Relevansi Dan Aktualisasi Administrasi Publik Di Era Liberalisasi Ekonomi

Relevansi Dan Aktualisasi Administrasi Publik Di Era Liberalisasi Ekonomi 
Salah satu isu penting yang ikut menentukan pergeseran paradigma atau corak teori administrasi negara adalah diskursus tentang batas peranan yang dimainkan negara (birokrasi pemerintah) dalam masyarakat. Ada dua kutub berlawanan dalam memahami peran negara tersebut. Kutub pertama dalah pandangan negara-negara kapitalis barat yang berpijak pada ide “laisser-faire” yang memberikan peranan yang terbatas pada negara, dengan kepercayaan bahwa sistem pasar bebas akan membuahkan efisiensi. Fungsi pemerintah dalam sistem kapitalis hanyalah sebagai hansip yakni sebagai penegak hokum atau pelindung agar mekanisme pasar bebas dapat berlangsung dengan lancar, misalnya dengan cara menjaga keamanan dan ketertiban.

Bagi negara kapitalis liberal yang kebanyakan juga negara dengan sistem politik demokrasi, kekuasaan birokrasi dianggap sebagai ancaman bagi demokrasi. Adanya ketakutan akan dominasi birokrasi, maka di negara demokrasi liberal peran birokrasi dibatasi hanya di bidang pertahanan keamanan, perlindungan hak-hak asasi manusia dan menyediakan barang-barang yang bersifat sangat kolektif. Peranan birokrasi diluar itu dianggap membatasi kebebasan inisiatif masyarakat. Semakin terbatas peran negara berarti makin terbatas pula fungsi yang dijalankan administrasi negara. 

Pada ujung kutub yang lainnya, negara-negara sosialis atau komunis sangat melecehkan peranan pasar bebas karena dinilai hanya menguntungkan kaum pemilik modal dan sangat merugikan kaum buruh (proleter). Dalam sistem komunis, negara mengambil peranan sangat besar sebagai pemilik faktor-faktor produksi (tanah, sumber daya alam dan manusia, kapital, sarana, dsb) dan pelaku utama dalam aktivitas ekonomi (menentukan harga dan alokasi barang dan jasa). Semakin luas cakupan peran negara berarti fungsi-fungsi yang dijalankan administrasi negara pun semakin beragam dan kompleks. Kondisi demikian ini dapat menimbulkan maslaah baru, seperti besarnya anggaran pemerintah, banyaknya jumlah aparat pemerintah, berkurangnya efisiensi pelayanan publik, dan sebagainya.

Dalam prakteknya, masing-masing sistem kapitalis maupun sosialis-komunis mempunyai keterbatasan. Pada sistem kapitalis liberal, ternyata mekanisme pasar mempunyai keterbatasan (disebut market failure) yakni antara lain pasar bebas tidak bisa berfungsi jika terjadi monopoli, adanya eksternalitas yang tidak bisa ditangani pasar, serta ketidakmampuan pasar menyediakan barang publik. Selain itu pasar bebas juga dapat menimbulkan problem ketimpangan social ekonomi, misalnya dampak industrialisasi seperti urbanisasi, perkampungan kumuh, kriminalitas, pengangguran dan yang lebih berat lagi adalah krisis keuangan ataupun ekonomi. Problem-problem semacam ini tidak mungkin ditanggulangi tanpa melalui campur tangan pemerintah.

Demikian pula, sistem sisialis-komunis yang memberi porsi peran negara yang besar juga mempunyai keterbatasan yang disebut sebagai “government failure”. Campur tangan negara yang besar pada berbagai segi kehidupan menyebabkan konsentrasi kekuasaan pada birokrasi, yang lebih jauh membuka peluang bagi terjadinya korupsi dan kolusi. 

Kecenderungan memperluas dan mempersempit peranan birokrasi tidak bisa dilepaskan dari gerak perubahan kondisi eksternal, terutama perubahan tatanan ekonomi politik internasional. Ada saatnya kondisi ekonomi politik didominasi oleh sistem ekonomi politik yang pro-pasar (kapitalis), ada saatnya lagi pendulum perubahan membawa ke arah tatanan yang pro-negara (statisme). Gerak perubahan dari “statisme” ke anti-state” ini jelas berdampak pada administrasi publik, baik sebagai praktek maupun sebagai disiplin ilmu.

Administrasi Publik di Tengah Gelombang Liberalisme Ekonomi.
Era saat ini dikenal sebagai era globalisasi, era perdagangan bebas atau liberalisasi ekonomi. Jika pada masa-masa menguatnya ideology statisme, kedudukan administrasi publik sebagai praktek maupun ilmu mengakar kuat di masyarakat, maka posisi administrasi publik yang menyangkut relevansi dan aktualisasinya ditengah-tengah era ekonomi global banyak diperdebatkan.

Salah satu cirri menonjol di era liberalisasi ekonomi adalah terjadinya pergeseran dari ekonomi yang dikendalikan oleh negara ke ekonomi yang dikendalikan pasar. Campur tangan negara dibidang ekonomi dianggap hanya akan membunuh inisiatif masyarakat dan dunia usaha, karena itu segala bentuk monopoli dan proteksi harus dihapus. Bagi negara berpaham sosialis untuk bisa survive di era yang sangat kompetitif ini hanya ada dua alternatif: berubah atau biasa.

Untuk menyesuaikan diri dengan gelombang liberalisasi, negara “Welfare state” seperti Inggris melakukan privatisasi besar-besaran. Antara tahun 1980 dan 1986 lebih 40 peprsen sector negara dirubah menjadi perusahaan swasta diantaranya termasuk perusahaan negara seperti British Telecom, British Gas, dan British Airways dan lebih 600.000 pegawai pemerintah dialihkan ke sector swasta (Naisbit dan aburdene, 1990).

Gelombang privatisasi juga menerpa negara-negara di dunia lainnya. Selama tahun 1980-an pemerintah Australia dan Selandia Baru melepaskan kontrol harga, menghapus subsidi, memperkuat kompetisi pasar bebas, serta mengurangi state intervention dan state ownership. Pemerintah Pakistan pada tahun 1990 menjual perusahaan-perusahaan negara rekayasa ke swasta, termasuk Pakistan International Airlines.

Privatisasi di Indonesia mulai marak dilakukan pada tahun 1980-an dengan dilakukannya deregulasi dan privatisasi BUMN melalui penjualan saham untuk publik. Komitmen pada kebijakan pro-pasar semakin menguat dengan ditandatanganinya kesepakatan dengan IMF dimana salah satu butir kesepakatannya mengharuskan dikuranginya peran birokrasi terutama campur tangannya dibidang ekonomi seperti monopoli Bulog, subsidi minyak dan listrik, hambatan impor dan ekspor. Kesemuanya dilakukan untuk akselerasi program swastanisasi dalam rangka memasuki era perdagangan bebas.

Jelaslah di era sekarang ini peranan sector publik menjadi semakin berkurang, sebaliknya sector swasta menjadi semakin kuat. Dalam megatrends 2000’, John Naisbitt dan Patricia Aburdene (1990) mengemukakan terjadinya perubahan mendasar dari pemerintah yang terpusat ke pemberdayaan individual. Kecenderungan ini nampak dari pergeseran:
  • From public housing to home ownership.
  • From monolithic national health service to private option.
  • From government regulation to market mechanism.
  • From welfare to workfare.
  • From collectivism to individualism,
  • From government monopoly to competitive enterprise.
  • From state industries to privatized companies
  • From state ownership to employee ownership.
  • From government social securities plans to private insurance and investment
  • From tax burden to tax reduction.
Kecenderungan diatas menunjukkan makin dihargainya inisiatif dan pilihan individual dalam memilih jenis pelayanan publik yang merupakan salah satu ciri pasar yaitu otoritas konsumen. Dalam kondisi semacam ini tantangan-tantangan apa saja yang dihadapi oleh administrasi publik?

Tantangan Bagi Administrasi Publik.
Di tengah arus perubahan lingkungan eksternal yang semakin mondial dan kompetitif, birokrasi tipe lama yang menggunakan pendekatan hirarkis-formalistis menjadi tidak akomodatif terhadap tuntutan perubahan, sehingga banyak kritik ditujukan pada birokrasi publik. (Miftah Thoha (1995) menyebut birokrasi publik tipe lama yang bercirikan birokrasi model Max Weber sebagai hirarki kekuasaan. Oleh karena itu dianjurkan mempergunakan pendekatan birokrasi yang ‘beyond hierarchical approach’.

Kritik terhadap kelemahan birokrasi Weber juga dikemukakan oleh David Osborne dan Ted Geabler (1992) dalam bukunya ‘Reinventing Government’. Mereka menyarankan agar menyuntikkan jiwa kewirausahaan ke dalam sistem administrasi publik. Dalam sistem seperti ini, birokrasi publik lebih menggunakan cara ‘steering’ (mengarahkan) daripada ‘rowing’ (mengayuh). Dalam peran ini pemerintah tidak langsung bekerja memberikan pelayanan publik, melainkan sedapat mungkin menyerahkan kepada swasta ataupun masyarakat sedangkan peran negara hanya sebagai fasilitator ataupun supervisor yang mengarahkan pelaksanaan pelayanan publik sesuai dengan misi dan visi lembaga. Kemampuan mengarahkan ini dirasa penting di perekojnomian yang superkompetitif, di era semacam ini, birokrasi yang hirarkis-formalistis yang mengutamakan sistem komando, kekuasaan yang birokrtasi dalam merespon kondisi yang kompleks dan berubah cepat.

Sehubungan dengan hal diatas, Charles Hecksher dan Anna Donnellon (1994) mengemukakan konsep organisasi paskabirokrasi (postbureaucratic organization) yang salah satu cirinya adalah mengurangi aturan-aturan yang mengekang kemerdekaan ekspresi, satu cirinya adalah mengurangi pelaksanaan kerja. Ini sama dengan debirokratisasi yakni mengurangi atau menghilangkan aturan-aturan yang kaku, menghambat, dan kurang dinamis.

Dari pemikiran diatas dapat disimpulkan bahwa reformasi birokrasi merupakan jawaban bagi tantangan global saat ini. Reformasi birokrasi merupakan conditio sine qua non bagi kelangsungan hidup birokrasi itu sendiri. Birokrasi dihadapkan pada pilihan: melakukanperubahan atau ketinggalan. Birokrasi yang tidak mau instropeksi dan mengkoreksi dirinya tidak akan dapat bersaing dengan negara-negara lain. Karena dalam ekonomi global sulit bagi suatu negara untuk tetap tertutup dan bertumpu pada ‘self sufficient ekonomi.
Reformasi Birokrasi Sebagai Upaya Aktualisasi Administrasi Publik

Untuk tetap releven ditengah gelombang besar perubahan, maka tantangan terbesar bagi birokrasi publik adalah dirinya sendiri. Di dalam era liberalisasi ekonomi global tidak bisa suatu pemerintah bersikap tidak peduli terhadap kontrol yang ditujukan pada dirinya dan menganggap pandangannya yang paling benar.

Kalau dalam bidang politik suatu negara relatif mudah menarik diri dari arus globalisasi, hal itu lebih sulit dalam globalisasi ekonomi. Disini interdependensi antar negara lebih besar ketimbang bidang politik. Mengisolasi diri secara ekonomis. Dengan mengikuti arus globalisasi mau tak mau kita harus membuka diri terhadap penilaian global. Penilaian ini tidak terbatas pada kinerja ekonomis suatu negara, tetapi juga menyangkut nilai-nilai moral yang tidak netral lagi seperti berfungsinya demokrasi, sistem hokum, korupsi dan sebagainya (K.Bertens, 1997).

Hubungan antar negara yang menjadi makin kompleks dan saling tergantung satu sama lain menjadikan birokrasi publik tidak bisa lagi mempertahankan arogansinya dengan bersikap tertutup. Pertanyaannya kemudian adalah sejauh mana kesediaan birokrasi untuk mengendalikan dirinya agar tidak berkembang menjadi ‘big government’ dan mekanisme kontrol apa yang dibutuhkan dan yang dianggap paling efektif, sehingga membuat birokrasi publik tetap actual ditengah era yang memihak pasar.

Ada beberapa langkah pembaruan yang perlu dilakukan administrasi publik, baik pada tataran praktis maupun akademis. Pada tataran praktis langkah-langkah pembaharuan meliputi:

1. Profesionalisasi Birokrasi
Profesionalisasi birokrasi menyangkut upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik dan kualitas sumber daya manusia yang melaksanakannya. Kedua hal ini tidak dapat dipisahkan, karena kualitas pelayanan publik banyak ditentukan oleh tersedianya sumber daya manusia yang punya ketrampilan dan kemampuan menjalankan tugas dan fungsi di bidangnya masing-masing.

Salah satu kelemahan birokrasi di Indonesia adalah inefisiensi. Hal ini nampak dari beberapa kecenderungan berikut: pertama, tingginya tingkat birokratisasi di Indonesia terutama jika dilihat dari pertumbuhan pegawai dan pemekaran struktur birokrasi. Kedua, berkembangnya ‘red tape’ dalam pelayanan publik. Ketiga, rendahnya kualitas atau profesionalisme aparatur negara, dan keempat adalah produktivitas dan disiplin kerja pegawai negeri yang masih rendah, serta masih meluasnya berbagai macam praktek maladministrasi (Darwin, 1995).

Agar birokrasi publik dapat bersaing dengan organisasi swasta, maka yang perlu dilakukan adalah meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia. Cara yang ditempuh dapat berupa memperbanyak rekruitmen pegawai berpendidikan tinggi dan mengurangi pegawai tingkat rendah atau dengan memberikan pendidikan dan latihan pada pegawai yang ada. Tak kalah pentingnya adalah usaha menyuntikkan etos kerja entrepreneurial di kalangan pegawai birokrasi publik, seperti tehnik-tehnik manajemen yang mendukung kemampuan menghadapi tantangan global dan kemampuan untuk bekerja secara rasional sehingga bisa membedakan kepentingan publik atau lembaga dengan kepentingan pribadi. Untuk meningkatkan disiplin dan produktivitas kerja bisa digunakan insentif model swasta yang memberikan bonus pada pegawai yang berprestasi dan berdisiplin tinggi, serta menetapkan sangsi yang tegas pada pegawai yang melanggar disiplin kerja.

2. Perampingan Birokrasi
Perampingan birokrasi merupakaj suatu reformasi birokrasi yang sulit karena menuntut perubahan yang cukup drastic. Perampingan birokrasi menyangkut “usaha mengurangi big government pada ukuran yang terkendali dengan jalan menurunkan tingkat aktivitas, mengurangi fungsi-fungsi, memotong anggaran belanja, mengurangi staff, mengurangi campur tangan birokrasi di bidang-bidang yang tidak perlu, memangkas program-program yang kurang penting, reprivatisasi sumber daya publik, dan sebagainya” (Caiden, 1986).

Menurut Evers (dalam Darwin, 1995) perkembangan birokrasi yang berlangsung di Indonesia ditandai dengan tingginya pertumbuhan pegawai dan pemekaran struktur organisasi. Birokrasi menjadi semakin besar dan besar (big bureaucracy). Birokrasi menjadi semakin mengendalikan masyarakat, baik dalam arti politik, ekonomi atau social. Sistem social dan politik menjadi bersifat monolit dengan birokrasi pada titik pusatnya.

Pemekaran birokrasi dibenarkan sejauh penambahan tersebut sesuai dengan tuntutan kebutuhan, bukan semata-mata tuntutan struktur. Jika tidak demikian, proses birokratisasi tidak akan meningkatkan kualitas dan kapasitas pelayanan publik malah justru menyebabkan pemborosan dan inefisiensi. Dan ini nampaknya yang terjadi dengan birokrasi Indonesia.

Untuk mencegah birokratisasi yang tidak terkendali tindakan yang bisa dilakukan adalah menerapkan kebijakan ‘zero growth’ yaitu dengan mengurangi rekruitmen pegawai baru atau hanya mengangkat pegawai untuk menggantikan pegawai yang pensiun. Disamping itu juga bisa dengan menekan pengangkatan pegawai level bawah atau dengan pemperpendek rantai birokrasi maupun restrukturisasi birokrasi.

3. Keseimbangan Kekuasaan
Kecenderungan birokrasi menjadi dominan salah satunya didorong oleh tidak seimbangnya kekuasaan diantara ketiga badan kekuasaan negara. Diantara ketiga badan kekuasaan, eksekutif mempunyai prospek yang lebih besar untuk mendominasi badan lainnya. Ini bukan karena kelemahan lembaga politik dan politisi, tapi karena eksekutif yang menjalankan pemerintahan sehari-hari (state in action) sehingga mempunyai kekuasaan atas birokrasi dan sumber daya yang ada didalamnya (terutama pegawai negeri dan militer).

Selama masih menjadi dominasi atau sentralisasi kekuasaan di tangan salah satu badan kekuasaan, selama itu pula mudah terjadi tindak penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan yang ,erupakan factor penghambat utama terciptanya pemerintahan yang bersih.

Birokrasi di Indonesia di masa Orde Baru cenderung mendominasi badan kekuasaan lainnya. Sistem serta mekanisme politik yang ada telah membuat legislative menjadi tidak independen dan subordinatif terhadap eksekutif. Sistem partai yang monolitik serta sistem pemilihan umum yang proporsional telah membuat DPR mandul. Prinsip monoloyalitas pegawai negeri ditambah fraksi ABRI dan Utusan Daerah membuat Golkar berkembang menjadi partai hegemonic. Dalam sistem politik seperti ini badan legislatif menjadi disfungsional sehingga dak dapat menjalankan kontrol terhadap eksekutif.

4. Pemerintahan yang Bersih
Birokrasi publik merupakan mesin penggerak utama kehidupan bernegara. Adanya ketidakberesan dalam tubuh birokrasi publik jelas akan mempengaruhi berbagai segi kehidupan masyarakat. Citra yang melekat pada birokrasi selama ini adalah citra negatif seperti ‘red tape’, korup, kolusi, nepotisme, formalisme, dan sebagainya. Sesungguhnya birokrasi sebagai alat untuk mencapai tujuan bersifat netral, dalam arti ia bisa menjadi baik atau buruk tergantung pada manusia pelaksanaannya. Upaya menciptakan pemerintahan yang bersih dengan begitu tidak hanya menyangkut perbaikan strukturnya tetapi terlebih lagi adalah sumbet daya manusianya.

Persoalan yang dihadapi birokrasi Indonesia menghadapi era global yang kompetitif adalah sedikitnya aparatur negara yang sungguh-sungguh mempunyai komitmen tinggi pada ‘public interest’. Sehingga hambatan bagi setiap usaha mewujudkan pemerintah yang bersih sesungguhnya terletak pada keengganan atau tidak adanya kehendak yang kuat dari aparatur pemerintah terutama ‘key government leaders’ untuk melakukan reformasi birokrasi.

5. Desentralisasi
Desentralisasi merupakan salah satu bentuk reformasi administrasi yang memungkinkan birokrasi pemerintah daerah menjadi lebih mandiri dan fleksibel. Desentralisasi dapat meningkatkan partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka, sehingga keputusan yang diambil pemerintah daerah menjadi labih responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Disamping itu, desentralisasi juga menciptakan birokrasi pemerintah daerah yang lebih fleksibel, karena desentralisasi mengurangi jalur yang panjang akibat campur tangan berlebihan dari pemerintah pusat. Birokrasi yang demikian ini sangat cocok untuk menjawab tuntutan kompetisi yang membutuhkan pengambilan keputusan secara tepat.

Relevansi Aktualisasi Ilmu Administrasi Publik
Lahirnya fenomena baru dalam hubungan antar negara dan antar lembaga internasional yang dikenal dengan istilah globalisasi telah memicu lahirnya tantangan-tantangan baru dalam praktek maupun studi administrasi publik. Pada tataran teoritis, proses globalisasi secara normatif mempunyai prospek untuk menumbuhkan teori-teori baru dibidang ilmu administrasi publik. Persoalan besar bagi ilmuwan administrasi publik saat ini adalah bagaimana mengembangkan teori-teori administrasi publik saat ini adalah bagaimana mengembangkan teori-teori administrasi publik baru yang akan dapat mempertahankan validitas keilmuan dan relevansi ilmu administrasi publik di era global.

Mengingat fenomena globalisasi merupakan fenomena yang multifacet maka varian teori administrasi yang berkembang untuk menjawab tantangan globalisasi juga beraneka ragam. Moeljarto Tjokrowinoto (2003) mengemukakan berbagai dimensi globalisasi yang melahirkan teori ataupun paradigma berbeda-beda dalam studi administrasi negara.

Di dalam dimensi ekonomi politik globalisasi telah merubah hubungan antara negara (the state) dengan pasar (market). Pembangunan di banyak negara dunia ketiga tidak lagi bersifat state-led development akan tetapi menjadi bersifat market diven development. Hal ini mendorong teori-teori tentang birokrasi yang merefleksikan enterprenerial bureaucracy. Ada sejumlah pakar administrasi publik yang telah mengembangkan teori ini diantaranya Osborne dan Gaebler dengan bukunya yang terkenal “Reinventing Government : How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector”.

Dari segi dimensi kultural globalisasi mendorong terjadinya arus tenaga kerja yang meliintasi batas-batas negara (cross-border human resources flow) yang mau tidak mau akan menimbulkan perbenturan budaya. Hal ini dimungkinkan oleh disepakatinya salah satu modalitas World Trade Organization (WTO), yaitu prinsip presence of natural person. Berbagai ahli akan melintasi batas-batas negara dan di host countries. Teori-teori administrasi yang memfokuskan perhatiannya pada multi-cultural administration atau multi-cultural management ini belum banyak berkembang.

Dilihat dari dimensi temporal, globalisasi mengakibatkan konfigurasi administrasi berkembang sangat cepat dan dinamis sehingga ketidakmampuan ketertinggalan seorang administrator mengantisipasi perkembangan yang akan terjadi akan mengakibatkan ketertinggalan dinamika perubahan konfigurasi tadi. Oleh karena itu, wawasan futuristic merupakan salah satu kualitas yang dituntut oleh proses globalisasi. Karenanya proses administrasi tidak seharusnya dilihat semata-mata dari perspektif waktu sekarang, akan tetapi hartus mengantisipasi proses perubahan yang terjadi di masa depan.

Hal diatas mendorong kelahiran teori-teori administrasi yang berwawasan jauh kedepan. Salah satu manifestasi dari perkembangan ini adalah teori-teori tentang forward focused organization. Asumsi dasarnya adalah perubahan-perubahan mendasar yang seringkali terjadi secara cepat memerlukan kepemimpinan yang visioner, yang mampu melihat perubahan sebagai peluang, dan bukan ancaman; mampu melihat kebutuhan akan perubahan pada saat posisinya didalam dimensi temporal masih berada didalam kekikian, dan mampu menciptakan iklim dimana bawahannya akan dapat menerima perubahan sebagai sesuatu yang wajar. Dengan kata lain, teori ini berpendapat bahwa diperlukan sosok kepemimpinan yang dapat membawa organisasi kepada perubahan, yang mampu menciptakan masa depan bagi organisasi.

Dalam teori ini birokrasi diharapkan mampu menjembatani antara civil society yang mempresentasikan kepentingan-kepentingan khusus di dalam masyarakat, dengan state yang mempresentasikan kepentingan umum. Tugas birokrasi adalah menciptakan ‘enabling socil setting’ bagi masyarakat sipil agar mereka dapat melakukan pemberdayaan diri (self-empowering). Teori-teori administrasi negara konvensional mungkin sekali belum mampu mengakomodasikan perkembangan konfigurasi ini. 

Isu “Governance” dalam Administrasi Publik.
Konsep governance atau good governance yang pada awalnya disosialisasikan oleh Bank Dunia dan IMF setra lembaga dana internasional lainnya, dilatarbelakangi oleh semakin berkembangnya tuntutan akan kualitas demokrasi, dan hak azasi manusia di satu sisi, serta semakin tidak efektifnya pemerintah atau lembaga negara disisi lain. Konsep good governance juga tidak dapat lepas dari menguatnya liberalisasi ekonomi disebut sebagai anti bureaucratic era atau anti government era’ yang tuntutanya jelas yakni meminimalkan negara.

Konsep ‘good governance’ berakar pada suatu gagasan adanya saling ketergantungan (interdependensi) dan interaksi dari berbagai macam aktor kelembagaan dimana level di dalam negara yaitu ‘state’ (DPR, Eksekutif, Yudikatif, Militer); ‘civil society’ atau masyarakat sipil (LSM, pers, organisasi profesi, gereja, pesantren, dsbnya), dan sector swasta atau ‘market’ (perusahaan, lembaga keuangan dll). Dalam hal ini penting adanya keseimbangan hubungan yang sehat antara negara, masyarakat dan sector swasta guna mencari suatu kesepakatan bersama menyangkut pengaturan negara. Tidak boleh ada faktor kelembagaan didalam ‘good governance’ yang mempunyai kontrol absolut. Karena itu, Holm dan Molutsi (1993) menyatakan salah satu prinsip penting ‘good governance’ adalah mengembangkan kepemerintahan yang terbatas dengan memperkuat akuntabilitas publik dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Dengan kata lain, didalam ‘good governance’ hubungan antara negara, masyarakat sipil / madani, dan sector swasta harus dilandasi prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas publik dan partisipasi.

Spirit Publik Volume
Adil Khan (dalam Moeljarto Tjokrowinoto, 1996) memahami ‘good governance’ sebagai keseluruhan kjerangka kelembagaan gimana warga negara dimungkinkan untuk berinteraksi dan bertransaksi secara bebas, guna memenuhi aspirasi politik, social, ekonominya. ‘Governance’ mempunyai tiga aspek: 1) kemampuan warga negara untuk mengekspresikan pandangan dan adanya akses dalam pembuatan kebijakan secara bebas; 2) Kapasitas agen pemerintah (politik dan birokrasi) untuk menterjemahkan pandangan atau pendapat masyarakat tersebut kedalam perencanaan yang realistis dan mengimplementasikannya secara efektif; 3) Kemampuan warga negara dan institusi untuk membandingkan apa yang diminta (tuntutan) dengan apa yang direncanakan dan membandingkan apa yang direncanakan dengan yang diimplementasikan.

Konsep ‘governance’ dalam administrasi publik disebut Pierre dan Peters (1997) sebagai istilah yang membingungkan (a confusing term). ‘Governance’ telah menjadi konsep payung’ bagi banyak sekali fenomena. Istilah ini dalam literature administrasi publik bisa menunjuk pada jejaring kebijakan (policy network), manajemen publik baru (the new public management), piblik – private partnership, good governance, corporate governance, dan sebagainya. Istilah governance sendiri dapat diartikan sebagai keseluruhan organisasi pemerintah, semi pemerintah, non profit, sukarela, atau social, dsb yang terlibat dalam penyelenggaraaan urusan publik. Pengertian administrasi publik sebagai ‘governance’ dengan demikian tidak hanya mencakup scope yang terbatas pada negara tapi semua aktor yang terlibat dalam public affair.

Kemunculan konsep administrasi negara sebagai ‘governance’ tidak lepas dari kecenderungan ‘anti birokrasi’. Era yang memandang negatif hal-hal yang identik dengan pemerintah mendorong administrasi publik untuk meredefinisi peran praktis maupun akademisnya. Dan nampaknya ilmu administrasi publik menunjukkan kemampuan beradaptasi dan kreativitas yang tinggi dengan memunculkan respon bersifat konseptual yakni ‘governance’ Istilag atau konsep ini sebenarnya merupakan retorika yang digunakan agar administrasi publik untuk mengambil jarak dari politik, pemerintah, dan birokrasi atau cara agar administrasi publik tidak hanya identik dengan ketiganya.

Relevansi & Aktualisasi Administrasi Publik Di Era Liberalisasi Ekonomi (Sri Yuliani)
Gerald Garvey (dalam Frederickson, 1997) membedakan karakteristik dari teori administrasi negara lama dan yang baru. Teori administrasi negara lama berkenaan dengan upaya mengembangkan negara administrasi atau ‘big bureaucracy’. Karena itu unti dari teori ini adalah spesialisasi dan hirarki. Spesialisasi adalah pengembangan pelayanan sipil yang berbasis kecakapan (merit system). Sisamping itu juga diterapkan teori manajemen ilmiah dalam kegiatan pemerintah sehari-hari. Untuk menciptakan administrasi negara yang efisien dilakukan pemisahan antara praktek administrasi negara sehari-hari (administrasi) dengan aktivitas politik. Dapatlah disimpulkan bahwa teori administrasi negara lama terfokus pada eksekutif atau administrasi pemerintahan di tingkat pusat sampai daerah, serta pada aspek internal manajemen (disebut sebagai studi sentripetal).

Teory administrasi negara baru mengemukakan pandangan tentang ‘governance’ Konsep ‘governance’ berinduk pada paham kapitalisme liberal yang berpendapat bahwa pada hakekatnya manusia adalah makhluk rasional yang bisa membuat keputusan atau pilihan yang rasional (rational choice). Manusia pada dasarnya cenderung bersikap rasional dan mengutamakan kepentingannya sendiri, karena itu mereka lebih suka beraktivitas di dalam sistem pasar bebas. Menurut perspektif ini relasi dalam organisasi tidak dipandang sebagai hubungan antara atasan sepandan antara ‘principal” (pemberi mandat) dan agent (pemegang mandat) dimana masing-masing bertindak untuk kepentingan pribadi ataupun atas nama kepentingan lembaga. Relasi dalam organisasi tipe lama yang bersifat hirarkis – formal dalam tipe administrasi negara baru bergeser menjadi relkasi yang contractual; administrasi negara baru bergeser menjadi relasi yang contractual,. Adminnistrasi negara tidak lagi terbatas pada hubungan kerja yang tercermin dalam hirarki formal birokrasi, tapijuga mencakup semua aktor yang terlibat dalam jaringan penyelenggaraan pelayanan publik termasuk juga ‘shadow bureaucracy’ atau birokrasi bayangan yaitu aktor/pelaku bisnis yang dikontrak pemerintah untuk menjalankan tugas publik tertentu. Interdependensi yang tinggi antara berbagai kelembagaan di berbagai sector dilingkup domestik ataupun internasional telah mnemunculkan relasi jaringan (network) sebagai struktur fundamental dalam sistem kepemerintahan modern.

Lester Salomon (dalam Frederickson, 1997) membedakan antara karakteristik administrasi negara tradisional dengan administrasi negara bentuk baru. Administrasi negara tradisional menekankan pada manajemen dan kontrol badan-badan pemerintah, menekankan pada dinamika internal badan-badan publik. Sedangkan administrasi negara baru seingkali membentuk kemitraan dengan aktor-aktor non-pemerintah seperti LSM. Administrasi negara tradisional mengutamakan jalur otoritas hirarkis dan mekanisme kontrol dan komando. Administrasi negara bentuk baru menggunakan cara desentralisasi dan tehnik-tehnik bargaining dan persuasi.

Donald F. Kettl (1993) berpendapat bahwa peran pemerintah telah berubah. Pemerintah tidak lagi sebagai produser barang dan jasa, tetapi lebih sebagai supervisor yang engontrol mereka yang menjalankan tugas tersebut. Dalam administrasi negara tradisional dimana pemerintah memproduksi sendiri barang dan jasa, pimpinan memberikan pemerintah yang harus dipatuhi bawahan. Hubungan antara puncak pimpinan dengan aparatur birokrasi terendah diatur dalam prinsip hirarkis atau rantai komando. Dalam public-private partnership’ hubungan contractual’ menghentikan relasi hirarkis.

Keterbatasan Konsep Administration Negara sebagai Government
Frederickson (1997) menyatakan penggunaan istilah atau konsep ‘governance’ dalam administrasi negara membawa banyak problem baik dalam aplikasi praktisnya maupun keterbatasan konseptual. Problem didalam tataran praktis yang pertama adalah masalah titik tekan atau emphasis’. Governance’ menekankan pada koordinasi antar lembaga, kreativitas kewirausahaan (entrepreneurial), eksperimen, dan keberanian mengambil resiko. Konsep ini tidak menekankan pada karakteristik organisasi dan manajemen yang seringkali dinilai penting seperti keteraturan (order), dapat diprediksi (predictabi8lity), stabilitas, dapat dipertanggungjawabkan (responsibility), dan pemerataan (equty). ‘Governance’ menekankan pada perspektif pilihan rasional (rational choice), kompetisi, dan decision-cost’. Ukuran-ukuran ini cocok bagi mereka yang mempunyai kapasitas dan kekuasaan membuat pilihan (memilih alternatif secara rasional) dan mereka inilah yang bisa berkompetisi. ‘Governance’ tidak mempertimbangkan nilai kejujuran dan kesetaraan, padahal ini criteria penting dalam pembuatan keputusan pada tatanan demokratis. ‘Governance’ terlalu berorientasi pada puncak piramida kekuasaan dan segala aktivitas yang terjadi didalamnya, sehingga cenderung tidak memperhatikan para birokrat di bagian dasar struktur organisasi yang bertugas memberikan pelayanan langsung ke masyarakat (street level bureucrat). Sebagian besar pekerjaan birokrat yang berhadapan langsung dengan masyarakat ini bersifat pelayanan (rowing).

Kelemahan praktis yang kedua adalah bahwa perspektif ‘governance’ yang diinformasikan sebagai salah satu bentuk reformasi atau sebagai cara yang lebih baik untuk menyelenggarakan administrasi negara, seringkali dikemas dalam proposal yang terkesan terlalu berlebihan (oversold) dan hiperbolik. Penerapan prinsip ‘governance’ yang menjanjikan ‘government that works better and cists less’ (Pemerintah yang bekerja lebih baik dengan beaya lebih sedikit) seringkali diikuti dengan kebijakan pemangkasan jabatan dalam birokrasi ataupun rasionalisasi. Sejauh mana kebijakan semacam ini dapat menghasilkan pemerintahan yang lebih baik dan untuk siapa kinerja yang lebih baik itu ditujukan, sulit untuk ditentukan. Banyaknya pengurangan angkatan beekrja secara efektif dan mengurangi memori kelembagaannya. Kelemahan praktis lainnya adalah konsep administrasi negara sebagai ‘governance’ biasa dijadikan isu kampanye kandidat pejabat politik di AS (presiden, senator, maupun walikota) pada tahun 1990-an hampir semua calon pejabat politik menjanjikan reformasi birokrasi menurut perspektif ‘governance’ didalam kampanyenya.

Keterbatasan konsep administrasi negara sebagai ‘governance’ bisa bersumber pada problem konseptual atau filosofis. Istilah ‘governance’ merupakan rekonsiliasi retorik dikotomi politik-administrasi, jadi tidak perlu dipertanyakan mana aktivitasnya dalam governance yang disebut politik dan mana administrasi. Ada aspek politik dalam administrasi, ada aspek administrasi dalam politik sehingga governance menjadi konsep yang dapat menjelaskan dengan baik apa itu administrasi negara. Namun pertanyaannya: bisakah administrasi negara yang menuntut tipe manajer yang professional dan netral politik dalam melaksanakan pelayanan publik sehari-hari berganti menjadi administrasi negara yang semata-mata sebagai bentuk lain dari politik?

Problem konseptual lainnya adalah soal model kepemimpinan dalam ‘governance’. Setelah dilakukan perampingan struktur. Lembaga, dan sumber daya manusia, wajar kalau birokrasi publik akan kehilangan kapasitasnya. Birokrasi publik menjadi lemah. Karena lemah maka dibutuhkan figure pemimpin yang punya rasa percaya diri dan semangat wira usaha, tapi dapatkah pemimpin yang super hero sekalipun menggerakkan organisasi yang berkapasitas rendah?

Menurut gambaran administrasi sebagai ‘governance’ lembaga politik yang ideal adalah yang ramping dan fleksibel, digerakkan oleh pemimpin berjiwa entrepreneurial dan didukung oleh pegawai yang berdaya (empowered workers). Asumsinya sumber daya manusia yang sekarang ada di birokrasi publik kurang efektif, maka birokrasi akan dapat berkembang apabila jumlah pegawainya sedikit atau tidak berlebihan dan banyak tugasnya yang diprivatisasi ataupun dikontrakkan ke swasta. Tapi adakah jaminan kalau pelayanan publik yuang dikontrakkan ke swasta mesti terjadi lebih baik disbanding yang diberikan langsung oleh lembaga negara? Kemungkinan yang terjadi bisa saja bukan seperti yang dibayangkan tapi malah terjadi demoralisasi pegawai negeri yang ditandai oleh rendahnya komitmen terhadap pelayanan publik disebabkan karena adanya komitmen lembaga pada sumber daya manusia birokrasi.

Terlepas dari berbagai keterbatasan ataupun kemungkinan diatas, seperti dikatakan Frederickson (1997), konsep governance’ merupakan suatu symbol positif yang dimunculkan saat administrasi negara membutuhkan citra yang positif karena kuatnya persepsi ‘anti-state’. Dalam hal ini, administrasi negara sebagai governance kalau dianalogkan dengan dunia mode adalah suatu konsep yang fashionable yang memenuhi tuntutan perubahan ‘mode’ di ekonomi politik internasional. Kemudian juga terlepas dari perdebatan ideologis, bagaimanapun prinsip-prinsip ‘good governance’ yang menuntut transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi semua lembaga yang terlibat dalam kepemerintahan merupakan nilai positif dipandang dari ideologi apapun.

Keterbatasan administrasi negara sebagai ‘governance’ terletak pada cara pandang terhadap proses penyelenggaraan administrasi publik semata-mata difokuskan sebagai aktivitas yang bersifat ekonomis kontraktual dan traksaksional. Pada hakekatnya administrasi publik atau kepemerintahan (governance) tidak bisa dipahami dari dimensi transaksi semata, karena administrasi publik tidak hanya berkaitan dengan distribusi komoditas publik tapi juga fungsi redistribusi apabila pasar tidak dapat menyediakannya (market failurea). Karena itulah administrasi negara yang baik membutuhkan kapasitas dan institusi politik maupun administrasi yang sama-sama kuat.
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson