Analisis Kebijakan Pelibatan Masyarakat Dalam Mendukung Pengelolaan Hutan Mangrove
Luas hutan mangrove di Kalimantan Timur pada tahun 1983-1989 berkisar 748.850 ha (17,61 % dari luas hutan mangrove di Indonesia). Pada tahun 2002 luasnya tinggal 205.443 ha. Dengan demikian, selama kurun waktu 13 tahun, Kalimantan Timur kehilangan hutan mangrove seluas 543.417 ha (72.56%) (Bappedalda Propinsi Kaltim, 2002).
Terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas hutan mangrove umumnya disebabkan oleh hasil interaksi 3 (tiga) faktor (Basran K, 2000) yaitu : (1) Pertumbuhan penduduk ; (2) Penigkatan Produksi untuk memenuhi kebutuhan penduduk ; (3) Lembaga masyarakat, termasuk teknologi yang dikembangkan untuk meningkatkan produksi.
Meskipun GN-RHL/GERHAN sudah dicanangkan, akan tetapi belum menunjukkan hasil yang maksimal. Ada beberapa faktor yang memungkinkan program rehabilitasi lahan mangrove belum mencapai hasil sebagaimana diharapkan (lihat Budiningsih, dkk, 2004) antara lain adalah:
1. Lemahnya Sumberdaya Manusia dalam pengelolaan kelembagaan di daerah.
2. Kurangnya sosialisasi kepada masyarakat bagaimana pentingnya program GN-RHL/GERHAN.
3. Kurang dan terlambatnya pencairan dana pelaksanaan program.
4. Lemahnya koordinasi dengan para stakeholders.
5. Pelaksanaan program belum sepenuhnya melibatkan masyarakat.
Secara khusus di Kota Bontang sejak menjadi kota otonom tahun 1999 mempunyai wilayah laut 34.977 hektar atau 70,29 persen dari luas Administratif Kota yang terdiri dari hutan mangrove 13.990 hektar, terumbu karang 8.744 hektar dan rumput laut sekitar 16 hektar. Luas Hutan mangrove tersebut, umumnya berada di Tanjung Pukung, Nyerakat, Tanjung Laut, Teluk Sekambing, Agar-agar Panjang, sekitar P.Melahing, Karang Sengajah dan Badak-badak.
Pada tahun 2002 hutan mangrove yang ada di Kota Bontang tinggal seluas ± 7000 ha, namun yang masih utuh hanya seluas ± 4000 ha. Ini berarti seluas 3000 ha telah mengalami degradasi/kerusakan (Bappedalda Propinsi Kaltim, 2002). Untuk mengantisipasi semakin meluasnya kerusakan tersebut, program GN-RHL/GERHAN juga sudah dicanangkan, namun hasilnya belum maksimal. Gambaran awal dilapangan, dan berbagai informasi yang dihimpun mengenai pelaksanaan rehabilitasi lahan mangrove di Kalimantan Timur dan secara khusus di Bontang, sosialisasi program kurang kepada masyarakat, koordinasi antar instansi terkait juga kurang, serta pelibatan berbagai stakeholders, khususnya masyarakat di dalam dan sekitar hutan mangrove masih sangat minim. Jika hal ini terus berlangsung, maka upaya pengelolaan hutan mangrove yang telah dicanangkan secara nasional akan mengalami kendala. Implikasinya kemudian adalah akan berdampak secara sosio-ekonomi dan ekologis.
Pengelolaan hutan mangrove di Kota Bontang belum mampu mendukung kebijakan “Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan” (GR-RHL/GERHAN). Persoalan selanjutnya adalah, bagaimana kebijakan pengelolaan hutan mangrove di Kota Bontang dan bagaimana implikasi sosial-ekonomi dan ekologis yang ditimbulkannya ?.
A. Aspek Hukum Kehutanan Di Indonesia
Pelaksanaan penegakan peraturan perundang-undangan dalam hukum kehutanan, tidak dapat terlepas dari tingkat pemahaman dan kesadaran hukum setiap orang dalam masyarakat secara keseluruhan. Secara sederhana, hukum kehutanan dipahami sebagai kumpulan kaidah/ketentuan hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan hutan dan kehutanan, dan hubungan antara individu (perseorangan) dengan hutan dan kehutanan (Salim, 1997).
Menurut Biro Hukum dan Organisasi Departemen Kehutanan (1990) dalam Dephut (1992). Hukum kehutanan adalah “ kumpulan (himpunan) peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang berkenaan dengan kegiatan-kegiatan yang bersangkut paut dengan hutan dan pengurusannya”. Hukum kehutanan tertulis adalah kumpulan kaidah hukum yang dibuat oleh lembaga yang berwenang untuk itu mengatur hal-hal yang berkaitan dengan hutan dan kehutanan. Hukum kehutanan tidak tertulis atau juga disebut hukum adat mengenai hutan adalah aturan-aturan hukum yang tidak tertulis, timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat setempat (bersifat lokal).
Hal terkait lainnya, tata tertib dalam masyarakat akan tetap terpelihara apabila kaidah-kaidah hukum ditaati, meskipun dalam kenyataannya tidak semua orang bersedia mentaati kaidah-kaidah hukum. Agar peraturan yang hidup dalam masyarakat dipatuhi dan ditaati sehingga menjadi kaidah hukum, maka peraturan itu harus dilengkapi dengan unsur memaksa. Dengan kata lain, hukum itu mempunyai sifat mengatur dan memaksa (Kansil, 1989; Pamulardi, 1994).
Berdasarkan hal tersebut di atas, apabila aturan-aturan mengenai hutan dan hal-hal bersangkut paut dengan kehutanan ingin dihormati dan ditaati oleh masyarakat, maka perlu diupayakan : (1) Hukum kehutanan yang mempunyai sifat memaksa, dan (2) Adanya perintah dan/atau larangan yang berlaku tegas terhadap pelarangannya (law enforcement).
B. Kebijakan.
Menurut konsep demokrasi modern, kebijakan tidaklah hanya berisi cetusan pikiran atau pendapat para pejabat yang mewakili rakyat, tetapi opini publik (public opinion) juga mempunyai porsi yang sama besarnya untuk diisikan (tercermin) dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Setiap kebijaksanaan harus selalu berorientasi pada kepentingan publik (public interest).
Kebijaksanaan (policy) diberi arti yang bermacam-macam. Harold D. Lasswell dan Abraham Kaplan dikutip M. Irfan Islamy (1997), memberi arti” kebijaksanaan sebagai suatu program pencapaian tujuan , nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah.”
Chief J.O dikutip Solichin Abdul Wahab (1984) mengemukakan kebijaksanaan sebagai ”suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada suatu tujuan tertentu yang diarahkan pada suatu masalah atau sekelompok masalah tertentu yang saling berkaitan yang mempengaruhi sebagian besar masyarakat.”
Dari beberapa pengertian kebijaksanaan sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, serta mengikuti paham bahwa kebijaksanaan itu harus mengabdi pada kepentingan masyarakat, maka dapat disimpulkan bahwa kebijaksanaan itu adalah “ serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah yang memiliki tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat.”
Pengertian kebijaksanaan tersebut di atas mempunyai implikasi sebagai berikut :
1. Bahwa kebijaksanaan itu dalam bentuk perdananya berupa penetapan tindakan-tindakan pemerintah.
2. Bahwa kebijaksanaan itu tidak cukup hanya dinyatakan tetapi dilaksanankan dalam bentuknya yang nyata.
3. Bahwa kebijaksanaan baik untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu itu mempunyai dan dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu.
4. Bahwa kebijaksanaan itu harus senantiasa ditujukan bagi kepentingan seluruh anggota masyarakat.
C. Partisipasi masyarakat.
Istilah partisipasi pada prinsipnya mempunyai makna dan konotasi yang sama dengan peran serta yaitu, mengambil bagian atau peranan di dalamnya, hanya saja bedanya adalah bahwa peran serta mempunyai istilah yang berasal dari bahasa Indonesia, sedangkan partisipasi berasal dari bahasa Inggris yaitu participation, karena itu dalam tulisan partisipasi atau peran serta dipandang sama (Wiyono, 1994 : 20). Partisipasi biasanya disinonimkan dengan peran serta (Barnabas 1980 : 28).
A. Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan berupa : data tentang kebijakan Pemerintah/Pemerintah Kota yang berkaitan dengan pengelolaan Kawasan Hutan Mangrove, dan data kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat di dalam/sekitar dan di luar Kawasan Hutan Mangrove dengan sample 10 % dari jumlah kepala keluarga yang ada di desa penelitian, dan data kondisi ekologis/fisik hutan mangrove yang meliputi data primer dan data sekunder sebagai berikut : (a).Data Kebijakan dan Kelembagaan ; (2) b.DataSosialEkonomi dan Budaya Masyarakat
B. Metode Pengumpulan Data.
Data dikumpulkan dengan cara melakukan inventarisasi dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pengelolaan Kawasan Hutan Mangrove seperti Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah Pengganti UU, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah, Keputusan Dirjen, Rencana Detail Tata Ruang Kota dan Laporan-laporan kegiatan serta laporan hasil penelitian yang relevan maupun wawancara langsung kepada Lembaga Pengelola dan Instansi Terkait.
Data dikumpul dengan cara melakukan observasi dan wawancara kepada key informan dan atau informan dengan cara menentukan secara langsung. Adapun informan dimaksud terdiri dari : Kepala Desa, Kepala Adat, Tokoh Agama, Ketua RT, Kelompok Tani, Guru dan Masyarakat Umum (petani/pedagang dan lain-lain), LSM dan pihak pemerintah/instansi terkait.
C. Analisis Data.
Metode analisis data yang digunakan dalam mengolah dan menganalisis data aspek Kebijakan Pemerintah/Pemerintah Kota dan aspek Kelembagaan yang berkaitan dengan pengelolaan Kawasan Hutan Mangrove, yaitu menggunakan instrumen Analisis SWOT (Strength/ kekuatan, Weakness/kelemahan, Oportunities/peluang, Threats/ ancaman), untuk memperoleh gambaran tentang sejauh mana aspek tersebut berpengaruh dalam pengelolaan hutan mangrove berbasis pemberdayaan masyarakat.
Sedangkan analisis ekonomi dan sosial budaya dalam penelitian ini, model analisis data yang dilakukan adalah deskriptif kualitatif. Instrumen pengumpulan data menggunakan wawancara dan pengamatan, termasuk juga data tertulis yang berkaitan dengan rumusan permasalahan.
Secara khusus lokasi penelitian dilakukan di kecamatan Bontang Utara kelurahan Bontang Kuala dengan luas wilayah 576 Ha yang berbatasan dengan, sebelah Utara Kelurahan Lok Tuan; sebelah Timur Selat Makassar, sebelah Selatan Kelurahan Tanjung Laut, dan Sebelah Barat Kelurahan Bontang Baru
Dari luas wilayah tersebut, dihuni oleh penduduk sebanyak 598 kepala keluarga yang berdasarkan jenis kelamin, laki-laki sebanyak 1.353 jiwa dan perempuan 1.156 jiwa. Adapun tingkat pendidikan terbayak tidak tamat sekolah dasar yaitu sebanyak 959 jiwa, menyusul tingkat pendidikan tamat SMU/SLP sebanyak 656 sedangkan sisanya sebanyak 394 jiwa lulusan Sarjana, Sarjana muda, dan SD.
Mata pencaharian sebagai nelayan dan petani tambak menempati angka tertinggi yaitu 667 orang atau 26,58 %. Dari aspek tata guna tanah, seluas 100 Ha untuk empang dan 215 ha untuk pemukiman/perumahan.
A. Rehabilitasi Hutan Mangrove Berbasis Pemberdayaan Masyarakat.
Kota Bontang secara khusus dalam kaitan penerapan/ pelaksanaan kebijakan pengelolaan hutan mangrove yang berbasis masyarakat jika dilihat secara keseluruhan, masih sangat minim. Jika mengacu pada analisa SWOT yang telah dilakukan sebelumnya disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
a. Meskipun kebijakan peraturan /Undang-undang yang ada sudah berpihak pada masyarakat, akan tetapi sumberdaya manusia yang ada, terutama dalam penerapan peraturan tersebut masih sangat lemah/ minim.
b. Undang-undang atau peraturan yang ada tidak didukung oleh pengawasan dan kontrol yang kuat, termasuk penegakan hukum yang lemah.
c. Minimnya sumber dana.
d. Terbatasnya sarana pendukung lainnya dalam pelaksanaan tugas tugas pengawasan/kontroling.
e. Masih sebagian besar masyarakat mempersepsikan hutan mangrove sebagai milik peribadi, sehingga kapan saja dapat digunakan untuk kepentingan peribadi pula. Termasuk mengkonversi menjadi lahan perumahan dan perikanan (tambak).
f. Adanya kebijakan pemerintah daerah propinsi yang memberikan ijin pembukaan kawasan industri.
g. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, sehingga pemahaman akan pentingnya hutan mangrove secara ekonomis, ekologis dan sosial juga minim.
h. Adanya rencana pengembangan willayah Kota Bontang yang mengarah kelokasi habitat/ekosistem mangrove.
Disadari sepenuhnya bahwa kelemahan atau ancaman akan kelestarian hutan mangrove sebagaimana disebutkan diatas akan berdampak luas sekiranya tidak dilakukan berbagai upaya proteksi atau preventif. Karenanya, apa yang menjadi kekuatan dan peluang dalam pelestarian/pengelolaan hutan mangrove, yang secara khusus berbasis pemberdayaan masyarakt perlu dikembangkan, dengan strategi-strtegi tertentu. Dari kekuatan dan peluang yang ada misalnya :
a. Adanya kebijakan pemerintah yang secara khusus megatur hutan mangrove.
b. Adanya potensi biodiversity hutan mangrove.
c. Masih adanya persepsi positif sebagian masyarakat pentingnya keberadaan hutan mangrove.
d. Adanya komitmen lembaga konservasi (Nasional dan Internasional) yang peduli pada hutan mangrove untuk memberikan bantun dana dalam pengelolaan dan pelestariannya.
e. Dan adanya kebijakan OTDA (Otonomi Daerah) yang memungkinkan untuk melakukan pengelolaan hutan mangrove secara mandiri.
Perlu melakukan berbagai strategi khusus, misalnya mengoptimalisasi kebijakan dan komitmen berbagai stakeholder, dan meningkatkan sumberdaya manusia serta sumberdana dalam pengelolaan hutan mangrove.
A. Dampak Sosial, Budaya dan Ekonomi Kebijakan Pengelolaa Hutan Mangrove di Bontang.
Pada umumnya masyarakat yang ada di daerah pesisir dalam wilayah Kota Bontang adalah Etnis Bugis. Secara umum mereka sebagai nelayan tambak, juga sebagian sebagai pegawai negeri. Masyarakat nelayan, khususnya nelayan tambak dan juga nelayan tangkap, keberadaan mangrove sangat mendukung aktivitas ekonomi mereka. Namun demikian, aktivitas mereka sudah mulai terbatas dengan adanya pelarangan penebangan/pemanfaatan lahan mangrove secara besar-besaran, sebagai salah satu upaya pelestarian hutan mangrove .
Kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat disekitar kawasan hutan mangrove belum sepenuhnya mendukung pengelolaan hutan secara lestari, terutama dalam hal pendidikan, pengetahuan , kesadaran konservasi, keterbatasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, modal kerja dan sarana produksi.
Peran aktif masyarakat berkaitan erat dengan kemampuan dan kualitas organisasi sosial dan kemasyarakatan yang berkecimpung dalam pengembangan daerah pantai serta tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang keberadaan hutan mangrove (Sasmuko,A.A 2001). Interaksi ketiga komponen tersebut dapat digambarkan
Berdasarkan diagram diatas terlihat bahwa pengelolaan hutan mangrove, masyarakat sebagai komponen yang memanfaatkan sumber daya hutan mangrove memperoleh arahan dari aparatur pemerintah dengan berpedoman kepada peraturan perundangan yang berlaku, sehingga kelestarian hutan dapat tercapai. Selain itu, relasi antara ketiga komponen pada diagram tersebut bukanlah relasi yang statis, tapi relasi yang dinamis. Artinya, dalam kebijakan pengelolaan hutan mangrove dengan pelibatan masyarakat harus lebih proaktif ke arah pemberdayaan masyarakat setempat. Sebagaimana dikemukakan oleh Hidayati (1999) bahwa salah satu langkah yang dapat dilakukan dalam pengelolaan hutan mangrove yang berbasiskan masyarakat adalah melalalui “pemberdayaan masyarakat”. Dalam hal ini, ada lima unsur yang perlu diperhatikan, antara lain: (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yaitu dengan memberikan alternatif usaha yang secara ekonomi menguntungkan dan secara ekologi ramah lingkungan; (2) memberikan akses kepada masyarakat, berupa informasi, akses terhadap harga dan pasar, akses terhadap pengawasan, penegakan dan perlindungan hukum, serta akses terhadap sarana dan prasarana pendukung lainnya ; (3) menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam arti dan nilai sumberdaya ekosistem sehingga pelestarian sangat diperlukan; (4) menumbuhkan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menjaga, mengelola dan melestarikan t/ekosistem dan ; (5) menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengelola dan melestarikan sumberdaya ekosistem.
Pengelolaan hutan mangrove secara umum dan khususnya di Kota Bontang pada prinsipnya sudah mengikuti berbagai pola kebijakan yang telah ditetapkan. Meskipun demikian hasilnya belum maksimal karena banyak mengalami kendala. Baik kendala dari masyarakat, maupun dari berbagai kebijakan pemerintah daerah/instansi tertentu yang cenderung tidak terkoordinasi.