Korupsi Penyakit Sistemik Birokrasi Di Indonesia

Korupsi Penyakit Sistemik Birokrasi Di Indonesia 
I. PENDAHULUAN
Istilah korupsi di Indonesia pada mulanya hanya terkandung dalam khazanah perbincangan umum untuk menunjukkan penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat Negara. Namun karena penyakit tersebut sudah mewabah dan terus meningkat dari tahun ke tahun bak jamur di musim hujan, maka banyak orang memandang bahwa masalah ini bisa merongrong kelancaran tugas-tugas pemerintah dan merugikan ekonomi Negara. Persoalan korupsi di Indonesia terbilang kronis, bukan hanya membudaya tetapi sudah membudidaya. Pengalaman pemberantasan korupsi di Indonesia menunjukkan bahwa kegagalan demi kegagalan lebih sering terjadi terutama terhadap pengadilan koruptor kelas kakap dibanding koruptor kelas teri. 

Beragam lembaga, produk hukum, reformasi birokrasi, dan sinkronisasi telah dilakukan, akan tetapi hal itu belum juga menggeser kasta pemberantasan korupsi. Keberadaan lembaga-lembaga yang mengurus korupsi belum memiliki dampak yang menakutkan bagi para koruptor, bahkan hal tersebut turut serta disempurnakan dengan pemihakan-pemihakan yang tidak jelas.

Dalam masyarakat yang tingkat korupsinya seperti Indonesia, hukuman yang setengah-setengah sudah tidak mempan lagi, kemudian pemberantasan mulainya dari mana juga merupakan masalah besar, karena boleh dikatakan semua jenjang dan lembaga tidak dapat terlepas dari terjangkitnya penyakit birokrasi ini. 

Korupsi berasal dari kata latin Corrumpere, Corruptio, atau Corruptus. Arti harfiah dari kata tersebut adalah penyimpangan dari kesucian ( Profanity ), tindakan tak bermoral, kebejatan, kebusukan, kerusakan, ketidakjujuran atau kecurangan. Dengan demikian korupsi memiliki konotasi adanya tindakan-tindakan hina, fitnah atau hal-hal buruk lainnya. 

Kumorotomo ( 1992:175), berpendapat bahwa ” korupsi adalah penyelewengan tanggung jawab kepada masyarakat, dan secara faktual korupsi dapat berbentuk penggelapan, kecurangan atau manipulasi ”. Lebih lanjut Kumorotomo mengemukakan bahwa korupsi mempunyai karakteristik sebagai kejahatan yang tidak mengandung kekerasan (non-violence) dengan melibatkan unsur-unsur tipu muslihat (guile), ketidakjujuran (deceit) dan penyembunyian suatu kenyataan (concealment).

Selain pengertian di atas, terdapat pula istilah-istilah yang lebih merujuk kepada modus operandi tindakan korupsi. Istilah penyogokan (graft), merujuk pada pemberian hadiah atau upeti untuk maksud mempengaruhi keputusan orang lain. Pemerasan (extortion), yang diartikan sebagai permintaan setengah memaksa atas hadiah-hadiah tersebut dalam pelaksanaan tugas-tugas Negara. Kecuali itu, ada istilah penggelapan (fraud), untuk menunjuk kepada tindakan pejabat yang menggunakan dana publik yang mereka urus untuk kepentingan diri sendiri sehingga harga yang harus dibayar oleh masyarakat menjadi lebih mahal. Dengan demikian, korupsi merupakan tindakan yang merugikan Negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan ditinjau dari berbagai aspek normatif, korupsi merupakan suatu penyimpangan atau pelanggaran. Dimana norma sosial, norma hukum maupun norma etika pada umumnya secara tegas menganggap korupsi sebagai tindakan yang sangat buruk.

Menurut UU. No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada tiga puluh jenis tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindak perbuatan korupsi. Namun secara ringkas tindakan-tindakan itu bisa dikelompokkan menjadi :
1. Kerugian keuntungan Negara
2. Suap-menyuap
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Gratifikasi( istilah lain:pemberian hadiah) 

Selanjutnya Alatas dkk (Kumorotomo, 1992:193-193), mengemukakan ada tujuh jenis korupsi, 
1. Korupsi transaktif (transactive corruption). Jenis korupsi ini disebabkan oleh adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan secara aktif mereka mengusahakan keuntungan tersebut.
2. Korupsi yang memeras (extortive corruption).
Adalah korupsi dimana pihak pemberi dipaksa menyerahkan uang suap untuk mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya atau sesuatu yang berharga baginya.

3. Korupsi defensif (defensive corruption).
Orang menyeleweng karena jika tidak dilakukannya, urusan akan terhambat atau terhenti (perilaku korban korupsi dengan pemerasan, jadi korupsinya dalam rangka mempertahankan diri).

4. Korupsi inventif ( inventive corruption).
Pemberian barang atau jasa tanpa memperoleh keuntungan tertentu, selain keuntungan yang masih dalam angan-angan atau yang dibayangkan akan diperoleh dimasa mendatang.

5. Korupsi perkerabatan atau nepotisme (nepotistic corruption).
Jenis korupsi ini meliputi penunjukan secara tidak sah terhadap sanak-saudara atau teman dekat untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan. Imbalan yang bertentangan dengan norma dan peraturan itu mungkin dapat berupa uang, fasilitas khusus dan sebagainya.

6. Korupsi otogenik (autogenic corruption).
Bentuk korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya satu orang saja.

7. Korupsi dukungan (supportive corruption).
Korupsi yang dilakukan untuk melindungi atau memperkuat korupsi yang sudah ada maupun yang akan dilaksanakan.

Berbagai keluhan dan kritikan mengenai kinerja birokrasi memang bukan hal baru lagi, karena sudah ada sejak zaman dulu. Birokrasi lebih menunjukkan kondisi empirik yang sangat buruk, negatif atau sebagai suatu penyakit (bureu patology), seperti Parkinsonian (big bureaucracy), Orwellian (peraturan yang menggurita sebagai perpanjangan tangan negara untuk mengontrol masyarakat) atau Jacksonian (bureucratic polity), ketimbang citra yang baik atau rasional (bureau rationality), seperti yang dikandung misalnya, dalam birokrasi Hegelian dan Weberian.

Citra buruk tersebut semakin diperparah dengan isu yang sering muncul ke permukaan, yang berhubungan dengan kedudukan dan kewenangan pejabat publik, yakni korupsi dengan beranekaragam bentuknya, serta lambatnya pelayanan, dan diikuti dengan prosedur yang berbelit-belit atau yang lebih dikenal dengan efek pita merah (red-tape). Keseluruhan kondisi empirik yang terjadi secara akumulatif telah meruntuhkan konsep birokrasi Hegelian dan Weberian yang memfungsikan birokrasi untuk mengkoordinasikan unsur-unsur dalam proses pemerintahan. Birokrasi, dalam keadaan demikian, hanya berfungsi sebagai pengendali, penegak disiplin, dan penyelenggara pemerintahan dengan kekuasaan yang sangat besar, tetapi sangat mengabaikan fungsi pelayanan masyarakat.

Buruk dan tidak transparannya kinerja birokrasi bisa mendorong masyarakat untuk mencari jalan pintas dengan suap atau berkolusi dengan para pejabat dalam rekrutmen pegawai atau untuk memperoleh pelayanan yang cepat. Situasi seperti ini seringkali mendorong para pejabat untuk mencari kesempatan dalam kesempitan agar mereka dapat menciptakan rente dari pelayanan berikutnya.

Apabila ditelusuri lebih jauh, gejala penyakit dalam birokrasi, menurut Sondang P. Siagian, bersumber pada lima masalah pokok. Pertama, persepsi gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi yang menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini mengakibatkan bentuk patologi seperti : penyalahgunaan wewenang dan jabatan menerima sogok, dan nepotisme. Kedua, rendahnya pengetahuan dan ketrampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional, mengakibatkan produktivitas dan mutu pelayanan yang rendah, serta pegawai sering berbuat kesalahan. Ketiga, tindakan pejabat yang melanggar hukum, dengan ” penggemukan ” pembiayaan, menerima sogok, korupsi dan sebaginya. Keempat, manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif, seperti sewenang-wenang, pura-pura sibuk, dan diskriminatif. Kelima, akibat sistuasi internal berbagai instansi pemerintahan yang berakibat negatif terhadap birokrasi, seperti; imbalan dan kondisi kerja yang kurang memadai, ketiadaan deskripsi dan indikator kerja, dan sistem pilih kasih. 

II. PERMASALAHAN.
Dari uraian para ahli di atas tentang Korupsi dan Penyakit Birokrasi dan berdasarkan kondisi riil saat ini dapat diuraikan beberapa permasalahan Birokrasi di Indonesia sebagai berikut : 
  • Penegakan hukum yang tidak tegas dan konsisten, bahkan cenderung setengah-setengah. 
  • Kurang optimalnya fungsi lembaga-lembaga pengawasan 
  • Banyaknya celah yang dapat dimasuki tindakan korupsi pada sistem politik dan sistem Administrasi Negara Indonesia 
  • Sulitnya menempatkan atau merumuskan perkara, sehingga dari contoh-contoh kasus yang terjadi para pelaku korupsi begitu gampang mengelak dari tuduhan yang diajukan oleh jaksa. 
  • Taktik-taktik koruptor untuk mengelabui aparat pemeriksa, penegak hukum, masyarakat, dan negara yang semakin canggih. 
  • Kurang kokohnya landasan moral untuk mengendalikan diri dalam menjalankan amanah yang diembannya. 
  • Struktur birokrasi yang berorientasi ke atas, termasuk perbaikan birokrasi yang cenderung terjebak perbaikan renumerasi tanpa membenahi struktur dan kultur. 
  • Masalah kondisi struktur birokrasi yang tumpang tindih. 
  • Ketidakjelasan fungsi-fungsi yang harus dilaksanakan pemerintah dengan yang harus menjadi bagian dari tugas masyarakat, dan 
  • Belum adanya proses politik yang transparan dalam perumusan dan penetapan kebijakan publik. 
  • Sistem rekruitmen tidak sesuai dengan prosedur dan kebutuhan 
  • Belum adanya transparansi atas kinerja birokrasi pemerintah sehingga tidak ada umpan balik untuk perbaikan kinerja. 
  • Serta secara nasional sumber daya aparatur belum memiliki kualifikasi sebagaimana yang diharapkan. 
III. PEMBAHASAN.
A. Upaya Yang Harus Dilakukan Dalam Pemberantasan Korupsi. 
Dengan memperhatikan faktor-faktor yang menjadi penyebab korupsi dan hambatan yang dihadapi dalam pemberantasannya, serta penyakit birokrasi lainnya, dapatlah dikemukakan beberapa upaya yang dapat dilakukan agar mengurangi korupsi dan bahkan dapat menangkalnya, yakni;
1. Penegakan Hukum secara adil dan konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan norma-norma lainnya yang berlaku dengan memberikan hukuman yang seberat-beratnya sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi para pelanggarnya.Bila perlu diberikan ganjaran hukuman mati. 

2 Menciptakan kondisi birokrasi yang ramping struktur dan kaya fungsi. Penambahan atau rekruitmen pegawai dilakukan sesuai dengan kualifikasi tingkat kebutuhan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

3. Memaksimalkan fungsi pengawasan atau kontrol, sehingga komponen-komponen pengawas tersebut betul-betul melaksanakan pengawasan atau kontrol secara programatis dan sistematis.

4. Mendayagunakan segenap suprastruktur politik maupun infrastruktur politik dan pada saat yang sama membenahi birokrasi sehingga lobang-lobang atau celah yang dapat dimasuki tindakan-tindakan korupsi dapat ditutup.

5. Adanya penjabaran rumusan perundang-undangan yang jelas dan tegas, sehingga tidak menyebabkan multitafsir atau kekaburan serta perbedaan persepsi diantara para penegak hukum dalam menangani kasus korupsi, sehingga pada akhirnya hanya menguntungkan koruptornya.

6. Semua elemen (aparatur negara, masyarakat, akademisi, wartawan) harus memiliki idealisme, keberanian untuk mengungkap penyimpangan-penyimpangan secara obyektif, jujur, kritis terhadap tatanan yang ada disertai dengan keyakinan penuh terhadap prinsip-prinsip keadilan.

7. Melakukan pembinaan mental dan moral manusia melalui ceramah dan penyuluhan dibidang keagamaan, etika dan hukum. Karena bagaimanapun juga baiknya suatu sistem, jika memang individu-individu di dalamnya tidak dijiwai oleh nilai-nilai kejujuran dan harkat kemanusiaan, niscaya sistem tersebut akan dapat disalahgunakan, diselewengkan atau dikorup.

8. Menigkatkan kualitas Sumberdaya Aparatur, sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan oleh Organisasi, sehingga Aparatur Pemerintah dapat merespon tuntutan-tuntutan baik internal maupun eksternal Organisasi.

9. Perlu memasukkan materi Pemberantasan Korupsi kedalam kurikulum nasional pendidikan mulai jenjang Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi.

10.Perlu peningkatan kesejahteraan Aparatur Pemerintah dengan jalan memberikan renumerasi, sehingga diharapkan dapat meminimalisasi bahkan menangkal perbuatan korupsi bagi Aparat Pemerintah.

B. Langkah Strategis Mengatasi Penyakit Birokrasi
Lord Acton (1972), dalam tulisannya ” Power tends to corrupt, abolute power corrupt absolutlely ” ( Kekuasaan cenderung untuk berbuat korupsi, kekuasaan yang absolut berkorupsi secara absolut pula), secara implisit menjelaskan hubungan bagaimana seseorang yang berkuasa terlalu lama akan mempunyai kecenderungan untuk menyelewengkan kekuasaannya. Manifestasinya dalam bentuk KKN. Sehingga langkah setrategis yang perlu ditempuh adalah sebagai berikut: Pertama, harus menempatkan ulang para birokrat yang sudah terlalu lama berkuasa berkecimpung di dalam urusan pelayanan ke posisi yang lain (tour of duty). Baik itu rotasi horisontal maupun promosi vertikal. Kedua, dengan sedini mungkin mengenalkan teknologi informasi di lingkungan Pemerintah. Tujuannya adalah menghindarkan interaksi/transaksi uang cash antara pelanggan dan Petugas Pelayanan. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa semakin sering seseorang mengadakan kontak langsung dengan uang tunai, semakin besar pula kesempatan orang itu untuk melakukan KKN. Ketiga, Sebagai wujud pertanggungjawaban langsung kepada pengguna jasa layanan, agar diluar loket pelayanan dipasang nama petugas pelayanan yang bertugas pada hari itu, sehingga diharapkan apabila terjadi ketidakpuasan dari pelangga dalam proses pelayanan akan dapat dicatat petugasnya dan segera bisa ditindaklanjuti untuk dilaporkan pada atasannya.

Ketiga langkah strategis di atas hanyalah beberapa cara di antara sekian banyak cara yang dapat ditempuh Pemerintah dalam rangka meminimalisasi tindakan KKN yang sudah berakar di setiap lini kehidupan bangsa kita.

IV. PENUTUP.
A. Kesimpulan
Uraian mengenai fenomena korupsi dan berbagai dampak yang ditimbulkannya telah menegaskan bahwa korupsi merupakan tindakan buruk yang tidak dapat dilepaskan dari keberadaan aparatur birokrasi di Indonesia serta orang-orang yang berkompeten dengan birokrasi. Korupsi dapat bersumber dari kelemahan-kelemahan yang terdapat pada sistem politik, dan sistem administrasi negara dengan birokrasi sebagai perangkat pokoknya. Sistem Politik yang berdasarkan sistem multi partai seperti di Indonesia menjadikan Sistem Pemerintahan dibangun berdasarkan koalisi dari partai-partai politik, hal ini mengakibatkan adanya pembagian sistem kekuasaan di tubuh ekskutif, hal ini juga rawan terhadap tindak KKN.

Keburukan dalam penegakan hukum merupakan penyebab lain meluasnya korupsi. Seperti halnya delik-delik hukum yang lain, delik hukum yang menyangkut korupsi di Indonesia masih begitu rentan terhadap upaya pejabat-pejabat tertentu untuk membelokkan hukum menurut kepentingannya. Dalam realita dilapangan, banyak kasus untuk menangani tindak pidana korupsi yang sudah diperkarakan bahkan terdakwapun sudah divonis oleh hakim, tetapi selalu bebas dari hukuman. Itulah sebabnya kalau hukuman yang diterapkan tidak drastis upaya pemberantasan korupsi dapat dipastikan gagal. 

B. Rekomendasi.
1. Kita dapat meniru Pemerintahan Cina ketika pada tahun 1998, Perdana Menteri dijabat oleh ZOU RONG ZIE dengan membuat gebrakan menyediakan 100 buah keranda mayat, dan 1 (satu) buah keranda diperuntukkan untuk dirinya, siapapun pejabat yang terbukti korupsi, maka harus dihukum mati termasuk dirinya. Jika Negara kita mau terbebas dari tindak pidana korupsi, maka dapat mengadopsi cara-cara yang diterapkan Pemerintah Cina, dengan melakukan hukuman mati sehingga ada efek jera bagi pelaku kejahatan korupsi.

2. Dari aspek kelembagaan, penyempurnaan birokrasi dalam pemerintahan memerlukan perubahan sikap yang mendasar dari birokrasi itu sendiri. Pola pikir mementingkan kepentingan sendiri, kelompok dan golongan harus dirubah menjadi memikirkan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara secara keseluruhan.

3. Orientasi birokrasi harus kembali diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang memiliki nilai secara cepat, tepat dengan biaya yang terjangkau. Sehingga kinerja birokrasi dapat mewujudkan efisiensi dan bukan sebaliknya. 

4. Semua unsur pokok birokrasi mengacu pada upaya rasional untuk mengurus organisasi secara efektif dan efisien. Unsur-unsur pokok birokrasi tersebut setidaknya :
a. Perlakuan yang sama terhadap semua orang.
b. Pengisian jabatan atas dasar keahlian dan pengalaman.
c. Larangan penyalahgunaan jabatan, 
d. Standar kerja yang jelas.
e. Sistem administrasi yang rapi, serta 
f. Pengadaan dan pelaksanaan aturan bagi kepentingan organisasi dan mengikat bagi semua anggotanya.

5. Pemberdayaan masyarakat juga tidak kalah pentingnya untuk mengatasi KKN, melalui pembangunan infrastruktur politik yang dimaksudkan guna meningkatkan bargainning position masyarakat, termasuk agar mampu melaksanakan perannya sebagai social control terhadap tindakan-tindakan birokrasi. Orsospol, LSM, mahasiswa, dan peran pers hendaknya tetap diberikan ruang yang bebas untuk kontrol sosial yang berttanggung jawab dan berimbang terhadap jalannya Pemerintahan.

BIBLIOGRAFI
Down Load Internet 26-04-2010, Kumpulan Makalah: Pemberantasan Korupsi di Indonesia.
Down Load Internet, 28-04-2010, Patologi Birokrasi
Gie, 2002. Pemberantasan Korupsi untuk meraih kemandirian, kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan. Fokus: Bandung.
Kumorotomo, Wahyudi. 1992, Etika Administrasi Negara, Rajawali Pers: Jakarta
Mochtar. 2009. ” Efek Treadmill” Pemberantasan Korupsi : Kompas
Myrdal, Gunnar. 1997. Asian Drama An Irquiry Into the Poverty of Nations, Penguin Book Australia Ltd.
Wahyudi Kumorotomo, Budaya Upeti, Suap, dan Birokrasi Publik, Makalah
UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson