapa kasus berskala nasional dan internasional, seperti global warming, pencemaran lingkungan, radiasi serta munculnya berbagai penyakit mematikan akibat infeksi bahan kimia dari industrialisasi yang adalah sederetan excess negative externalities industrialisasi. Oleh karena itu, perusahaan tidak boleh mengembangkan diri sendiri dengan tidak memperhatikan lingkungan.

Mencermati sisi negatif industrialisasi tersebut, tidak adil manakala masyarakat harus menanggung beban sosial. Mengingat masyarakat adalah pihak yang tidak memperoleh kontra prestasi langsung dari industrialisasi, terutama masyarakat garis bawah yang secara modal dan kesempatan tidak memiliki akses terhadap hiruk-pikuk industrialisasi. Sementara, justru mereka yang harus menanggung dampak sosial dan lingkungan.

Perkembangan industri telekomunikasi, khususnya telekomunikasi seluler di kota Makassar sedang berkembang pesat, apalagi dengan bertambahnya jumlah operator telepon seluler di kota Makassar. Oleh karena itu, pemerintah kota Makassar dapat meningkatkan pendapatannya dan terbukanya lapangan pekerjaan bagi para pengangguran di kota Makassar. Hal ini merupakan sebuah dampak yang sangat positif bagi masyarakat luas.

Adapun peraturan dari pemerintah yang mengatur tentang CSR atau Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang terdapat pada Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 adalah 
  1. Perseroan Terbatas yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggsung Jawab Sosial dan Lingkungan, 
  2. Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan kewajiban Perseroan yang dilanggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran, 
  3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan 
  4. Ketentuan lebih kanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Kemudian ada juga UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Pasal 15(b) yang berbunyi demikian : setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Dalam kedua undang-undang tersebut di atas mengatur seluruh badan usaha (perusahaan) Perseroan Terbatas (PT) diwajibkan untuk melaksanakan program CSR atau Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Hal ini menyebabkan PT Telkomsel merasa terpanggil untuk senantiasa melaksanakan aktivitas CSR meskipun Telkomsel bukan sebuah perusahaan yang menggunakan sumber daya alam sebagai sumber utama barang produksinya. 

Dari sekian banyak operator seluler di Indonesia, PT Telkomsel merupakan salah satu perusahan operator telepon seluler terbesar di Indonesia. Sebagai pelopor operator telekomunikasi seluler GSM pertama dan terbesar di Indonesia, Telkomsel terdorong untuk selalu tampil terdepan dengan terus melakukan inovasi dan membuat terobosan baru agar tercapainya pelayanan yang terbaik bagi pelanggannya dan tetap menjadi operator telepon seluler terbesar di Indonesia di tengah ketatnya persaingan antar operator telepon seluler pada saat ini. Melalui visi inilah, Telkomsel tetap menjadi pilihan utama bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.

PT Telkomsel telah memberikan pelayanan yang terbaik bagi para penggunanya. Telkomsel mengklaim dirinya sebagai operator telekomunikasi seluler terbesar di Indonesia, dengan 100 juta pelanggan (pada April 2011) dan menguasai 50% pengguna ponsel di Indonesia (pada Juni 2010), sedangkan pelanggan Blackberry Telkomsel Area Pamasuka (Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan) naik 255% (pada November 2010).

Total jumlah pelanggan Telkomsel Area Pamasuka adalah 25 juta (pada April 2011), dengan rincian sebagai berikut : Papua berjumlah 1,05 juta pelanggan, Maluku berjumlah 2,75 juta pelanggan, Sulawesi berjumlah 11,1 juta pelanggan dan Kalimantan berjumlah 10,1 juta pelanggan. Sedangkan jumlah pelanggan Telkomsel untuk wilayah Sulselbar adalah 4,9 juta yang merupakan setengah dari total jumlah pelanggan di Pulau Sulawesi. Melalui data ini dapat dilihat bahwa sebagian besar masyarakat Sulawesi Selatan adalah pelanggan Telkomsel. Penulis melihat bahwa sangat memungkinkan melakukan penelitian megenai PT Telkomsel di daerah Sulsel, khususnya di kota Makassar yang merupakan ibukota dimana pusat tempat dilaksanakannya aktivitas CSR Telkomsel. Selain itu, kantor pusat PT Telkomsel Area Pamasuka terdapat di kota Makassar sehingga pusat aktivitas CSR juga terlaksana di tempat ini.

Menurut informasi yang penulis dapatkan pada saat melakukan pra penelitian di kantor Telkomsel Area IV Pamasuka, saat ini Telkomsel sedang berlomba-lomba dengan beberapa kompetitornya dalam hal pelaksanaan program CSR. Data-data yang penulis dapatkan menunjukkan bahwa operator XL dan Indosat juga berbondong-bondong melaksanakan aktivitas CSR. Penulis mengumpulkan data dari kumpulan kliping PT Telkomsel selama tahun 2010 yang memuat berita mengenai CSR. Melalui data ini, dapat dilihat bahwa perusahaan operator telepon seluler yang paling banyak melaksanakan aktivitas CSR adalah Telkomsel. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti tentang aktivitas CSR dari PT Telkomsel, khususnya di Area Pamasuka.

Sumber : Kumpulan Kliping PT Telkomsel Area Pamasuka tahun 2010

Telkomsel bekerja pada jaringan 900/1800 MHz, sedangkan di pasar internasional, jaringan Telkomsel telah mencakup 288 jaringan roaming internasional di 155 negara pada akhir tahun 2007. Untuk di kota Makassar sendiri, kartu GSM dari PT Telkomsel sangat diminati oleh masyarakatnya. Kebanyakan warga kota Makassar menggunakan simPATI dan kartuAS. Semua itu karena Telkomsel menyediakan pelayanan yang sangat memuaskan, tarif murah dan jaringan kuat.

Dengan adanya jaringan kuat dan berkulitas baik dari Telkomsel, maka masyarakat kota Makassar yang menggunakan kartu GSM Telkomsel dapat berkomunikasi melalui ponsel dengan lancar. Kemudian Telkomsel juga banyak memberikan promosi pada saat hari raya, seperti pada saat bulan Ramadhan, hari raya Lebaran, Natal dan lain-lain. Selain itu, Telkomsel senantiasa memberikan pelayanan yang terbaik bagi pelanggan setianya, dengan memberikan beberapa hadiah yang menarik pada event-event tertentu. Semua itu demi kepuasan para pelanggan setia Telkomsel dan masyarakat kota Makassar secara keseluruhan.

Namun, dampak positif tersebut belum tentu dirasakan oleh semua pihak di kota Makassar. Pada saat ini kita tentu tahu bahwa citra (image) Telkomsel sedang tidak begitu bagus di mata masyarakat dan secara khusus di mata para pelanggan setianya. Kita melihat bahwa saat ini jaringan GSM Telkomsel sedang tidak stabil dan kadang buruk. Permasalahan ini tentu membuat persepsi para pelanggan dan masyarakat kota Makassar menjadi negatif. Belum lagi penulis melihat bagaimana citra (image) yang terbentuk pada masyarakat yang tinggal di sekitar BTS (Base Transceiver Station) dari Telkomsel. Mengingat pasti ada dampak negatif yang mereka peroleh akibat adanya BTS di sekitar pemukiman mereka.

Penulis kemudian melakukan survey di beberapa lokasi BTS Telkomsel yang ada di kota Makassar. Ada beberapa jenis lokasi BTS yang penulis dapatkan, yaitu BTS yang dibangun di atas tanah dan BTS yang dibangun di atas sebuah gedung. BTS yang dibangun di atas tanah itu menggunakan lahan masyarakat sekitar, sebagai contoh BTS yang terdapat di kecamatan Tamalanrea, kelurahan Tamalanrea Indah yang dibangun tepat di depan rumah warga tersebut. Sudah jelas bahwa tanah tempat berdirinya BTS tersebut disewa oleh pihak perusahaan operator telepon seluler. Menurut warga yang memiliki lahan itu, tidak ada rasa kuatir sedikit pun akan adanya bahaya dari kehadiran BTS di sekitar pemukimannya. Kemudian lokasi BTS berikutnya terdapat di Jalan Gunung Merapi. BTS ini berdiri di atas sebuah rumah toko (ruko) masyarakat. Pendapat pemilik ruko ini juga sama dengan pendapat pemilik lahan di atas. Mereka mungkin tidak menganggapnya sebagai sebuah bahaya karena mereka memperoleh bayaran yang cukup banyak dari biaya penyewaan.

Namun, pendapat para warga yang juga bermukim di daerah tersebut berbeda. Mereka sebenarnya takut dengan bahaya yang ditimbulkan dari adanya BTS tersebut. Tidak banyak dari warga tersebut yang mengetahui adanya bahaya radiasi yang ditimbulkan oleh BTS. Dampak jangka panjang yang ditimbulkan bisa memicu timbulnya penyakit-penyakit yang mungkin sulit untuk disembuhkan. Warga ingin menuntut, tapi mereka tidak tahu-menahu akan menuntut ke pihak siapa.

Menyikapi masalah tersebut, PT Telkomsel Area Pamasuka senantiasa berupaya melaksanakan ragam kegiatan yang mungkin bisa bersentuhan dengan masyarakat di kota Makassar. Oleh karena itu, pihak Telkomsel sendiri harus merancang dan mengembangkan program-program Corporate Social Responsibility dengan pengertian konsep yang termaksud. Hal tersebut berarti bahwa pihak perusahaan harus menjalin kerjasama dengan masyarakat dalam durasi yang panjang, yang tidak hanya bertumpu pada pemberian bantuan sosial yang sifatnya sementara dan pendukung, bahkan dalam jangka panjang untuk pengembangan masyarakat, maupun untuk pengembangan perusahaan itu sendiri. Interaksi perusahaan dengan masyarakat ini terwujud dalam sebuah departemen, yaitu Corporate Communication and Secretary yang sering dikenal dengan Corporate Social Responsibility (yang selanjutnya disebut CSR).

Corporate Social Responsibility diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai Tanggung jawab Sosial Perusahaan. Kotler dan Lee (2005) dalam Solihin (2009:5) memberikan rumusan : Corporate Social Responsibility (CSR) is a commitment to improve community well being through discretionary business practises and contribution of corporate resources. Dalam definisi tersebut, CSR merupakan komitmen perusahaan secara sukarela untuk turut meningkatkan kesejahteraan komunitas dan bukan merupakan aktivitas bisnis yang diwajibkan oleh hukum dan perundang-undangan seperti kewajiban untuk membayar pajak.

Tanggung jawab bukan lagi sebuah pilihan, melainkan sebuah kondisi yang penting bagi perusahaan yang harus dipenuhi untuk mempertahankan hubungan positif dengan para stakeholder-nya. CSR telah menjadi sebuah alat penting untuk membangun kepercayaan dengan konstituen perusahaan.

Kesadaran tentang pentingnya penerapan Corporate Social Responsibility (CSR) dalam implementasinya, PT Telkomsel Area Pamasuka senantiasa merasa sebagai bagian dari komunitas dan bertanggung jawab terhadap keberlangsungan hidup masyarakat di kota Makassar. PT Telkomsel sendiri sudah banyak melakukan aktivitas atau kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) yang sekiranya dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya pelanggan setia dari kartu GSM Telkomsel, seperti mengadakan Safari Ramadan bagi anak yatim piatu dan kaum dhuafa, memberikan tiket mudik gratis, meningkatkan mutu pendidikan bagi anak sekolah dan guru, mengadakan kegiatan-kegiatan untuk komunitas-komunitas yang berhubungan dengan Telkomsel dan lain-lain.

Di PT Telkomsel Area Pamasuka sendiri, Corporate 
Communication and Secretary memegang peranan penting dalam menangani hubungan eksternal perusahaan yang menyangkut tanggung jawab sosial perusahaan dengan pelanggan setia Telkomsel dan masyarakat luas di kota Makassar. CSR Telkomsel ini difokuskan kepada program yang sifatnya berkelanjutan. Namun, apakah program Corporate Social Responsibility (CSR) dari PT Telkomsel Area Pamasuka sudah meningkatkan citra positif perusahaan, sedangkan implementasi kemandirian dan kegiatan sosial untuk pelanggan setia Telkomsel dan masyarakat di kota Makassar baru berjalan selama setahun. 

Hasil survei “The Millenium Poll on CSR” (1999) yang dilakukan oleh Environcis International (Toronto), Conference Board (New York) dan Prince of Wales Business Leader Forum (London) terhadap 25.000 responden di 23 negara, disurvei terkait social responsibility dalam membentuk opini dan image (citra) perusahaan, ,menunjukkan 60% dari responden ,menyatakan bahwa etika bisnis, praktik sehat terhadap karyawan, dampak terhadap lingkungan paling berperan dalam membentuk reputasi perusahaan. Sementara 40% responden juga berpendapat bahwa citra perusahaan dan brand image paling mempengaruhi kesan positif mereka. Anehnya, hanya 1/3 opini responden terbentuk dari faktor-faktor bisnis fundamental, seperti faktor finansial, ukuran perusahaan, strategi perusahaan dan manajemen. Lebih lanjut, sikap dari 40% konsumen terhadap perusahaan yang dinilai tidak melakukan program CSR dan 50% dari responden berpendapat tidak akan membeli atau menggunakan produk yang dihasilkan perusahaan jika tidak berkomitmen terhadap social responsibility, mereka akan bicara kepada orang lain tentang reputasi jelek perusahaan yang bersangkutan.

Melalui uraian di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa aktivitas atau kegiatan CSR sangat berpengaruh terhadap pembentukan opini yang kemudian menjadi sebuah citra perusahaan di mata masyarakat. Terlebih lagi, para kompetitor Telkomsel juga berbondong-bondong melaksanakan kegiatan CSR. Oleh karena itu, pihak Telkomsel seharusnya lebih banyak melaksanakan kegiatan yang bersentuhan langsung dengan seluruh lapisan masyarakat di kota Makassar. Pelaksanaan kegiatan CSR yang baik secara otomatis akan mendapatkan corporate image (citra perusahaan) yang baik pula. Sudah saatnya perusahaan meningkatkan kepedulian terhadap masyarakat sekitar sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan terhadap publik, sehingga perusahaan dapat mempertahankan sustainable company.

Pengertian Dan Definisi Requirement Menurut Para Ahli

Pengertian Dan Definisi Requirement Menurut Para Ahli
Defini Requirement Menurut (Dorf, 1990) yaitu : Sebuah requirement adalah sebuah kemampuan yang harus dimiliki dari suatu software. Kemampuan ini dapat ditujukan untuk memecahkan suatu permasalahan ataupun diperlukan untuk memenuhi ketentuan-ketentuan tertentu (seperti standar tertentu, keputusan manajemen, ataupun alasan-alasan politis).

Kumpulan dari berbagai requirement digunakan dalam berbagai aspek dalam pengembangan sebuah sistem. Dalam tahap perancangan, requirement digunakan untuk menentukan berbagai fitur yang akan ada di dalam sistem. Pada penghujung sebuah development effort, himpunan requirement ini digunakan untuk melakukan validation & verification untuk memastikan perangkat lunak yang telah dibuat memang sesuai dengan yang diinginkan. Bahkan selagi pengembangan berjalan, himpunan requirement ini terus dimodifikasi untuk menyesuaikannya dengan berbagai kebutuhan para stakeholder serta tenggat waktu dan dana yang tersedia. Secara luas, software systems requirements engineering (RE) adalah proses untuk menemukan suatu himpunan requirement yang tepat sehingga suatu perangkat lunak dapat memenuhi kegunaannya. Proses ini dilakukan dengan cara mengenali para stakeholder serta kebutuhan mereka serta mendokumentasikannya di dalam bentuk yang dapat digunakan untuk analisa, komunikasi, dan implementasi yang mengikutinya (Nuse,2000).

Definisi dari requirement (Zave, 1997) adalah gambaran dari layanan (services) dan batasan bagi sistem yang akan dibangun. Atau requirement adalah pernyataan/gambaran pelayanan yang disediakan oleh sistem, batasan-batasan dari sistem dan bisa juga berupa definisi matematis fungsi-fungsi sistem. 

Proses menemukan, menganalisis, mendokumentasikan dan pengujian layanan-layanan dan batasan tersebut disebut Requirement Engineering.

Requirement berfungsi ganda yaitu:
  • Menjadi dasar penawaran suatu kontrak : harus terbuka untuk masukan.
  • Menjadi dasar kontrak : harus didefinisikan secara detil.
Metode Pengumpulan Requirement
Pengumpulan requirement bertujuan untuk melakukan survey terhadap keinginan pemakai dan menjelaskan sistem informasi yang ideal. 

Ada 7 metode pengumpulan requirement, yaitu : 

Tanya jawab (interviews)
1. Bagaimana metode itu digunakan :
  • Pemilihan potential interviewees.
  • Membuat perjanjian terhadap potential interviewees.
  • Menyiapkan struktur pertanyaan yang lengkap dan jelas.
  • Memilih orang yang diinterview secara pribadi dan merekamnya.
2. Keuntungan metode :
  • Pewawancara dapat mengukur respon melalui pertanyaan dan menyesuaikannya sesuai situasi yang terjadi.
  • Baik untuk permasalahan yang tidak terstruktur.
  • Menunjukkan kesan interviewer secara pribadi.
  • Memunculkan respons yang tinggi sejak penyusunan pertemuan.
3. Kerugian metode :
  • Membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
  • Membutuhkan pelatihan dan pengalaman khusus dari pewawancara.
  • Sulit membandingkan laporan wawancara karena subyektivitas alamiah.
Kuesioner
1. Bagaimana metode ini dilakukan : 
  • Mendeain dengan menggunakan standar kuesioner.
  • Kuesioner dikirimkan ke lingkungan kerja end-users.
  • Struktur respon diringkas dalam statistik distribusi.
2. Keuntungan metode :
  • Murah dan cepat dari pada interview.
  • Tidak membutuhkan investigator yang terlatih (hanya satu ahli yang dibutuhkan untuk mendesain kuesioner untuk end-user yang terpilih).
  • Mudah untuk mensintesis hasil sejak pembuatan kuesioner.
  • Dapat meminimalkan biaya untuk semua end-user.
3. Kerugian metode : 
  • Tidak dapat membuat pertanyaan yang spesifik bagi end-user.
  • Analis melibatkan kesan sehingga tidak dapat menampakkan pribadi 
  • end-user.
  • Tanggapan yang rendah karena tidak adanya dorongan yang kuat untuk 
  • mengembalikan kuesioner.
  • Tidak dapat menyesuaikan pertanyaan ke end-user secara spesifik.
Observasi
1. Bagaimana metode itu digunakan :
  • Secara pribadi seorang analis mengunjungi lokasi pengamatan.
  • Analis merekam kejadian dalam lokasi pengamatan, termasuk volumen dan pengolahan lembar kerja.
2. Keuntungan metode :
  • Mendapatkan fakta records daripada pendapat (opinion).
  • Tidak membutuhkan konstruksi pertanyaan.
  • Tidak menganggu atau menyembunyikan sesuatu (end-users tidak mengetahui bahwa mereka sedang diamati).
  • Analis tidak bergantung pada penjelasan lisan dari end-users.
3. Kerugian metode :
  • Jika terlihat, analis mungkin mengubah operasi (end-user merasa diamati).
  • Dalam jangka panjang, fakta yang diperoleh dalam satu observasi mungkin tidak tepat (representative) dalam kondisi harian atau mingguan.
  • Membutuhkan pengalaman dan kehlian khusus dari analis.
Prosedur analisis
1. Bagaimana metode itu digunakan :
  • Dengan prosedur operasi dapat mempelajari dan mengidentifikasikan aliran dokumen kunci melalui sistem informasi, yaitu dengan data flow diagram (DFD).
  • Setiap aliran dokumen kunci menjelaskan prosedur operasi sistem.
  • Melalui observasi, analis mempelajari kenyataan daripada mendeskripsikan volume distribusi (tinggi, rendah, sedang) dan apa yang selanjutnya dikerjakan terhadap salinan dari dokumen aslinya.
2. Keuntungan metode : 
  • Evaluasi prosedur dapat dikerjakan dengan campur tangan (interferences) yang minimal dan tidak mempengaruhi operasi pemakai.
  • Prosedur aliran dapat dapat menjadi sebuah struktur checklist untuk melakukan observasi.
3. Kerugian metode : 
  • Prosedure mungkin tidak lengkap dan tidak -up to date lagi.
  • Mempelajari bagan aliran dokumen membutuhkan waktu dan keahlian analis.
Pengamatan dokumen 
1. Bagaimana metode itu digunakan : 
  • Mengidentifikasikan dokumen utama dan laporan (physical data flow diagram).
  • Mengumpulkan salinan dokumen aktual dan laporan.
  • Setiap dokumen atau laporan, digunakan untuk record data, meliputi field (ukuran dan tipe), frekuensi penggunaan dan struktur kodingnya (coding structure).
2. Keuntungan metode : 
  • Meminimalkan interupsi dari fungsi operasionalnya.
  • Permulaan elemen kamus data.
  • Seringkali, dapat mempertimbangkan modifikasi major procedural.
3. Kerugian metode :
  • Membutuhkan waktu yang cukup (terdapat organisasi bisnis yang mengalami kebanjiran dokumen dan laporan).
Sampling
Sampling dapat membantu mengurangi waktu dan biaya. Perlu kecermatan untuk 
memilih sample dari populasi, sehingga membutuhkan keahlian statistik supaya 
tidak mengalami kegagalan atau ancaman. 

Jenis Requirement dan Pembacanya
Requirement dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu : 
  • User requirement (kebutuhan pengguna) 
  • Pernyataan tentang layanan yang disediakan sistem dan tentang batasanbatasan operasionalnya. Pernyataan ini dapat dilengkapi dengan gambar/diagram yang dapat dimengerti dengan mudah.
System requirement (kebutuhan sistem) 
Sekumpulan layanan/kemampuan sistem dan batasan-batasannya yang ditulis secara detil. System requirement document sering disebut functional specification (spesifikasi fungsional), harus menjelaskan dengan tepat dan detil. Ini bisa berlaku sebagai kontrak antara klien dan pembangun.

Software design specification (spesifikasi rancangan PL) 
Gambaran abstrak dari rancangan software yang menjadi dasar bagi perancangan dan implementasi yang lebih detil. 

Ketiga jenis requirement tersebut diperlukan dalam pembangunan software karena masing-masing memberi pengertian ke pihak yang berbeda kepentingan. Pembaca dari ketiga requirement tersebut bisa dijelaskan dengan gambar.

Gambar Jenis Requirement dan Pembacanya 

Kategori Requirement
Software system requirement sering dibedakan dalam 3 kategori yaitu
Functional requirement, Non Functional requirement dan Domain requirement dengan masing-masing penjelasannya sebagai berikut:

Functional Requirement : 
Merupakan penjelasan tentang layanan yang perlu disediakan oleh sistem, bagaimana sistem menerima dan mengolah masukan, dan bagaimana sistem mengatasi situasi-situasi tertentu. Selain itu kadang-kadang juga secara jelas menentukan apa yang tidak dikerjakan oleh sistem.

Functional requirement menggambarkan system requirement secara detil seperti input, output dan pengecualian yang berlaku. Contoh dalam kasus peminjaman buku di perpustakaan: 
  • Pengguna bisa mencari semua informasi tentang buku atau bisa memilih salah satu dari informasi tentang buku. 
  • Semua peminjam memiliki pengenal yang unik. 
  • Sistem mampu catat transaksi peminjaman, pengembalian dan denda secara lengkap. 
  • Hari libur bisa di-set sejak awal, dan bisa menerima perubahan dengan otoritas khusus. 
  • Harus komplit ( kebutuhan layanan jelas dan lengkap) dan konsisten (tidak kontradiksi dengan yang didefinisikan). 
Masalah yang mungkin terjadi dalam menyusun functional requirement adalah: 
  • Diintepretasikan/diartikan berbeda oleh user atau developer. 
  • Hasil intepretasi sering tidak menjawab kebutuhan klien. 
  • Untuk sistem yang besar, kelengkapan kebutuhan dan konsisten sulit dicapai 
  • karena kerumitan sistem. 
  • Perlu analisis yang dalam dan menyeluruh untuk mengurangi kesalahan. 
Non-functional Requirement : 
Secara umum berisi batasan-batasan pada pelayanan atau fungsi yang disediakan oleh sistem. Termasuk di dalamnya adalah batasan waktu, batasan proses pembangunan, standar-standar tertentu. Karena berkaitan dengan kebutuhan sistem secara keseluruhan,maka kegagalan memenuhi kebutuhan jenis ini berakibat pada sistem secara keseluruhan. Contoh kebutuhan jenis ini adalah kecepatan akses, keamanan data, besarnya kapasitas penyimpanan yang diperlukan, privasi masing-masing profil /account, bahasa pemrograman yang digunakan, sistem operasi yang digunakan.

Non functional requirement dibagi menjadi 3 tipe yaitu: 
Product requirement 
Berkaitan dengan kehandalan, kecepatan, kemudahan digunakan, kapasitas memori yang dibutuhkan dan efisiensi sistem. 

Organisational requirement 
Berkaitan dengan standar, bahasa pemrograman dan metode rancangan yang digunakan. 

External requirement 
Berkaitan dengan masalah etika penggunaan, interoperabilitas dengan sistem lain, legalitas, dan privasi.

Domain requirement : 
Berasal dari domain aplikasi sistem. Misalnya karena masalah hak cipta maka beberapa dokumen dalam perpustakaan tidak boleh diakses oleh orang lain yang tidak berhak. 

Key activity
· Elicitation 
Pada tahap ini dikumpulkan berbagai requirement dari para stakeholder [Pres01]. Seorang pelanggan mempunyai masalah yang dapat ditangani oleh solusi berbasis komputer. Tantangan ini ditanggapi oleh seorang pengembang. Di sinilah komunikasi dimulai antara pelanggan, pengembang, dan calon pengguna dari sistem yang akan dibuat. Namun istilah elicitation agak diperdebatkan. Ada yang menganalogikannya dengan seperti yang dilakukan oleh para arkeolog ketika mengumpulkan runtuhan-runtuhan di situs purbakala [Leff00]. Ada yang memberikan istilah requirements capture karena dilakukan terutama dengan mengumpulkan fakta-fakta [Benn00]. Bahkan [Gudg00] menyatakan bahwa requirement sebenarnya dibuat ketimbang didapatkan (elicitated). Walau yang terakhir ini nampaknya “lain sendiri”, argumen ini dapat diterima untuk pengembangan software yang sama sekali baru maupun untuk software-software permainan (games) yang terkadang permasalahan yang akan dipecahkan oleh game tersebut cenderung tidak berhubungan dengan solusinya ataupun sebenarnya masalah yang ada berasal dari bagian marketing2. Sejalan dengan proses RE secara keseluruhan, tujuan dari requirements elicitation adalah [Gudg00] :

· Untuk mengetahui masalah apa saja yang perlu dipecahkan dan mengenali perbatasan-perbatasan sistem (system boundaries).· Untuk mengenali siapa saja para stakeholder.

· Untuk mengenali tujuan dari sistem; yaitu sasaran-sararan yang harus dicapainya.


Teknik pengumpulan Requirement
Dalam disebutkan beberapa jenis teknik pengumpulan requirement:
  • Traditional techniques merupakan berbagai cara pengumpulan data. Cara-cara ini termasuk kuesioner, survey, wawancara, serta analisis dari berbagai dokumentasi yang ada seperti struktur organisasi, petunjuk pelaksanaan (juklak) serta manual-manual dari sistem yang sudah ada.
  • Group elicitation techniques bertujuan untuk mengembangkan dan mendapatkan persetujuan stakeholder, sementara memanfaatkan dinamika kelompok untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam. Cara-cara ini termasuk brainstorming dan focus group, juga berbagai workshop RAD/JAD (workshop untuk membangun sebuah konsensus dengan menggunakan seorang fasilitator yang netral).
  • Prototyping techniques membuat suatu implementasi parsial dari software yang akan dibangun untuk membantu para pengembang, pengguna, serta pelanggan untuk lebih mengerti berbagai requirement sistem [Leff00]. Digunakan untuk mendapatkan umpan-balik yang cepat dari para stakeholder, teknik ini juga dapat digabungkan dengan berbagai teknik yang lain, seperti misalnya digunakan di dalam sebuah acara group elicitation ataupun sebagai basis dari sebuah kuesioner.
  • Model-driven techniques menempatkan suatu model khusus dari jenis informasi yang akan dikumpulkan untuk digunakan sebagai pedoman proses elicitation. Termasuk di antaranya adalah goal based methods seperti KAOS  dan juga cara-cara berbasis skenario seperti CREWS.
  • Cognitive techniques termasuk serangkaian cara yang semulanya dikembangkan untuk knowledge acquisistion untuk digunakan di knowledge-based systems. Teknik-teknik ini termasuk protocol analysis (di mana seorang ahli melakukan sebuah tugas sembari mengutarakan pikiran-pikirannya), laddering (menggunakan berbagai pemeriksaan untuk mendapatkan struktur dan isi dari pengetahuan stakeholder), card sorting (meminta para stakeholder untuk menysun kartu-kartu secara berkelompok, di mana setiap kartu tertera nama sebuah domain entity), dan repertory grids (membuat sebuah attribute matrix for entities di mana para stakeholder diminta untuk mengisi matriks tersebut).
  • Contextual techniques muncul pada tahun 1990-an sebagai sebuah pilihan di luar traditional maupun cognitive techniques. Termasuk di antaranya penggunaan teknik etnografis seperti pengamatan terhadap para peserta. Juga termasuk ethnomethodogy dan analisis percakapan, yang keduanya menggunakan analisis terinci untuk mengenali pola-pola dalam percakapan dan interaksi. 


Dalam aktivitas requirements elicitation, ada baiknya untuk mengkategorikan berbagai requirement yang ditemukan. Suatu requirement dapat diklasifikasi sebagai functional requirement, non-functional requirement, maupun constraints [Grad92]. Sedangkan [Koto98] mengatakan bahwa suatu requirement dapat diklasifikasikan menjadi very general requirements, functional requirements, implementation requirements, performance requirements, dan usability requirements. 

Namun nyatanya klasifikasi (atau cara-cara pengkategorian lainnya) requirement ini tidak mutlak diperlukan; klasifikasi requirement ditujukan terutama untuk menuntun proses elicitation. Hal ini perlu diwaspadai karena gara-gara para anggota tim tidak dapat setuju akan klasifikasi dari sekumpulan requirement, maka development effort dari sebuah perusahaan Fortune 500 mengalami stagnasi [Leff00]. Terjebaknya mereka di dalam masalah semantik ini merupakan salah satu contoh dari analysis paralysis [Whit99]. 

Analyze
Sebuah model adalah perwakilan dari benda lain yang mempunyai rincian yang cukup untuk membantu penyelesaian tugas-tugas tertentu [Benn00]. Data modeling bertujuan untuk mendapatkan pengertian dari pemrosesan serta pengaturan informasi. Behavioral modeling memodelkan berbagai perilaku dari para stakeholder serta berbagai sistem lain yang berhubungan dengannya. Domain modeling menyediakan suatu bentuk abstrak dari dunia tempat beroperasinya sistem yang akan dibuat. Model-model yang dihasilkan dalam tahap ini ditujukan untuk analisa terhadap berbagai requirement yang ada. Para stakeholder berunding untuk mendapatkan suatu himpunan requirement akhir yang akan digunakan untuk tahap pengembangan selanjutnya. 

Menurut [Koto98] setelah selesainya tahap idealnya ini akan berlaku:
  • Berbagai requirement dari masing-masing stakeholder tidak bertentangan.
  • Informasi di dalam semua requirement harus lengkap.
  • Berbagai requirement yang ada harus selaras dengan anggaran yang dimiliki. 

Walaupun dengan adanya batasan-batasan tersebut, seluruh requirement sebaiknya mudah diubah ataupun disesuaikan. 

Spesification 
Tahap ini adalah penulisan dari requirements document, yang terkadang disebut dokumen Software Requirements Specification (SRS). Menurut [Hen80], dokumen ini sebaiknya:
  • Hanya menetapkan perilaku sistem sebagaimana terlihat dari luar
  • Menetapkan batasan-batasan (constraints) yang diberikan kepada implementasinya.
  • Mudah diubah.
  • Berguna sebagai alat referensi untuk pemeliharaan sistem.· Memuat gambaran akan siklus kehidupan sistem di masa yang akan datang.
Untuk meningkatkan readability, beberapa standar dokumentasi SRS telah dikembangkan. Namun menurut [Kov99], serangkaian standar dan template apabila berdiri sendiri tidak dapat digunakan sebagai cara yang mandraguna untuk memberi struktur bagi sekumpulan requirement; tetapi struktur yang digunakan haruslah dikembangkan sendiri-sendiri tergantung dari masalah yang sedang ditangani. Masalah standarisasi notasi dan pendokumentasian requirement membuat pendekatan sistematis terhadap RE menjadi sulit. [McDe94] memberikan sebuah daftar praktis ciri-ciri yang dinginkan pada sebuah requirements document:
  • Unambigous. Idealnya, hanya ada satu interpretasi terhadap sebuah requirements document.
  • Complete. Semua aspek yang bersangkutan haruslah dijelaskan secara lengkap di dalam requirements document.
  • Consistent. Tidak ada pernyataan yang bertentangan dalam requirements document.
  • Verifiable. Setelah sebuah sistem diimplementasikan, sebaiknya dapat dipastikan bahwa sistem tersebut memenuhi requirement awal.
  • Validatable. Suatu requirement sebaiknya dapat diperiksa oleh pelanggan untuk memastikan bahwa requirement tersebut memang memenuhi kebutuhannya.
  • Modifiable. Perubahan sebaiknya mudah dilakukan dan efek dari perubahan ini terhadap bagian-bagian lain sebaiknya minimal.
  • Understandable. Semua stakeholder sebaiknya dapat mengerti requirement seperti ditetapkan di dalam dokumen.
  • Testable. Semua requirement sebaiknya cukup kuantitatif untuk digunakan sebagai titik tolak pengujian sistem.
  • Traceable. Harus dimungkinkan adanya pengacuan (reference) antar berbagai bagian di dokumen requirement ataupun ke bagian-bagian lain dari proses pembuatan perangkat lunak. 
  • Validation & Verification 
Dalam tahap ini, dokumen dari tahap sebelumnya diperiksa agar memenuhi kriteriakriteria sebagai berikut [Koto98]:
  • Lengkap.
  • Konsisten.
  • Tunduk pada keputusan-keputusan yang diambil pada tahap requirements analysis.
Apabila ada requirement yang tidak memenuhi kriteria-kriteria tersebut, mungkin ada baiknya bagi proses RE untuk kembali ke tahap-tahap sebelumnya. Beberapa contoh masalah requirement yang terungkap pada tahap validasi antara lain [Koto98]:
  • Kurang/tidak cocok dengan bakuan-bakuan kualitas.
  • Kata-kata yang digunakan kurang baik sehingga requirement menjadi ambigu.
  • Berbagai kesalahan yang terdapat pada model-model baik model system ataupun model permasalahan yang hendak dipecahkan.
  • Pertentangan antar requirement yang tidak ditemukan pada tahap analisis.

Closed Circuit Television (CCTV)

Closed Circuit Television (CCTV) 
Closed Circuit Television (CCTV) merupakan sebuah perangkat kamera video digital yang digunakan untuk mengirim sinyal ke layar monitor di suatu ruang atau tempat tertentu. Hal tersebut memiliki tujuan untuk dapat dijadikan bukti tindak kejahatan yang telah terjadi. Pada umumnya CCTV seringkali digunakan untuk mengawasi area publik seperti : Bank, Hotel, Bandara, Gudang Militer, Pabrik maupun pergudangan.

Pada sistem konvensional dengan VCR (Video Cassete Recorder), awalnya gambar dari kamera CCTV hanya dikirim melalui kabel ke sebuah ruang monitor tertentu dan dibutuhkan pengawasan secara langsung oleh operator atau petugas keamanan dengan resolusi gambar yang masih rendah yaitu satu gambar 12,8 per detik. Namun seiring dengan perkembangan teknologi yang pesat seperti saat ini banyak kamera CCTV yang telah menggunakan sistem teknologi yang modern.

Real Time System
Dalam perkembagan ilmu komputer dan sistem perangkat lunak saat ini tidak hanya sebatas pada pengolahan data saja namun diperlukan sebuah informasi yang tepat waktu dan akurat. Untuk mendapatkan informasi yang up to date itu diperlukan sebuah real-time system. Real-time system adalah suatu proses yang dilakukan oleh sebuah sistem komputer saat itu juga. Contoh aplikasi yang menggunakan real-time system adalah pengontrolan proses pertumbuhan tanaman, robotic, lalu lintas penerbangan pesawat, telekomunikasi dan uji tembak senjata jarak jauh.

Real-time system digunakan jika suatu sistem operasi memerlukan ketepatan waktu dari proses aliran data yang diinputkan oleh user. Real-time system juga digunakan sebagai pengontrol terhadap aplikasi-aplikai tertentu. Dua bentuk real-time system yaitu :
1. Hard real-time task, menjamin critical task dapat diselesaikan pada waktunya, karena jika tidak diselesaikan dengan tepat waktu akan mengakibatkan kerusakan dan kesalan yang fatal pada system.
2. Soft real-time task, memberikan prioritas pada critical dibandingan dngan task yang lainnya hingga critical task tersebut dapat selesai dikerjakan. Critical task adalah proses yang dilakukan pada sebuah kejadian dan dioperasikan di dalam real-time constraint secara berulang-ulang dan terjadwal.

Berdasarkan dua bentuk real-time system yang telah disebutkan diatas, maka akan digunakan bentuk hard real-time task karena bentuk ini diperlukan untuk menampung data ke dalam server tanpa adanya campur tangan user.

Gambaran Umum Sistem 
Sistem yang akan dibangun akan menampilkan infromasi yang berkaitan dengan laporan gambar per tanggal dan waktu yang telah terekam oleh kamera CCTV. Sistem juga melakukan laporan jika terdapat pergeseran terhadap objek gambar melalui proses pemindaian. Dimulai dari perangkat mobile dalam aplikasi CCTV yang berperan sebagi client dengan melakukan pemindaian objek gambar melalui media kamera. Selanjutnya client akan melanjutkan dengan proses unggah gambar ke server. Pada sisi server Servlet akan bertindak sebagai web service yang akan melayani request dari perangkat mobile. Sesuai dengan request dari client, server akan menganalisa tiap gambar yang dikirim oleh client apakah terdapat pergeseran objek. Jika pergeseran objek melebihi batas toleransi yang tela ditentukan maka server akan menyimpan objek gambar ke dalam database sesuai waktu perekaman dan melakukan response balik kepada client. Response yang diterima client berupa nilai pergeseran objek. Nilai pergeresan terbebut yang selanjutkan akan dikirm kepada pengguna aplikasi apakah perlu untuk ditindak lanjuti atau tidak.

Gambar Diagram blok Sistem kamera pengawas berbasis J2ME. 

Diagram Use Case
Menurut Sholiq (2006) diagram use case menyajikan interaksi antara use case dan actor. Pada use case diagram aplikasi kamera pengawas berbasis J2ME di bawah ini akan dijelaskan hal apa saja yang bias dilakukan oleh pengguna aplikasi dan sistem.

Gambar  Use Case Sistem Kamera Berbasis J2ME.

Dalam aplikasi “Rancang Bangun Sistem Kamera Pengawas Berbasis J2ME” prosedur utama yang dilakukan adalah memindai area. System akan melakukan pemindaian terhadap area dengan cara menangkap objek gambar yang akan disimpan dalam database. Proses penyimpanan ke dalam database akan dilakukan oleh server sesuai dengan gambar yang telah diunggah oleh server.

Setelah prosedur pemindaian area selesai dilakukan tahap selanjutnya system kamera akan mendeteksi pergeseran objek secara otomatis. Pendeteksian objek dilakukan dengan cara memecah objek gambar ke dalam satuan-satuan pixel. Satuan pixel tersebut yang nantinya akan dianalisa apakah terdapat objek baru atau tidak. Satuan pixel yang telah dihasilkan dari proses pendektesian objek akan dianalisa oleh sistem yang memungkinkan ditemukannya objek baru pada koordinat tertentu. Gambar yang telah terindikasi terdapat objek baru akan disimpan ke dalam database secara otomatis oleh system.

Mengapa Kita Melakukan Monitoring dan Evaluasi?

Mengapa Kita Melakukan Monitoring dan Evaluasi?
1. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan Evaluasi sering dipersepsikan sebagai hal yang sama padahal makna dan fokusnya berbeda. Memang kedua konsep tersebut (monitoring dan evaluasi) memiliki keterkaitan erat. Monitoring dilaksanakan ketika kegiatan atau program sedang dilaksanakan, sedangkan Evaluasi dilakukan pada akhir tahapan suatu program.

Monitoring adalah kegiatan pemantauan terhadap pelaksanaan program untuk memastikan bahwa pelaksanaan program sesuai dengan rencana (waktu, sasaran, anggaran, dan aspek program yang lain). Fokus monitoring adalah: (1) rencana atau program; dan (2) pelaksanaan dari rencana atau program tersebut. Melalui monitoring diperoleh informasi mengenai sesuai atau tidaknya pelaksanaan kegiatan dengan rencana. Kesesuaian yang dimaksud bukan hanya berkaitan dengan komponen rencana, melainkan juga pelaksanaannya telah dilakukan dengan “benar“.

Evaluasi adalah proses sistematis untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menginterpretasikan informasi sebagai bukti tingkat keberhasilan dari suatu program. Fokus evaluasi adalah “hasil/pencapaian dan tujuan/target“ dari pelaksanaan kegiatan yang direncanakan. Oleh sebab itu, dalam rangka melaksanakan evaluasi perlu dihimpun data mengenai hasil pelaksanaan program. Penting pula dihimpun informasi mengenai berbagai faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan kegiatan dimaksud. Sasaran evaluasi kegiatan sekolah atau TPK adalah hasil yang dicapai dari pelaksanaan program Sekolah atau TPK. Setiap program Sekolah dan TPK harus memiliki tujuan/target yang jelas dengan indikator–indikator yang harus jelas pula, sehingga memudahkan untuk dilakukan Evaluasi. 

2. Alasan/Tujuan Monitoring dan Evaluasi
Setidaknya ada dua alasan kuat yang menjadi tujuan monitoring dan evaluasi yaitu: (a) Monitoring diperlukan agar dapat diketahui apakah pelaksanaan kegiatan sesuai atau tidak sesuai dengan rencana sehingga dapat dilakukan tindakan perbaikan atau preventif jika diperlukan; (b) Evaluasi diperlukan agar dapat diketahui taraf pencapaian tujuan dari kegiatan, sehingga dapat diambil suatu keputusan atau kebijakan lebih lanjut mengenai program tersebut. 

3. Beberapa hal yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi:
a. Pelaksanaan Monitoring:
1) Melakukan pemantauan/pemeriksaan di lapangan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sedang dilaksanakan.
2) Merekam masalah-masalah/hambatan yang timbul selama pelaksanaan kegiatan.
3) Melakukan perbaikan atau pemecahan masalah yang terjadi di lapangan agar pelaksanaan kegiatan dapat berlangsung sesuai dengan rencana.
4) Menghimpun data atau informasi yang diperlukan untuk melakukan evaluasi. 

b. Pelaksanaan Evaluasi:
1) Mengecek seberapa besar tingkat pencapaian target atau tujuan (bandingkan: rencana dengan realisasi).
2) Mengecek tingkat kemajuan yang dicapai (misalnya: apakah terjadi perubahan).
3) Pengambilan keputusan: apakah program berhasil atau tidak berhasil, untuk menentukan kebijakan lebih lanjut. 

4. Tipe Monitoring
Terdapat tiga tipe monitoring yakni: (a) Monitoring pendahuluan (forward monitoring) dilaksanakan sebelum kegiatan berlangsung; (b) Monitoring bersamaan dengan pelaksanaan kegiatan (concurrent monitoring) dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan kegiatan (pada waktu kegiatan sedang berlangsung), dan (c) Monitoring umpan-balik (feedback monitoring) dilakukan setelah kegiatan berlangsung sebagai bahan masukan untuk kegiatan ke depan. 

5. Siapakah yang melakukan monitoring dan evaluasi?
Pada dasarnya penanggung jawab program berkewajiban melakukan monitoring dan evaluasi. Monitoring dan evaluasi juga dapat dilakukan oleh pihak lain seperti Pengurus TPK, Pengawas atau Fasilitator yang telah dilatih karena mereka juga mempunyai tanggung jawab terhadap keberhasilan program yang telah direncanakan oleh sekolah dan TPK. 

6. Format Monitoring dan Evaluasi
Format monitoring dan evaluasi akan mendukung pelaksanaan kegiatan secara sistematis. 

Pengertian Monitoring Menurut Para Ahli

Pengertian Monitoring Menurut Para Ahli
Monitoring adalah suatu kegiatan yang bertujuan mengetahui perkembangan pelaksanaan penyelenggaraan sekolahpotensial, apakah sesuai dengan yang direncanakan atau tidak, sejauh mana kendala dan hambatan ditemui, dan bagaimana upaya-upaya yang sudah dan harus ditempuh untuk mengatasi kendala dan hambatan yang muncul selama pelaksanaan program dalam sekolah potensial. Melalui monitoring dapat diperoleh umpan balik bagi sekolah atau pihak lain yang terkait untuk menyukseskan ketercapaian tujuan. Oleh karena itu, antara pusat dan daerah (termasuk Komite Sekolah) harus melakukan monitoring tersebut secara bersama-sama sesuai dengan kapasitas dan tanggung jawabnya masing-masing. 

Monitoring dilakukan untuk tujuan supervisi, yaitu untuk mengetahui apakah program sekolah/madrasah berjalan sebagaimana yang direncanakan, apa hambatan yang terjadi dan bagaimana cara mengatasi masalah tersebut. Dengan kata lain monitoring menekankan pada pemantauan proses pelaksanaan program dan sedapat mungkin tim/pertugas memberikan saran untuk mengatasi masalah yang terjadi. Hasil monitoring digunakan sebagai umpan balik untuk penyempurnaan pelaksanaan program-program di sekolah/madrasah.

A. Evaluasi Hasil
Kegiatan evaluasi pada dasarnya adalah unmtuk mengetahui sejauh mana kesuksesan pelaksanaan penyelenggaraan sekolah potensial dan sejauh mana keberhasilan yang telah dicapai dalam kurun waktu tertentu. Kegiatan evaluasi tersebut dilakukan pada akhir tahun kegiatan/akhir tahun ajaran sehingga dilakukan setiap satu tahun sekali. Secara substansi, pada dasarnya evaluasi yang dilakukan adalah evaluasi kinerja sekolah penyelenggara sekolah potensial. Dengan demikian materi yang dijadikan bahan untuk melakukan evaluasi adalah meliputi aspek-aspek pendidikan , baik yang termasuk dalam SNP maupun aspek-aspek lainnya yang sesuai dengan RPS.

Secara metodologis, evaluasi tersebut dilakukan menggunakan pendekatan expost facto yaitu mengungkap apa saja yang telah terjadi dan dilakukan oleh sekolah/ pihak lain yang terkait. Idealnya, dalam evaluasi ini tidak dilakukan sampling responden, artinya semua sekolah potensial khususnya yang menerima dana bantuan akan dievaluasi. Instrumen dikembangkan dalam bentuk kuesioner/angket dari aspek-aspek pendidikan dalam SNP atau lainnya. Untuk kelengkapan data agar lebih komprehensif, instrumen juga dikembangkan dalam bentuk isian terbuka (kualitatif dan kuantitatif). Sumber data diambil dari para pengelola, guru, siswa, komite sekolah, dan Dinas Pendidikan kab/Kota. Hasil analisis dari data evaluasi tersebut akan disampaikan kembali kepada sekolah dan pihak lain yang terkait untuk dipergunakan sebagai masukan dan perbaikan program pada tahun berikutnya.

B. Komponen dan Indikator
Secara umum, monitoring dan evaluasi (MONEV) program sekolah/madrasah mencakup lima komponen utama, yaitu: konteks, input, proses, output, dan outcome.
1.Komponen konteks pada dasarnya mempertanyakan apakah program sekolah/madrasah sesuai dengan landasan hukum dan kebijakan pendidikan, tantangan masa depan, dan kondisi lingkungan sekolah/madrasah.
2.Komponen input pada dasarnya mempertanyakan apakah input-input pendidikan siap untuk digunakan. Siap berarti mencakup keberadaan, kuantitas, maupun kualitasnya. Komponen input mencakup indikator antara lain:
a. Standar isi
b. Standar proses
c. Standar kompetensi lulusan
d. Standar pendidik dan tenaga kependidikan
e. Standar sarana dan prasarana
f. Standar pengelolaan
g. Standar pembiayaan
h. Standar penilaian pendidikan

3.Komponen proses pada dasarnya mempertanyakan apakah proes pengolahan input telah sesuai dengan yang seharusnya. Artimya apakah proses tersebut telah sesuai denagn prinsip yang diyakini atau terbukti baik sesuai dengan atau di atas standar nasional yang ada
4.Komponen output pada dasarnya mempertanyakan apakah sasaran yang ingin dicapai pada suatu program tertentu dari 8 standar tersebut telah tercapai.
5.Komponen outcome pada dasarnya mempertanyakan dampak dari program sekolah/madrasah dari 8 standar tersebut. Dampak biasanya muncul setelah output terjadi beberapa lama.

C. Instansi yang Bertugas Melaksanakan Monitoring dan Evaluasi
1. Kepala sekolah/madrasah melaksanakan MONEV terhadap program-program yang dilaksanakan di sekolah/madrasahnya, baik yang fokusnya pada monitoring pelaksanaan program maupun pada evaluasi hasil program.
2. Depag Kabupaten/Kota melaksanakan MONEV sebagai bagian tugas fungsional pembinaan sekolah/madrasah. 
3. Kanwil Depag Provinsi juga melakukan MONEV secara sampling untuk validasi hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh Depag Kabupaten/Kota, dalam rangka menyusun simpulan pada tingkat provinsi.
4. Direktorat Mapenda melaksanakan MONEV secara sampling untuk validasi hasil-hasil monitoring yang dilakukan Depag kabupaten dan Provinsi, untuk keperluan pengembangan konsep dan program sekolah/madrasah di tingkat nasional.

D. Waktu Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi
1. MONEV internal oleh kepala sekolah/madrasah yang memfokuskan pada monitoring pelaksanaan program sekolah/madrasah dilaksanakan secara periodik sepanjang tahun, misalnya setiap minggu.
2. MONEV oleh Depag Kabupaten/Kota dilaksanakan minimal dua kali dalam satu tahun pelajaran, dan tentu saja lebih baik jika lebih baik jika lebih dari dua kali.
3. MONEV oleh Kanwil Depag Provinsi Provinsi dilaksanakan pada saat KBM efektif sedang berlangsung (Agustus-April), agar dapat mengetahui proses pelaksanaan program dan petugas dapat bertemu dengan siswa dalam kedan KBM berjalan.
4. MONEV oleh Direktorat Mapenda juga dilaksanakan ketika KBM efektif berjalan di sekolah/madrasah, yaitu antara Agustus-April.
5. Setiap dua atau tiga tahun sekali dilakukan penilaian secara komprehensid terhadap sekolah/madrasah sebagai school review. 

E. Sumber Data
Sumber data MONEV adalah: (1) dokumen; (2) persepsi orang (responden); dan (3) hasil pengamatan. Sumber data MONEV ini harus disesuaikan dengan data yang diperlukan
a. Dokumen mencakup antara lain dokumen program sekolah/madrasah pada 8 standar tersebut, data sosial ekonomi orang tua siswa, jumlah siswa dan guru serta fasilitas yang dimiliki sekolah/madrasah maupun yang ada di lingkungannya, dan sebagainya.
b. Orang (responden) akan memberikan data tentang persepsi mereka terhadap pelaksanaan program sekolah/madrasah pada 8 standar tersebut, keterbukaan manajemen sekolah/madrasah, kerja sama antara warga sekolah/madrasah maupun sekolah/madrasah dengan lingkungan, kemandirian madrasah dalam menyusun kebijakan, akuntabilitas program sekolah/madrasah, serta sustainbilitas (keberlanjutan) program-program sekolah/madrasah.
c. Hasil pengamatan akan memberikan data antara lain berupa keterlibatan warga sekolah/madrasah dalam kegiatan-kegiatan di sekolah/madrasah untuk mewujudkan program-program sekolah/madrasah pada 8 standar tersebut, seperti KBM di sekolah/madrasah, latihan olahraga atau kesenian, kondisi fasilitas yang dimiliki sekolah, dan antusiasme warga sekolah/madrasah dalam suatu kegiatan-kegiatan tertentu.

F. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada dasarnya dilakukan melalui:
1. Metode dokumentasi; untuk mencermati dokumen-dokumen program sekolah/madrasah, kondisi sosial ekonomi orang tua siswa, fasilitas yang dimiliki madrasah, dan hasil-hasil yang dicapai oleh program sekolah seperti nilai hasil belajar nasional, hasil berbagai kejuaraan, dan sebagainya
2. Metode wawancara; untuk menggali pendapat beberapa warga sekolah/madrasah dan orang tua secara mendalam terhadap program sekolah/madarasah, proses penyusunan program maupun pelaksanaannya.
3. Metode observasi; untuk menggali data yang terkait dengan kegiatan program sekolah/madrasah yang sedang berjalan maupun hasil-hasilnya.
4. Metode kuesioner; untuk menggali pendapat warga sekolah/madrasah yang terkait dengan program sekolah/madrasah secara ekstensif.

G. Instrumen
Instrumen terdiri atas: kuesioner dan panduan observasi, dokumentasi, dan wawancara. Kuesioner meliputi kuesioner untuk kepala sekolah/madrasah, kuesioner untk guru, kuesioner untuk siswa, kuesioner untuk tata usaha, dan kuesioner untuk orang tua. Perlu dipahami bahwa kondisi sekolah/madrasah dan permasalahan yang dihadapi sangat bervariasi. Setiap petugas MONEV diharapkan menyesuaikan dengan kondisi sekolah/madrasah yang dikunjungi dalam penyusunan instrumen.

Pengertian Dan Manfaat Wonosobo

Pengertian Dan Manfaat Wonosobo
Wonosobo adalah kota pegunungan yang konon berasal dari kata Bahasa Jawa “wana” (hutan) dan “saba” (didatangi). Artinya, kota itu tumbuh dan berkembang lantaran sejumlah orang (luar) yang datang dan menghuni hutan pengunungan tersebut. Kota ini merupakan salah satu kabapaten yang termasuk dalam Karesidenan Kedu dan menjadi bagian Propinsi Jawa Tengah yang terletak di lereng beberapa gunung dan pegunungan, seperti Gunung Sindoro, Sumbing, Prahu, Bismo, serta pegunungan Telomoyo, Tampomas, serta Songgoriti. Oleh karena letaknya di pegunungan itulah, maka kesuburan tanahnya amat tinggi. Kesuburan tanah itu sangat berpengaruh terhadap potensi pertanian dan perkebunan di Wonosobo, sehingga dunia pertanian dan perkebunan merupakan sumber penghasilan penting bagi Wonosobo. 

Di sisi lain Kabupaten Wonosobo mempunyai banyak objek wisata, di antaranya Dataran Tinggi Dieng, Telaga Warna, Telaga Pengilon dan Gua Semar, Kawah Sikendang, Tuk Bimolukar, Agro Wisata Tambi, Telaga Menjer dan berbagai objek wisata lainnya. Selain itu, Wonosobo juga kaya akan kesenian tradisional, sayangnya hanya sekadar ditampilkan pada acara perayaan khusus seperti HUT kemerdekaan RI, perhelatan warga masyarakat sekitarnya, dan jarang dijadikan pendukung asset wisata setempat.

Keunggulan objek wisata alam tersebut, idealnya masih harus banyak dikembangkan lagi. Terutama, dukungan masyarakat lokal yang menjadi bagian tak terpisahkan dari objek wisata tersebut. Salah satu di antaranya adalah atraksi kesenian tradisional yang merupakan bagian dari kebutuhan integratif masyarakat setempat. Sebagai kebutuhan integratif, kesenian tradisional bagi masyarakat Wonosobo akan tetap dipertahankan sepanjang kesenian tersebut mampu menampung pandangan, aspirasi, dan gagasan mereka. Kebutuhan akan pengembangan pariwisata di wilayah ini akan sejalan, jika didukung dengan pandangan, aspirasi, dan gagasan masyarakat setempat. Dari sinilah perlu ditemukan model-model pengembangan atraksi kesenian tradisional yang ada di wilayah Wonosobo, sebagai strategi pemahamanan wawasan wisata masyarakat lokal.

Lebih dari itu, kita tahu bahwa persaingan global menuntut adanya modernisasi di sektor pariwisata. Hal itu perlu dilakukan agar wisatawan bersedia berkunjung dan merasa kerasan di kota yang dikunjunginya. Tak terkecuali dengan Kabupaten Wonosobo yang menyimpan objek wisata yang cukup banyak, misalnya Dataran Tinggi Dieng, Telaga Warna, Telaga Pengilon dan Gua Semar, Kawah Sikendang, Tuk Bimolukar, Agro Wisata Tambi, Telaga Menjer dan berbagai objek wisata lainnya. 

Permasalahan muncul ketika pembangunan sektor pariwisata sedikit demi sedikit mengancam eksistensi dan kelestarian budaya lokal. Secara perlahan-lahan tetapi pasti masyarakat akan mengadopsi budaya yang lebih modern yang berasal dari luar budayanya sendiri. Sementara ekspresi budaya seperti kesenian tradisional yang telah menjadi kebutuhan integratif masyrakat lokal yang sebenarnya dapat dijadikani asset wisata justru terabaikan. 

Hal itu menimbulkan masalah tersendiri. Kebanyakan wisatawan datang ke Wonosobo bukan pertama-tama untuk menikmati suasana modern, melainkan justru untuk mengenal dan menikmati suasana dan kebudayaan lokal. Maka, jika secara perlahan-lahan kebudayaan lokal tergeser, dapat dipastikan bahwa lama kelamaan Wonosobo akan kehilangan aset untuk ditawarkan pada para wisatawan. Tak ada lagi kekhasan Wonosobo yang dapat dikedepankan untuk menarik wisatawan.

Persoalan tersebut perlu dicari solusinya. Pengembangan pariwisata Wonosobo perlu diarahkan pada pengembangan pariwisata yang berorientasi pada pelestarian budaya. Untuk menciptakan pengembangan pariwisata yang berorientasi pada kelestarian budaya, salah satunya adalah mensinergikan antara objek wisata dengan aset kesenian tradisional yang dimiliki oleh kabupaten setempat. Sebab, sebagaian dari atraksi wisata pada dasarnya dapat melengkapi daya tarik wisata. Dari sinilah dibutuhkan revitalisasi kesenian tradisional sebagai strategi pemahamanan wawasan wisata masyarakat lokal. Di samping itu, revitalisasi tersebut juga merupakan bentuk pengembangan pariwisata yang memperhatikan kelestarian budaya, dapat diyakini bahwa dari waktu ke waktu Wonosobo akan tetap mampu mempertahankan eksistensinya sebagai kota pariwisata. 

Mengidealkan Wonosobo sebagai kota pariwisata, tentu bukan sesuatu yang berlebihan. Predikat kota pariwisata diberikan pada Wonosobo karena sudah lama kota Wonosobo menjadi daerah tujuan pariwisata baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Dataran tinggi Dieng misalnya, merupakan salah satu tujuan wisata di Jawa Tengah, yang sangat unik. Dieng adalah dataran tinggi yang curam dan terjal tetapi ditanami oleh berbagai macam tanaman dan sayuran. Sejak dahulu kawasan ini dikenal sebagai pusat berbagai macam tanaman dan sayuran. Selain itu, suasana pagi Dieng terasa sangat sejuk dan kita tidak tahu kapan kabut turun yang membuat suasana menjadi lebih mistis.

Eksotika pemandangan kawasan ini sudah tidak diragukan lagi, ada banyak objek landscape yang dapat dinikmati. Misalnya, Telaga Warna merupakan salah satu telaga yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan. Di sini wisatawan dapat menikmati tiga macam warna telaga: biru, hijau dan coklat. Selain itu, masih ada telaga yang lain seperti telaga Merdada, Sumurup dan Pengilon.

Selain objek wisata telaga dan pemandangan, wisatawan bisa menikmati objek arsitektur aejarah. Di sini terdapat situs reruntuhan candi purbakala Hindu yang konon dibangun bersamaan dengan zaman dibangunnya Candi Borobudur, sekitar abad ke-8 Masehi. Tempat ini, dulu merupakan pusat penyebaran agama Hindu pertama di Jawa Tengah. Para ahli arkeolog yakin komunitas Hindu didataran tinggi Dieng adalah awal lahirnya Dinasti Syailendra yang pada zamannya membangun candi yang monumental dalam sejarah. Selain reruntuhan candi wisatawan juga dapat menemukan reruntuhan sisa-sisa kerajaan masa lampau. Yang unik, candi-candi di sekitar Dieng ini dinamai tokoh-tokoh pewayangan. Ada empat kelompok candi yakni kelompok Candi Dwarawati dan Parikesit, kelompok Candi Dwarawati Timur, kelompok Candi Setyaki, Ontorejo, Petruk, Nala Gareng, dan Nakula-Sadewa, serta kelompok Candi Arjuna, Semar, Sembodro, Puntadewa, dan Srikandi. Kelompok bangunan candi Dieng ini terletak pada ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut dan ditemukan pada sekitar tahun 1800.

Kawah dataran tinggi Dieng tergolong masih aktif, karena masih mengeluarkan belerang panas dan beberapa ada yang beracun. Jika wisatawan tertarik untuk mengunjungi beberapa kawah yang terdapat di kawasan ini sebaiknya menanyakan kepada penduduk sekitar, kawah mana saja yang cukup aman dikunjungi. Salah satu kawah yang terkenal adalah Kawah Candradimuka, yang dinamai menurut cerita Gatot Kaca dilebur di kawah tersebut. Jalan untuk menuju tempat ini sangatlah menanjak dan jalan yang berliku sangat tajam. 

Di sisi lain Kabupaten Wonosobo juga menyimpan sejumlah kesenian tradisonal yang selama ini menjadi kebutuhan integratif masyarakat setempat. Sebagai kebutuhan integratif, kesenian tradisional bagi masyarakat Wonosobo, akan tetap dipertahankan, sepanjang kesenian tersebut mampu menampung pandangan, aspirasi, dan gagasan mereka. Kebutuhan akan pengembangan pariwisata di wilayah ini akan sejalan, jika didukung dengan pandangan, aspirasi, dan gagasan masyarakat setempat. 

Kabupeten Wonosobo mempunyai sejumlah kesenian di antaranya, kesenian kuda kepang, lengger, angguk, cepetan, bangilon, bundengan, dan kesenian lainnya. Tari kuda kepang adalah kesenian yang dibawakan oleh tujuh penari, seorang penari sebagai pemimpin (plandang) dan enam penari sebagai prajurit pengikut. Tari ini menggambarkan legenda Raden Panji Asmara Bangun yang sedang mencari kekasihnya yang bernama Sekartaji.

Kesenian Lengger merupakan kesenian yang berasal dari kata “le” panggilan untuk anak laki-laki dan “ger” membuat geger atau ramai. Karena memang awalnya tarian lengger dibawakan oleh seorang anak laki-laki yang dirias seperti wanita. Mengawali Tarian Lengger biasanya dimulai dengan: tarian Gameyong (tarian ucapan selamat datang), tarian Sulasih (tarian mengundang roh bidadari), tarian Kinayakan (tarian yang dibawakan dengan perasaan halus), tarian Bribil (menggambarkan rasa terimakasih), tarian Samiran (menggambarkan wanita yang bersolek karena rasa rindu), tarian Rangu-rangu (pada tarian ini biasanya penari kemasukan roh jahat), tari Kebo Giro (tarian ini bersifat ganas dan kasar), tari Kembang Jeruk (menggambarkan penari kemasukan roh mirip kera), dan diakhiri tarian Gones (tarian ini bersifat lucu). 

Tari Angguk, adalah tarian yang gerakannya yang mengangguk-angguk. Dengan kostum wayang orang dan lagu bernafaskan Islam. Tari Cepetan merupakan tarian dengan wajah para penarinya di corang-coreng (Jawa=cepat-cepot), namun dalam perkembangannya tidak lagi di coreng-coreng tapi hanya dengan menggunakan kain penutup. Lagu yang dibawakan berbahasa Indonesia yang kurang sempurna dan bernafaskan Islami. Tari Bangilon merupakan tarian keprajuritan dengan kacamata hitam bulat sebagai ciri khasnya. Untuk mengiringi tarian mereka bernyanyi bersama-sama yang diambil dari Kitab Barjanji yang disadur sedemikian rupa.

Bundengan merupakan bentuk kesenian yang sudah sangat langka dan mungkin satu-satunya di Wonosobo atau bahkan di Indonesia, alat yang digunakan adalah sebuah koangan (alat untuk menggembala bebek). Koangan itu yang terbuat dari pelepah bambu (clumpring bahasa Jawa) serta ijuk dan biasa digunakan untuk menyanyi penggembala ternak angsa, kemudian dalam perkembangannya bisa untuk mengiringi berbagai jenis nyanyian pop, dangdut, kasidah dan bahkan bisa mengiringi tarian lengger.

Sedangkan kesenian tadisional lainnya di Kabupaten Wonosobo juga cukup banyak. Ada puluhan kesenian yang sangat layak untuk dinikmati, misalnya Badutan, Bambu Runcing, Bangilun, Bugisan, Cekak Mondol, Dayakan, Dagelan Punokawan, Madyo Pitutur, Panembromo, Pentulan, Srandul, Thek Ethek Kampling, Turonggo Baras dan sejumlah kesenian tradisional yang sudah sangat langka tetapi masih tumbuh berkembang di Wonosobo. 

Istilah pariwisata berasal dari bahasa Sansekerta, yang mempunyai dua suku kata yaitu “pari” (berarti seluruh, semua atau penuh) dan “wisata” (berarti perjalanan atau berpergian) (Pambudi, 1998:8). Sehingga, pariwisata dapat diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan perjalanan untuk rekreasi, pelancongan dan tourism (Pendit., 1967:37). Di Indonesia istilah pariwisata, konon untuk pertamakali digunakan oleh mendiang mantan Presiden Soekarno, dalam suatu percakapannya sebagai padanan dari istilah tourism (Soekadijo, 1997:1). 

Terdapat banyak definisi tentang pariwisata, antara lain dikatakan bahwa pariwisata adalah, keseluruhan dari gejala-gejala yang ditimbulkan oleh perjalanan, dan pendiaman orang-orang asing, serta penyediaan tempat tinggal sementara, asalkan pendiaman itu tidak tinggal menetap dan tidak memperoleh penghasilan dari aktivitas yang bersifat sementara (Yoeti, 1983:106). Pariwisata dapat juga diterjemahkan sebagai kegiatan seseorang yang mengadakan perjalanan untuk kesenangan melancong, karena rasa ingin tahu, dan karena tak punya pekerjaan lain yang lebih baik dikerjakan (Lunberg, 1997:13). 

Dalam laporan masalah dan perspektif pariwisata nasional, dikatakan bahwa pariwisata adalah proses bepergian sementara seseorang atau lebih ketempat lain di luar tempat tinggalnya, untuk berbagai kepentingan lain baik ekonomi, sosial, kebudayaan, politik, agama dan kesehatan maupun kepentingan lain yang bersifat sekedar ingin tahu dan menambah pengalaman atau belajar (Dirjen Pariwisata, 1978:40).

Dalam arti luas, pariwisata adalah kegiatan rekreasi diluar domisili untuk melepaskan diri dari aktifitas rutin, atau mencari suasana lain. Sebagai suatu aktifitas, pariwisata telah menjadi bagian penting dari kebutuhan dasar masyarakat maju dan sebagian kecil masyarakat negara berkembang (Weber., 2006:1). Dengan adanya kegiatan pariwisata, sering muncul penilaian akan menimbulkan ekses-ekses negatif terhadap eksistensi nilai-nilai budaya. Akan tetapi, ada juga yang secara obyektif menilai, justru tidak sedikit kontribusi atau sumbangan pariwisata terhadap pelestarian nilai-nilai budaya. Sebab, dengan adanya pariwisata justru akan menggairahkan perkembangan kebudayaan asli, bahkan dapat juga menghidupkan kembali unsur-unsur kebudayaan yang sudah hampir dilupakan (Soemardjan, 1994:59). 

Dalam penelitian ini fokus penelitian lebih mengarah kepada hubungan resiprositas antara masyarakat lokal dan aktivitas pariwisata. Masyarakat lokal selain memiliki hak akses pemanfaatan atas sumberdaya alam yang ada disekitar mereka juga memiliki kesempatan yang baik untuk menangkap peluang dan mengekspresikan dirinya, demi memberi kontribusi berkembangnya pariwisata di daerahnya (Rahardjo, 2004:12). Hal itu, didukung pendapat Cernea dalam Lindberg K and D E, Hawkins (1995). Diungkapkan, partisipasi lokal memberikan peluang efektif dalam kegiatan pembangunan. Hal ini berarti memberi wewenang atau kekuasaan pada masyarakat sebagai pemeran sosial dan bukan subjek pasif untuk mengelola sumberdaya yang ada sesuai dengan kemampuannya.

Beberapa kasus yang terjadi di perkampungan tradisional, aktifitas pariwisata seringkali hanya menjadikan masyarakat lokal sebagai hiasan, atau daya tarik yang bersifat eksploitatif. Bahkan yang lebih memprihatinkan lagi, tidak jarang ekploitasi yang dilakukan oleh pihak-pihak luar, sedikitpun tidak memberikan kontribusi positif, baik secara ekonomi maupun sosial (Sophian, 1991:36). 

Dalam kegiatan pariwisata di Indonesia misalnya, masyarakat lokal sering kali dalam kegiatan pariwisatanya tidak mendapatkan atau memiliki porsi kuat, dalam menentukan bahkan mengatur aktivitas tersebut (Kompas, 13 Oktober 2004). Ini terlihat ketika kedatangan wisatawan, biasanya sudah ditangani langsung oleh pemandu wisata yang bukan warga masyarakat setempat. Demikian juga keterlibatan masyarakat lokal dalam pariwisata juga lazim diabaikan (Kompas, 21 April 2006). 

Contoh menarik yang dilakukan Pemda Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur ketika mempromosikan perkampungan Suku Osing. Sejak tahun 2002, pemda setempat, ketika mengangkat kawasan tersebut dengan cara memberdayakan masyarakat tradisional setempat. Sayangnya, ketika sampai pada perhitungan pendapatan Pemda lebih dominan, mereka dapat meraup untung secara besar-besaran dalam “menjual” suku Osing sebagai komoditi pariwisata, sementara masyarakat setempat tak mendapatkan keuntungan apa-apa (The Jakarta Post, 10 April 2006).

Masyarakat lokal, terutama penduduk asli yang bermukim di kawasan wisata, menjadi salah satu pemain kunci dalam kegiatan pariwisata, karena sesungguhnya merekalah yang akan menyediakan sebagian besar atraksi sekaligus menentukan kualitas produk wisata (Weber, 2007:23). Hubungan antara wisatawan dengan masyarakat lokal menyebabkan terjadinya proses komodifikasi dan komersialisasi keramahtamahan masyarakat lokal (Pitana, 2004:83).

Ada sebagian pendapat, bahwa pada dasarnya keberadaan antara budaya dan pariwisata, adalah dua fenomena yang saling menguntungkan. Di satu sisi dengan adanya potensi daya tarik budaya maka pariwisata berkembang, apalagi ditunjang dengan pendekatan-pendekatan sosial budaya dalam pengembangan sektor tersebut. Di sisi lain dengan adanya pariwisata, upaya-upaya pelestarian nilai-nilai budaya semakin digiatkan dan berkesinambungan, walaupun ada suatu pandangan negatif bahwa upaya-upaya tersebut berkesan pengeksploitasian secara besar-besaran terhadap pengembangan nilai-nilai budaya itu sendiri (Hutagalung., 2002:18).

Selama ini bila kita berbicara tentang pariwisata, kesan pertama yang akan timbul dalam perspektif budaya adalah tentang pengeksploitasian dan komersialiasasi nilai-nilai budaya demi mengeruk keuntungan yang besar dari sektor pariwisata (Swarsi, 1995:3). Pemikiran tersebut oleh James Spillane digolongkan sebagai coutionary, yaitu yang menganggap bahwa pariwisata menyebabkan berbagai macam konflik (Spillane,1994:28). Pandangan tersebut tidak dapat disalahkan karena pada dasarnya budaya dan pariwisata itu sendiri sering dianggap dua aktifitas yang penuh dengan konflik. Kebudayaan dianggap mewakili kepercayaan bersifat tradisional, sedangkan pariwisata dianggap lebih modern dan dinamis (Adnyana Manuaba, 1999:2).

Ketakutan-ketakutan ini muncul karena menganggap dengan adanya kegiatan pariwisata akan menyebabkan terkontaminasinya nilai-nilai budaya asli suatu bangsa. Pengaruh budaya asing yang dibawa oleh para wisatawan, belum lagi muncul kesan dengan adanya pariwisata akan terbantuk kelompok masyarakat vertikal, yaitu "yang dilayani dan yang melayani" (Nasikun, 1994:31). Di sinilah masalah pariwisata merupakan suatu fenomena kompleks yang multi dimensional, multi approuch (Soemono, 1996:36).

Sesungguhnya, keprihatinan terhadap dampak pariwisata tidaklah hanya berasal dari kalangan industri pariwisata. Sejak awal tahun 1960-an, beberapa antropolog dan sosiolog sudah mulai memperhatikan perubahan-perubahan sosial budaya yang ditimbulkan oleh pariwisata (Picard., 2006:158). Namun baru pada tahun 1974, The Antropological Association menjadikan “pariwisata dan perubahan budaya” sebagai tema pertemuan tahunannya. Tujuannya adalah mendapatkan pengesahan terhadap bidang pariwisata sebagai penelitian antropologis dan menimbulkan penelitian terhadap dampak-dampaknya antara wisatawan dengan masyarakat penerima (Picard., 2006:ibid). 

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungannya antara keterlibatan masyarakat lokal yang mempunyai wawasan wisata dengan kegiatan pariwisata pada dasarnya harus sinergis. Pada awalnya wisatawan dianggap “tamu” dalam pengertian tradisional, yang disambut dengan keramahtamahan tanpa motif ekonomi. Dengan semakin bertambahnya jumlah wisatawan, maka hubungan berubah menjadi resiproritas dalam artian ekonomi. Apabila sampai batas-batas yang dapat ditoleransi oleh masyarakat setempat, maka hubungan dapat menjadi anomi, dan masyarakat local sudah mulai agresif terhadap wisatawan, mengarah kepada eksploitasi dalam setiap interaksi, tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang (Pitana., 2005:83). Untuk itu, kajian tentang keterlibatan masyarakat lokal terhadap industri pariwista di lingkungannya, merupakan fenomena penting terhadap masalah sosial masyarakat saat ini (Ross., 1998:200).

Dalam kaitannya dengan pengembangan pariwisata di Wonosobo, masalah komersialisasi budaya akan menjadi masalah penting. Pemikiran-pemikiran berbagai pihak tentang pariwisata hanya difokuskan pada bagaimana memperoleh keuntungan finansial sebesar-besarnya. Akibatnya, motivasi utamanya bukan lagi memelihara dan melestarikan kebudayaan budaya yang dimilikinya melainkan pada pertimbangan bisnis semata. Jika hal itu terjadi, kebudayaan bisa dimanipulasi demi kepentingan bisnis. 

Dalam jangka panjang, masalah pariwisata di Kabupaten Wonosobo perlu adanya keterlibatan masyarakat lokal. Kemampuan masyarakat lokal dalam mempertahankan keramahtamahan dan etika kehidupan bermasyarakat menjadi modal penting. Sektor pariwisata pada akhirnya sangat ditentukan oleh aset budaya yang dapat ditawarkan pada para wisatawan. Fasilitas yang lengkap, promosi yang gencar, dan pengalokasian dana untuk membangunan sarana fisik pariwisata akan terkesan sia-sia ketika Wonosobo tidak lagi memiliki aset kebudayaan sebagai andalan utama obyek pariwisata. Satu-satu aset yang perlu dikembangkan dalam dunia pariwisata, adalah meningkatkan pemahaman wawasan wisata masyarakat lokal.

Seperti hasil riset yang telah peneliti lakukan sebelumnya, keterlibatan masyarakat lokal Wonosobo sangat menentukan keberhasilan program pembangunan di wilayah tersebut (Irianto, 2004). Demikian juga menyangkut eksistensi kesenian tradisional pada dasarnya sangat efektif dijadikan salah bentuk ekspresi masyarakat lokal mendukung program pembangunan (seperti program pariwisata), karena kesenian tersebut telah menjadi kebutuhan integratif masyarakat pendukungnya (Irianto, 2005).
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson