Peranan Komunikasi Nirverbal Dalam Pendidikan Dan Pengajaran
Komunikasi dalam pendidikan dan pengajaran merupakan penyampaian materi/bahan pelajaran dari seorang pengajar/pemateri (pengampu) kepada siswa/mahasiswa. Proses komunikasi akan berjalan dengan baik dalam mencapai tujuan pendidikan, banyak tergantung kepada kemampuan pengajar memenejemeni proses komunikasi pengajaran, disamping penguasaan materi yang akan disampaikannya.
Kemahiran berkomunikasi merupakan art dari seseorang. Kemahiran tersebut bisa berlangsung dan meningkat sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman pengajar. Bagi seseorang yang baru pertama kali mengajar dan berbicara di hadapan orang banyak, akan merasakan sulitnya berkomunikasi dalam menyampaikan materi. Apalagi jika yang dihadapinya itu adalah orang-orang dewasa yang berpengalaman dan umurnya lebih tua dari penganjar (pengampu) seperti mahasiswa di Perguruan Tinggi Swasta. Namun, bagi seorang pengajar yang sudah berpengalaman banyak, hal ini bahkan merupakan tantangan yang cukup menyenangkan. Mereka bisa mengatur waktu dan membuat simulasi yang berkenaan dengan materi yang akan disajikan dengan saksama, sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan yang mempenga-ruhi berhasil tidaknya proses komunikasi dalam pendidikan dan pengajaran adalah komunikasi nirverbal yang ada pada pengajar. Dari hasil penelitian para ahli komunikasi, ternyata pengaruhnya cukup besar. Ketika kita berkomunikasi tatap muka maka kita menyampaikan pesan-pesan nirverbal.
Komunikasi nirverbal adalah “Proses penyampaian informasi dari seseorang kepada orang lain tanpa mempergunakan bahasa (lisan maupun tulisan), tetapi dilakukan melalui sikap badan, ekspresi wajah, gerak isyarat, pandangan (tatapan), sentuhan, penampilan dan sebagainya.” Dari beberapa uraian teori komunikasi, sangat jelas tentang peran penting pengajar untuk memahami terlebih dahulu, menghayati, mendalami dan mempertimbangkan secara seksama aspek-aspek nirverbal dalam proses pengajaran.
1. Penampilan.
Penampilan diri memegang peranan penting dalam pergaulan dan hubungan kita dengan orang lain, entah secara positif maupun negatif. Penampilan diri yang baik mempercepat perkembangan keakraban dan saling percaya dengan orang lain. Berkat penampilan kita yang baik itu, orang merasa nyaman disekitar kita dan mempermudah komunikasi dengannya. Sebaliknya, penampilan yang tidak baik akan menghambat suasana hubungan pribadi dan komunikasi.
Seorang pengajar (pengampu) hendaknya memperlihatkan penampilan yang penuh perhatian kepada siswa/mahasiswa, ramah, penuh gairah, semangat, serius namun tidak kaku. Penampilan yang sebaliknya seperti tidak simpati, kaku, maupun emosional bisa menghambat jalannya proses pengajaran. Kelemahan ini, bisa dihindari apabila pengajar memeprsiapkan diri untuk mengajar.
2. Penggunaan Pakaian dan Asesoris.
“Kesan pertama begitu berarti dan abadi”. Kesan pertama merupakan ihwal yang kita dapat dari orang lain yang kita jumpai. Kesan pertama itu diakibatkan antara lain oleh pakaian, suara, sapaan, jabat tangan, pandangan mata dan sikap tubuh kita. Cara kita mengatur, menggunakan dan menggabungkan semua hal itu merupakan faktor yang mempunyai dampak besar bagi orang yang berjumpa dengan kita untuk pertama kali.
Pada umumnya, kesan pertama yang baik menjadi awal hubungan yang baik dan komunikasi yang lancar, dan kesan pertama yang buruk menjadi permulaan hubungan yang jelek dan komunikasi yang tersendat. Oleh karena itu hal-hal seperti pakaian, suara sapaan, jabat tangan, pandangan mata dan sikap tubuh tampaknya merupakan hal-hal yang sepele, namun ternyata memiliki dampak luar biasa untuk orang lain serta menentukan kualitas pertemuan setelahnya. Maka kita perlu memperhatikan semua itu sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan orang yang hendak kita temui. Jika tidak, kita sendiri yang akhirnya mendapatkan getahnya.
Seringkali pemateri banyak dipengaruhi oleh pakaian yang dikenakan sewaktu melaksanakan pengajaran. Kalaupun memakai pakaian dinas, hendaknya tidak memberikan kesan menyeramkan atau menakutkan, sehingga suasana belajar mengajat tidak kaku. Kerapian dan kebersihan berpakaian akan mencerminkan kepribadian seseorang. Sewaktu pemateri mulai memasuki ruangan kelas belajar, yang pertama kali diperhatikan siswa/mahasiswa adalah kerapihan pakaiannya. Apabila dia datang dengan pakaian yang lusuh, ditambah dengan rambut yang awut-awutan, sudah dipastikan menimbulkan kesan jelek para siswa/mahasiswa terhadapnya. Sekalipun mungkin saja orang tersebut adalah seorang profesor.
Kedalaman pengetahuan dan keahlian pemateri membawa efek pada penampilan dan penerimaan siswa/mahasiswa. Jika pemateri memberikan bahan ajar, dia harus tahu benar segala seluk beluk materi tersebut atau menguasai materi dengan baik dan sungguh-sungguh. Dengan kedalaman pengetahuan ini, kita akan lebih dihargai oleh siswa/mahasiswa.
3. Nada dan Tinggi Rendah Suara.
Ketika berkomunikasi dengan orang lain, kita tidak hanya berkata-kata dan bebicara, tetapi juga mengucapkan sesuatu dengan nada suara yang berubah-ubah disertai gesture/kial untuk menguatkan pesan yang disampaikan seperti raut wajah, mata, alis, tangan. Nada uara dan gerak-gerik tubuh itu mempengaruhi isi dan cara kita berkomunikasi dengan orang lain dan mengundang tanggapan yang berbeda dari mereka.
Volume suara yang melengking serta tergesa-gesa hendaknya dihindari. Suara dan gaya bicara yang berkesan ramah, tenang, meyakinkan, tidak menyinggung perasaan pada siswa/mahasiswa, akan memberikan kesan bahwa pemateri tersebut penuh wibawa dan punya kredibilitas kuat.
Nada suara orang, tinggi-sedang-rendah, dan cara orang berbicara, cepat-biasa-lambat, dapat dipengaruhi oleh lingkungan kebudayaannya. Misalnya, nada suara dan cara berbicara orang Surabaya atau Batak, berbeda dari orang Surakarta atau Sunda. Nada suara dan cara berbicara juga dapat dipengaruhi oleh keadaan keluarga. Orang yang berasal dari keluarga besar dengan banyak saudara, tentu berbeda nada suara dan cara berbicara orang yang berasal dari keluarga kecil.
4. Keterbukaan.
Dalam kegiatan belajar-mengajar, hendaknya dibuka seluas-luasnya suasana keterbukaan dan proses tanya jawab. Ada kalanya seorang pemateri tidak mampu menjawab pertanyaan siswa/mahasiswa. Tidak usah panik dan malu untuk dikatakan tidak menguasai masalah yang dipertanyakan. Teknik melempar kembali pertanyaan tersebut kepada peserta lain secara bijaksana, adalah salah satu jalan keluarnya. Karenanya diskusi dalam proses pelatihan sangatlah diperlukan. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip Pedagogi, yang menyarankan agar proporsi presentasi pemateri cukup 40 %. Sedang sisa waktu 60 % hendaknya digunakan untuk proses diskusi. Pemateri cukup sebagai fasilitator.
5. Penggunaan Alat-bantu
Pemateri hendaknya mempersiapkan alat bantu pengajaran seperti overhead projector, transparantsheet, hand-out,white-board, dan lain-lain.sesuai dengan kebutuhan dan situasi belajar-mengajar. Bagaimana menggunakan alat-bantu pengajara ini, perlu benar-benar dikuasai pada pengajar/pengampu. Biasanya kesalahan kecil dalam penggunaan alat-bantu ini bisa menimbulkan fatalnya proses belajar. Karenanya perlu persiapan yang matang sebelumnya. Contohnya, apakah lampu overhead projector telah menyala atau cukup terang? Apakah white-board telah tersedia lengkap dengan spidolnya?
6. Penggunaan ruangan.
Yang dimaksud dengan penggunaan ruangan disini adalah kemahiran pemateri dalam mengatur ruangan dan peralatan (meja, kursi, dan sebagainya), sehingga tidak mempengaruhi proses belajar siswa/mahasiswa. Sebagai contoh, biasanya ada pemateri yang terlalu banyak duduk dibelakang meja dihadapan kelas belajar. Suasana akan menjadi kaku lagi apabila sewaktu pemateri menjelaskan sesuatu dengan banyak membelakangi siswa/mahasiswa.
Pemateri hendaknya secara penuh menguasai seluruh ruangan, tidak hanya terus nongkrong disalah satu suadut ruangan kelas saja atau tetap terpaku di atas podium tempat pidato. Bila diperlukan, pemateri dapat secara santai dan ramah mendatangi tempat duduk audience untuk minta penjelasan, atau menanyakan sesuatu. Semua hal tersebut untuk menjaga kontak dengan siswa/mahasiswa dan mengetahui sejauhmana keikutsertaan dan pemahaman mereka pada materi yang disampaikan.
7. Waktu.
Ketepatan penggunaan waktu yang dialokasikan kepada pemateri, hendaknya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itulah, penyiapan SAP (satuan acara pembelajaran) dari seorang pemateri memang benar-benar diperlukan. Tidak hanya berguna untuk alat kontrol, tapi juga sebagai pegangan pemateri dalam memenejemeni kegiatan pengajaran.
8. Ambiguity (sikap mendua)
Apabila seorang pemateri menjelaskan A hendaknya didukung oleh sikap dan perilaku yang ada kaitannya dengan A tadi, bukan sebaliknya. Misalnya, apabila pemateri menjelaskan kepada siswa/mahasiswa tentang perlunya pembuatan transparantsheet yang baik, tulisan, gambar, atau teknik penyajiannya, maka dia sendiri harus mempraktikannya secara benar. Contoh lain, apabila pemateri menyatakan proses belajar-mengajar akan dilakukan secara terbuka dan demokratis, namun pada kenyataannya dia terus menerus mendominasi pembicaraan selama satu sesi pelatihan. Bahkan tidak membuka kesempatan sedikit pun bertanya kepada siswa/mahasiswa untuk bertanya. Sikap ambiguity inilah yang harus dihindari oleh setiap pengajar/pengampu.