Overreaksi Pasar Terhadap Harga Saham Perusahaan-Perusahaan Di Indonesia

Overreaksi Pasar Terhadap Harga Saham Perusahaan-Perusahaan Di Indonesia 
Motivasi investor melakukan investasi di pasar modal adalah untuk memperoleh return, untuk mendapat Return yang optimal, yaitu: yang sesuai dengan kompensasi resiko yang diterima maka seorang investor dituntut untuk senantiasa mengikuti perkembangan pasar dan memiliki sebanyak mungkin informasi yang berkaitan dengan dinamika harga saham. Oleh karena itu, kebutuhan atas informasi yang relevan dalam pengambilan keputusan di pasar modal saat ini menjadi semakin meningkat seiring dengan perkembangan pasar modal itu sendiri. Investor harus mengikuti perkembangan pasar dan informasi karena pada dasarnya keberhasilan dari investasi ialah melakukan keputusan berdasarkan informasi (making well-informed decision), baik informasi yang tersedia dipublik maupun informasi pribadi, karena setiap informasi akan mempengaruhi reaksi di lantai bursa (information effect) dan berguna untuk mendapatkan portofolio yang mencerminkan preferensi individual investor tersebut dalam memperoleh tingkat pengembalian maksimum dangan kompensasi resiko tertentu. Informasi yang digunakan dalam pasar modal ialah informasi yang bermakna bagi investor, dalam konteks informasi yang mampu mengubah keyakinan (belief) atau pengharapan (expectation) dari investor dan dapat membantu dalam memprediksi hasil-hasil di masa datang dari berbagai alternatif tindakan yang kesemuanya menyebabkan seseorang melakukan transaksi di pasar modal. Menurut Weston dan Copelland (1991: 141), suatu informasi didefinisikan sebagai: ”Seperangkat pesan atau berita yang dapat digunakan untuk mengubah si penerima dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya”. Artinya informasi diperlukan untuk menetapkan harga surat berharga yang mencerminkan hubungan resiko dan hasil pengembalian. Sedangkan bagi investor informasi tersebut berguna untuk mendapatkan portofolio yang mencerminkan preferensinya sendiri dalam memperoleh tingkat pengembalian maksimum dengan tingkat resiko tertentu. Disisi lain fakta dalam berbagai penelitian di bidang pasar modal dan mengenai perilaku keuangan (behavioral finance) menyatakan bahwa terdapat beberapa penyimpangan yang terjadi yang dapat mempengaruhi harga saham. Penyimpangan tersebut diantaranya adalah implikasi dari fenomena reaksi berlebihan yaitu bahwa para pelaku pasar tidak semuanya terdiri dari orang-orang yang rasional dan juga tidak emosional. Sebagian para pelaku pasar bisa bereaksi berlebihan terhadap informasi, terlebih lagi jika informasi tersebut adalah informasi buruk, para pelaku pasar akan secara emosional segera menilai saham terlalu rendah. Untuk menghindari kerugian para investor akan berperilaku irrasional dan menginginkan menjual saham-saham yang berkinerja buruk dengan cepat. Peristiwa yang dianggap dramatis oleh para investor, dapat menyebabkan para investor bereaksi secara berlebihan (overreaction). Para investor akan melakukan hal-hal yang mungkin tidak rasional terhadap saham-saham yang ada. Reaksi berlebihan ditunjukkan dengan adanya perubahan harga saham dengan menggunakan return dari sekuritas yang bersangkutan. Reaksi ini dapat diukur dengan abnormal return dari sekuritas yang ada. Return saham ini akan menjadi terbalik dalam fenomena reaksi berlebihan. Saham-saham yang biasanya diminati pasar dan mempunyai return tinggi, akan menjadi kurang diminati. Sedangkan saham-saham yang bernilai rendah dan kurang diminati akan mulai dicari oleh pasar. Kondisi ini akan mengakibatkan return saham yang sebelumnya tinggi menjadi rendah, dan return yang sebelumnya rendah akan menjadi tinggi. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya abnormal return positif dan negatif. Hasil penelitian mengenai pola perubahan return saham di pasar modal memberikan kesimpulan yang berbeda-beda dan beragam. Dalam artikelnya De Bondt dan Thaler (1985) menyatakan bahwa penelitian mereka membuktikan bahwa saham­-saham yang sebelumnya berkinerja buruk (loser) selanjutnya membaik dan sebaliknya saham-saham yang sebelumnya berkinerja baik (winner) selanjutnya memburuk pada sekitar 36 bulan kemudian. Mereka menjelaskan fenomena harga saham yang tidak normal ini sebagai bukti bahwa pasar bereaksi secara berlebihan (overreaction) dalam merespon suatu informasi. Fenomena reaksi berlebihan ini menyimpulkan bahwa bahwa pasar adalah tidak efisien, karena dalam pasar yang efisien, harga saham yang ada pada saat itu bisa mencerminkan pengetahuan dan harapan dari semua investor, sehingga investor tidak mungkin tidak mengetahui antara investasi yang menguntungkan dan yang tidak menguntungkan dimasa yang akan datang berdasarkan pada harga pasar pada saat ini. Para pelaku pasar sering berperilaku irrasional terhadap pergerakan harga saham. Jenis informasi yang muncul dalam pasar modal yaitu informasi bagus (good news) dan informasi yang tidak bagus (bad news). Penelitian Sudarsono dan Suryanto (2005) menunjukkan bahwa informasi bagus (good news) seperti berita dramatis pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat-saat menjelang Oktober 2005 mengenai rencana bergabungnya Boediono ke dalam Kabinet Indonesia Bersatu disambut berbagai kalangan dengan perasaan lega di hati. Perasaan lega dihati mencuat ke permukaan sebagai “good news” dalam bentuk penguatan dua buah indeks utama di pasar finansial yaitu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan kurs mata uang dolar Amerika Serikat terhadap mata uang rupiah di pasar spot [S(IDR/USD)] yang memang sangat peka terhadap “news” di bidang politik nasional. Dari sisi berita kurang bagus (bad news) misalnya selama tahun 1995 terjadi tiga peristiwa besar dalam bulan April, September dan Oktober yang terasa diluar dari ekspektasi masyarakat umum, yaitu isu HAM, pelepasan dua tapol kakap, pemberhentian seorang menteri muda. Ketiga hal yang berkategori “unanticipated” tersebut membawa pengaruh pada penurunan IHSG yang cukup nyata sebagai pernyataan rasa kecewa masyarakat Para pelaku pasar biasanya akan memasang tarif yang terlalu tinggi terhadap suatu berita yang dianggap bagus (good news) dan akan memasang tarif yang rendah untuk berita-berita yang dianggap kurang bagus (bad news). Penelitian mengenai keberadaan reaksi berlebihan seringkali menggunakan data saham yang dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok saham (portofolio) loser dan kelompok saham (portofolio) winner. Kelompok saham yang disebut loser yaitu kelompok saham yang konsisten mengalami penurunan besar harga, sedangkan kelompok saham yang disebut kelompok winner yaitu kelompok saham yang konsisten mengalami kenaikan besar harga . Penyebab perubahan besar harga pada saham golongan loser dan saham golongan winner, antara lain disebabkan karena adanya informasi buruk (bad news) dan informasi bagus (good news) yang diterima oleh para pelaku pasar, sehingga para pelaku pasar melakukan reaksi. Penelitian mengenai hipotesis pasar efisien (efficient market hypotesis atau EMH) juga banyak dilakukan dalam perkembangan pasar modal Indonesia. Penelitian efisiensi pasar ini juga berkenaan dengan reaksi pasar yang tercermin dalam penyesuaian harga saham dari suatu informasi baru. Diketahui pula fenomena reaksi berlebihan dapat digunakan untuk menilai tentang keefisienan pasar, khususnya pelaku pasar di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis berdasarkan data harian selama tiga tahun (2004-2007) apakah terjadi overreaksi para pelaku pasar modal sehingga terdapat perbedaan average abnormal return yang signifikan antara portofolio loser dan portofolio winner. 

Kerangka Pemikiran Teoritis dan Pengembangan Hipotesis
Efisiensi Pasar Modal 
Secara umum efisiensi pasar didefinisikan oleh (Beaver 1968, dalam Jogiyanto 1998) sebagai hubungan antara harga-harga sekuritas dengan informasi. Fama (1970) menyajikan 3 macam bentuk utama dari efisiensi pasar berdasarkan ketiga macam bentuk dari informasi, yaitu informasi masa lalu, informasi sekarang yang sedang dipublikasikan dan informasi privat, yaitu: (1) Bentuk Efisien Pasar Modal; (2) Efisiensi pasar bentuk lemah (weak form); (3) Efisiensi pasar bentuk setengah kuat (semi strong form). 

Efisiensi pasar bentuk lemah (weak form) merupakan pasar yang harga-harga dari sekuritasnya secara penuh mencerminkan (fully reflect) informasi masa lalu Sebagai contoh, harga saham tampak mengalami kenaikan setiap awal bulan dan turun setiap akhir bulan. Jadi pada pasar modal efisiensi bentuk lemah, harga saham mengikuti kecenderungan tersebut. Investor dan perusahaan efek akan merealisasi kecenderungan tersebut dan cenderung menggunakannya untuk menentukan harga saham. 

Sedangkan, Efisiensi pasar bentuk setengah kuat (semi strong form) merupakan pasar yang harga-harga dari sekuritasnya mencerminkan (fully reflect) semua informasi yang dipublikasikan. Pada bentuk ini, investor tidak dapat memperoleh abnormal return dengan memanfaatkan public information. Para peneliti telah menguji keadaan ini dengan melihat peristiwa-peristiwa tertentu seperti penerbitan saham baru, pengumuman laba dan dividen perkiraan tentang laba perusahaan, perubahan praktek-praktek akuntasi, merger, dan pemecahan saham. Kebanyakan informasi-informasi ini dengan cepat dan tepat dicerminkan dalam harga saham.

Selanjutnya, Efisiensi pasar bentuk kuat (strong) merupakan Pasar yang harga-harga dari sekuritasnya secara penuh mencerminkan (fully reflect) semua informasi termasuk informasi privat.( tingkat efisiensi pasar yang tinggi) Konsep ini mengandung arti bahwa semua informasi baik informasi yang sifatnya umum maupun khusus, direfleksikan dalam mendapatkan informasi yang sama kualitas dan jumlahnya dan yang diterima pada saat yang sama, sehingga tidak ada investor yang dapat menikmati keuntungan tidak normal diatas kerugian investor yang lainnya. Informasi yang tidak dipublikasikan adalah informasi yang bersifat khusus, dalam artian diketahui oleh orang dalam dan bersifat rahasia karena alasan strategi. Pada pasar bentuk kuat berarti sudah mencapai efisiensi bentuk yang sempurna (Sunariyah, 1997).

Overreaction (Reaksi berlebihan)
Menurut De Bond and Thaler, Overreaction pada dasarnya menyatakan bahwa pasar telah bereaksi secara berlebihan terhadap suatu informasi. Para pelaku pasar cenderung menetapkan harga saham terlalu tinggi terhadap informasi yang dianggap bagus oleh para pelaku pasar dan sebaliknya, para pelaku pasar cenderung menetapkan harga terlalu rendah terhadap informasi buruk. Koreksi terhadap informasi pada periode berikutnya yang terjadi secara berlebihan, signifikan dan berulang. Inilah yang dikatakan overreaction. Secara psikologis, pelaku pasar cenderung memberikan reaksi dramatik terhadap berita yang jelek. Beberapa teori secara umum menyebutkan bahwa perilaku para investor bereaksi berlebihan (overreact) terhadap adanya berita mengenai informasi peristiwa, baik itu peristiwa keuangan maupun bukan peristiwa keuangan yang tak terduga dan dramatis yang tidak diantisipasi sebelumnya. Beberapa event yang tidak diantisipasi mempengaruhi seluruh ekonomi yang ada dan mempengaruhi harga saham secara signifikan, baik itu apresiasi saham maupun depresiasi saham. reaksi berlebihan memberikan perilaku prinsipal terhadap para pelaku pasar yang akan mempengaruhi banyak konteks. Ketika para pelaku pasar berekasi berlebihan terhadap informasi tak terduga sebelumnya, maka saham-saham yang golongan loser akan mengungguli winner. Maka gejala – gejala dari tindakan overreaction dalam menyikapi informasi yang kemudian mengimbas terhadap harga saham adalah sebagai berikut :
1. Saham yang mempunyai return tinggi kurang diminati dan saham yang bernilai rendah akan dicari pasar.
2. Return saham yang sebelumnya tinggi menjadi rendah dan sebaliknya, return saham yang sebelumnya rendah menjadi tinggi.
3. Saham yang sebelumnya berkinerja buruk (loser) selanjutnya membaik dan sebaliknya, saham yang sebelumnya berkinerja baik (winner) akan memburuk. 

Penelitian terdahulu 
Beberapa penelitian yang berkaitan dengan overreaction (reaksi berlebihan) antara lain Rahmawati dan Tri Suryani (2005) melakukan penelitian dengan judul “Over Reaksi Pasar Terhadap Harga Saham Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Jakarta” menyimpulkan bahwa terdapat indikasi reaksi berlebihan (over reaction) yang ditandai dengan portofolio loser mengungguli portofolio winner. Efek reaksi berlebihan ini terjadi tidak dalam kurun waktu yang konstan lama, tetapi terjadi secara terpisah-pisah atau separatis. Penelitian ini dapat juga memberikan penjelasan bahwa pasar modal di Indonesia, khususnya sektor manufaktur dalam kondisi efisiensi pasar dalam bentuk lemah (weak form). Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh De Bondt dan Thaler (1985) dan penelitian Sukmawati dan Hermawan (2003).

Wibowo dan Sukarno (2004) meneliti tentang reaksi berlebihan dengan melihat ukuran perusahaan. Wibowo dan Sukarno mengadakan pengujian terhadap saham harian selama tahun 2000 di Bursa Efek Jakarta. Hasil dari penelitian tersebut tidak ditemukan bahwa reaksi berlebihan berhubungan dengan ukuran perusahan, baik perusahaan kecil maupun perusahaan besar. Dalam penelitiannya juga ditemukan bahwa saham loser mempunyai kecenderungan untuk menjadi winner, tetapi winner tidak mempunyai kecenderungan untuk menjadi loser. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Iswandari.

Sukmawati dan Hermawan (2003) melakukan penelitian mengenai Overreaction Hypotesis dengan cara pembentukan portofolio yang dijadikan enam portofolio, dimana portofolio tersebut terdiri dari tiga portofolio golongan loser dan tiga portofolio golongan winner. Dalam penelitian Sukmawati dan Hermawan tersebut menguji keberadaan reaksi berlebihan yang digunakan untuk memprediksikan pola portofolio loser mengungguli pola portofolio winner. Mereka menemukan bahwa portofolio loser terbukti mengungguli portofolio winner, dan terjadi secara separatis dan terpisah-pisah selama beberapa waktu. 

Fenomena pembalikan harga jangka pendek oleh Iswandari (2001) dengan menggunakan data harga saham harian selama tahun 1998 dan ditemukan bahwa reaksi berlebihan hanya terjadi pada saham-saham loser dan bukan pada saham winner dengan menggunakan model market dan model disesuaikan rata-rata. Reaksi berlebihan yang terjadi pada saham loser diduga karena periode data yang digunakan dalam penelitian adalah tahun 1998 dimana pada tahun tersebut Indonesia sedang mengalami krisis berat, sehingga para pelaku pasar ragu bahwa informasi yang diterimanya adalah informasi bagus. Sebagian peneliti mencurigai bahwa pembalikan harga bukan karena reaksi berlebihan tapi karena pengaruh bid-ask spread. Iswandari melakukan pengujian juga pada pengaruh bid-ask spread terhadap pembalikan harga saham loser tidak pada saham winner karena saham yang bereaksi berlebihan adalah saham loser bukan pada saham winner.

Daniel dan Subramanyan (1998) mengatakan bahwa terdapat informasi yang disediakan untuk para investor atau disebut dengan informasi publik, dan juga ada informasi yang tidak disediakan untuk para investor atau informasi privat. Disini dinyatakan bahwa harga saham dipengaruhi oleh informasi yang disediakan untuk investor. Berdasarkan kedua informasi ini menjadikan dua bias psycology yang menyebabkan pasar overreaction dan underreaction. Bias tersebut yaitu investor terlalu percaya diri terhadap kebenaran dari informasi prifat (over confidence) dan bias self attribution yaitu sifat dasar dari pribadi para investor. 

Fama (1997) meneliti mengenai efisiensi pasar, return jangka panjang dan perilaku keuangan. Fama menyatakan bahwa pasar lebih sering overreaction daripada underreaction terhadap informasi. Dalam penelitiannya ditemukan bahwa terjadi overreaction dalam jangka panjang dan terjadi underreaction dalam jangka pendek. Fama berpendapat bahwa terdapat dua bias informasi yang mempengaruhi harga saham. Pertama yaitu bias overconfidence yaitu pasar terlalu percaya diri, dan hal ini menyebabkan para investor tersebut terlalu melebih-lebihkan pribadinya dalam menilai saham. Kedua yaitu sifat dasar dari seseorang atau disebut self attribution, yang menyebabkan investor menjatuhkan penilaian publik atas nilai saham, yang terjadi pada saat penilaian publik terhadap nilai saham berbeda dengan penialian investor secara pribadi.

Dissanaike (1997) menyatakan jika investor secara rutin reaksi berlebihan terhadap informasi baru, harga saham yang biasanya cenderung loser akan berubah dan bergerak menjadi winner. Penelitiannya membuktikan bahwa terjadi anomali pada harga saham. Overreaction hypotesis adalah sebagai kontradiksi terhadap hipotesis pasar yang efisien, yang mana merupakan sebuah bagian dari integral dari ekonomi keuangan modern. Overreaction hypotesis pada kenyataannya mengindikasikan bahwa bentuk efisiensi pasar dalam bentuk lemah secara informasi dan juga mengimplikasikan bentuk efisiensi pasar setengah kuat. Overreaction hypotesis juga mengimplikasikan ketidakefisienan pasar karena harga terlalu bereaksi dan tidak adanya rasio (irrasional) terhadap perkiraan hasil dimasa depan. 

Susiyanto (1997) menguji keberadaan reaksi berlebihan di Bursa Efek Jakarta. Susiyanto menggunakan data mingguan selama periode 1994-1996 dan dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa portofolio saham yang tiga bulan sebelumnya memperlihatkan abnormal return positif (winner) mengalami reaksi yang berlebihan yaitu memperoleh abnormal return negatif dalam periode tiga bulan sesudahnya. Namun Susiyanto tidak menemukan adanya reaksi berlebihan pada portofolio saham yang sebelumnya memperlihatkan abnormal return negatif (loser). Susiyanto menginterpretasikan penelitiannya bahwa para investor di Bursa Efek Jakarta lebih sering merespon secara berlebihan pada informasi positif dibandingkan dengan informasi negatif. 

Sartono dan Yarmanto (1996) mendokumentasi reaksi berlebihan (overreaction) pada pasar saham Indonesia dengan menggunakan model Damodoran. Tujuan utama dari studi mereka adalah untuk mengukur penyesuaian pasar dan bagaimana informasi baru diserap secara efektif. Dan penemuan itu membuktikan bahwa Bursa Efek Jakarta cenderung bereaksi berlebihan terhadap informasi terbaru. 

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Jegadeesh dan Titman (1995) menemukan bahwa harga reaksi berlebihan terhadap informasi spesifik perusahaan dan menunda reaksi tehadap informasi yang biasa dan normal terjadi. Penundaan reaksi karena faktor­-faktor umum ini menimbulkan hubungan ukuran yang mempunyai efek yang tidak lancar dalam return saham. Keuntungan yang berbalik arah dikarenakan harga saham yang reaksi berlebihan dan hanya sedikit dari keuntungan yang dapat diberikan pada efek lead-lag. Keuntungan yang berlawanan pada dasarnya disebabkan oleh beberapa saham yang bereaksi lebih cepat dari saham lainnya. Dalam penelitian ini, diuji sifat dari reaksi harga saham terhadap faktor-faktor normal atau biasa, dan terhadap informasi spesifik perusahaan. Pembalikan pada komponen spesifik perusahaan terhadap return diintepretasikan sebagai koreksi atas reaksi berlebihan yang terjadi sebelumnya, walaupun ada juga kemungkinan intepretasi lain. 

Lo dan Mackinlay (1990) menyatakan bahwa adanya overreaction dalam penelitian mereka dengan ditandainya return pada beberapa saham secara sistematis mengalami kemajuan (lead) atau mengalami kemunduran (lag) dari pada return saham yang lain, penggunaan strategi menjual saham golongan winner dan membeli saham golongan loser, akan dapat menghasilkan expected return yang positif. Pengujian hypotesis terhadap harga saham dipasar modal secara umum berfokus pada sekuritas secara individu maupun secara pengelompokan menjadi portofolio. Dalam penelitian Lo dan Mackinlay ini, ditunjukkan bahwa interaksi cross-sectional dari return sekuritas adalah aspek yang penting dalam dinamika perubahan harga saham. 

Pengembangan Hipotesis
Overreaction Hypotesis pada dasarnya menyatakan bahwa pasar telah reaksi berlebihan terhadap suatu informasi. Secara psikologis, pelaku pasar cenderung memberikan reaksi dramatik terhadap berita yang jelek. De Bondt dan Thaler membagi portofolio dalam kelompok portofolio yang konsisten mendapatkan earning (winner) dan portofolio yang konsisten tidak mendapat earning (loser). Koreksi terhadap informasi tersebut pada periode berikutnya jika dalam jangka pendek, koreksi dilakukan secara berlebihan, signifikan dan berulang. Inilah yang dikatakan overreaction. DeBond dan Thaler merilis penelitian tentang Overreaction terhadap harga saham pada tahun 1985 diikuti dengan penelitian selanjutnya yang dilakukan baik didalam negeri maupun di luar negeri misalnya Rahmawati dan Tri Suryani (2005) melakukan penelitian dengan judul “Over Reaksi Pasar Terhadap Harga Saham Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Jakarta” menyimpulkan bahwa terdapat indikasi reaksi berlebihan (over reaction) yang ditandai dengan portofolio loser mengungguli portofolio winner. Efek reaksi berlebihan ini terjadi tidak dalam kurun waktu yang konstan lama, tetapi terjadi secara terpisah-pisah atau separatis. Sukmawati dan Hermawan (2003) melakukan penelitian mengenai Overreaction Hypotesis dengan cara pembentukan portofolio yang dijadikan enam portofolio, dimana portofolio tersebut terdiri dari tiga portofolio golongan loser dan tiga portofolio golongan winner. Mereka menemukan bahwa portofolio loser terbukti mengungguli portofolio winner, dan terjadi secara separatis dan terpisah-pisah selama beberapa waktu. Dissanaike (1997) menyatakan jika investor secara rutin reaksi berlebihan terhadap informasi baru, harga saham yang biasanya cenderung loser akan berubah dan bergerak menjadi winner. Berdasarkan penjelasan literatur dan penelitian terkait diatas maka, hipotesis penelitian ini adalah : 

“Terdapat perbedaan average abnormal return yang signifikan antara portofolio loser dan portofolio winner”

Metode Penelitian
Populasi dan Prosedur Penentuan Sampel
Populasi penelitian ini adalah perusahaan – perusahaan yang terdaftar di BEJ (Bursa Efek Jakarta) tahun 2004 – 2007. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling. Kriteria-kriteria pengambilan sampel penelitian ini antara lain: 
1. Saham perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta pada periode Januari 2004 sampai Desember 2007 .
2. Perusahaan yang konsisten sahamnya diperdagangkan pada periode pengamatan yaitu dari tahun 2004-2007.
3. Pada Portofolio Winner, sampel harga saham perusahaan diambil berdasarkan harga yang mengalami trend naik. Jangka waktu pengambilan sampel untuk menentukan portofolio winner adalah dari Januari 2004 sampai Desember 2004.
4. Pada Portofolio Loser, sampel harga saham perusahaan diambil berdasarkan harga yang mengalami trend menurun. Jangka waktu pengambilan sampel untuk menentukan portofolio loser adalah dari Januari 2004 sampai Desember 2004.

Berdasarkan kriteria – kriteria tersebut diatas , maka diperoleh sampel sebanyak 20 perusahaan yang digolongkan kedalam portofolio winner dan 20 perusahaan yang digolongkan dalam portofolio loser. Kemudian dari 20 perusahaan yang masuk portofolio winner akan dipecah lagi menjadi 4 portofolio winner yang masing-masing satuan portofolionya dialokasikan 5 perusahaan, demikian juga sekumpulan perusahaan loser. 

Hasil Penelitian
Hasil penghitungan dengan menggunakan Mean Adjusted Model 
Inti dari Mean Adjusted Model adalah menghitung angka Expected Return atau tingkat kembalian yang dihitung berdasarkan rata-rata return saham pada periode sebelumnya (periode estimasi) yang dirata-rata dan kemudian angka tersebut dikonstankan untuk diperbandingkan dengan angka return saham pada periode pengamatan. Hasilnya sebagai berikut :

1. Grafik Average Abnormal return Portofolio Winner dan Portofolio Loser (versi Model Disesuaikan Rata-rata).

Pada gambar secara keseluruhan baik portofolio loser maupun portofolio winner memiliki average abnormal return yang bergerak disekitar angka nol, walaupun ada beberapa periode yang terlihat nampak lebih ekstrim kearah negatif dan kearah positif.

Nilai average abnormal return kelompok portofolio loser mengungguli kelompok portofolio winner terjadi pada beberapa periode. Portofolio loser mengungguli portofolio winner tampak jelas terjadi pada bulan Januari, Mei, oktober 2005, tepatnya sekitar tanggal 19 Januari 2005, 30 Mei 2005 dan 6 Oktober 2005 selanjutnya pada tahun 2006 dan 2007 pergerakan harga saham relatif stabil. Kemudian jika kita sorot pada titik puncak portofolio loser maka angka average abnormal return pada tanggal 19 Januari 2005 sebesar 0,281 dan pada tanggal yang sama average abnormal return winner sebesar 0,012, tanggal 30 Mei 2005 portofolio loser 0,320 dan winner -0,003, tanggal 6 Oktober 2005 loser 0,095 dan winner -0,008. Pada tahun 2006 dan 2007 tidak nampak bahwa portofolio loser mengungguli portofolio winner, tetapi kedua portofolio tersebut cenderung memilki reaksi yang hampir sama yaitu berkisar disekitar angka nol.

2. Grafik Cumulative Abnormal Return Portofolio Winner dan Portofolio Loser (versi Model Disesuaikan Rata-rata).
Pada gambar diatas terlihat bahwa Cumulative Abnormal Return (CAR) terendah terjadi pada portofolio dua sedangkan Cumulative Abnormal Return (CAR) tertinggi terjadi pada portofolio tujuh. Walaupun tiga portofolio baik loser maupun winner juga berfluktuasi secara tajam tetapi dalam pengamatan kali ini akan membandingkan 1 portofolio yang paling ekstrem baik negatif maupun positif antara portofolio loser maupun portofolio winner.

3. Grafik Average Abnormal Return Portofolio 2 representasi winner dan Portofolio 7 representasi loser (versi Model Disesuaikan Rata-rata).

Pada gambar secara khusus hanya ditujukan untuk portofolio dua dan portofolio tujuh, dengan alasan portofolio dua dan portofolio tujuh adalah portofolio yang paling ekstim memiliki abnormal return negatif dan positif, dengan tujuan agar menggambarkan lebih jelas antara portofolio winner dan portofolio loser. 

Grafik tersebut memperlihatkan bahwa portofolio dua relatif stabil hanya bergerak disekitar angka nol, sebaliknya pada portofolio tujuh terjadi fluktuasi positif yang tajam disekitar tanggal 30 Mei 2005 tampak pada tanggal tersebut portofolio tujuh mengungguli portofolio dua pada angka 1.301 dan -0.008, pada tahun 2006 sampai 2007 kedua portofolio relatif stabil.

4. Uji Beda yang dilakukan untuk mengetahui tingkat signifikansi masing-masing Average Abnormal Return portofolio winner maupun loser (versi Model Disesuaikan Rata-rata).

Dari tabel hasil pengujian hipotesis untuk perbedaan signifikansi average abnormal return antara saham loser dan saham dengan winner menunjukkan bahwa seluruh saham golongan loser memiliki mean sebesar 0.00359 dan saham golongan winner memiliki mean sebesar -0.00337. Dalam tabel 4.2 Untuk nilai t hitung sebesar -7.991 dan t tabel sebesar 1.960, dan tingkat signifikansi sebesar 0.000 lebih kecil dari 0.050. Berarti bahwa Ha yang diajukan diterima yaitu terdapat perbedaan yang signifikan antara average abnormal return seluruh saham loser dan average abnormal return seluruh saham winner. 

Hasil penghitungan dengan menggunakan Market Adjusted Model 
Inti dari Model Disesuaikan Pasar atau Market Adjusted Model adalah bahwa angka expected return adalah sama dengan return pasar. Angka return pasar direpresentasikan dari composite index atau Indeks Harga Saham Gabungan.

Hasilnya sebagai berikut :
1. Grafik Average Abnormal Return Portofolio Winner dan Portofolio Loser (versi Model Disesuaikan Pasar).

Pada gambar secara keseluruhan baik portofolio loser maupun portofolio winner memiliki average abnormal return yang bergerak disekitar angka nol, walaupun ada beberapa periode yang terlihat nampak lebih ekstrim kearah negatif dan kearah positif. Nilai average abnormal return kelompok portofolio loser mengungguli kelompok portofolio winner terjadi pada beberapa periode. Portofolio loser mengungguli portofolio winner tampak jelas terjadi pada bulan Januari, Mei, Oktober 2005, tepatnya sekitar tanggal 19 Januari 2005, 30 Mei 2005 dan 6 Oktober 2005. Selanjutnya pada tahun 2006 dan 2007 pergerakan harga saham relatif stabil. Kemudian jika kita sorot pada titik puncak portofolio loser maka angka average abnormal return pada tanggal 19 Januari 2005 sebesar 0,270 dan pada tanggal yang sama average abnormal return winner sebesar 0,007, tanggal 30 Mei 2005 portofolio loser 0,318 dan winner 0,00 tanggal 6 Oktober 2005 loser 0,101 dan winner 0,004. Pada tahun 2006 dan 2007 tidak nampak bahwa portofolio loser mengungguli portofolio winner, tetapi kedua portofolio tersebut cenderung memilki reaksi yang hampir sama yaitu berkisar disekitar angka nol. Hasilnya relatif sama dengan Model Disesuaikan Rata-rata.

2. Grafik Cumulative Abnormal Return Portofolio Winner dan Portofolio Loser (versi Model Disesuaikan Pasar).

Pada gambar terlihat bahwa Cumulative Abnormal Return (CAR) terendah terjadi pada portofolio dua sedangkan Cumulative Abnormal Return (CAR) tertinggi terjadi pada portofolio tujuh. Walaupun tiga portofolio baik loser maupun winner juga berfluktuasi secara tajam tetapi dalam pengamatan kali ini akan membandingkan 1 portofolio yang paling ekstrem baik negatif maupun positif antara portofolio loser maupun portofolio winner. Hasilnya juga relatif sama apabila penghitungan menggunakan Model Disesuaikan Rata-rata.

3. Grafik Average Abnormal Return Portofolio 2 representasi winner dan Portofolio 7 representasi loser (versi Model Disesuaikan Pasar).

Pada gambar 4.6 secara khusus hanya ditujukan untuk portofolio 2 dan portofolio 7, dengan alasan portofolio 2 dan portofolio 7 adalah portofolio yang paling ekstim memiliki abnormal return negatif dan positif, dengan tujuan agar menggambarkan lebih jelas antara portofolio winner dan portofolio loser. 

Grafik tersebut hasilnya sama apabila penghitungan menggunakan Model Disesuaikan Rata-rata yaitu memperlihatkan bahwa portofolio 2 relatif stabil hanya bergerak disekitar angka nol, sebaliknya pada portofolio 7 terjadi fluktuasi positif yang tajam sekitar tanggal 30 Mei 2005. Tampak pada tanggal tersebut portofolio 7 mengungguli portofolio 2 pada angka 1.300 dan -0.004, pada tahun 2006 dan 2007 kedua portofolio relatif stabil.

4. Uji Beda yang dilakukan untuk mengetahui tingkat signifikansi masing-masing Average Abnormal Return portofolio winner maupun loser (versi Model Disesuaikan Pasar).

Dari tabel hasil pengujian hipotesis untuk perbedaan signifikansi average abnormal return antara saham loser dan saham dengan winner menunjukkan bahwa seluruh saham golongan loser memiliki mean sebesar 0.00130 dan saham golongan winner memiliki mean sebesar -0.00049. Dalam tabel 4.4 Untuk nilai t hitung sebesar -1.711 dan t tabel sebesar 1.960, dan tingkat signifikansi sebesar 0.087 lebih besar dari 0.050. Berarti bahwa H0 yang diajukan diterima yaitu tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara average abnormal return seluruh saham loser dan average abnormal return seluruh saham winner. Penghitungan menggunakan Mean Adjusted Model menghasilkan terdapat perbedaan yang signifikan antara portofolio winner dengan portofolio loser kemudian penghitungan menggunakan Market Adjusted Model tidak ada perbedaan signifikan antara portofolio winner dengan portofolio loser.

Manajemen Sistem Informasi Dalam Memperlancar Arus Informasi Untuk Meningkatkan Mutu Perencanaan Pembangunan Daerah

Manajemen Sistem Informasi Dalam Memperlancar Arus Informasi Untuk Meningkatkan Mutu Perencanaan Pembangunan Daerah 
Kita ketahui bersama bahwa informasi yang merupakan salah satu kunci keberhasilan dari sistem informasi yang handal, tlah menjadi kebutuhan mutlak dalam penyelenggaraan kehidupan di segala bidang, serta untuk mendukung upaya pembangunan. Sistem informasi telah berkembang seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang bgitu cepat, serta mempunyai peran yang besar dalam kegiatan perekonomian dan strategi penyelenggaraan pembangunan. Keberadaan sistem informasi selama ini dapat mendukung peningkatan efisiensi, efektivitas dan produktivitas organisasi pemerintah dan dunia usaha, serta mendorong terwujudnya masyarakat yang maju dan sejahtera. Oleh sebab itu, dalam repelita VI ini pengembangan sistem informasi yang handal ditempatkan sebagai bagian integral dalam pembangunan nasional.

Dalam GBHN 1993 telah diamanatkan pentingnya pengembangan sistem informasi dalam berbagai sektor yang sejalan dengan upaya untuk terus meningkatkan terciptanya jaringan informasi yang andal, efisien serta mampu mendukung industrialisasi dan upaya pemerataan pembangunan. Amanat GBHN 1993 tersebut telah dijabarkan ke dalam Repelita VI melalui bab khusus mengenai " sistem Informasi dan Statistik" (bab 45). Hal ini menunjukkan adanya komitmen yang kuat dan perhatian yang semakin besar dari Pemerintah dalam pengembangan sistem informasi dalam era informasi yang semakin pesat perkembangannya dewasa ini. 

Pengertian sistem informasi (SI) sendiri, sebagaimana dikemukakan dalam Repelita VI adalah suatu kesatuan tatanan yang terdiri atas organisasi, manajemen, teknologi, himpunan data, dan sumber daya manusia yang mampu menghasilkan dan menyampaikan informasi secara cepat, tepat, lengkap dan akurat untuk mendukung berbagai upaya dalam mewujudkan sasaran yang dikehendaki. 

Dalam kaitannya dengan sistem informasi yang dibutuhkan, dimanfaatkan, dan dikembangkan bagi keperluan pembangunan di daerah, dapat dikemukakan disini bahwa sistem informasi yang terutama diarahkan untuk menunjang perencanaan pembangunan daerah merupakan bagian integral dari sistem informasi manajemen nasional (SIMNAS), serta termasuk sebagai salah satu komponen integral dari sistem informasi perencanaan pembangunan nasional (SIMRENAS) yang dewasa ini tengah dibangun Bappenas. Dalam konteks ini, keberadaan dari SIM pembangunan daerah tidak terlepas dan saling terkait dengan SIM lainnya baik di tingkat pusat maupun daerah, dalam rangka mewujudkan pembangunan SIMNAS yang berdayaguna dan berhasilguna. Untuk itu, perlu diciptakan suatu pola kemitraan kerja dan jaringan sistem informasi antarinstansi dan antara pusat dengan daerah secara serasi, dengan tetap memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masing-masing dalam konstelasi pengembangan SIMNAS secara keseluruhan. 

Melalui tulisan ini, akan dicoba dikemukakan beberapa isyu pokok dalam pengembangan sistem informasi pembangunan di daerah dalam rangka menunjang proses perencanaan pembangunan daerah secara lebih berdayaguna dan berhasilguna. Pembahasan selanjutnya akan difokuskan kepada kinerja pengembangan basis data dan informasi pembangunan yang selama ini dikelola dan dikembangkan oleh daerah, serta upaya pendayagunaan dan pengembangannya lebih lanjut, dalam lingkup pengembangan SIM pada skala yang lebih luas di tingkat nasional. 

KINERJA PENGEMBANGAN BASIS DATA DAN INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH
Secara historis, penyusunan dan pengembangan data dan informasi bagi pembangunan daerah telah dimulai sejak tahun 1988 yang lalu dengan pengembangan data pokok pembangunan daerah melalui program penyusunan peta penyebaran pembangunan daerah di masing-masing dati I dan dati II, yang pada TA 1990/91 diatur melalui Inmendagri Nomor 23 Tahun 1990 tentang Penyusunan dan Pemanfaatan Data Pokok Pembangunan untuk Perencanaan, Pelaksanaan, dan Pemantauan Pembangunan di Daerah. Dalam rangka pengembangannya, pada kurun lima tahun terakhir ini melalui pendanaan bersama APBN dan APBD telah pula dilakukan pelatihan komputerisasi terhadap aparat Bappeda Tingkat I dan Tingkat II seluruh Indonesia, dengan menggunakan program GIS software Delta-9B yang telah dikembangkan dengan menggunakan bahasa Indonesia untuk memudahkan calon user/operator dari daerah yang dilatih. 

Di dalam perkembangannya selama delapan tahun hingga TA 1996/97 ini, telah dirasakan perlu adanya penyesuaian terhadap dasar hukum pengelolaan data pokok pembangunan daerah, atau diperlukan adanya penyesuaian terhadap Inmendagri No. 23 Tahun 1990, yang nampaknya sudah kurang akomodatif terhadap perkembangan yang terjadi selama 8 tahun terakhir ini. Sebagai contohnya, Inmendagri 23/1990 masih sangat berorientasi pada peran Kantor Agraria (BPN) di daerah dalam menyediakan peta dasar pembangunan daerah. Selain itu, Inmendagri tersebut juga belum sama sekali mempertimbangkan aspek penataan ruang wilayah/daerah (RTRW) sebagai salah satu dokumen utama perencanaan. 

Sejalan dengan diterbitkannya UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, maka perlu adanya penyesuaian terhadap beberapa konsideran pokok dalam pengembangan data pokok pembangunan daerah, seperti: (i) konsiderasi 'time frame' RTRW dati I dan dati II yang relatif berjangka menengah dan panjang; (ii) skala peta RTRW dati I (1:250.000) dan RTRW dati II (1:100.000) juga perlu disesuaikan dengan peta data pokok; (iii) konsiderasi penetapan kawasan lindung, kawasan budidaya (kawasan andalan dan sektor unggulan), dan kawasan tertentu yang telah ditetapkan oleh masing-masing RTRW dati I dan dati II; dan (iv) instansi koordinator dari pengelolaan tata ruang daerah yang tidak lagi didominasi oleh peran Kanwil/Kantor BPN, namun oleh Bappeda tingkat I dan tingkat II. 

Ketersediaan data dan informasi geografis yang memadai sangat diperlukan dalam penataan ruang, agar usaha optimasi pemanfaatan ruang wilayah dapat dicapai. Data dan informasi geografis yang diperlukan dalam tahap perencaaan tata ruang wilayah adalah data dan informasi geografis yang beraspek sumber daya alam sebagai faktor penunjang dan unsur-unsur pembatas lingkungan fisik sebagai faktor kendala. Data SIG sumber daya alam antara lain meliputi: (a) sumber daya lahan, (b) sumber daya air, dan (c) sumber daya mineral dan energi. Sedangkan data pembatas lingkungan terdiri dari (a) pembatas alami (data potensi bencana alam) dan (b) pembatas yang timbul akibat ulah manusia (seperti penurunan kualitas lingkungan). Berbagai data geografis yang beraspek sumber daya alam dan unsur pembatas di atas ditampilkan ke dalam peta-peta tematik atau peta kompilasi yang mudah dibaca dan dimengerti oleh para perencana ruang wilayah. 

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa sistem informasi sangat dibutuhkan dan merupakan kebutuhan pokok dalam rangka peningkatan kualitas penataan ruang, yang dalam rangka itu perlu dilakukan perluasan cakupan sistem informasi yang telah ada pada berbagai instansi saat ini menjadi suatu sistim yang terpadu yang menghimpun informasi mengenai ruang wilayah daratan, ruang wilayah lautan dan ruang udara beserta potensi sumberdaya yang terkandung didalamnya. Dengan demikian, upaya untuk semakin memantapkan dan mengembangan manajemen sistem informasi dalam pembangunan daerah menjadi hal yang sangat mendesak untuk diwujudkan. 

Pelaksanaan berbagai proyek pembangunan yang diarahkan untuk memantapkan data pokok pembangunan daerah yang bersifat spasial, antara lain dalam bentuk sistem informasi geografis (SIG), seperti yang dikembangkan melalui proyek berbantuan luar negeri Land Resources Evaluation and Planning (LREP) dan Marine Resources Evaluation and Planning (MREP), sebenarnya sekaligus telah memperkuat kemampuan kelembagaan dan aparat perencanaan di daerah (khususnya Bappeda) di dalam membangun data pokok dan informasi neraca sumber daya alam yang ada di wilayah daratan dan wilayah laut. 

Dalam prakteknya, keberadaan SIG matra daratan dan laut tersebut di masing-masing daerah telah memberikan bantuan yang sangat penting kepada pemerintah daerah di dalam memantapkan penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW) masing-masing daerah. Pengembangan SIG di daerah tersebut, tidak hanya melalui penyediaan sarana dan prasarana piranti keras dan lunak komputer, namun juga sekaligus menembangkan kualitas sumber daya aparat perencana pemerintah daerah melalui kegiatan pelatihan yang dilaksanakan baik di dalam maupun di luar negeri. Kualitas dan kesiapan sumber daya aparatur perencana di daerah sangat vital peranannya di dalam mengembangkan dan memelihara (updating) SIG yang telah disusun, serta sekaligus dalam mengimplementasikan SIG ke dalam rencana tata ruang wilayah di daerahnya masing-masing. 

Hingga saat ini, peta topografi yang ada adalah peta topografi produk TNI-AD (non-digital) dan peta rupa bumi yang dibuat Bakosurtanal dengan informasi yang kurang terinci. Status terakhir menunjukkan bahwa kombinasi dari kedua produk peta tersebut telah mencakup 65% dari seluruh wilayah Indonesia. 

Dalam rangka penataan ruang, maka peta dasar untuk penataan ruang wilayah bagi setiap tingkatan rencana tata ruang adalah: 
  • untuk RTRW nasional, digunakan peta dasar dengan skala 1:1.000.000 yang disusun Bakosurtanal, dan 1:500.000 untuk peta lingkungan laut nasional (digital); 
  • untuk RTRW propinsi, digunakan peta dengan skala 1:250.000 (digital); 
  • untuk RTRW kabupaten, digunakan peta topografi/rupa bumi dengan skala beragam antara 1:50.000 (untuk Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi), 1:100.000 (untuk Irian Jaya dan Maluku), hingga 1:25.000 (untuk Jawa-Bali dan Nusa Tenggara). 
Sebagaimana diketahui, penyediaan peta-peta tersebut dikoordinasikan oleh Badan Koordinasi Survai dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). Dalam kaitannya dengan lebih memantapkan kegiatan penataan ruang wilayah, maka dalam upaya untuk mengatasi permasalahan ketidaktersediaan peta, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan bersama, yaitu: 
  • penyeragaman peta dasar yang digunakan dalam penataan ruang wilayah, 
  • peningkatan kemampuan aparatur dan kelembagaan pemda dalam kegiatan pemetaan dan penataan ruang wilayah. Selain itu, perlu diupayakan pula sinkronisasi dan penyeragaman legenda dan nomenklatur peta, khususnya mengenai penggunaan lahan baik yang bersifat umum maupun yang khusus untuk masing-masing instansi sektoral terkait. 
BEBERAPA ISU PENGELOLAAN (MANAJEMEN) DATA DAN INFORMASI BAGI PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DALAM REPELITA VI
Dalam kaitannya dengan penyusunan basis data spasial dan sumber daya alam di tingkat daerah, selama ini melalui pelaksanaan proyek LREP dan MREP yang dilaksanakan pada beberapa daerah sebenarnya telah semakin meningkat dan kuatnya basis data spasial daerah, serta sekaligus mendukung upaya penyusunan neraca kependudukan dan lingkungan hidup daerah (NKLD) dan neraca sumberdaya alam dan spasial daerah (NSASD) di masing-masing daerah. Walaupun demikian, keberadaan dari berbagai jenis data spasial tersebut perlu dievaluasi dan dikaji kembali hasilgunanya, khususnya dalam kaitannya dengan upaya pencapaian sasaran program penataan ruang dan inventarisasi sumber daya alam yang telah ditetapkan dalam Repelita VI ini. 

Dengan memperhatikan arahan yang telah dutuangkan dalam Inmendagri Nomor 39 Tahun 1995 tentang Penyusunan NKLD dan NSASD, maka dalam rangka meningkatkan dayaguna dan hasilguna dari pelaksanaan kedua proyek penyusunan data dasar sumber daya spasial daerah di atas (LREP dan MREP), paling tidak terdapat 3 indikator keberhasilan yang akan dinilai tingkat pencapaian sasarannya, yaitu: 
  • berfungsi secara efektifnya Provincial Data Center (Pusat Data Propinsi/PDP) atau Unit Informasi Spasial Propinsi (UISP) sebagai suatu wadah koordinasi antarinstansi dalam perencanaan pembangunan di masing-masing daerah; 
  • tersusunnya peta zonasi lahan dan kelautan tingkat propinsi dengan skala 1:250.000 sebagai acuan kerangka makro pembangunan di daerah; dan 
  • tersusunnya peta perencanaan semi ditail dengan skala 1:50.000 dan 1:250.000 di areal prioritas proyek LREP-II dan MREP, yang kesemuanya diarahkan untuk dapat dipadukan dan diselaraskan dalam rangka mewujudkan NKLD dan NSASD yang diperlukan sebagai kerangka acuan makro dan teknis dalam rangka menunjang perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan sumber daya alam sebagai potensi pembangunan daerah. 
Berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan peranan dan fungsi dari Pusat Data Propinsi (PDP) sebagai wadah koordinasi perencanaan dan pengendalian data dasar sumber daya alam spasial untuk pembangunan daerah, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai berikut: 
  • Koordinasi, sinkronisasi dan integrasi berbagai data dan informasi yang terkait dengan pemetaan sumber daya alam dan potensi daerah lainnya. Dalam hal ini, keberadaan dari peta-peta dasar spasial/geografis (SIG) yang telah dihasilkan melalui proyek LREP dan MREP (bagi 10 propinsi pelaksana) serta data pokok pembangunan daerah perlu dipadukan dan diselaraskan, termasuk dibakukan perangkat lunaknya seperti antara Arc-Info (LREP dan MREP) dengan Delta-9B (data pokok), sebagaimana telah ditegaskan melalui SE Dirjen Bangda dalam rangka menselaraskan dan menterpadukan pelaksanaan LREP dan MREP dalam rangka menunjang penyusunan NKLD dan NSASD di masing-masing daerah. 
  • Pertimbangan perlu adanya koordinasi dan optimasi keberadaan dari KPDE (kantor pengolahan data elektronik di dati I dan dati II) yang mengelola SIMDA dalam menunjang SIMDAGRI, yang ditetapkan berdasarkan Kepmendagri No. 45 Tahun 1992 (sebelum dirancangnya pembentukan PDP melalui LREP-II dan MREP). Hal ini termasuk perlu diselaraskan dan diterpadukannya peralatan yang dimiliki oleh PDE dan PDP untuk dapat lebih optimal dimanfaatkan sebagai wadah koordinasi antarinstansi dalam perencanaan pembangunan daerah. 
  • Optimasi keberadaan staf perencana di Bappeda dan instansi terkait dati I yang telah mengikuti kursus dan pelatihan perlu terus dijaga, dan diupayakan adanya 'transfer of knowledge' dari mereka dalam rangka keberlanjutan pelaksanaan kegiatan penyusunan NKLD dan NSASD, khususnya pada pasca proyek LREP dan MREP. Selain itu, keberadaan dari beberapa tim teknis perencanaan spasial di Bappeda yang melibatkan staf teknis purnawaktu dan paruhwaktu seperti pada Tim Physical Planning (TPP) dan unit GIS sebagai motor penggerak PDP sangat perlu dipertimbangkan kemungkinan pengangkatannya sebagai staf organik pemda pada pasca proyek. Selanjutnya, keberadaan dari para konsultan juga harus dimanfaatkan secara optimal oleh Bappeda, serta sekaligus telah mulai menerima estafet "kepakaran" dari para konsultan, guna menjamin keberlanjutan kegiatan pada pasca proyek. 
  • Masih terkait dengan aspek kelembagaan, keberadaan dari beberapa tim-tim teknis dan koordinatif yang dibentuk dalam proyek LREP dan MREP dan dengan telah dibentuknya Pusat Data Propinsi, serta Tim Penyusunan NKLD dan NSASD sesuai dengan arahan Inmendagri Nomor 39 Tahun 1995, perlu dipertimbangkan kemungkinannya sebagai cikal bakal (embrio) dari rencana pembentukan Tim Koordinasi Tata Ruang Daerah yang dirasakan kebutuhannya telah semakin mendesak baik di dati I maupun dati II. 
UPAYA PENYEMPURNAAN JUKLAK/JUKNIS PENYUSUNAN BASIS DATA DAN INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH
Dengan pesatnya laju pertumbuhan pembangunan daerah, yang memberikan konsekuensi pada perlunya penyesuaian juklak/juknis penyusunan basis data dan informasi pembangunan daerah, terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebagai berikut: 
  • perlunya reidentifikasi basis data dan informasi pembangunan daerah; 
  • pemantapan sumber informasi dan data yang digunakan dalam penyusunan dan pengelolaan data pokok pembangunan daerah, termasuk dalam meng'update' dan me'refine' data pokok yang telah disusun selama ini; 
  • pemasayarakatan data pokok pembangunan daerah kepada 'users'; dan 
  • perlunya penyempurnaan terhadap dasar hukum penyusunan data pokok yaitu Inmendagri No. 23 Tahun 1990. 
Selain itu, secara lebih teknis, perlu pula dimantapkan dan disempurnakan: (i) standarisasi peta; (ii) koordinasi data pokok; (iii) sumberdaya manusia (brainware), hardware, dan software; dan (iv) pemanfaatan data pokok pembangunan daerah. 

Selanjutnya, dengan mempertimbangkan beberapa konsideran pokok tersebut di atas, perlu dilakukan beberapa langkah tindak lanjut yang lebih teknis sifatnya, yang antara lain meliputi beberapa upaya sebagai berikut: 
  • Perlu adanya sinkronisasi sumber data dan informasi yang dikembangkan program Delta-9B untuk data pokok, seperti data-data GIS yang telah dikembangkan melalui LREP-II dan MREP di masing-masing dati I; 
  • Perlu adanya kesepakatan pemantapan manfaat data pokok: apakah hanya menghasilkan profil/potret daerah, atau sebagai 'policy input', atau 'planning, implementing, monitoring, and controlling input'?, yang membutuhkan pembedaan terhadap output yang dihasilkan; 
  • Perlu adanya kesepakatan jenis data pokok yang akan dihasilkan, yang perlu didukung dengan identifikasi/inventarisasi data pokok yang telah dicakup selama ini dan yang belum dicakup data pokok namun dibutuhkan dalam upaya penentuan pencapaian sasaran (baik jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang) pembangunan daerah; 
  • Perlu kesepakatan untuk menentukan instansi koordinator yang akan mengkoordinasikan pengelolaan data pokok, terutama dengan mempertimbangkan eksistensi RTRW dati I dan dati II yang telah disusun masing-masing; 
  • Perlu ditegaskan 'time framework/period' dari data pokok yang dihasilkan, yang disesuaikan dengan 'target input'nya: apakah jangka panjang, menengah, atau tahunan (terutama untuk mendukung penyusunan Sarlita)?; 
  • Perlu ditegaskan koordinasi lintasdata, lintassektor, dan lintaslembaga yang perlu dikembangkan, terutama dengan pertimbangan tersebarnya data dan informasi yang telah ada, serta instansi/lembaga dan sektor pengelola data di masing-masing daerah; 
  • Perlu penegasan jalur pelaporan output data pokok dari daerah tingkat II, ke dati I, hingga ke Pusat, serta sekaligus penentuan instansi pengguna dari data pokok tersebut baik di dati I maupun di Pusat; 
  • Perlu adanya penegasan terhadap kontribusi pendanaan dari APBD terutama dalam penyediaan hardware, software, dan brainware untuk me'maintain' dan meng'update' data pokok yang telah disusun. 
Selanjutnya dalam kaitannya dengan upaya untuk menyusun peta zonasi lahan dengan skala 1:250.000, perlu didahului dengan integrasi dan pengakuratan (updating) data dan informasi yang dijadikan acuan koordinasi perencanaan pembangunan selama ini, seperti data dan informasi dari RTRW (khususnya untuk RSTRP dan RUTRK yang disusun sebelum terbitnya UUPR). Selain itu, dengan mempertimbangkan semakin mendesaknya kebutuhan untuk melakukan review dan evaluasi serta penyesuaian terhadap RTRWP dan RTRWK untuk dapat disesuaikan dengan arahan nasional dalam RTRWN, maka keberadaan dari peta zonasi lahan sangat penting untuk dapat segera dimanfaatkan. 

PEMANTAPAN DATA POKOK DAN INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH MELALUI PENGELOLAAN SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH
Sejalan dengan upaya di atas, dengan memperhatikan rencana pengembangan Sistem Informasi Manajemen Departemen Dalam Negeri (SIMDAGRI) dan SIM Daerah (SIMDA) yang penerapan dan pengembangannya di daerah telah diinstruksikan kepada Kantor Pengolahan Data Elektronik (KPDE) di Daerah Tingkat I maupun Daerah Tingkat II, termasuk dalam mengantisipasi rencana pengembangan Sistem Komunikasi Depdagri (SISKOMDAGRI) sesuai dengan Kepmendagri No. 20 Tahun 1995 dan Inmendagri No. 5A Tahun 1995 jo. Inmendagri No. 31A Tahun 1996, maka terdapat pula beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam rangka penyempurnaan juklak dan juknis data pokok yang akan datang, yaitu: 
  • perlu diciptakan keterkaitan dan mekanisme penyampaian/pertukaran data yang efektif antara Bappeda sebagai pusat informasi perencanaan spasial dan nonspasial daerah dengan berbagai sistem yang telah berkembang yang telah berkembang baik di pusat maupun di daerah pada saat ini, seperti SIMDAGRI, SIMBANGDA, SIMDA, SISKOMDAGRI, SIG (LREP/MREP), dan IPTEK-Net (BPPT), dalam rangka mewujudkan sistem informasi yang terintegrasi untuk menunjang pembangunan daerah; 
  • perlunya penterpaduan rancangan struktur kelembagaan PDC yang akan dibentuk pada dati I dan dati II, serta pusat pelayanan informasi teknologi di tingkat kecamatan (seperti Pos Pelayanan Teknologi Perdesaan/Posyantekdes yang dikembangkan bersama oleh Ditjen PMD Depdagri dan BPP Teknologi), dengan berbagai lembaga penyedia dan pengolah data lainnya yang telah ada dan beroperasi di daerah; 
  • perlunya diperhitungkan keberadaan berbagai instansi/dinas di dati I dan dati II di dalam menghasilkan informasi dan mengelola pengembangan teknologi dalam beberapa sektor produksi tertentu, seperti perindustrian melalui BIPIK dan pertanian melalui BPTP, perlu dipertimbangkan sebagai suatu aset yang perlu diintegrasikan dalam PDC yang akan dikembangkan di daerah; 
  • pihak Departemen Dalam Negeri sendiri, khususnya Setjen (Biro Ortala), perlu melakukan koordinasi internal di tingkat pusat dalam kaitannya dengan pengembangan SIMDAGRI dan SISKOMDAGRI, yang apabila konfigurasi dan rancangan sistemnya dapat layak dan memungkinkan secara teknis dan ekonomis, perlu diterpadukan dengan rencana pengembangan PDC dengan sekaligus mengoptimalkan keberadaan KPDE dan Kantor Statistik di dati I dan dati II. 
Dengan demikian, perlu diperhatikan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan sistem informasi untuk menunjang proses perencanaan pembangunan daerah yang antara lain meliputi: potensi sumber daya manusia, jenis data yang dibutuhkan, kelembagaan (siapa yang berperan sebagai penyedia/sumber data dan pengguna data, serta mekanisme pertukaran informasi yang dimungkinkan), serta pemilihan teknologi informasi yang disesuaikan dengan kebutuhan. Dalam hal ini, potensi pemanfaatan dan pendayagunaan teknologi komunikasi melalui internet dan home page yang telah dibangun oleh beberapa Bappeda Tingkat I dapat dioptimalkan secara lebih berdayaguna dan berhasilguna. 

UPAYA PENTERPADUAN DATA POKOK DAN SISTEM SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH
Dengan mempertimbangkan relatif beragamnya jenis data pokok dan kompleksnya pengelolaan basis data bagi pembangunan daerah, dalam rangka lebih meningkatkan dayaguna dari basis data dan informasi pembangunan daerah yang dibutuhkan dalam rangka menyusun suatu masukan bagi penentu kebijakan (policy inputs) di tingkat daerah, maka diperlukan suatu upaya penterpaduan berbagai data dan informasi yang beragam dan tersebar tersebut ke dalam suatu basis data pembangunan daerah yang terpadu. 

Dalam rangka itu, perlu diperhatikan beberapa aspek pokok untuk mewujudkan suatu data pokok pembangunan daerah yang terpadu sebagai berikut: 
  • Aspek Kelembagaan. Rencana pembentukan PDC (provincial data center) masih merupakan isyu yang hingga saat ini masih belum dapat diwujudkan realisasinya, baik secara fungsional (keproyekan) maupun secara struktural (dalam lingkup Bappeda Tk. I). Untuk itu, dalam Rakorteknas dicoba dibicarakan kemungkinan pengintegrasian komponen dan subkomponen dari proyek LREP dan MREP ke dalam PDC yang dibentuk secara fungsional atau struktural pada Bappeda Tk. I pelaksana. Rencana pembentukan PDC sebagai Pusat Data dan Informasi Keruangan Daerah (PDIKD) tersebut, merupakan salah satu target akhir dari pelaksanaan LREP dan MREP di daerah. 
  • Aspek integrasi internal. Selain upaya untuk mengintegrasikan LREP dan MREP yang dibiayai melalui pinjaman ADB dan memiliki nuansa substansi yang sama, sebenarnya terdapat beberapa data pokok lainnya yang juga dikelola di Bappeda Tk. I, seperti Neraca Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Daerah (NSDALD) yang juga dikelola oleh Bidang Fispra (seksi LH), serta Data Pokok Pembangunan Daerah yang dikelola oleh Bidang Statistik dan Pelaporan Bappeda Tk. I. Selama ini, eksistensi dari kedua data pokok di atas belum diperhatikan dan diupayakan penterpaduannya dengan data spasial matra darat dan matra laut yang dihasilkan LREP dan MREP, mengingat pengelolaan LREP dan MREP yang masih sangat berorientasi pada proyek 1).. 
  • Integrasi secara eksternal. Selain dari berbagai data yang dikelola dalam lingkup Bappeda di atas, terdapat pula data pokok lainnya yang juga dikembangkan di daerah melalui instansi Kantor Pengolahan Data Elektronik (KPDE) yang berada di bawah koordinasi Setwilda Tk. I, yang selama ini mengelola/mengolah data-data yang terkait dengan pengembangan SIMDA (sistem informasi daerah) sesuai dengan Kepmendagri No. 45 Tahun 1992 tentang Pembangunan SIMDAGRI dan SIMDA. Namun demikian, mengingat jenis data yang diolah KPDE relatif bersifat administratif, seperti data kepegawaian, data keuangan, dan data perlengkapan yang diperlukan dalam lingkup Setwilda, maka upaya pengintegrasian PDC dengan KPDE perlu dikaji lebih lanjut kompatibilitas dan kelayakannya (penjelasan secara diagramatis pada bagan 1 terlampir). 
  • Aspek legalitas/formalitas. Kelembagaan PDC hingga saat ini belum formal terbentuk, walaupun secara fungsional telah mempekerjakan staf proyek yang bekerja secara fungsional keproyekan (non-struktural). Untuk itu diperlukan suatu upaya pemantapan status dari PDC, apakah sebagai suatu lembaga struktural yang secara struktural melekat dalam struktur Bappeda atau secara fungsional terpisah sebagai institusi tersendiri di luar Bappeda. Namun demikian, apabila pilihan yang kedua (fungsional terpisah) yang akan dipilih, maka perlu dipertimbangkan keberadaan KPDE yang telah dibentuk melalui dasar hukum yang kuat (Kepmendagri). Maka pilihan selanjutnya akan menjadi, membuat institusi tersendiri atau melakukan integrasi PDC ke dalam KPDE yang perlu diperluas cakupannya dan dikembangkan fungsinya. Apabila memungkinkan, juga perlu dipertimbangkan pembentukan PDC sebagai suatu profit institution yang dapat memproduksi data dan peta dasar bagi kalangan dunia usaha di daerah, yang penerimaannya selain dapat digunakan untuk insentif staf PDC juga dapat sekaligus meningkatkan pendapatan asli daerah. 
  • Aspek sumberdaya manusia. Dengan memperhatikan bahwa salah satu komponen pokok dari LREP dan MREP adalah dalam peningkatan kualitas aparatur perencana di daerah dalam aspek keruangan (matra darat dan laut) melalui kegiatan pelatihan baik di dalam maupun luar negeri, maka yang diperlukan dalam fase pasca pelatihan adalah melakukan transfer of knowledge atau carry over kepada staf perencana lainnya di Bappeda yang terkait dengan rencana pengelolaan sumberdaya lahan dan pesisir. Namun demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sekitar 20% dari aparat yang telah dilatih tersebut ternyata mengalami promosi dan/atau mutasi sehingga tidak dapat menerapkan asil pelatihannya secara berdayaguna dan berhasilguna untuk lingkup keproyekan maupun kelembagaan. Dengan demikian, nilai tambah yang diperoleh lebih bersifat individual dan bukan nilai tambah kelembagaan. Untuk itu, rencana pembentukan PDC sebagai wadah yang dapat mendayagunakan aparat yang telah dilatih menjadi semakin penting, melalui lembaga yang bersifat fungsional (non-struktural) dan mempekerjakan staf fungsional yang dapat ditugaskan secara purnawaktu. 

Wawasan Budaya Nasional Indonesia

Wawasan Budaya Nasional Indonesia 
Tujuan pendidikan ilmu budaya dasar (IBD) terutama membekali warga Negara sebagai SDM Indonesia yang menghayati jatidiri nasionalnya. Karenanya, mulai dengan tenaga guru yang memiliki pengetahuan dasar: psikologi (konsepsi kepribadian); fundamental human rights (HAM, natural rights) sampai nilai-nilai filsafat hidup bangsa (Pancasila); sekaligus dasar Negara PAncasila sebagai ideologi nasional. SDM Indonesia menghayati dan mengamalkan nilai budaya dan peradaban sebagai fungsi martabat kepribadian manusia: sebagai subyek budaya dan subyek moral (termasuk: manusia sebagai subyek hukum), dalam kategori: integritas unggul dan mulia.

Kepribadian anak potensial sebagai manusia dewasa, mandiri dan berbudi (bermartabat sebagai subyek budaya dan subyek moral) secara normatif dididikkan/ dibekali dengan dasar-dasar pengertian dan penghayatan nilai-nilai fundamental dalam wawasan horisontal (filsafat, ipteks, budaya); dan vertikal (moral-spiritual, theisme-religious) sebagai penghayatan: wawasan manusia dan budaya (nasional, universal) dijiwai asas nilai filsafat Pancasila yang beridentitas theisme-religious; secara ringkas dibahas sebagai berikut.

I. LATARBELAKANG DAN DASAR PEMIKIRAN
Generasi muda suatu bangsa, terutama anak usia SD - SM merupakan potensi regenerasi yang menjamin kejayaan negara; sekaligus menjamin semangat persahabatan dan kerjasama antar bangsa demi kesejahteraan manusia dalam perdamaian.

Sikap dasar saling pengertian dan menghargai antar sesama manusia mutlak ditanamkan dan dikembangkan secara psikologis dan paedagogis; artinya, tujuan demikian bukanlah suatu sikap dasar yang tumbuh secara alamiah.

Belajar dari sejarah dunia yang cukup pahit, mulai kolonialisme-imperisliasme, sampai Perang Dunia I dan II disertai himpitan perang dingin antara dua blok adidaya, umat manusia mengalami trauma sosial politik, psikologis dan kultural, bahkan moral sebagai dampak negatif dari pengalaman sejarah peradaban modern demikian. Akibatnya, trauma politik menimbulkan sikap prasangka rasial antar bangsa. 

Pengembangan wawasan manusia, wawasan budaya dan multibudaya diharapkan meningkatkan saling pengertian antar manusia, antar bangsa dan antar budaya, yang dalam zaman modern, lebih-lebih postmodernisme mengalami dinamika kompetisi yang makin meningkat….bermuara untuk supremasi dan dominasi sistem filsafat (sistem ideologi: yang melembaga dalam sistem kenegaraan) dengan berbagai jabarannya lintas bidang kehidupan. 

Manusia hidup dan berkembang dipengaruhi oleh perkembangan (kerjasama) faktor internal dan faktor eksternal; berwujud potensi kepribadian manusia (jasmani-mental kerokhanian) dengan alam lingkungan hidup sebagai sumber daya alam (ALH-SDA; sebagai ekosistem) termasuk antar pribadi dan antar budaya.

Kita menyaksikan bagaimana perkembangan (hidup) manusia dalam wujud prestasi, budaya dan peradaban sebagai wujud cipta-karya manusia dengan mendayagunakan SDA dan ekosistem. 

Supaya SDM mampu mengembangkan kepribadiannya dan ALH-SDA (ekosistem) sebagai budaya dan peradaban yang unggul, maka pendidikan in casu sistem pendidikan nasional menjadi prakondisi yang mutlak, conditio sine quanon.

Manusia juga hidup dan berkembang dengan motivasi, wawasan dan cita-cita yang mereka yakini; umumnya sebagai nilai dasar (fundamental values) atau pandangan hidup (filsafat hidup, Weltanschauung) sekaligus dapat berfungsi sebagai dasar negara filsafat negara, ideologi negara (Mohammad Noor Syam/MNS 2000: 1 - 3; 19 - 21). Tidak ada suatu bangsa, juga pribadi manusia yang hidup tanpa nilai-nilai fundamental yang menjiwai dan memandu hidupnya!

Nilai fundamental ini juga merupakan perwujudan jatidiri bangsa, asas kerokhanian bangsa dan negara, sumber cita dan asas moral manusia bangsa itu sebagaimana diakui oleh Friederich Carl von Savigny (1779 - 1861) yang menyatakan karakteristika nasional yang menjiwai bangsa, sebagai spirit nasional (Volkgeist) (Bodenheimer, 1962: 71). Nilai ini menjiwai, melandasi, memancarkan jatidiri (identitas) dan memandu tatanan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan (terutama bidang hukum nasional, politik dan sosial ekonomi). Karena itu pula nilai demikian menjadi sumber motivasi dan cita nasional untuk menegakkan identitas nasional, bahkan supremasi nasional (bangsa negara). 

Adalah kodrat sosial budaya umat manusia untuk berjuang berebut supremasi (keunggulan); karenanya secara alamiah, sosial kultural terjadi dinamika dan kompetisi yang dapat juga menimbulkan konflik; bahkan perang antar negara!

Bagaimana manusia dan bangsa-bangsa dapat hidup dalam semangat persahabatan, perdamaian dan kerjasama demi kemerdekaan, keadilan dan kesejahteraan umat manusia. Demi tujuan luhur demikian, manusia wajib saling memahami antar nilai (filsafat negara, ideologi negara), antar budaya bahkan juga antar kepentingan dan kebutuhan ekonomi mereka. Bagian dari penghayatan nilai demikian, perlu dikembangkan wawasan multi budaya; lebih mendasar dan komprehensif: wawasan manusia dan wawasan budaya (human and cultural concept).

II. POKOK-POKOK AJARAN FILSAFAT PANCASILA
Memahami, membandingkan dan menghayati kandungan nilai filsafat Pancasila, kita bersyukur mewarisi nilai dan ajaran filsafat Pancasila sebagai bagian dari sistem filsafat Timur. Karenanya, identitas dan integritas Pancasila sebagai sistem filsafat memancarkan integritas martabatnya sebagai sistem filsafat theisme-religius. Identitas dan integritas demikian memancarkan keunggulan dibandingkan berbagai sistem filsafat lainnya, yang beridentitas: polytheisme, monotheisme, sekularisme, pantheisme sampai atheisme dalam berbagai aliran seperti: theokratisme, zionisme, kapitalisme-liberalisme; marxisme-komunisme-atheisme, sosialisme; fundamentalisme  dan Pancasila.

Integritas fundamental ajaran filsafat Pancasila secara ringkas terlukis dalam skema 4 dengan klarifikasi ringkas berikut: 
skema 1

Klarifikasi pokok-pokok ajaran filsafat Pancasila
1. T = Abstraksi makna dan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, yang kita yakini sebagai Maha Pencipta, Maha Kuasa, Maha Berdaulat, Maha Pengatur dan Maha Pengayom semesta. Dalam kedaulatan Maha Pencipta, kesemestaan berkembang dalam harmoni dan kesejahteraan berkat pengayoman abadi Yang Maha Berdaulat melalui ikatan fungsional-integral-universal (imperatif, mutlak) dalam tatanan hukum:
a. hukum alam; yang bersifat obyektif, fisis, kausalitas, mutlak, abadi, dan universal; dan
b. hukum moral yang bersifat obyektif‑subyektif, psiko‑fisis, sosial‑subyektif, mutlak, teleologis, abadi dan universal tercermin dalam budinurani dan kesadaran keagamaan
2. AS = simbolik alam semesta, makro‑kosmos yang meliputi realitas eksistensial‑fenomenal dan tidak terbatas dalam keberadaan ruang dan waktu sebagai prakondisi dan prawahana kehidupan semua makhluk (flora, fauna, manusia dsb). Alam semesta menjamin kehidupan semua makhluk, melalui tersedianya: cahaya sebagai energi; udara, air, tanah, tambang, flora dan fauna. Semuanya menjamin kehidupan dan berkembangnya kebudayaan dan peradaban. 
3. SM = Subyek Manusia sebagai umat manusia keseluruhan di bumi. Subyek manusia dengan potensi dan martabat kepribadiannya mengemban amanat Ketuhanan (keberagamaan), kebudayaan dan peradaban berwujud kesadaran hak asasi manusia (HAM) dan kewajiban asasi manusia (KAM). Penghayatan dan pengamalan manusia atas HAM secara normatif berdasarkan asas keseimbangan HAM dan KAM demi keharmonisan dan kesejahteraan jasmaniah-rokhaniah, dunia dan akhirat.
4. SB = Sistem Budaya, sebagai prestasi cipta‑karya manusia, wahana komunikasi, perwujudan potensi martabat kepribadian manusia, berpuncak sebagai peradaban dan moral!

Sistem budaya warisan sosio‑budaya: lokal, nasional dan universal, sebagai pancaran potensi keunggulan martabat manusia.

5. SK = Sistem Kenegaraan sebagai perwujudan dan prestasi perjuangan dan cita nasional; kemerdekaan dan kedaulatan bangsa; pusat kesetiaan dan kebanggaan nasional warga negara. 

Sistem kenegaraan sebagai pusat dan puncak kelembagaan dan kepemimpinan nasional, pusat kesetiaan dan pengabdian warga negara. SK sebagai pengelola kesejahteraan rakyat warga negara; penegak kedaulatan dan keadilan; dan pusat kelembagaan dan kepemimpinan nasional dalam fungsi pengayoman rakyat warga negara dan penduduk. SK berkembang dalam kejayaan berkat integritas manusia waga negara dengan menegakkan kemerdekaan, kedaulatan, keadilan demi kesejahteraan dan perdamaian antar bangsa dalam semangat kerjasama umat manusia. 

6. P = Pribadi, subyek manusia mandiri yang berkembang (pribadi, berkeluarga, berkarya, berkebajikan) dalam asas dan wawasan horizontal dan vertikal (sebagai fungsi kerokhanian dan moral martabat manusia). P berkembang dan mengabdi dalam antar hubungan diagonal: (antar AS – SM – SB – SK) dan vertikal sebagai subyek mandiri dalam kategori integritas subyek budaya dan subyek moral……yang terus meningkat secara spiritual (teleologis), dengan memancarkan cinta dan kebajikan dalam proses menuju Tuhan dan keabadian. 

Secara filosofis-ideologis dan konstitusional essensi ajaran filsafat moral Pancasila, berpedoman kepada UUD 45 seutuhnya, terutama Pembukaan dan pasal 29. 

Lukisan dalam klarifikasi skematis di atas, sebagai kandungan fundamental sistem filsafat Pancasila memancarkan integritas-identitas martabatnya sebagai sistem filsafat theisme-religious (monotheisme-religious) yang unggul dan luhur karena sesuai dengan kodrat martabat kepribadian manusia. 

Uraian ringkas pokok-pokok ajaran sistem filsafat Pancasila di atas, diakui sebagai suatu alternatif pemikiran, yang dapat dikembangkan oleh para pakar demi pengayaan khanasah kepustakaan sistem filsafat Pancasila.

III. AJARAN HAM BERDASARKAN FILSAFAT PANCASILA 
Sistem filsafat Pancasila diakui sebagai bagian dari ajaran sistem filsafat Timur, yang secara kodrati memiliki integritas dan identitas sebagai sistem filsafat theisme-religious; dan monotheisme-religious. Karenanya, identitas martabatnya yang demikian secara intrinsik dan fungsional memancarkan integritas ajaran yang mengakui potensi martabat kepribadian manusia, sebagai terpancar dalam integritas jasmani-rokhani. Integritas dan martabat manusia yang luhur memancarkan potensi unggul dan mulia, sebagai makhluk mulia ciptaan Allah Yang Maha Kuasa). Kemuliaan martabat manusia ialah kesadaran kewajiban asasi untuk menunaikan amanat Ketuhanan dalam peradaban.

Berdasarkan asas dan wawasan sistem filsafat demikian, maka filsafat Pancasila mengajarkan asas-asas fundamental Ketuhanan dan kemanusiaan sebagai inti ajaran moral; yang dapat dianalisis secara normatif memberikan kedudukan yang tinggi dan mulia atas kedudukan dan martabat manusia (sila I dan II). Karenanya ajaran HAM berdasarkan Pancasila memancarkan asas normatif theisme-religious: 
1. bahwa HAM adalah karunia dan anugerah Maha Pencipta (sila I dan II); sekaligus amanat untuk dinikmati dan disyukuri oleh umat manusia.
2. bahwa menegakkan HAM senantiasa berdasarkan asas keseimbangan dengan kewajiban asasi manusia (KAM). Artinya, HAM akan tegak hanya berkat (umat) manusia menunaikan KAM sebagai amanat Maha Pencipta.
3. kewajiban asasi manusia (KAM) berdasarkan filsafat Pancasila, ialah:
a. manusia wajib mengakui sumber (HAM: life, liberty, property) adalah Tuhan Maha Pencipta (sila I).
b. manusia wajib mengakui dan menerima kedaulatan Maha Pencipta atas semesta, termasuk atas nasib dan takdir manusia; dan
c. manusia wajib berterima kasih dan berkhidmat kepada Maha Pencipta, atas anugerah dan amanat yang dipercayakan kepada (kepribadian) manusia.

Tegaknya ajaran HAM ditentukan oleh tegaknya asas keseimbangan HAM dan KAM; sekaligus sebagai integritas martabat moral manusia.

Sebagai manusia percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, kita juga bersyukur atas potensi jasmani-rokhani, dan martabat unggul, agung dan mulia manusia berkat anugerah kerokhaniannya ---sebagai terpancar dari akal-budinuraninya sebagai subyek budaya (termasuk subyek hukum) dan subyek moral. (M. Noor Syam 2007: 147-160). 

Berdasarkan ajaran suatu sistem filsafat, maka wawasan manusia (termasuk wawasan nasional) atas martabat manusia, menetapkan bagaimana sistem kenegaraan ditegakkan; sebagaimana bangsa Indonesia menetapkan NKRI sebagai negara berkedaulatan rakyat dan negara hukum. Kedua asas fundamental ini memancarkan identitas dan keunggulan sistem kenegaraan RI berdasarkan Pancasila – UUD 45.

Ajaran luhur filsafat Pancasila memancarkan identitas theisme-religious sebagai keunggulan sistem filsafat Pancasila dan filsafat Timur umumnya karena sesuai dengan potensi martabat dan integritas kepribadian manusia

IV. WAWASAN MANUSIA 
Diharapkan semua pribadi manusia memiliki kesadaran (keyakinan, kebanggaan) atas potensi dan martabat kepribadian manusia yang unggul, agung dan mulia sebagaimana diisyaratkan oleh Maha Pencipta. Penghayatan demikian memberikan wawasan manusia yang benar secara filosofis dan religious bukan hanya secara psikologis atau ilmiah. Menghayati wawasan manusia secara valid, akan memberikan kesadaran untuk dengan sungguh-sungguh menghargai (respectful) atas martabat manusia. Penghargaan demikian menjamin integritas kepribadian manusia baik untuk dirinya maupun untuk manusia lain!

Sebagaimana pribadi memahami diri sendiri (self-concept), sebagai landasan memahami potensi kepribadian dan manusia lain; maka wawasan manusia (human concept) merupakan modal dasar untuk mengembangkan kepribadian (mandiri, berbudi) dalam rangka nation and character building. Kemudian, manusia dengan potensi keunggulan mengembangkan sistem budaya (cultural system) sebagai cipta-karya manusia; berpuncak dengan peradaban (civilization; termasuk moral) yang memancarkan martabat kepribadian dan mental kerokhanian manusia, sebagai nilai beradab dan bermoral! 

A. Konsep Diri 
Guna memahami wawasan manusia, secara skematis dapat dicermati skema berikut:

KONSEP DIRI DAN WAWASAN MANUSIA

skema 2


Penjelasan:
Lukisan skema ini mengandung makna dan nilai mendasar: 
1. Menghayati alam (ALH-SDA) sebagai anugerah dan amanat Maha Pencipta; karenanya manusia wajib mencintai, menikmati dan bertanggungjawab atas kelestariannya.
2. Menghayati nilai budaya sebagai cipta-karya dan prestasi serta identitas bangsa-bangsa; sebagai juga cipta-karya pribadi sebagai amal kebajikan.
3. Menghayati: saling pengertian dan penuh hormat antar sesama; bersyukur atas martabat unggul dan mulia manusia dengan memancarkan martabat manusia: budi, cinta dan kebajikan sebagai pancaran moral dan sikap khidmat atas anugerah, amanat dan kedaulatan Maha Pencipta. 

Sesungguhnya nilai dan fungsi yang tersurat dan tersirat dalam skema 2, ditentukan juga oleh kesadaran fungsional berbagai komponen (alamiah, natural) sebagai terlukis dalam skema 3. 

skema 3

B. Wawasan Budaya dan Suprabudaya
Tiap bangsa memiliki dan mewarisi nilai sosio budaya yang terbentuk sebagai transformasi nilai (potensi) SDM dengan ALH-SDA, terutama Volkgeist dan ekosistem. Artinya, potensi kepribadian, mulai sosio-psikologis bekerjasama (dalam dinamika dan tantangan) dengan ALH-SDA (ekosistem) membentuk sistem budaya (lokal, nasional) kemudian berkembang kuantitatif-kualitatif sebagai peradaban atau nilai budaya universal (MNS 1983; 1988: 23 - 30; 59 - 85; 378-380).

Sebelum menghayati dan menikmati (nilai) wawasan budaya (= cultural concept) manusia sesungguhnya secara alamiah (natural concept) sepenuhnya tergantung (hidupnya) dengan alam dan hukum alam (dalam skema 3: ada 7 unsur alam sebagai prakondisi kehidupan manusia). Berkat potensi dan martabat manusia (unggul dan mulia) dikembangkanlah ke-7 unsur ALH-SDA dimaksud menjadi cipta-karya = budaya dan peradaban (culture and civilization) yang memancarkan prestasi (keunggulan), integritas (keluhuran, kemuliaan) martabat manusia. 

Berdasarkan analisis psikologis dan filosofis potensi unggul dan mulia itu terpancar dari integritas jasmani rokhani dengan penghayatan nilai mendasar martabat manusia sebagai pancaran integritas-moralitas berwujud: akal dan budinurani manusia yang aktualisasinya: saling pengertian, menghargai, bekerjasama, cinta dan kebajikan. 

Wawasan budaya adalah kesadaran manusia atas potensi cipta-karya (dari akal-budi), terutama berwujud: berbagai komponen nilai budaya, seperti: bahasa, adat, nilai, norma, hukum, tatanan dan kelembagaan sosial, termasuk ipteks. Semuanya dikembangkan dari unsur natural (non-budaya), yakni 7 unsur dasar ALH-SDA. Artinya, manusia berbudaya dan berperadaban berkat tersedianya secara memadai ke-7 unsur ALH-SDA di atas. Sebaliknya, tanpa ke-7 unsur ALH-SDA itu, umat manusia bukan saja tidak mampu menciptakan budaya; melainkan, bahkan tidak mungkin dapat hidup layak!

Nilai dan makna berbudaya, dan beradab….. terutama adalah bagaimana kualitas penghayatan kesadaran subyek manusia atas nilai fundamental (vital, fungsional) nilai natural (non-budaya). Juga, manusia wajib menghayati ketergantungan hidupnya dengan ALH-SDA sebagai bagian dari ikatan hukum alam (kausalitas) secara universal. Penghayatan kesadaran demikian adalah landasan (potensial) penghayatan kesadaran sosial dan kesadaran kultural; sebagai wujud subyek beradab atau kualitas manusia sebagai subyek moral! Jadi, wawasan manusia, secara horisontal menjangkau penghayatan dan penghargaan atas nilai kemanusiaan manusia sebagai super value (Bodenheimer 1962: 143); atau sebagai fundamental rights and freedom as highest value as legal dan sebagai: respect to central human values (Murphy & Coleman 1996: 22; 37). Maka pribadi manusia demikian senantiasa mampu menghargai sesama manusia dan nilai natural sebagai prakondisi dan bahan baku penciptaan budaya (lokal, nasional). 

Setiap negara senantiasa menegakkan sistem kenegaraan yang dijiwai dan dilandasi sistem filsafat negaranya; dan dididikkan sebagai pewarisan kepada generasi penerus melalui pendidikan civics (CCE 1994: 24-25; 53-55) di Indonesia terkenal sebagai PPKn.

Berdasarkan wawasan budaya demikian, berkembanglah wawasan multibudaya (lintas budaya) sebagai sisi eksternal dari wawasan horisontal sesama manusia; bahwa ada berbagai suku, bangsa dan ras manusia dengan berbagai kuantitas-kualitas kebudayaan masing-masing. Keberadaan semua mereka adalah fenomena eksistensial martabat kemanusiaan; sebagai wujud peradaban dalam integritas moral kepribadian manusia dengan wawasan integral universal. 

Kesadaran penghayatan nilai non-budaya, meningkat sebagai penghayatan budaya (lokal, nasional, universal atau multikultural) barulah penghayatan kepribadian manusia dalam kualitas horisontal. Kesadaran penghayatan martabat kepribadian manusia yang unggul dan mulia tidak cukup bersifat kuantitas-kualitas horisontal saja misal: hanya menghargai budaya dan ipteks sebagai cipta karya manusia unggul; melainkan manusia sesuai potensi kodrati (integritas martabat manusia) sebagai subyek mandiri dengan keunggulan dan kemuliaan kerokhaniannya, mampu menjangkau, menghayati dan menikmati nilai-nilai suprabudaya (yang adanya di luar cipta-karya manusia) yakni: kepribadian manusia sendiri (sebagai supervalue), nilai agama dan berpuncak nilai Ketuhanan (yang diyakini sebagai Maha Pencipta, Yang Maha Berdaulat yang mengayomi semesta dalam Kedaulatannya, melalui nilai hukum alam dan hukum moral berdasarkan konsepsi atau ajaran agama menurut zamannya).

Bagaimana wawasan manusia dalam mengerti dan menghargai martabat manusia: perhatikan: konsepsi HAM pada umumnya; khususnya HAM berdasarkan filsafat Pancasila, yang menegakkan asas keseimbangan HAM dan KAM (MNS 2000: 85 - 98); vide: skema terlampir. Bandingkan dengan ajaran HAM baik berdasarkan teori Natural Law maupun teori Hegel. Jadi, wawasan manusia wajar dimaknai dan dihayati dalam integritas dan kualitas nilai integral: nilai nonbudaya (natural), nilai budaya (kultural) dan nilai suprabudaya (suprakultural). 

Secara teoretis ilmiah ketiga tingkat wawasan di atas belum dihayati oleh masyarakat terdidik sekalipun; karenanya terjadi kecenderungan pemujaan manusia kepada ipteks sebagai komponen dominan dalam konsepsi budaya. Artinya, manusia belum menghayati dan menghargai bagaimana integritas kesemestaan jangkauan dan penghayatan martabat kepribadian manusia yang ideal; sebagaimana juga terlukis dalam skema 3 dan skema 4. Karena itu dengan kerendahan hati, kita seyogyanya memahami dan menghayati makna wawasan manusia (seutuhnya) sebagai dimaksud dalam skema 2, 3 dan 4. Sebagai konsepsi tujuan pendidikan yang lebih komprehensif dan mendasar, maka nilai-nilai fundamental dalam skema tersebut dapat dikembangkan secara paedagogis sesuai psikologi perkembangan anak didik. 

Wawasan manusia berpuncak dengan penghayatan nilai suprabudaya, yang secara normatif dan psikologis terlukis dalam skema 3, berikut:

skema 4

Penjelasan:
Skema 3 mengandung 5 komponen nilai mendasar dan fungsional:
1. Potensi kepribadian manusia: integritas jasmani-rokhani.
2. Potensi dan fungsi kepribadian (7 potensi kodrati).
3. Potensi dan martabat kepribadian (5 kategori potensial: intelektual, emosional, sosial, spiritual dan moral).
4. Wawasan dan penghayatan nilai: horisontal dan vertikal; dan 
5. Wawasan dan penghayatan integritas kesemestaan universal: fisika-metafisika dalam dimensi ruang dan waktu: praeksistensial, eksistensial (dalam ikatan hukum alam dan hukum moral dalam asas integral-fungsional-universal; memasuki pascaeksistensial (keabadian rokhani manusia di alam posthumous) dalam Pengayoman Yang Maha Berdaulat (Ar Rahman Ar Rahim).

Wawasan integral universal sebagai penghayatan kodrat martabat moral kepribadian manusia sebagai amanat tujuan penciptaan manusia sebagai: khalifah (Q. 2: 30; 24: 55) dan sebagai abdi (Q. 51: 56) Maha Pencipta; demikian essensi ajaran sistem filsafat Pancasila yang beridentitas theisme-religious (MNS 2000: 37 - 39). SDM berkualitas demikian, diakui martabatnya sebagai subyek budaya dan subyek moral (MNS 2000: 37-45; 183-189). 

Karenanya, program pendidikan multibudaya sinergis dengan program pendidikan Humaniora.

V. WAWASAN MULTIBUDAYA
Filsafat Pancasila mengajarkan sila II dan sila III; dalam makna bahwa umat manusia dengan potensi martabat Kemanusiaan yang adil dan beradab meliputi pula adanya suatu bangsa (in casu: bangsa Indonesia, dengan asas Persatuan Indonesia = wawasan nasional dan wawasan nusantara dalam integritas NKRI).

Bangsa Indonesia sepenuhnya sadar kebersamaannya dalam kehidupan antrar bangsa (dunia yang damai, bersahabat dan bekerjasama berdasarkan kemerdekaan dan keadilan sosial). Berdasarkan asas kemerdekaan (kebangsaan, kedaulatan, kemandirian) bangsa dan NKRI menegakkan kemerdekaan dan kedaulatan nasional dalam rangka kehidupan internasional. 

Semangat kebangsaan (wawasan nasional) bermakna secara filosofis-ideologis dan konstitusional bahwa integritas Indonesia (budaya lokal dan nasional) adalah bagian dari integritas universal internasional (antar bangsa, umat manusia dan kemanusiaan). Nilai demikian tersurat dalam ungkapan Presiden Soekarno: "….mankind is one, dengan makna kemanusiaan adalah tunggal. Artinya, umat manusia bersaudara, sekaligus memiliki integritas kepribadian dan budinurani yang sama sebagai essensi ajaran HAM: demi persamaan, kemerdekaan dan keadilan demikian pula (tuntutan, hak) martabat manusia juga sama: kemerdekaan, persamaan, perdamaian, keadilan, kesejahteraan dan persahabatan.

Sesungguhnya asas normatif filosofis filsafat Pancasila mengandung ajaran menghargai manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa secara universal. Artinya, terkandung makna kita saling menghargai identitas nasional (kemerdekaan dan ideologi masing-masing) termasuk budaya sebagai integritas dan identitasnya.

Sebaliknya, kolonialisme-imperialisme adalah praktek mengingkari HAM, identitas nasional antar bangsa (sebagai dinyatakan Pembukaan UUD 45). Karena itu, dunia dan peradaban masa depan akan senantiasa menegakkan asas-asas kemerdekaan dan keadulatan antar bangsa dan negara dengan segala potensi dan martabat serta identitas masing-masing ---sebagai terpancar dari sistem budaya dan sistem nilai masing-masing---. Kesadaran demikian, adalah wawasan dan praktek penghayatan nilai multibudaya! Bukan hanya kolonialisme-imperialisme, dan politik supremasi serta dominasi oleh negara adidaya amat bertentangan dengan HAM dan asas multikultural; melainkan juga politik supremasi: ipteks dan budaya, sosial ekonomi. dalam dinamika neo-liberalisme dan postmodernisme yang bermuara sebagai praktek neo-imperialisme (!) wajib diwaspadai dan dihadapi oleh bangsa-bangsa yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, kemerdekaan dan peradaban, sebagai tantangan kultural dan moral! 

VI. KESIMPULAN
Dalam kesimpulan ini dapat dirumuskan pemikiran alternatif, sebagai konsepsi dasar Kebijaksanaan Nasional dalam Strategi Budaya Indonesia berdasarkan asas dan wawasan sistem filsafat Pancasila yang beridentitas theisme-religious, dengan pokok-pokok sebagai berikut:
1. Karsa pengembangan pendidikan IBD hendaknya dilandasi dan dijiwai sistem filsafat (Weltanschauung) sebagai asas kerokhanian dan asas moral bangsa dan negara untuk menjamin integritas dan identitas nasional.
2. Apresiasi atas sistem budaya dan multi budaya dilandasi wawasan manusia sebagai pencipta budaya; yang secara fungsional berdasarkan wawasan integral horisontal dan vertikal (nilai natural, nilai kultural; dan nilai suprakultural) yang dijiwai filsafat hidup bangsa.
3. Wawasan manusia sebagai subyek budaya dan subyek moral adalah pandangan hidup manusia yang ditegakkan dalam tatanan peradaban; sebagai fungsi dari visi dan misi (yang diyakini) dalam penciptaan manusia oleh Maha Pencipta.
4. Pendidikan IBD, bahkan pendidikan budaya (termasuk sastra) sesungguhnya dijiwai dan berasas normatif filosofis-ideologis dalam menghargai martabat manusia sebagai makhluk unggul dan mulia yang mengemban amanat atau visi-misi religious (Ketuhanan). Sebaliknya, secara imperatif filosofis-ideologis dan konstitusional wajib (mutlak) dilandasi asas filsafat hidup (filsafat negara dan ideologi negara). Jadi, praktek budaya non-religious, apalagi atheisme, adalah praktek budaya dan “moral” sekularisme dan atheisme (neoliberalisme dan marxisme-komunisme-atheisme)!
5. Pendidikan multi budaya dapat dijadikan modal dasar mendidik wawasan antar manusia yang menghargai kemerdekaan, integritas dan martabat manusia, martabat bangsa dan negara…..yang berpuncak dengan tantangan atas dinamika neo-liberalisme, pascamodernisme dan neo-imperialisme yang sinergis dengan gerakan kebangkitan neo-PKI (komunis gaya baru/KGB). 

Praktek mereka merupakan pelanggaran atas budaya dan moral politik dasar negara Pancasila sebagai sistem filsafat negara Indonesia yang beradab dan bermartabat. Sekedar klarifikasi analisis normatif ini, renungkan dan hayati isi skema 5 (terlampir). Demikian, semoga bermanfaat.

B A C A A N
Bodenheimer, Edgar 1962: Jurisprudence the Philosophy and Methode of the Law, Massachusetts, Harvard University Press.
Center for Civic Education 1994: National Standards for Civics and Government, California, Center for Civic Education (CCE). 
Hans Kelsen 1991: General Theory of Norms, Clarendon Press, Oxford.
--------------- 1973: General Theory of Law and State, New York, Russel & Russel.
Huston Smith, 1985: The Religions of Man, (Agama-Agama Manusia, terjemah oleh: Saafroedin Bahar), Jakarta, PT Midas Surya Grafindo.
Mohammad Noor Syam 1983; 1998: Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Surabaya, Usaha Nasional (edisi I; edisi IV).
---------------------- 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum (sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III, Malang, Laboratotium Pancasila.
----------------------- 2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural, Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila. 
McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition), Glasgow, Bell & Bain Ltd.
Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.
UNO 1988: HUMAN RIGHTS, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New York, Harvard College, University Press.
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson