Wawasan Budaya Nasional Indonesia

Wawasan Budaya Nasional Indonesia 
Tujuan pendidikan ilmu budaya dasar (IBD) terutama membekali warga Negara sebagai SDM Indonesia yang menghayati jatidiri nasionalnya. Karenanya, mulai dengan tenaga guru yang memiliki pengetahuan dasar: psikologi (konsepsi kepribadian); fundamental human rights (HAM, natural rights) sampai nilai-nilai filsafat hidup bangsa (Pancasila); sekaligus dasar Negara PAncasila sebagai ideologi nasional. SDM Indonesia menghayati dan mengamalkan nilai budaya dan peradaban sebagai fungsi martabat kepribadian manusia: sebagai subyek budaya dan subyek moral (termasuk: manusia sebagai subyek hukum), dalam kategori: integritas unggul dan mulia.

Kepribadian anak potensial sebagai manusia dewasa, mandiri dan berbudi (bermartabat sebagai subyek budaya dan subyek moral) secara normatif dididikkan/ dibekali dengan dasar-dasar pengertian dan penghayatan nilai-nilai fundamental dalam wawasan horisontal (filsafat, ipteks, budaya); dan vertikal (moral-spiritual, theisme-religious) sebagai penghayatan: wawasan manusia dan budaya (nasional, universal) dijiwai asas nilai filsafat Pancasila yang beridentitas theisme-religious; secara ringkas dibahas sebagai berikut.

I. LATARBELAKANG DAN DASAR PEMIKIRAN
Generasi muda suatu bangsa, terutama anak usia SD - SM merupakan potensi regenerasi yang menjamin kejayaan negara; sekaligus menjamin semangat persahabatan dan kerjasama antar bangsa demi kesejahteraan manusia dalam perdamaian.

Sikap dasar saling pengertian dan menghargai antar sesama manusia mutlak ditanamkan dan dikembangkan secara psikologis dan paedagogis; artinya, tujuan demikian bukanlah suatu sikap dasar yang tumbuh secara alamiah.

Belajar dari sejarah dunia yang cukup pahit, mulai kolonialisme-imperisliasme, sampai Perang Dunia I dan II disertai himpitan perang dingin antara dua blok adidaya, umat manusia mengalami trauma sosial politik, psikologis dan kultural, bahkan moral sebagai dampak negatif dari pengalaman sejarah peradaban modern demikian. Akibatnya, trauma politik menimbulkan sikap prasangka rasial antar bangsa. 

Pengembangan wawasan manusia, wawasan budaya dan multibudaya diharapkan meningkatkan saling pengertian antar manusia, antar bangsa dan antar budaya, yang dalam zaman modern, lebih-lebih postmodernisme mengalami dinamika kompetisi yang makin meningkat….bermuara untuk supremasi dan dominasi sistem filsafat (sistem ideologi: yang melembaga dalam sistem kenegaraan) dengan berbagai jabarannya lintas bidang kehidupan. 

Manusia hidup dan berkembang dipengaruhi oleh perkembangan (kerjasama) faktor internal dan faktor eksternal; berwujud potensi kepribadian manusia (jasmani-mental kerokhanian) dengan alam lingkungan hidup sebagai sumber daya alam (ALH-SDA; sebagai ekosistem) termasuk antar pribadi dan antar budaya.

Kita menyaksikan bagaimana perkembangan (hidup) manusia dalam wujud prestasi, budaya dan peradaban sebagai wujud cipta-karya manusia dengan mendayagunakan SDA dan ekosistem. 

Supaya SDM mampu mengembangkan kepribadiannya dan ALH-SDA (ekosistem) sebagai budaya dan peradaban yang unggul, maka pendidikan in casu sistem pendidikan nasional menjadi prakondisi yang mutlak, conditio sine quanon.

Manusia juga hidup dan berkembang dengan motivasi, wawasan dan cita-cita yang mereka yakini; umumnya sebagai nilai dasar (fundamental values) atau pandangan hidup (filsafat hidup, Weltanschauung) sekaligus dapat berfungsi sebagai dasar negara filsafat negara, ideologi negara (Mohammad Noor Syam/MNS 2000: 1 - 3; 19 - 21). Tidak ada suatu bangsa, juga pribadi manusia yang hidup tanpa nilai-nilai fundamental yang menjiwai dan memandu hidupnya!

Nilai fundamental ini juga merupakan perwujudan jatidiri bangsa, asas kerokhanian bangsa dan negara, sumber cita dan asas moral manusia bangsa itu sebagaimana diakui oleh Friederich Carl von Savigny (1779 - 1861) yang menyatakan karakteristika nasional yang menjiwai bangsa, sebagai spirit nasional (Volkgeist) (Bodenheimer, 1962: 71). Nilai ini menjiwai, melandasi, memancarkan jatidiri (identitas) dan memandu tatanan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan (terutama bidang hukum nasional, politik dan sosial ekonomi). Karena itu pula nilai demikian menjadi sumber motivasi dan cita nasional untuk menegakkan identitas nasional, bahkan supremasi nasional (bangsa negara). 

Adalah kodrat sosial budaya umat manusia untuk berjuang berebut supremasi (keunggulan); karenanya secara alamiah, sosial kultural terjadi dinamika dan kompetisi yang dapat juga menimbulkan konflik; bahkan perang antar negara!

Bagaimana manusia dan bangsa-bangsa dapat hidup dalam semangat persahabatan, perdamaian dan kerjasama demi kemerdekaan, keadilan dan kesejahteraan umat manusia. Demi tujuan luhur demikian, manusia wajib saling memahami antar nilai (filsafat negara, ideologi negara), antar budaya bahkan juga antar kepentingan dan kebutuhan ekonomi mereka. Bagian dari penghayatan nilai demikian, perlu dikembangkan wawasan multi budaya; lebih mendasar dan komprehensif: wawasan manusia dan wawasan budaya (human and cultural concept).

II. POKOK-POKOK AJARAN FILSAFAT PANCASILA
Memahami, membandingkan dan menghayati kandungan nilai filsafat Pancasila, kita bersyukur mewarisi nilai dan ajaran filsafat Pancasila sebagai bagian dari sistem filsafat Timur. Karenanya, identitas dan integritas Pancasila sebagai sistem filsafat memancarkan integritas martabatnya sebagai sistem filsafat theisme-religius. Identitas dan integritas demikian memancarkan keunggulan dibandingkan berbagai sistem filsafat lainnya, yang beridentitas: polytheisme, monotheisme, sekularisme, pantheisme sampai atheisme dalam berbagai aliran seperti: theokratisme, zionisme, kapitalisme-liberalisme; marxisme-komunisme-atheisme, sosialisme; fundamentalisme  dan Pancasila.

Integritas fundamental ajaran filsafat Pancasila secara ringkas terlukis dalam skema 4 dengan klarifikasi ringkas berikut: 
skema 1

Klarifikasi pokok-pokok ajaran filsafat Pancasila
1. T = Abstraksi makna dan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, yang kita yakini sebagai Maha Pencipta, Maha Kuasa, Maha Berdaulat, Maha Pengatur dan Maha Pengayom semesta. Dalam kedaulatan Maha Pencipta, kesemestaan berkembang dalam harmoni dan kesejahteraan berkat pengayoman abadi Yang Maha Berdaulat melalui ikatan fungsional-integral-universal (imperatif, mutlak) dalam tatanan hukum:
a. hukum alam; yang bersifat obyektif, fisis, kausalitas, mutlak, abadi, dan universal; dan
b. hukum moral yang bersifat obyektif‑subyektif, psiko‑fisis, sosial‑subyektif, mutlak, teleologis, abadi dan universal tercermin dalam budinurani dan kesadaran keagamaan
2. AS = simbolik alam semesta, makro‑kosmos yang meliputi realitas eksistensial‑fenomenal dan tidak terbatas dalam keberadaan ruang dan waktu sebagai prakondisi dan prawahana kehidupan semua makhluk (flora, fauna, manusia dsb). Alam semesta menjamin kehidupan semua makhluk, melalui tersedianya: cahaya sebagai energi; udara, air, tanah, tambang, flora dan fauna. Semuanya menjamin kehidupan dan berkembangnya kebudayaan dan peradaban. 
3. SM = Subyek Manusia sebagai umat manusia keseluruhan di bumi. Subyek manusia dengan potensi dan martabat kepribadiannya mengemban amanat Ketuhanan (keberagamaan), kebudayaan dan peradaban berwujud kesadaran hak asasi manusia (HAM) dan kewajiban asasi manusia (KAM). Penghayatan dan pengamalan manusia atas HAM secara normatif berdasarkan asas keseimbangan HAM dan KAM demi keharmonisan dan kesejahteraan jasmaniah-rokhaniah, dunia dan akhirat.
4. SB = Sistem Budaya, sebagai prestasi cipta‑karya manusia, wahana komunikasi, perwujudan potensi martabat kepribadian manusia, berpuncak sebagai peradaban dan moral!

Sistem budaya warisan sosio‑budaya: lokal, nasional dan universal, sebagai pancaran potensi keunggulan martabat manusia.

5. SK = Sistem Kenegaraan sebagai perwujudan dan prestasi perjuangan dan cita nasional; kemerdekaan dan kedaulatan bangsa; pusat kesetiaan dan kebanggaan nasional warga negara. 

Sistem kenegaraan sebagai pusat dan puncak kelembagaan dan kepemimpinan nasional, pusat kesetiaan dan pengabdian warga negara. SK sebagai pengelola kesejahteraan rakyat warga negara; penegak kedaulatan dan keadilan; dan pusat kelembagaan dan kepemimpinan nasional dalam fungsi pengayoman rakyat warga negara dan penduduk. SK berkembang dalam kejayaan berkat integritas manusia waga negara dengan menegakkan kemerdekaan, kedaulatan, keadilan demi kesejahteraan dan perdamaian antar bangsa dalam semangat kerjasama umat manusia. 

6. P = Pribadi, subyek manusia mandiri yang berkembang (pribadi, berkeluarga, berkarya, berkebajikan) dalam asas dan wawasan horizontal dan vertikal (sebagai fungsi kerokhanian dan moral martabat manusia). P berkembang dan mengabdi dalam antar hubungan diagonal: (antar AS – SM – SB – SK) dan vertikal sebagai subyek mandiri dalam kategori integritas subyek budaya dan subyek moral……yang terus meningkat secara spiritual (teleologis), dengan memancarkan cinta dan kebajikan dalam proses menuju Tuhan dan keabadian. 

Secara filosofis-ideologis dan konstitusional essensi ajaran filsafat moral Pancasila, berpedoman kepada UUD 45 seutuhnya, terutama Pembukaan dan pasal 29. 

Lukisan dalam klarifikasi skematis di atas, sebagai kandungan fundamental sistem filsafat Pancasila memancarkan integritas-identitas martabatnya sebagai sistem filsafat theisme-religious (monotheisme-religious) yang unggul dan luhur karena sesuai dengan kodrat martabat kepribadian manusia. 

Uraian ringkas pokok-pokok ajaran sistem filsafat Pancasila di atas, diakui sebagai suatu alternatif pemikiran, yang dapat dikembangkan oleh para pakar demi pengayaan khanasah kepustakaan sistem filsafat Pancasila.

III. AJARAN HAM BERDASARKAN FILSAFAT PANCASILA 
Sistem filsafat Pancasila diakui sebagai bagian dari ajaran sistem filsafat Timur, yang secara kodrati memiliki integritas dan identitas sebagai sistem filsafat theisme-religious; dan monotheisme-religious. Karenanya, identitas martabatnya yang demikian secara intrinsik dan fungsional memancarkan integritas ajaran yang mengakui potensi martabat kepribadian manusia, sebagai terpancar dalam integritas jasmani-rokhani. Integritas dan martabat manusia yang luhur memancarkan potensi unggul dan mulia, sebagai makhluk mulia ciptaan Allah Yang Maha Kuasa). Kemuliaan martabat manusia ialah kesadaran kewajiban asasi untuk menunaikan amanat Ketuhanan dalam peradaban.

Berdasarkan asas dan wawasan sistem filsafat demikian, maka filsafat Pancasila mengajarkan asas-asas fundamental Ketuhanan dan kemanusiaan sebagai inti ajaran moral; yang dapat dianalisis secara normatif memberikan kedudukan yang tinggi dan mulia atas kedudukan dan martabat manusia (sila I dan II). Karenanya ajaran HAM berdasarkan Pancasila memancarkan asas normatif theisme-religious: 
1. bahwa HAM adalah karunia dan anugerah Maha Pencipta (sila I dan II); sekaligus amanat untuk dinikmati dan disyukuri oleh umat manusia.
2. bahwa menegakkan HAM senantiasa berdasarkan asas keseimbangan dengan kewajiban asasi manusia (KAM). Artinya, HAM akan tegak hanya berkat (umat) manusia menunaikan KAM sebagai amanat Maha Pencipta.
3. kewajiban asasi manusia (KAM) berdasarkan filsafat Pancasila, ialah:
a. manusia wajib mengakui sumber (HAM: life, liberty, property) adalah Tuhan Maha Pencipta (sila I).
b. manusia wajib mengakui dan menerima kedaulatan Maha Pencipta atas semesta, termasuk atas nasib dan takdir manusia; dan
c. manusia wajib berterima kasih dan berkhidmat kepada Maha Pencipta, atas anugerah dan amanat yang dipercayakan kepada (kepribadian) manusia.

Tegaknya ajaran HAM ditentukan oleh tegaknya asas keseimbangan HAM dan KAM; sekaligus sebagai integritas martabat moral manusia.

Sebagai manusia percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, kita juga bersyukur atas potensi jasmani-rokhani, dan martabat unggul, agung dan mulia manusia berkat anugerah kerokhaniannya ---sebagai terpancar dari akal-budinuraninya sebagai subyek budaya (termasuk subyek hukum) dan subyek moral. (M. Noor Syam 2007: 147-160). 

Berdasarkan ajaran suatu sistem filsafat, maka wawasan manusia (termasuk wawasan nasional) atas martabat manusia, menetapkan bagaimana sistem kenegaraan ditegakkan; sebagaimana bangsa Indonesia menetapkan NKRI sebagai negara berkedaulatan rakyat dan negara hukum. Kedua asas fundamental ini memancarkan identitas dan keunggulan sistem kenegaraan RI berdasarkan Pancasila – UUD 45.

Ajaran luhur filsafat Pancasila memancarkan identitas theisme-religious sebagai keunggulan sistem filsafat Pancasila dan filsafat Timur umumnya karena sesuai dengan potensi martabat dan integritas kepribadian manusia

IV. WAWASAN MANUSIA 
Diharapkan semua pribadi manusia memiliki kesadaran (keyakinan, kebanggaan) atas potensi dan martabat kepribadian manusia yang unggul, agung dan mulia sebagaimana diisyaratkan oleh Maha Pencipta. Penghayatan demikian memberikan wawasan manusia yang benar secara filosofis dan religious bukan hanya secara psikologis atau ilmiah. Menghayati wawasan manusia secara valid, akan memberikan kesadaran untuk dengan sungguh-sungguh menghargai (respectful) atas martabat manusia. Penghargaan demikian menjamin integritas kepribadian manusia baik untuk dirinya maupun untuk manusia lain!

Sebagaimana pribadi memahami diri sendiri (self-concept), sebagai landasan memahami potensi kepribadian dan manusia lain; maka wawasan manusia (human concept) merupakan modal dasar untuk mengembangkan kepribadian (mandiri, berbudi) dalam rangka nation and character building. Kemudian, manusia dengan potensi keunggulan mengembangkan sistem budaya (cultural system) sebagai cipta-karya manusia; berpuncak dengan peradaban (civilization; termasuk moral) yang memancarkan martabat kepribadian dan mental kerokhanian manusia, sebagai nilai beradab dan bermoral! 

A. Konsep Diri 
Guna memahami wawasan manusia, secara skematis dapat dicermati skema berikut:

KONSEP DIRI DAN WAWASAN MANUSIA

skema 2


Penjelasan:
Lukisan skema ini mengandung makna dan nilai mendasar: 
1. Menghayati alam (ALH-SDA) sebagai anugerah dan amanat Maha Pencipta; karenanya manusia wajib mencintai, menikmati dan bertanggungjawab atas kelestariannya.
2. Menghayati nilai budaya sebagai cipta-karya dan prestasi serta identitas bangsa-bangsa; sebagai juga cipta-karya pribadi sebagai amal kebajikan.
3. Menghayati: saling pengertian dan penuh hormat antar sesama; bersyukur atas martabat unggul dan mulia manusia dengan memancarkan martabat manusia: budi, cinta dan kebajikan sebagai pancaran moral dan sikap khidmat atas anugerah, amanat dan kedaulatan Maha Pencipta. 

Sesungguhnya nilai dan fungsi yang tersurat dan tersirat dalam skema 2, ditentukan juga oleh kesadaran fungsional berbagai komponen (alamiah, natural) sebagai terlukis dalam skema 3. 

skema 3

B. Wawasan Budaya dan Suprabudaya
Tiap bangsa memiliki dan mewarisi nilai sosio budaya yang terbentuk sebagai transformasi nilai (potensi) SDM dengan ALH-SDA, terutama Volkgeist dan ekosistem. Artinya, potensi kepribadian, mulai sosio-psikologis bekerjasama (dalam dinamika dan tantangan) dengan ALH-SDA (ekosistem) membentuk sistem budaya (lokal, nasional) kemudian berkembang kuantitatif-kualitatif sebagai peradaban atau nilai budaya universal (MNS 1983; 1988: 23 - 30; 59 - 85; 378-380).

Sebelum menghayati dan menikmati (nilai) wawasan budaya (= cultural concept) manusia sesungguhnya secara alamiah (natural concept) sepenuhnya tergantung (hidupnya) dengan alam dan hukum alam (dalam skema 3: ada 7 unsur alam sebagai prakondisi kehidupan manusia). Berkat potensi dan martabat manusia (unggul dan mulia) dikembangkanlah ke-7 unsur ALH-SDA dimaksud menjadi cipta-karya = budaya dan peradaban (culture and civilization) yang memancarkan prestasi (keunggulan), integritas (keluhuran, kemuliaan) martabat manusia. 

Berdasarkan analisis psikologis dan filosofis potensi unggul dan mulia itu terpancar dari integritas jasmani rokhani dengan penghayatan nilai mendasar martabat manusia sebagai pancaran integritas-moralitas berwujud: akal dan budinurani manusia yang aktualisasinya: saling pengertian, menghargai, bekerjasama, cinta dan kebajikan. 

Wawasan budaya adalah kesadaran manusia atas potensi cipta-karya (dari akal-budi), terutama berwujud: berbagai komponen nilai budaya, seperti: bahasa, adat, nilai, norma, hukum, tatanan dan kelembagaan sosial, termasuk ipteks. Semuanya dikembangkan dari unsur natural (non-budaya), yakni 7 unsur dasar ALH-SDA. Artinya, manusia berbudaya dan berperadaban berkat tersedianya secara memadai ke-7 unsur ALH-SDA di atas. Sebaliknya, tanpa ke-7 unsur ALH-SDA itu, umat manusia bukan saja tidak mampu menciptakan budaya; melainkan, bahkan tidak mungkin dapat hidup layak!

Nilai dan makna berbudaya, dan beradab….. terutama adalah bagaimana kualitas penghayatan kesadaran subyek manusia atas nilai fundamental (vital, fungsional) nilai natural (non-budaya). Juga, manusia wajib menghayati ketergantungan hidupnya dengan ALH-SDA sebagai bagian dari ikatan hukum alam (kausalitas) secara universal. Penghayatan kesadaran demikian adalah landasan (potensial) penghayatan kesadaran sosial dan kesadaran kultural; sebagai wujud subyek beradab atau kualitas manusia sebagai subyek moral! Jadi, wawasan manusia, secara horisontal menjangkau penghayatan dan penghargaan atas nilai kemanusiaan manusia sebagai super value (Bodenheimer 1962: 143); atau sebagai fundamental rights and freedom as highest value as legal dan sebagai: respect to central human values (Murphy & Coleman 1996: 22; 37). Maka pribadi manusia demikian senantiasa mampu menghargai sesama manusia dan nilai natural sebagai prakondisi dan bahan baku penciptaan budaya (lokal, nasional). 

Setiap negara senantiasa menegakkan sistem kenegaraan yang dijiwai dan dilandasi sistem filsafat negaranya; dan dididikkan sebagai pewarisan kepada generasi penerus melalui pendidikan civics (CCE 1994: 24-25; 53-55) di Indonesia terkenal sebagai PPKn.

Berdasarkan wawasan budaya demikian, berkembanglah wawasan multibudaya (lintas budaya) sebagai sisi eksternal dari wawasan horisontal sesama manusia; bahwa ada berbagai suku, bangsa dan ras manusia dengan berbagai kuantitas-kualitas kebudayaan masing-masing. Keberadaan semua mereka adalah fenomena eksistensial martabat kemanusiaan; sebagai wujud peradaban dalam integritas moral kepribadian manusia dengan wawasan integral universal. 

Kesadaran penghayatan nilai non-budaya, meningkat sebagai penghayatan budaya (lokal, nasional, universal atau multikultural) barulah penghayatan kepribadian manusia dalam kualitas horisontal. Kesadaran penghayatan martabat kepribadian manusia yang unggul dan mulia tidak cukup bersifat kuantitas-kualitas horisontal saja misal: hanya menghargai budaya dan ipteks sebagai cipta karya manusia unggul; melainkan manusia sesuai potensi kodrati (integritas martabat manusia) sebagai subyek mandiri dengan keunggulan dan kemuliaan kerokhaniannya, mampu menjangkau, menghayati dan menikmati nilai-nilai suprabudaya (yang adanya di luar cipta-karya manusia) yakni: kepribadian manusia sendiri (sebagai supervalue), nilai agama dan berpuncak nilai Ketuhanan (yang diyakini sebagai Maha Pencipta, Yang Maha Berdaulat yang mengayomi semesta dalam Kedaulatannya, melalui nilai hukum alam dan hukum moral berdasarkan konsepsi atau ajaran agama menurut zamannya).

Bagaimana wawasan manusia dalam mengerti dan menghargai martabat manusia: perhatikan: konsepsi HAM pada umumnya; khususnya HAM berdasarkan filsafat Pancasila, yang menegakkan asas keseimbangan HAM dan KAM (MNS 2000: 85 - 98); vide: skema terlampir. Bandingkan dengan ajaran HAM baik berdasarkan teori Natural Law maupun teori Hegel. Jadi, wawasan manusia wajar dimaknai dan dihayati dalam integritas dan kualitas nilai integral: nilai nonbudaya (natural), nilai budaya (kultural) dan nilai suprabudaya (suprakultural). 

Secara teoretis ilmiah ketiga tingkat wawasan di atas belum dihayati oleh masyarakat terdidik sekalipun; karenanya terjadi kecenderungan pemujaan manusia kepada ipteks sebagai komponen dominan dalam konsepsi budaya. Artinya, manusia belum menghayati dan menghargai bagaimana integritas kesemestaan jangkauan dan penghayatan martabat kepribadian manusia yang ideal; sebagaimana juga terlukis dalam skema 3 dan skema 4. Karena itu dengan kerendahan hati, kita seyogyanya memahami dan menghayati makna wawasan manusia (seutuhnya) sebagai dimaksud dalam skema 2, 3 dan 4. Sebagai konsepsi tujuan pendidikan yang lebih komprehensif dan mendasar, maka nilai-nilai fundamental dalam skema tersebut dapat dikembangkan secara paedagogis sesuai psikologi perkembangan anak didik. 

Wawasan manusia berpuncak dengan penghayatan nilai suprabudaya, yang secara normatif dan psikologis terlukis dalam skema 3, berikut:

skema 4

Penjelasan:
Skema 3 mengandung 5 komponen nilai mendasar dan fungsional:
1. Potensi kepribadian manusia: integritas jasmani-rokhani.
2. Potensi dan fungsi kepribadian (7 potensi kodrati).
3. Potensi dan martabat kepribadian (5 kategori potensial: intelektual, emosional, sosial, spiritual dan moral).
4. Wawasan dan penghayatan nilai: horisontal dan vertikal; dan 
5. Wawasan dan penghayatan integritas kesemestaan universal: fisika-metafisika dalam dimensi ruang dan waktu: praeksistensial, eksistensial (dalam ikatan hukum alam dan hukum moral dalam asas integral-fungsional-universal; memasuki pascaeksistensial (keabadian rokhani manusia di alam posthumous) dalam Pengayoman Yang Maha Berdaulat (Ar Rahman Ar Rahim).

Wawasan integral universal sebagai penghayatan kodrat martabat moral kepribadian manusia sebagai amanat tujuan penciptaan manusia sebagai: khalifah (Q. 2: 30; 24: 55) dan sebagai abdi (Q. 51: 56) Maha Pencipta; demikian essensi ajaran sistem filsafat Pancasila yang beridentitas theisme-religious (MNS 2000: 37 - 39). SDM berkualitas demikian, diakui martabatnya sebagai subyek budaya dan subyek moral (MNS 2000: 37-45; 183-189). 

Karenanya, program pendidikan multibudaya sinergis dengan program pendidikan Humaniora.

V. WAWASAN MULTIBUDAYA
Filsafat Pancasila mengajarkan sila II dan sila III; dalam makna bahwa umat manusia dengan potensi martabat Kemanusiaan yang adil dan beradab meliputi pula adanya suatu bangsa (in casu: bangsa Indonesia, dengan asas Persatuan Indonesia = wawasan nasional dan wawasan nusantara dalam integritas NKRI).

Bangsa Indonesia sepenuhnya sadar kebersamaannya dalam kehidupan antrar bangsa (dunia yang damai, bersahabat dan bekerjasama berdasarkan kemerdekaan dan keadilan sosial). Berdasarkan asas kemerdekaan (kebangsaan, kedaulatan, kemandirian) bangsa dan NKRI menegakkan kemerdekaan dan kedaulatan nasional dalam rangka kehidupan internasional. 

Semangat kebangsaan (wawasan nasional) bermakna secara filosofis-ideologis dan konstitusional bahwa integritas Indonesia (budaya lokal dan nasional) adalah bagian dari integritas universal internasional (antar bangsa, umat manusia dan kemanusiaan). Nilai demikian tersurat dalam ungkapan Presiden Soekarno: "….mankind is one, dengan makna kemanusiaan adalah tunggal. Artinya, umat manusia bersaudara, sekaligus memiliki integritas kepribadian dan budinurani yang sama sebagai essensi ajaran HAM: demi persamaan, kemerdekaan dan keadilan demikian pula (tuntutan, hak) martabat manusia juga sama: kemerdekaan, persamaan, perdamaian, keadilan, kesejahteraan dan persahabatan.

Sesungguhnya asas normatif filosofis filsafat Pancasila mengandung ajaran menghargai manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa secara universal. Artinya, terkandung makna kita saling menghargai identitas nasional (kemerdekaan dan ideologi masing-masing) termasuk budaya sebagai integritas dan identitasnya.

Sebaliknya, kolonialisme-imperialisme adalah praktek mengingkari HAM, identitas nasional antar bangsa (sebagai dinyatakan Pembukaan UUD 45). Karena itu, dunia dan peradaban masa depan akan senantiasa menegakkan asas-asas kemerdekaan dan keadulatan antar bangsa dan negara dengan segala potensi dan martabat serta identitas masing-masing ---sebagai terpancar dari sistem budaya dan sistem nilai masing-masing---. Kesadaran demikian, adalah wawasan dan praktek penghayatan nilai multibudaya! Bukan hanya kolonialisme-imperialisme, dan politik supremasi serta dominasi oleh negara adidaya amat bertentangan dengan HAM dan asas multikultural; melainkan juga politik supremasi: ipteks dan budaya, sosial ekonomi. dalam dinamika neo-liberalisme dan postmodernisme yang bermuara sebagai praktek neo-imperialisme (!) wajib diwaspadai dan dihadapi oleh bangsa-bangsa yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, kemerdekaan dan peradaban, sebagai tantangan kultural dan moral! 

VI. KESIMPULAN
Dalam kesimpulan ini dapat dirumuskan pemikiran alternatif, sebagai konsepsi dasar Kebijaksanaan Nasional dalam Strategi Budaya Indonesia berdasarkan asas dan wawasan sistem filsafat Pancasila yang beridentitas theisme-religious, dengan pokok-pokok sebagai berikut:
1. Karsa pengembangan pendidikan IBD hendaknya dilandasi dan dijiwai sistem filsafat (Weltanschauung) sebagai asas kerokhanian dan asas moral bangsa dan negara untuk menjamin integritas dan identitas nasional.
2. Apresiasi atas sistem budaya dan multi budaya dilandasi wawasan manusia sebagai pencipta budaya; yang secara fungsional berdasarkan wawasan integral horisontal dan vertikal (nilai natural, nilai kultural; dan nilai suprakultural) yang dijiwai filsafat hidup bangsa.
3. Wawasan manusia sebagai subyek budaya dan subyek moral adalah pandangan hidup manusia yang ditegakkan dalam tatanan peradaban; sebagai fungsi dari visi dan misi (yang diyakini) dalam penciptaan manusia oleh Maha Pencipta.
4. Pendidikan IBD, bahkan pendidikan budaya (termasuk sastra) sesungguhnya dijiwai dan berasas normatif filosofis-ideologis dalam menghargai martabat manusia sebagai makhluk unggul dan mulia yang mengemban amanat atau visi-misi religious (Ketuhanan). Sebaliknya, secara imperatif filosofis-ideologis dan konstitusional wajib (mutlak) dilandasi asas filsafat hidup (filsafat negara dan ideologi negara). Jadi, praktek budaya non-religious, apalagi atheisme, adalah praktek budaya dan “moral” sekularisme dan atheisme (neoliberalisme dan marxisme-komunisme-atheisme)!
5. Pendidikan multi budaya dapat dijadikan modal dasar mendidik wawasan antar manusia yang menghargai kemerdekaan, integritas dan martabat manusia, martabat bangsa dan negara…..yang berpuncak dengan tantangan atas dinamika neo-liberalisme, pascamodernisme dan neo-imperialisme yang sinergis dengan gerakan kebangkitan neo-PKI (komunis gaya baru/KGB). 

Praktek mereka merupakan pelanggaran atas budaya dan moral politik dasar negara Pancasila sebagai sistem filsafat negara Indonesia yang beradab dan bermartabat. Sekedar klarifikasi analisis normatif ini, renungkan dan hayati isi skema 5 (terlampir). Demikian, semoga bermanfaat.

B A C A A N
Bodenheimer, Edgar 1962: Jurisprudence the Philosophy and Methode of the Law, Massachusetts, Harvard University Press.
Center for Civic Education 1994: National Standards for Civics and Government, California, Center for Civic Education (CCE). 
Hans Kelsen 1991: General Theory of Norms, Clarendon Press, Oxford.
--------------- 1973: General Theory of Law and State, New York, Russel & Russel.
Huston Smith, 1985: The Religions of Man, (Agama-Agama Manusia, terjemah oleh: Saafroedin Bahar), Jakarta, PT Midas Surya Grafindo.
Mohammad Noor Syam 1983; 1998: Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Surabaya, Usaha Nasional (edisi I; edisi IV).
---------------------- 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum (sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III, Malang, Laboratotium Pancasila.
----------------------- 2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural, Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila. 
McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition), Glasgow, Bell & Bain Ltd.
Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.
UNO 1988: HUMAN RIGHTS, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New York, Harvard College, University Press.

Analisis Akustik Pantun Melayu

Analisis Akustik Pantun Melayu 
1. Pendahuluan
Pantun adalah bentuk puisi Indonesia (Melayu) yang asli dan unik. Pantun merupakan khazanah dalam kehidupan masyarakat di Alam Melayu, baik dari segi pemikiran, kesenian maupun, nilai-nilai sosialnya. Akal budi orang Melayu dapat dilihat dalam pantun yang diungkapkan secara spontan dengan begitu ringkas dan padat untuk menjana makna yang dalam dan menggerak hati serta lukisan rasa yang indah yang berhubungan dengan unsur-unsur alam.

Pantun merupakan kesusastraan Melayu yang terdiri dari kesusastraan lisan dan tulisan. Kesusastraan lisan disebut juga tradisi lisan yang muncul dan berkembang seiring dengan masuknya agama Islam ke kawasan Deli. Tradisi lisan tersebut terdiri dari pantun, bidal, tambo dan kobel. Sedangkan tradisi tulisan mencakup gurindam, hikayat, puisi, syair, dan sajak.

Setiap tahap kehidupan manusia Melayu dihiasi oleh pantun mulai dari dalam buaian hingga ke alam percintaan. Pantun wujud dalam pelbagai bentuk dan wajah. Jenis-jenis pantun terdiri dari pantun percintaan, pantun jenaka, pantun pernikahan, dan sebagainya. Genre ini menduduki tempat yang penting dalam kehidupan masyarakat Melayu. Dapat dikatakan bahwa pantun ialah genre yang tersebar luas. Di Alam Melayu, bentuk ini hidup subur dalam sekitar 30 bahasa dan dalam 35 dialek Melayu. Diantara beberapa jenis pantun tersebut, pantun jenaka merupakan kajian yang dianalisis berdasarkan ciri-ciri akustiknya.

Kehadiran pantun di Eropah dan Amerika telah menarik perhatian penyair-penyair hingga menyebabkan timbulnya genre pantoum dalam kesusasteraan Barat mulai abad ke-19. Kini pantun telah banyak dikaji di dalam dan di luar bidang sastera alam Melayu dan juga di luarnya. Pantun terus dikaji di pusat-pusat Pengkajian Melayu dan di dalam bentuk seminar-seminar. 

Sugiono (2003) mengatakan berapapun jumlah kajian yang telah dilakukan terhadap bahasa-bahasa di Indonesia, dapat dipastikan bahwa kajian-kajian itu belum mencakupi seluruh kajian bahasa dengan proporsi yang baik. Dengan berbagai alasan, kajian terhadap bahasa lisan dari aspek fonetik, amat ”sangat kurang”. Padahal, disadari atau tidak, keadaan seperti itu tidaklah menguntungkan, baik bagi kodifikasi bahasa-bahasa di Indonesia maupun bagi perkembangan pengajaran bahasa dan linguistik di Indonesia.

Kajian terhadap tatabahasa lisan tidak tepat apabila tidak memfokuskan kajian pada aspek-aspek kelisanan bahasa tersebut. Dapat diduga bahwa eksploitasi akustik terhadap simbol-simbol bahasa pasti banyak terjadi karena justru dari ciri-ciri akustik simbol itulah penutur bahasa yang bersangkutan dapat mengekspresikan makna tuturannya secara tepat. Dengan kata lain, esensi bahasa lisan adalah gejala akustik yang merupakan realisasi aspek semantis baik dalam tataran bunyi atau segmen tunggal, kata, kalimat, maupun tataran yang lebih tinggi.

Awalnya bunyi hanya dikaji secara segmental dan sedikit suprasegmental, tetapi setelah berkembangnya penelitian yang mengkaji bidang fonetik maka bunyi bahasa dapat diukur dengan lebih mutakhir. Pada kajian lain tentang bunyi suprasegmental pada bahasa Indonesia pun masih meninggalkan pertanyaan, sejauh mana bunyi bahasa atau intonasi dapat diukur dengan lebih tepat dan canggih?

Pertanyaan diatas telah diberikan jawabannya oleh Sugiyono (2003) dalam penelitian disertasinya yang berjudul: Pemarkah Prosodik Kontras Deklaratif Dan Interogatif Bahasa Melayu Kutai. Menurut pernyataan yang dikutip beliau, pendekatan fonetik berdasarkan pendekatan instrumental adalah fonetik eksperimental. Pendekatan ini memperluas kajian fonetik dan mengubah persepsi orang tentang kajian fonetik. Sugiyono dalam kajiannya memaparkan Speech Chain (rantai ujaran) yang dipopulerkan oleh Denes dan Pinson (1963) yang menyatakan bahwa ada tiga tataran dasar yang harus dilalui sebuah pesan lisan hingga sampai ke pemahaman mitra tuturnya dalam sebuah dialog. Ketiga tataran tersebut adalah tataran linguistik, tataran fisiologis, dan tataran akustik.

Tataran linguistik yang dikaji adalah tataran akustik. Dalam tataran akustik dijelaskan bagaimana bunyi-bunyi bahasa dibuat dengan menggunakan parameter-parameter artikulatoris. Bagaimana bunyi dan bunyi apa yang kita dengar akan sangat tergantung kepada struktur akustik bunyi itu. Dalam analisis ini akan dibahas ciri-ciri akustik pantun jenaka Melayu. Pembahasan ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut :
1. Bagaimanakah durasi pantun jenaka Melayu dalam frasa, kata, dan sillabel?
2. Bagaimanakah frekuensi pantun jenaka Melayu?

Pada setiap ilmu terdapat tujuan untuk dapat mengukur hal-hal yang dideskripsikan sehingga hal-hal itu dapat dinyatakan dalam angka-angka yang sahih, andal, dan signifikan. Angka yang sahih adalah angka yang benar-benar mengukur hal yang dikatakan diukur. Jadi Pembahasan frekuensi dan durasi cakupannya terbatas hanya pada tataran kualitatif dengan mengabaikan perhitungan statistik. Dengan kata lain, ciri-ciri akustik yang dibahas sangat sederhana.

Yang menjadi tujuan dalam analisis akustik ini adalah sebagai berikut :
1. untuk mendeskripsikan dan menggambarkan durasi pantun jenaka Melayu.
2. untuk mendeskripsikan dan menggambarkan frekuensi pantun jenaka Melayu.

2. Kerangka Teori
2.1 Fonologi dan Fonetik 
Lass (1984) mengatakan secara garis besar, fonologi adalah suatu sub-disiplin dalam ilmu bahasa atau linguistik yang membicarakan tentang ’bunyi bahasa’. Lebih sempit lagi, fonologi murni membicarakan tentang fungsi, perilaku serta organisasi bunyi sebagai unsur-unsur linguistik; berbeda dengan fonetik yang berupa kajian yang agak lebih netral terhadap bunyi-bunyi sebagai fenomena dalam dunia fisik dan unsur-unsur fisiologikal, anatomikal, neurologikal, dan psikologikal manusia yang membuat bunyi-bunyi itu. Sugiono (2003) mengatakan fonologi membicarakan prosodi sebagai sistem bunyi bahasa, sedangkan fonetik memperlakukan prosodi sebagai gejala fisik yang merupakan bagian dari tindak tutur atau dapat juga dikatakan bahwa fonetik mengkaji bunyi pada tataran permukaan yaitu tataran yang merefleksikan peristiwa artikulasi, akustis, dan perseptual. Fonologi, adalah ’linguistik’, dalam pengertian bahwa sintaksis, morfologi, dan sampai tingkat tertentu, semantik juga linguistik; sedangkan fonetik berangsur-angsur berubah dalam berbagai hal menuju ke neurologi, psikologi perseptual, akustik, dsb.

2.2 Pendekatan Fonetik (Eksperimental dan Impresionistik)
Pendekatan fonetik dalam memperlakukan objeknya dapat dibuat dengan dua pendekatan yaitu pendekatan eksperimental dan pendekatan impresionistik atau disebut juga pendekatan auditoris dan pendekatan instrumental. 

Meskipun jelas bahwa objek fonetik adalah gejala akustik yang konkrit, penyelidikan atas objek itu semula hanya bisa dilakukan dengan mengandalkan impresi ahli fonetik. Identifikasi dan analis terhadap objek bunyi yang dikaji didasarkan sepenuhnya pada kemampuan indera pendengaran, penglihatan, dan kesadaran akan aktivitas organ tuturnya sendiri ketika sebuah bunyi diujarkan.

Dalam berbicara, apabila sebuah kata diucapkan dengan sangat cepat maka ucapan itu berlalu begitu saja. Jika kita ingin menganalisisnya lebih mendalam, maka kata-kata tersebut harus diulang pengucapannya, dengan resiko bunyi-bunyi yang kita ucapkan itu akan berbeda dengan pengucapan pertama. Perbedaan itu terjadi pada tekanan, panjang-pendeknya bunyi, tinggi rendahnya suara dan lain sebagainya.

Rangkaian ujaran (Speech Chain) dimulai dengan pembentukan ucapan-ucapan dalam otak penutur, apakah itu frasa, kata, maupun kalimat. Kemudian syaraf motoris dalam otak memerintahkan alat ucap untuk mengucapkan tuturan yang direalisasikan dalam gelombang bunyi yang kemudian sampai ke telinga pendengar dan diterima syaraf pendengaran dan diteruskan lagi ke otak untuk diinterpretasi. Ketika pesan ada dalam otak, hal ini menyangkut tataran fisiologis, dan ketika pesan berada diluar alat ucap, hal ini menyangkut tataran akustik. Dengan demikian kajian fonetik akustik merupakan bidang fonetik eksperimental.

Dalam fonetik eksperimental dikenal adanya frekuensi, durasi, dan intensitas. Frekuensi diukur dengan berapa banyak gelombang yang terdapat dalam satu detik. Gelombang disebut juga siklus, jadi jumlah siklus diukur dalam satu detik. Durasi adalah waktu yang diperlukan untuk satu gelombang, disebut periode, jadi jumlah durasi diukur dalam periode. Intensitas berhubungan dengan amplitudo, yaitu simpang getar antara puncak gelombang dengan sumbu X. Dalam hal ini amplitudo menyangkut kenyaringan suara Sehingga dikaitkan dengan tenaga yang dibutuhkan ketika mengucapkan bunyi. Semakin besar tenaga yang dikeluarkan semakin nyaring bunyi yang didengar.

Frekuensi suara diukur dengan satuan Hertz yang disingkat dengan Hz, satu Hz sama dengan satu siklus dalam satu detik, sedangkan durasi atau periode dihitung dengan milidetik, disingkat md. Intensitas dihitung dengan satuan desibel disingkat dB. Masing-masing pengukuran dinyatakan dalam rumus: F = 1/T, T = 1/F, I = 10 (LOG(IA/IB)).

3. Metodologi
3.1 Instrumen 
Instrumen yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah dengan merekam responden atau informan dengan menggunakan program Praat. Dalam merekam data tuturan, ada beberapa cara yang dapat digunakan, seperti perekaman dengan komputer, perekam DAT (digital audio tape) atau CD (compact disk), perekam konvensional analog, dan sebagainya. 

Ada banyak peranti lunak komputer yang digunakan untuk menganalisis akustik, misalnya CSRE (Computerized Speech Research Environment, Cecil (Speech Analysis), dan Praat. Dalam analisis ini penulis menggunakakan program Praat versi 4.1.07 sebagai alat bantu dalam analisis akustik karena program Prat ini lebih populer di kawasan Asia dan merupakan program yang sangat sederhana. Data yang akan dianalisis direkam dalam bentuk digital. Perekaman dengan komputer akan memperoleh data dalam bentuk digital.

3.2 Responden/Informan
Suara responden yang direkam adalah penutur asli bahasa Melayu dengan keterangan sebagai berikut :
Nama : Putri Ayu Erwita
Usia : 23 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jalan Polonia Gang A No. 31A, Medan

3.3 Tehnik Analisis Data
Data yang sudah direkam dianalisis dengan menggunakan tehnik berikut :
1. memasukkan data ke komputer dengan program PRATT
2. mengekstrak bagian-bagian data yang tidak diperlukan
3. segmentasi phrasa, kata, dan silabel
4. mengekstrak durasi dan frekuensi
5. menyimpulkan

4. Data dan Analisis Data
Sebelum menganalisis data akustik dengan program Pratt, langkah yang pertama sekali dilakukan adalah memasukkan data ke komputer. Yang menjadi data analisis dalam tulisan ini adalah PANTUN JENAKA MELAYU yang isinya seperti berikut : 
Dibalik Pulau Ombak Menggulung
Lautnya Tenang Selat Melaka
Kakak Terpukau Memandang Bingung
Melihat Nenek Bersepatu Roda

Pantun tersebut di atas terdiri dari bait dan larik. Tiap bait (kuplet) terdiri atas empat baris yang bersajak (a-b-a-b) dan tiap larik biasanya terdiri atas empat kata, baris pertama dan baris kedua biasanya untuk tumpuan (sampiran) saja dan baris ketiga dan keempat merupakan isi. 

Setelah data direkam melalui program PRATT ke dalam komputer, maka data hasil rekaman tersebut dapat dilihat dalam gambar berikut :

Gambar 1 : Jendela Teksgrid Rekaman Pantun Jenaka Melayu

Langkah kedua adalah mengekstrak hasil rekaman tersebut. Hal ini bertujuan untuk membuang bagian-bagian yang tidak diperlukan, bukan mengekstrak bagian yang diperlukan. Hasil data yang sudah diekstrak (bersih dari bagian-bagian yang tidak diperlukan) dapat dilihat dalam gambar 2 berikut :

Gambar 2. : Jendela Teksgrid Rekaman Pantun yang sudah diekstrak

Langkah berikutnya adalah menandai batas-batas satuan analisis yang telah ditentukan, dalam hal ini penandaan berupa segmen-segmen silabel, kata, dan frasa.

Total durasi pantun jenaka Melayu pada Frasa adalah 7,498/detik seperti dapat dilihat dalam tabel berikut :

Tabel 1. Hasil Durasi Frasa Pantun Jenaka Melayu
No
Frasa
Durasi/detik
1
Dibalik Pulau Ombak Menggulung
2,040
2
Lautnya Tenang Selat Melaka
1,757
3
Kakak Terpukau Memandang Bingung
1,688
4
Melihat Nenek Bersepatu Roda
2,013

Total
7,498
Durasi tertinggi terdapat pada phrasa pertama Dibalik pulau ombak menggulung. Hasil segmentasi yang oleh program Praat disimpan dalam fail Textgrid berisi durasi total turunan yaitu 2,040 detik. File Textgrid yang dibuka dalam MS-Word atau Notepad akan menampilkan informasi durasi phrase tertinggi sebagai berikut. 
File type = "ooTextFile"
Object class = "TextGrid"
xmin = 0
xmax = 2.040079946752674
tiers? <exists>
size = 2
item []:
    item [1]:
        class = "IntervalTier"
        name = "phrasa"
        xmin = 0
        xmax = 2.040079946752674
        intervals: size = 1
        intervals [1]:
            xmin = 0
            xmax = 2.040079946752674
            text = "di balik pulau ombak menggulung"
    item [2]:
        class = "IntervalTier"
        name = "1"
        xmin = 0
        xmax = 2.040079946752674
        intervals: size = 1
        intervals [1]:
            xmin = 0
            xmax = 2.040079946752674
            text = ""
Segmentasi durasi phrasa yang tertinggi, ditampilkan dalam jendela Textgrid seperti gambar 3 berikut :

Gambar. 3. Segmentasi Durasi Phrasa Tertinggi

Durasi terendah terdapat pada phrasa ketiga Kakak terpukau memandang bingung, yaitu 1,688 detik. Segmentasi durasi phrasa yang terendah, ditampilkan dalam jendela Textgrid seperti gambar 4 berikut :

Gambar. 4. Segmentasi Durasi Phrasa Terendah

Total durasi kata Pantun jenaka Melayu dalam analisis ini terdiri dari 17 kata dengan durasi sebagai berikut: 

Tabel 2. Hasil Durasi Kata Pantun Jenaka Melayu
No
Kata
Durasi/detik
1
Di
0,189
2
Balik
0,335
3
Pulau
0,593
4
Ombak
0,388
5
Menggulung
0,709
6
Lautnya
0,585
7
Tenang
0,476
8
Selat
0,245
9
Melaka
0,419
10
Kakak
0,293
11
Terpukau
0,710
12
Memandang
0,484
13
Bingung
0,304
14
Melihat
0,327
15
Nenek
0,372
16
Bersepatu
0,624
17
Roda
0,600
Durasi tertinggi terdapat pada kata ke-11 terpukau. Hasil segmentasi yang oleh program Praat disimpan dalam fail Textgrid berisi durasi total turunan yaitu 0,710 detik. Segmentasi kata yang tertinggi ditampilkan dalam jendela Textgrid berikut :

Gambar. 5. Segmentasi Durasi Kata Tertinggi

Durasi terendah terdapat pada kata pertama di, yaitu 0,189 detik. Segmentasi kata yang terendah ditampilkan dalam jendela Textgrid seperti gambar berikut :

Gambar. 6. Segmentasi Durasi Kata Terendah

Kemudian hasil analisis durasi pantun jenaka Melayu pada silabel adalah sebagai berikut :

Tabel 3. Hasil Durasi Silabel Pantun Jenaka Melayu
No
Syllabel
Durasi/detik
1
di
0,159
2
ba
0,126
3
lik
0,190
4
pu
0,164
5
lau
0,386
6
om
0,213
7
bak
0,234
8
meng
0,232
9
gu
0,164
10
lung
0,290
11
la
0,202
12
ut
0,202
13
nya
0,249
14
te
0,173
15
nang
0,303
16
se
0,287
17
lat
0,143
18
me
0,122
19
la
0,144
20
ka
0,188
21
ka
0,149
22
kak
0,126
23
ter
0,145
24
pu
0,139
25
kau
0,227
26
me
0,149
27
man
0,160
28
dang
0,143
29
bi
0,185
30
ngung
0,266
31
me
0,092
32
li
0,031
33
hat
0,146
34
ne
0,199
35
nek
0,239
36
ber
0,112
37
se
0,076
38
pa
0,068
39
tu
0,145
40
ro
0,219
41
da
0,182
Tabel 3 menunjukkan bahwa durasi tertinggi terdapat pada silabel –lau dalam kata pulau. Hasil segmentasi yang oleh program Praat disimpan dalam fail Textgrid berisi durasi total turunan yaitu 0,386 detik yang ditampilkan dalam jendela Textgrid .

Gambar 7. Jendela Textgrid Silabel Tertinggi

Durasi silabel terendah terdapat pada silabel di yaitu 0,159 detik. Segmentasi silabel yang terendah ditampilkan dalam jendela Textgrid seperti gambar berikut :

Gambar 8. Jendela Textgrid Silabel Terendah

Analisis selanjutnya dilakukan pada frekuensi. Frekuensi bunyi Pantun Jenaka Melayu diukur dengan satuan Hertz (nama terakhir fisikawan Jerman abad 19, Heinrich Hertz) yang diberi lambang Hz. Lapoliwa (1988) mengatakan bahwa secara teknis pengukuran frekuensi dalam Hz bukanlah ukuran yang sahih untuk tingi nada jika kita tidak dapat menunjukkan bahwa ukuran frekuensi berhubungan dengan cara manusia tanggap terhadap tinggi nada. Ukuran yang andal tidak bergantung kepada prosedur pengukuran yang dipergunakan. Jadi ukuran frekuensi yang andal tidak akan bergantung kepada apakah angka itu merupakan hasil pengukuran gelombang atau hasil alat pengukur tinggi nada tertentu. Jika kita dapat menyatakan secara statistik bahwa kemelesetan yang terjadi dalam seratus kali pengukuran peristiwa tertentu lebih besar dari pada satu, maka ukuran itu sangat signifikan. Namun dalam analisis ini penulis menggunakan statistik deskriptif. Prosedur Statistik Deskriptif digunakan untuk melukiskan dan merangkum pengamatan yang telah dilakukan (Sudjana, 1989). Dalam hal ini statistik deskriptif hanya untuk menampilkan angka-angka yang menggambarkan keadaan populasi yaitu distribusi frekuensi.

Frekwensi Pantun Jenaka Melayu yang dianalisis terdiri dari 4 komponen dengan hasil sebagai berikut :

1. nada awal : 247.5 Hz 
  1. nada akhir : 233.7 Hz 
  2. nada rendah : 108.0 Hz 
  3. nada tinggi : 591.0 Hz 
Keempat jenis frekuensi Pantun Jenaka Melayu tersebut diatas dapat dilihat dengan tanda lingkaran kecil warna merah dalam jendela Textgrid sebagai berikut :

Gambar 9. Jendela Textgrid Segmentasi Frekuensi Nada Awal : 247.5 Hz

Gambar 10. Jendela Textgrid Segmentasi Frekuensi Nada Akhir : 233.7 Hz

Gambar 11. Jendela Textgrid Segmentasi Frekuensi Nada Rendah : 108.0 Hz

Gambar 12. Jendela Textgrid Segmentasi Frekuensi Nada Tinggi : 591.0 Hz

Frekuensi tertinggi pantun jenaka Melayu dalam gambar manipulasi adalah pada puncak nada yang terdapat pada kata silabel –kak dalam kata kakak, yaitu 591.0 Hz. Frekuensi terendah adalah 108.0 Hz pada silabel -bak pada kata ombak. 

5. Simpulan
1. Durasi tertinggi (2,040 detik) phrasa ’Di balik pulau ombak menggulung’ pada pantun jenaka Melayu berada pada frekuensi nada awal dan rendah, sedangkan durasi terendah phrasa ’kakak terpukau memandang bingung’ (1,688 detik) berada pada frekuensi nada akhir dan tinggi.

2. Durasi tertinggi (0,710 detik) kata ’terpukau’ pada pantun jenaka Melayu berada pada frekuensi nada tinggi dan akhir, sedangkan durasi terendah kata ’di’ (0,189 detik) terdapat pada frekuensi nada awal (247.5 Hz).

3. Durasi tertinggi (0,386 detik) silabel ’lau’ dalam kata ’pulau terdapat pada frekuensi nada awal ( 268.3 Hz), sedangkan durasi terendah silabel ’se’ ( 0,076 detik) dalam kata ’sepatu’ terdapat pada frekuensi nada akhir ( 242.8 Hz).

4. Semakin tinggi frekuensi nada awal, semakin rendah frekuensinya nada akhir, dan semakin rendah nada awal, akan semakin tinggi nada akhir.

DAFTAR PUSTAKA
Lapoliwa. Hans. 1988. Pengantar Fonologi I: Fonetik. Jakarta: Depdikbud
Lass, Roger. 1988. Phonology. Australia: Cambridge University Press.
Sugiono. 2003. Pedoman Penelitian Bahasa Lisan: Fonetik Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Sudjana. 1989. Metoda Statistika (edisi ke-5). Bandung: Tarsito
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson