Dukungan Perlindungan Tanaman Dalam Membangun Kedaulatan Pangan
Dengan jumlah penduduk yang akan mencapai 8 miliar pada tahun 2030 dan 9,2 miliar pada tahun 2050, dunia tetap akan terancam oleh kerawanan/kekurangan pangan. Di tahun 2015, misalnya, jumlah penduduk dunia yang mengalami kerawanan pangan diperkirakan akan mencapai 580 juta jiwa (Yudohusodo, 2004). Banyak ilmuwan memperkirakan bahwa jumlah penduduk yang akan mengalami kerawanan pangan akan terus meningkat dari waktu ke waktu. Peningkatan dalam jumlah penduduk yang belum diiringi dengan peningkatan dalam kualitas sumber daya manusia, disertai dengan terus menyusutnya sumber daya alam baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan, akan memperparah ancaman kekurangan pangan dunia.
Berbicara mengenai sumber pangan dunia, sebenarnya dari 800.000 spesies tumbuhan yang sudah diketahui, 3.000 spesies di antaranya dapat dimakan. Dalam kenyataannnya, hanya 150 spesies tanaman yang sudah umum dimakan, dan dari jumlah tersebut yang menjadi sumber pangan utama dunia hanya 12 spesies tanaman yaitu gandum, padi, jagung, kentang, ubi jalar, ketela pohon, pisang, kelapa, kedelai, common bean, tebu, dan beet. Dari 12 spesies tanaman sumber utama pangan tersebut, tiga spesies tanaman yang termasuk kedalam kelompok biji bijian yaitu gandum, padi dan jagung, merupakan andalan utama untuk memenuhi kebutuhan kalori manusia (Schumann, 1991).
Data di atas mengingatkan kepada kita bahwa budidaya tiga kelompok tanaman biji bijian tesebut terus akan merupakan kegiatan yang sangat vital dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan dunia. Dari total kebutuhan biji-bijian dunia, sekitar 50 persen dipergunakan untuk konsumsi manusia, 44 persen untuk pakan ternak dan 6 persen untuk bahan dasar industri. Sehubungan dengan adanya krisis energi dunia, kemungkinan besar akan terjadi pergeseran proporsi kebutuhan biji bijian, terutama untuk biji bijian yang berpotensi sebagai bahan dasar produksi bioenergi.
Karena rendahnya produksi dalam negeri, pemenuhan pangan di negara negara yang sedang berkembang akan semakin tergantung pada bahan pangan impor. Ditengarai bahwa dalam kurun waktu 35 tahun, impor biji-bijian oleh negara negara yang sedang berkembang dapat meningkat hampir 2 kali lebih besar, yaitu dari 170 juta ton pada tahun 1995 menjadi 270 juta ton pada tahun 2030 (Yudohusodo, 2004). Situasi demikian merupakan peluang emas bagi Indonesia untuk mentransformasi dirinya dari negara dengan “ketahanan pangan yang tangguh” menjadi negara pemasok utama kebutuhan produk produk pangan tropika dunia. Peluang ini dimungkinkan karena Indonesia adalah negara agraris yang sangat luas dan dikaruniai sumber daya alam terbarukan yang melimpah. Dengan kata lain Indonesia seharusnya merubah impiannya dari mewujudkan kedaulatan/kemandirian pangan menjadi “produsen utama pangan tropika dunia”. Sejalan dengan pesan Presiden Pertama RI pada saat peletakan batu pertama gedung Institut Pertanian Bogor bahwa persoalan pangan adalah masalah hidup dan matinya bangsa (Soekarno, 1952), maka sebagai negara yang berpenduduk banyak dengan potensi pangan yang besar, membangun kemandirian pangan adalah suatu kebutuhan mendasar untuk menopang tegak dan kokohnya kedaulatan bangsa.
Mengutip pernyataan Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif pada orasi penerimaan Anugerah Hamengku Buwono IX (Maarif, 2004), Indonesia yang terdiri dari 17.565 pulau besar dan kecil sebenarnya adalah sebuah mosaik fisik dan budaya yang teramat elok dan menawan dengan kekayaan alam yang masih potensial dan memberi harapan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat banyak, jika saja dikelola secara baik dan jujur. Memang pulau pulau tersebut yang terangkai di sepanjang khatulistiwa dan lautan yang menyatukan rangkaian pulau ini merupakan kawasan yang kaya akan sumber daya alam (Anonim, 2006). Meskipun sebagian sumber daya alam kita telah lama kurang terurus dan sebagian sudah dirusak secara serakah oleh pihak pihak yang kurang bertanggung jawab, sumber daya alam kita, baik yang berupa sumber daya terbarukan maupun tidak terbarukan, masih memuat harapan untuk mewujudkan kedaulatan pangan di negeri tercinta ini. Dengan meminjam pernyataan Zen (2006), mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia bukanlah mengejar pelangi, yang akan berakhir dengan mimpi yang kosong. Yang kita kejar adalah pelangi mas. Jika direncanakan dengan matang, dengan strategi yang jitu, ini akan berakhir dengan hujan emas.
Kedaulatan pangan Indonesia dapat dicapai melalui: pertama, mengembangkan sains dan teknologi yang memanfaatkan potensi sumber sumber yang tersedia secara cerdas, diikuti tahap kedua yaitu dengan mengembangkan sains dan teknologi untuk mewujudkan keunggulan pangan Indonesia, kemakmuran dan martabat bangsa. Keberhasilan mengelola sumber daya pangan tersebut untuk mewujudkan kedaulatan pangan akan sangat ditentukan oleh mutu sumber daya manusia yang dihasilkan oleh sistem pendidikan pertanian nasional.
Dari gatra penawaran/permintaan pangan (food supply/demand) kondisi pangan dunia memang cukup memprihatinkan. Permintaan pangan terus meningkat dengan pesat untuk mengimbangi laju pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan makin meningkatnya kompetisi penggunaan biji bijian sumber energi yang terbarukan. Meskipun tingkat kenaikan penduduk dunia sudah dapat ditekan dari 2 % per tahun pada tahun 1970 menjadi 1,2 % per tahun pada tahun 2010, dewasa ini pertambahan penduduk dunia masih mencapai 8 juta per tahun, atau kurang lebih 219.000 bayi per hari. Dari sisi penawaran pengadaan pangan menghadapi tantangan yang berupa makin menurunnya kualitas lahan, berkurangnya sumber air, perubahan status penggunaan lahan, perubahan iklim dan telah dicapainya leveling off produksi beberapa komoditas (Brown, 2011).
Karena kompleksnya masalah pangan, dalam membangun kemandirian /kedaulatan pangan seharusnya didekati dengan pendekatan system dengan menempatkan serangkaian kegiatan produksi sebagai salah satu sub-sistemnya (Anonim, 1988).
Dalam subsistem produksi pangan harus diakui bahwa sebagai produsen utama bahan pangan, petani masih belum mendapatkan perhatian yang memadai dari negara bila dilihat dari gatra peningkatan kesejahteraan (Yudohusodo, 2004). Di sisi lain masih terdapat gap (kesenjangan) yang lebar antara angka hasil aktual (actual yield) yang dicapai oleh petani di lapangan dan angka hasil potential (potential yield) di petak petak percobaan. Angka hasil potensial adalah angka hasil suatu komoditas yang dicapai bila komoditas tersebut dibudidayakan dengan persyaratan optimal dan memanfaatkan teknologi mutakhir, sedangkan angka hasil aktual adalah angka hasil yang dapat dicapai apabila suatu komoditas dibudidayakan oleh petani dalam skala luas. Untuk tanaman padi, misalnya, dewasa ini angka hasil aktual rata rata yang dapat dicapai petani adalah 4-5 ton beras per hektar, sedangkan angka hasil pada plot plot demonsrtrasi dapat mencapai 6-7 ton beras per hektar. Sudah lama diketahui bahwa penyebab klasik kesenjangan tersebut karena adanya hambatan biologi (biological constraints) yang terdiri dari masih tingginya penurunan angka hasil akibat serangan organism pengganggu tanaman (OPT), kualitas virietas dan bahan tanam, kurang optimalnya pengairan, pemupukan yang tidak optimal, cara budidaya, tanah dan cuaca dan hambatan sosio ekonomi (socio-economical constraints) yang terdiri dari masalah masalah penyuluhan, permodalan, resiko, tradisi, akses dan penyediaan sarana produksi, penyediaan insentif dan kelembagaan (Hadisapoetro, 1977).
Sebagai bagian dari system kedaulatan/kemandirian pangan, petani bertindak sebagai produsen, konsumen dan sekaligus pemasar hasil pertanian pangan. Dalam usahanya mencapai angka hasil yang optimal, petani harus menghadapi gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT) pada fase I, yaitu gangguan sejak memilih benih, menanam sampai panen, dan gangguan fase II, yaitu gangguan sesudah panen sampai hasil tanamannya di tangan konsumen (Triharso, 1978). Dalam konteks ini yang dimaksud dengan OPT adalah hama dalam arti luas (pests , omo) yang terdiri dari tiga komponen yaitu hama dalam arti sempit (tungau, belut akar, serangga, tikus, babi hutan, burung), penyebab penyakit (viroid, virus, mikoplasma, spiroplasma, bakteri, jamur, benalu dan pathogen abiotik), dan gulma (rerumputan, enceng gondok, wedusan, gempur watu, pakisan, sembung rambat, alang-alang dan teki). Meskipun ketiga komponen OPT tersebut dipelajari secara terpisah, namun dalam pengelolaan suatu ekosistem ketiganya akan berpadu dan berkaitan timbal balik dengan komponen biotik dan abiotik lainnya dalam ekosistem tersebut (Soerjani et al., 1979; Triharso, 1993).
Indonesia tidak sendirian dalam menghadapi gangguan OPT. Meskipun teknologi pengendalian OPT saat ini sudah sangat maju, tetapi belum ada satupun negara di dunia ini yang terbebas dari gangguan OPT. Amerika Serikat misalnya, kerugian di bidang pertanian akibat OPT setiap tahun ditaksir sebesar 20,1 sampai 34,4 milyar dolar Amerika dan sebagai pembanding kerugian akibat hancurnya World Trade Center di New York tahun 2001 mencapai 27.1 milyar (Pimental et al., 2002 Cit. Heather and Hallman, 2008). Rata rata kerugian untuk semua komoditas pertanian di aras dunia karena OPT ditaksir sebesar 31-42 %. Ironisnya kerugian di negara yang sedang berkembang lebih besar dari pada di negara maju, padahal negara yang sedang berkembang ancaman kerawanan pangan lebih besar (Agrios, 2005).