Metode-metode pembebanan PPh
Pajak penghasilan badan merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap wajib pajak yang dalam suatu tahun memperoleh laba. Penghasilan kena pajak dihitung sebagai output dari rekonsiliasi fiskal antara laporan laba rugi komersil dengan ketentuan pembukuan pajak. Dengan demikian ada dua jenis penghasilan yang menghasilkan perhitungan PPh yang berbeda, yaitu laba sebelum pajak (menurut perhitungan laba rugi berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan) dan penghasilan kena pajak, yang dihitung menurut ketentuan pembukuan pajak. Perbedaan tersebut diakibatkan oleh definisi penghasilan, biaya, dan beban antara akuntansi (menurut kaidah Standar Akuntansi Keuangan) dengan pajak (menurut aturan mengenai pembukuan). Selanjutnya perbedaan tersebut menghasilkan dua hal yaitu perbedaan waktu (temporary / timing differences) dan perbedaan tetap (permanent differences).
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 46 tentang Akuntansi PPh maupun SFAS No. 109 bertujuan mengakomodir perbedaan waktu pengakuan penghasilan, biaya, dan beban dalam pengungkapan laporan keuangan akuntansi (atau komersil), dengan pendekatan aset-laibilitas. Walaupun DSAK, FASB maupun Ditjen Pajak lebih merekomendasikan metode alokasi komprehensif PPh dengan pendekatan aset-laibilitas, namun dalam wacana akuntansi perpajakan sebenarnya terdapat metode alokasi dan non alokasi. Menurut Kieso dan Weygant (2003), metode alokasi berdasarkan komponen-komponen perbedaan perhitungan dasar pengenaan pajak antara laba rugi komersil atau akuntansi dan laba rugi pajak atau fiskal, meliputi alokasi komprehensif dan alokasi parsial. Sedangkan menurut periode pembebanannya, metode alokasi dapat dibagi dua, yaitu alokasi antar periode dan intra periode.
Tiga metode alokasi pajak komprehensif antar periode ialah
(1) Metode tangguhan (deferred method).
(2) Metode aset-laibilitas (assest-liabilities method).
(3) Metode bersih dari pajak (net-of-tax method).
Perbedaan waktu dalam perhitungan PPh dapat terjadi sebagai akibat penggunaan depresiasi dipercepat untuk pajak dan metode garis lurus untuk akuntansi yang berdampak terhadap akumulasi laibilitas PPh ditangguhkan yang tidak akan dibayar sejauh perusahaan mengakui aset yang disusut (depreciable) lebih cepat. Walaupun PPh ditangguhkan berhubungan dengan aset tertentu, namun saldo keseluruhan dari PPh ditangguhkan stabil atau meningkat akibat terjadinya pembelian aset tambahan.
Beban pajak merupakan residu menurut metode aset-laibilitas (yang dianut oleh PSAK No. 46, SFAS No. 96 dan SFAS No. 109 maupun IAS No. 12 (Revisi)). Sebaliknya pajak yang ditangguhkan merupakan residu menurut metode tangguhan (yang dianut oleh APB Opinion No. 11). Perbedaan lain penyajian pajak tangguhan antara metode yang dianut oleh APB Opinion No. 11 dengan PSAK No. 46, IAS No. 12 (Revisi), SFAS No. 96 dan SFAS No. 109 adalah dalam alokasi pembebanan beban depresiasi sebagai komponen perbedaan waktu antara pembukuan pajak dengan akuntansi.
Metode-metode pembebanan PPh selanjutnya dijelaskan berikut ini:
Metode Aset-Laibilitas (Assets-Liabilities)
Metode ini berorientasi pada laporan posisi keuangan mengingat sasaran utamanya adalah menyajikan estimasi pajak aktual yang akan dibayar pada tahun mendatang (FASB 1992). Akuntansi pajak tangguhan komprehensif dianut, mengartikan bahwa semua efek PPh atas penghasilan, beban, keuntungan, kerugian dan semua komponen yang mempengaruhi perbedaan antara pelaporan pajak dengan akuntansi dilaporkan dalam laporan keuangan. Beban pajak sama dengan utang pajak ditambah dampak pajak atas semua perbedaan waktu. Dengan kata lain, jumlah beban PPh merupakan jumlahan dari besarnya utang pajak berjalan (yaitu beban pajak berjalan) dan perubahan bersih dalam aset pajak ditangguhkan dan laibilitas pajak ditangguhkan (yang berupa beban atau manfaat pajak ditangguhkan). Alokasi pajak antar periode dianut untuk memperhitungkan perbedaan waktu yang mempengaruhi perhitungan beban pajak pada tahun berjalan. Efek pajak tahun depan tercermin dalam tahun dimana terjadi. Di samping perbedaan waktu, SFAS No. 109 berkaitan dengan pengakuan utang atau pembayaran pajak tahun berjalan. Aset dan laibilitas pajak tangguhan dimasukkan dalam perhitungan rugi operasi yang dibawa ke depan (forward) untuk maksud pelaporan pajak. Aset pajak ditangguhkan berkurang melalui akun cadangan penilaian yang mencerminkan nilai manfaat pajak yang dipandang tidak akan terealisir. Sebagai dampaknya, beban pajak secara mendasar adalah jumlah residu yang dihitung secara berjalan ditambah perbedaan antara saldo pajak ditangguhkan pada awal dan akhir tahun. Apabila tarif pajak naik menurut nilai penghasilan kena pajak, kemudian perhitungan agregatif dapat dibuat dengan menggunakan tingkat rata-rata estimasi. Profesi akuntansi mengunggulkan pengakuan PPh ditangguhkan dengan konsep aset-laibilitas. PPh selalu dibayar penuh pada periode terjadinya. Bagaimanapun, operasi bisnis diharapkan terjadi secara berkelanjutan, sehingga beban PPh terus terjadi di masa depan. Menurut alur metode alokasi antar periode, PPh itu lebih mirip dividen daripada biaya sehingga alokasi antar periode akuntansi lebih dipandang layak mengingat pajak lebih mirip pola distribusi penghasilan sukarela, daripada dipandang sebagai komponen penentu penghasilan.
Metode Tangguhan (Deferred)
Metode ini diterapkan mengacu pada prinsip kas, yaitu jika kas diterima maka kemudian keuntungan diakui, sedangkan jika kas dibayar maka kemudian biaya diakui (APB 1967). Ilustrasi dari aspek penangguhan adalah premi asuransi, dimana kas dibayar lebih dulu, biaya diakui kemudian, sehingga pengakuan ditangguhkan karena kas diterima lebih dulu, namun penghasilan diakui kemudian. Prinsip realisasi adalah proses perubahan sumber daya non kas menjadi kas. Menurut prinsip mempertemukan (matching principle), penghasilan dan beban yang terkait harus diakui pada saat yang sama. Sedangkan menurut prinsip alokasi, pengakuan beban itu mengacu pada penggunaan aset yang memberikan manfaat pada beberapa periode, sebagai contoh adalah depresiasi dan amortisasi. Sebagai akibat dari penggunaan metode tangguhan dalam akuntansi PPh adalah tidak adanya alokasi perbedaan waktu antara pajak dengan akuntansi ke periode berikutnya, sehingga selisih perhitungan PPh hanya disajikan sebagai pajak tangguhan dalam laporan laba rugi tahun berjalan saja.
Metode Bersih dari Pajak (Net-of-Tax)
Suatu alternatif untuk melaporkan aset dan laibilitas pajak tangguhan sebagai akun independen disebut metode pajak bersih, yang menyajikannya melekat pada komponen yang menimbulkannya (Kieso dan Weygant 2003). Pajak dibayar di muka dipandang sebagai akun penilaian terhadap laibilitas yang terkait dan utang pajak mendatang dipandang sebagai akun kontra aset, atau antara aset dan laibilitas dapat dikurangi secara bersamaan. Sebagai ilustrasi: jika sebuah aset modal sebesar Rp 10.000,- dihitung menurut konsekuensi pajaknya dan dibawa ke depan dalam akun yang bersangkutan, maka nilai bersih perusahaan akan menjadi Rp 6.600,- (jika tarif pajak 34%). Metode bersih dari pajak mendasarkan diri pada asumsi bahwa penyesuaian biaya historis dari aset atas efek pajak menghasilkan nilai berjalan aset yang bersangkutan. Kesulitan penerapan metode ini adalah adanya nilai lain yang melekat pada nilai perusahaan di mata investor. Nilai lain tersebut meliputi tujuan sebenarnya dari akuntansi ketika mengukur dan melaporkan nilai bersih atas aset dan laibilitas, dan sulitnya mengidentifikasi perbedaan waktu yang terkait dengan perolehan aset dan laibilitas.
Menurut metode bersih dari pajak, tidak ada akun pajak tangguhan yang perlu dilaporkan dalam laporan posisi keuangan. Beban PPh dilaporkan dalam laporan laba rugi sama nilainya dengan utang pajak pada tahun berjalan. Dampak pajak dari perbedaan waktu yang timbul (baik yang ditentukan menurut metode pajak tangguhan maupun aset-laibilitas) tidak dilaporkan secara terpisah. Namun begitu, hal itu dilaporkan sebagai penyesuaian terhadap nilai ke depan dari aset atau laibilitas tertentu dan penghasilan atau biaya yang terkait. Sebagai ilustrasi: depresiasi itu mengurangi nilai aset karena penurunan manfaat ekonomis dan hilangnya suatu porsi pengurang pajak di masa depan, dan depresiasi dipercepat melakukan hal tersebut lebih cepat dibandingkan metode garis lurus. Dengan demikian, biaya depresiasi dilaporkan dalam laporan laba rugi sebagai tambahan dari jumlah yang dibiayakan oleh metode depresiasi garis lurus. Nilai tersebut setara dengan dampak pajak pada tahun berjalan yang melebihi nilai depresiasi akuntansi.
Dalam laporan posisi keuangan, dampak pajak ditangguhkan kumulatif yang terkait dilaporkan sebagai pengurang aset tertentu daripada saldo kredit dalam akun laibilitas pajak ditangguhkan. Akun aset, laibilitas, penghasilan, dan beban disajikan sebagai ‘bersih dari pajak’ menurut metode ini. Akun aset, laibilitas, penghasilan dan biaya disajikan sebagai nilai bersih setelah dikurangi dengan semua laibilitas pajak yang melekat (apabila ada). Metode ini tidak direkomendasi oleh FASB untuk tujuan pelaporan keuangan.
Metode Alokasi Parsial (Partial Allocation)
Alokasi parsial merupakan bagian dari akuntansi akrual, menekankan pada pengeluaran kas. Pendekatan ini menganggap bahwa tidak semua akumulasi perbedaan antara perhitungan PPh menurut akuntansi dan pajak harus dibebankan ke periode berjalan. Metode alokasi parsial hanya mengakui alokasi untuk perbedaan waktu yang terjadi pada periode berjalan ke periode yang bersangkutan. Alokasi tanpa unsur dari periode sebelumnya sehingga akun PPh Ditangguhkan dalam laporan posisi keuangan hanya dibentuk untuk menampung selisih perhitungan PPh pada tahun berjalan saja.
Metode Alokasi Intra Periode (Intra Period)
Apabila konsep laba all inclusive diterima secara penuh, maka penyajian alokasi pajak dalam laporan laba rugi dan laporan laba yang ditahan adalah perlu. Menurut APB Opinion No. 9 tentang Reporting the Results of Operations, keuntungan dan kerugian luar biasa harus dilaporkan secara terpisah dalam laporan laba rugi. Menurut SFAS No. 16 penyesuaian pada periode sebelumnya perlu dilaporkan sebagai penyesuaian atas laporan laba yang ditahan. Dalam kasus ini alokasi intra periode dalam laporan laba rugi atau antara laporan laba rugi dan laporan laba yang ditahan membuat pelaporan laba bersih operasi sebelum pos-pos luar biasa menjadi lebih bermanfaat. Menurut metode ini nilai PPh (maupun manfaatnya) dapat dialokasikan ke operasi berkelanjutan, pemberhentian operasi (discontinued operation), pos luar biasa, efek kumulatif perubahan akuntansi, dan penyesuaian terhadap periode sebelumnya. Jika hanya terdapat satu pos di luar operasi berkelanjutan, maka porsi sisa setelah alokasi kemudian dialokasikan ke pos tersebut. Laba bersih operasi sebelum komponen luar biasa tidak akan bercampur dengan pencatatan keuntungan (bersih dari pajak) yang dilaporkan secara terpisah.
Alokasi pajak intra periode mengaitkan dua atau lebih pos selain operasi berkelanjutan, sehingga bersifat lebih kompleks. Dampak pajak atas komponen yang berbeda dari penghasilan pada suatu tahun dilaporkan dengan cara dimana dampak PPh ditangguhkan “mengikuti” elemen penghasilan. Metode non alokasi, alokasi parsial, dan alokasi komprehensif berbeda dalam hal pengakuan akuntansi terhadap PPh ditangguhkan sebagai akibat dari perbedaan waktu.
Metode Non-Alokasi (Non Allocation)
Keinginan untuk menerapkan alokasi pajak antar periode tidak banyak yang menyetujui sehingga yang lebih dipercaya adalah pajak sesungguhnya yang disajikan dalam laporan laba rugi adalah yang benar-benar dibayar kepada negara (Kieso dan Weygant 2003). Alur pendekatan non alokasi tidak mempercayai bahwa pengakuan PPh ditangguhkan itu dapat memberikan informasi berguna atau setidaknya mampu menghemat biaya. Sifat laibilitas ditangguhkan sebagai penampung perbedaan waktu tidak jelas sebab bukan merupakan utang sesungguhnya yang harus dibayar.
Pembayaran pajak tambahan di masa depan adalah bersyarat, yaitu tergantung pada nilai laba kena pajak di masa depan. Jika penghasilan kena pajak tidak terjadi di masa depan maka tidak akan timbul laibilitas, dan aset pajak ditangguhkan pun juga tidak akan diakui. Metode non alokasi merupakan metode alternatif pembebanan PPh yang lebih banyak dianut oleh perusahaan yang tidak go-public di Bursa Efek Indonesia (BEI), yang mewajibkan pengungkapan sebagaimana PSAK No. 46 dengan pendekatan aset-laibilitas.
GAAP secara tersurat merekomendasikan metode aset-laibilitas untuk alokasi pajak antar periode, dengan dikeluarkannya SFAS No. 109 tentang Accounting for Income Tax, yang secara garis besar berisi :
1) Pembebanan ke belakang (backward) aset pajak tangguhan dan memperkenankan pembebanan ke depan (forward) terhadap laibilitas pajak ditangguhkan.
2) Memperkenankan pengakuan aset pajak tangguhan jika realisasi dipandang lebih mungkin terjadi daripada tidak (more likely than not).
3) Perlakuan konsisten terhadap aset maupun laibilitas pajak ditangguhkan.
4) Penentuan sifat lancar atau tidak lancar diturunkan menurut klasifikasi atas aset atau laibilitas yang terkait.
5) Pernyataan tentang akuntansi PPh sebelumnya, yaitu SFAS No. 96 memandang negatif terhadap penyajian rugi pajak ke belakang sebagai aset sebagaimana pernyataan pendahulunya, yaitu APB Opinion No. 11. SFAS No. 109 menyajikan suatu perlakuan komplit atas rugi pajak ke depan dibandingkan dengan kedua pernyataan pendahulunya tersebut. Rugi pajak ke depan dicatat dengan cara penilaian yang sama dengan cadangan penilaian aset pajak ditangguhkan.
Walaupun PSAK No. 46 tentang Akuntansi PPh diadopsi dari SFAS No. 109 yang diterapkan di Amerika Serikat, namun adanya perbedaan beberapa ketentuan dalam perpajakan antara Indonesia dengan Amerika Serikat membuat beberapa hal disajikan berbeda pula. Ketentuan perpajakan Indonesia tidak memperkenankan penerapan pembebanan rugi ke belakang, namun hanya pembebanan ke depan. Jangka waktu alokasi tersebut juga tidak selama 10 tahun sebagaimana di Amerika Serikat, tetapi 5 tahun saja.
Ilustrasi komprehensif perbedaan antara enam metode pembebanan PPh dapat dilihat pada bagian berikut ini: asumsikan pada tanggal 1 Januari 2009, PT. O membeli peralatan Rp 100.000.000,-, umur manfaat lima tahun tanpa nilai sisa (sehingga @ Rp 20.000.000,-). Metode depresiasi garis lurus digunakan untuk menyusut aset ini. Perhitungan depresiasi menurut pajak Rp 25.000.000,- (untuk umur manfaat 4 tahun, dan kelompok 1 menurut ketentuan depresiasi pajak). Selisih depresiasi pajak dan akuntansi adalah Rp 20.000.000,-, dikalikan tarif pajak tahun 2009 yaitu 40%, sama dengan Rp 8.000.000,-, dialokasi selama 4 tahun sebesar Rp 2.000.000,- sehingga perbedaan waktu bersih sebesar Rp 22.000.000,-. Tarif pajak tahun 2009 adalah 40%, tapi untuk tahun selanjutnya naik menjadi 50%. Ringkasan laporan keuangan tahun 2009 menurut enam metode pembebanan PPh adalah sebagaimana yang tergambar dalam Tabel 2.1 Selanjutnya dalam Tabel 2.2, secara deskriptif digambarkan efek dari perbedaan penyajian laporan dengan keenam metode-metode pembebanan PPh yang berbeda.
Tabel Ilustrasi Perbedaan Enam Metode Alokasi Pembebanan PPh dalam Penyajian Laporan Laba Rugi dan Laporan Posisi Keuangan
Sumber: dikembangkan untuk disertasi ini.
Tabel Perbandingan Metode-Metode Pembebanan PPh: Efek terhadap Penyajian Laporan Keuangan
Sumber: dikembangkan untuk disertasi ini.
Sumber: dikembangkan untuk disertasi ini.
Baik metode tangguhan maupun bersih dari pajak melaporkan nilai laba bersih yang sama. Perbedaannya berhubungan dengan klasifikasi biaya, nilai bersih aset pajak dan keberadaan akun PPh ditangguhkan. Metode aset-laibilitas menggunakan tarif pajak lebih tinggi dibandingkan kedua metode terdahulu sehingga saldo laba bersih lebih rendah, karena menggunakan tarif pajak periode mendatang dimana perbedaan waktu akan dialokasikan.
Walaupun pandangan menyatakan bahwa alokasi pajak komprehensif paling layak, namun ada saja yang memakai alokasi parsial atau tanpa alokasi atau bersih dari pajak. Bagi perusahaan yang tidak go-public, metode tanpa alokasi atau metode bersih dari pajak dipilih sebagai sarana paling mudah untuk membebankan PPh Badan dalam laporan laba rugi komersil.
Penerbitan akuntansi PPh menurut SFAS No. 96 dan SFAS No. 109 menimbulkan kritik menyangkut aset dan laibilitas pajak ditangguhkan, yaitu
(1) Ketidak-konsistenan penyajian aset dan laibilitas pajak ditangguhkan (Wolk dkk. 1989; Parks 1988)
(2) Kegagalan FASB mengijinkan pendiskontoan laibilitas pajak ditangguhkan (Rayburn 1987).