Penerimaan Khalayak Terhadap Beberapa Green Advertising Di Media Massa
PENDAHULUAN
Fokus penelitian ini adalah mengenai penerimaan khalayak terhadap beberapa green advertising di media massa. Tema ini dianggap memiliki signifikansi karena saat ini isu ramah lingkungan menjadi wacana yang sedang berkembang di masyarakat. Konsumen diposisikan bahwa dengan membeli produk-produk green maka sekaligus mereka telah melakukan dua hal kebaikan, yaitu tidak hanya sekedar membeli produk dengan kualitas yang tinggi tetapi juga melakukan hal yang baik dengan meminimalkan efek buruk bagi lingkungan.
Penelitian ini dilakukan karena masalah lingkungan yang sampai hari ini semakin luas, beberapa fenomenanya antara lain seperti penggundulan hutan lahan kritis, menipisnya lapisan ozon dan pemanasan global (global warming) yang dampaknya bisa merusak alam. Masalah lingkungan sendiri dikelompokkan menjadi tiga bentuk antara lain yaitu pencemaran lingkungan (pollution), pemanfaatan lahan secara salah (land misuse) dan pengurasan atau habisnya sumber daya alam (natural resource depeletion), sedangkan untuk hukum di Indonesia sendiri masalah lingkungan dikelompokkan kedalam dua bentuk, yakni pencemaranlingkungan (environtmental pollution) dan perusakan lingkungan hidup, hal ini telah tercantum dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH).
Semakin tingginya kerusakan lingkungan, akhirnya melatarbelakangi lahirnya kesadaran lingkungan dan kebijaksanaan pembangunan berwawasan lingkungan tingkat global dan regional. Konfrensi PBB tentang lingkungan hidup telah dilaksanakan pada tanggal 5-16 Juni di Swedia dan kemudian menghasilkan lahirnya Hukum Lingkungan Internasional maupun Nasional yaitu Dokumen Stockholm yang berisi tentang Deklarasi Lingkungan Hidup Manusia dan menetapkan tanggal 5 Juni sebagai ‘hari lingkungan hidup sedunia.
Green marketing memiliki proses promosi untuk memperkenalkan produk-produk kepada masyarakat. Green product adalah sebutan untuk produk ramah lingkungan, dikenal beberapa istilah pengkategorikan bahwa produk tersebut ‘hijau’ jika: degradable yaitu dapat diuraikan oleh tanah, photogradable hancur oleh sinar matahari dan hujan dalam waktu yang lama, biogradable terurai ketika dibuang ke tempat pembuangan sampah dan recyclable yaitu dapat didaur ulang.
Iver dan Banerjee dalam jurnal ‘Green Advertising: greenwash or a true reflection of marketing strategies?’ menyatakan hampir semua customer mendapatkan informasi tentang isu lingkungan melalui media dibandingkan dari pada newsletter environmental atau publikasi pemerintah, kekuatan media begitu besar terbukti dengan adanya fakta tersebut media berperan penting dalam penyebaran isu lingkungan. Iklan di klasifikasikan menjadi empat bentuk kategori klaim yang dipersentasikan oleh Iver dan Banerjee yaitu orientasi produk, proses orientasi, orientasi image dan claim lingkungan .
Definisi green advertising yang paling nyata dari kriteria tersebut dapat ditemukan dalam studi yang dilakukan oleh Banerjee et al, green advertising adalah setiap iklan yang memenuhi satu atau lebih kriteria jika secara eksplisit dan implisist menunjukkan hubungan antara produk atau jasa dan lingkungan biofisikal, mempromosikan gaya hidup ramah lingkungan tanpa menyoroti produk ataupun jasa tertentu, serta menampilkan citra perusahaan yang bertanggungjawab terhadap lingkungan.
Gambar Universal Recycling Logo oleh Gary Anderson
Green advertising memiliki elemen-elemen yang digunakan untuk mengkomunikasikan kampanye ramah lingkungan dari suatu perusahaan ataupun produk yang diantaranya memuat satu atau lebih hal-hal berikut: green colour (warna hijau), nature (pemandangan alam),eco labels (ekolabel), statement of environmental friendliness (pernyataan peduli terhadap lingkungan), emphasis of renewable raw materials (perlakuan terhadap bahan baku), environtmentally friendly production processes (proses produksi yang ramah lingkungan), recyclability (bisa didaur ulang).
Gambar Label dari beberapa badan sertifikasi lingkungan di Indonesia
Green Advertising menampilkan informasi dan teks-teks yang memiliki makna pada penayangan iklannya. Periklanan merupakan sebuah forum publik yang dinamis dimana kepentingan-kepentingan bisnis, kreatifitas, kebutuhan konsumen dan regulasi pemerintah berjumpa, tipu daya bukanlah satu-satunya isu etika yang dihadapi para pengiklan . Indonesia juga masih mengalami kerancuan regulasi periklanan mengenai pelabelan lingkungan, ini disebabkan belum ada undang-undang yang membahas secara khusus, hanya bersifat global saja seperti yang terterapada UU No.32 tahun 2002 mengenai penyiaran. Hal ini pada nantinya juga bisa memicu kesalahan edukasi dan merugikan konsumen akibat kurangnya informasi yang didapat melalui iklan.
Beberapa contoh green advertising yang telah hadir di Indonesia, ditayangkan melalui media yang berbeda-beda, berikut ini adalah contoh dari media audio visual yaitu meliputi iklan: Panasonic eco ideas, bahan bakar Pertamax, air mineral Ades, mobil Suzuki Ertiga. Sedangkan untuk iklan cetak dibagi menjadi dua jenis, yaitu Majalah dan koran, beberapa contohnya adalah iklan dari majalah seperti pada merk air mineral Aqua, minuman isotonik Pocari sweat dengan ‘satu hati peduli lingkungan’, iklan kertas PaperIna, iklan printer Fuji xerox, iklan kertas Paper Galery, iklan kertas PT Cinjoe Jaya Perkasa Media. Sedangkan iklan yang dimuat di koran adalah iklan mobil Suzuki Ertiga. Selain melalui media audio visual dan cetak, green advertising juga ditayangkan melalui iklan audio salah satu contohnya yaitu iklan KFC(kentucky fried chicken) green action, tidak hanya itu kemudian saat ini juga sudah ada iklan internet yang berjenis green advertising, seperti iklan majalah online Matoa, iklan BCA ORI 009, iklan sepeda Polygon dan iklan Canon Pixma.
Beberapa contoh iklan yang telah disebutkan, bagaimanapun bentuk iklannya. Iklan adalah merupakan medium dari teks, istilah medium memberi nama pada dimensi institusional dan social dari berbagai konteks material yang didalamnya teks diproduksi dan dibaca. Apabila terdapat kesalahan informasi dari claim lingkungan yang pada kenyataannya ternyata produk tersebut tidak benar-benar hijau, inilah yang dikenal dengan istilah greenwashing. Greenwashing adalah tindakan kebohongan yang dilakukan sejumlah perusahaan karena mereka ingin mendapatkan keuntungan pada produk atau servis yang mereka pasarkan.
PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan reception analysis sebagai metode untuk mengeksplorasi penerimaan khalayak terhadap beberapa green advertising di media massa. Metodologi penelitian kualitatif dianggap paling sesuai untuk menjawab permasalahan ini, karena data-data yang ada tidak dapat untuk menggeneralisasikan individu satu dengan individu yang lainnya. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian eksploratif, karena peneliti ingin mengeksplorasi penerimaan khalayak terhadap beberapa green advertising di media massa. Sehingga nantinya peneliti bisa mengeksplorasi makna yang terkandung dalam green advertising pada khalayak yang menjadi informan di penelitian ini dan menggali secara mendalam pemaknaan yang dibentuk oleh para informan tersebut.
Sasaran penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah khalayak yang pernah mengkonsumsi green advertising di media massa. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang beragam, peneliti menggunakan enam informan yang berasal dari background yang beragam diantaranya dibedakan melalui jenis kelamin, usia, pendidikan serta pekerjaan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah FGD (focus group discussion), Teknik ini digunakan untuk menarik kesimpulan terhadap makna-makna intersubyektif yang sulit dimaknakan sendiri oleh peneliti karena dihalangi oleh subyektifitas peneliti.
Enam informan tersebut adalah Informan Riris (Ri) yang merupakan praktisi lingkungan berdomisili di daerah jambangan, sampai saat ini Ia juga bekerja sebagai konsultan lingkungan dan owner dari W-Queen collection yaitu UKM yang menjual hasil kerajinan tangan dari limbah plastik, kesibukannya saat ini sibuk menghadiri seminar sebagai pembicara dari permasalahan lingkungan. Kedua, Informan Ali (Al) adalah mahasiswa tingkat akhir di Jurusan Sistem Informasi di Universitas Narotama Surabaya, dia menyandang tugas sebagai Aktifis Tunas Hijau khususnya selama satu tahun terakhir ini, Tunas Hijau merupakan salah satu organisasi lingkungan yang produktif dalam menjalankan aksi mengedukasi masyarakat untuk lebih dekat dengan lingkungan, program yang sedang dilaksanakan adalah proyek kerja sama dengan Panasonic untuk program eco ideas. Ketiga, Informan Ayas (Ay) adalah mahasiswi S1 lulusan dari Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga, bekerja sebagai karyawan swasta terutama bergerak dibidang Agensi periklanan ternama di Surabaya yaitu CV Solusi Kaya Warna atau yang lebih dikenal dengan SKAWAN creative agency, disana menjabat sebagai Bussines Development Staff.
Keempat adalah Informan Abdul (Ab) adalah mahasiswa yang sedang menempuh kuliah untuk jenjang S2 di Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga dengan fokus kajian studinya tentang pembangunan dan CSR (community development) juga pernah menyadang jabatan sebagai PRESBEM (Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa) FISIP Universitas Airlangga sekaligus juga menjabat sebagai Sekjen (Sekertaris Jendral) di Komisariat GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) FISIP Uiversitas Airlangga dan beberapa kali menjadi asisten dosen untuk mata kuliah Jurusan Sosiologi selama Ia menempuh jenjang S1. Kelima, Informan Laras (L) adalah mahasiswi fresh graduate lulusan dari Jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS). Saat ini berusia 22 tahun dan memiliki hobi memasak serta kuliner. Informan L berasal dari keluarga kelas menengah atas. Informan Puguh adalah mahasiswa semester 9 Jurusan Teknik Material dan Metalurgi Fakultas Teknologi di Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS), Ia memiliki pengalaman bekerja di DETEKSI Jawa Pos selama satu tahun setengah, disana Informan P bekerja untuk divisi desainer grafis, layouter dan illustrator.
Berdasar hasil FGD dengan beberapa informan yang berkaitan dengan penelitian ini, ditemukan data penerimaan khalayak terhadap beberapa green advertising di media massa dimaknai secara beragam. Beberapa pemaknaan secara hegemonic position bahkan juga ada yang oppossitional dengan definisi yang telah disampaikan dalam definisi green advertising di awal jurnal ini. Pemaknaan mengenai green advertising tersebut yaitu “green advertising dipahami sebagai bentuk komoditas”, isu go green ditampilkan untuk menarik minat masyarakat agar bersedia membeli produk dan memberikan keuntungkan bagi pihak perusahaan yang beriklan. Para pengiklan adalah orang-orang yang pandai memanfaatkan isu, penilaian ini dari sudut pandang dirinya sebagai seorang advertiser, apalagi isu green adalah hal yang sedang ‘seksi’ untuk ‘dijual’ saat ini, jadi apapun isu yang di gaungkan di masyarakat tujuan utama produsen adalah untuk menjual produk. Jawaban ini diutarakan oleh Informan Ayas karena dipengaruhi dari latar belakangnya sebagai seorang sarjana lulusan Ilmu Komunikasi, sehingga memiliki pemahaman lebih tentang ilmu-ilmu yang berkaitan dengan mata kuliah pemasaran seperti dalam Integrated Marketing Communication (IMC) ditambah lagi Ia bekerja di bidang advertising agency, hal ini membuatnya paham tentang seluk beluk dunia periklanan.
“Kalo green advertising sihh iklan yang mengangkat isu lingkungan sebagai yaah itu tadi, komoditasnya itu isunya gitu walaupun bener kata Chod tadi, intinya tuh jualan produk, intinya iklan itukan semua, “hey kamu belien aku, belien aku,”
(Informan Ay, Focuss Group Discussion, 27 Oktober 2012)
Pemaknaan serupa juga diutarakan oleh Informan Ab yang mengatakan jika green advertising tidak berbeda dengan tujuan iklan pada umumnya yaitu untuk marketing/pemasaran produk, tidak ada perbedaan tujuan antara iklan hijau ataupun iklan yang tidak hijau. Pengiklan memanfaatkan metode baru dengan mencoba menjual isu green yang sedang booming di abad 21, dengan kata lain ‘isu hijau’ inilah yang digunakan sebagai ‘senjata’ untuk penjualan produk dalam iklan. Latar belakang Informan Abdul sebagai mahasiswa Sosiologi Fakultas Ilmu sosial dan Politik membuat pemahamannya mengenai green advertising dihubungkan dengan ilmu politik dan fenomena sosial saat ini, selain itu Informan juga memiliki hobi membaca sehingga menambah wawasannya tentang banyak hal, Informan Ab sampai sekarang juga merupakan anggota aktif dari organisasi GMNI, sikap kritisnya juga dipengaruhi dari kegiatan diskusi rutin yang dilakukan bersama teman-temannya, terutama yang membahas mengenai ilmu sosial politik.
“Kalau mau nambahin yaa, green advertising ya, mungkin kalau aku, kita menggunakan istilah advertising kan iklan, dan iklan juga secara gak langsung kita pahami sebagaimana marketing ya penjualan kan yaa..apapun itu kalau memang kita harus melakukan penjualan kan harus menggunakan strategi dan bagaimana ide-ide yang emang ditangkap khalayak umum secara mudah gitu lo, nah mungkin untuk era abad ke 21 ini ya mungkin isu yang lagi diangakat di-booming-kan memang isu lingkungan isu-isu green ya memang lagi di-booming-kan tapi tetap saja saya sama Informan Ay sepaham karena ya itu sebagai bagian dari bentuk marketing-nya tetep mereka jual produknya”
(Informan Ab, Focuss Group Discussion, 27 Oktober 2012)
Selain dianggap sebagai komoditas, greenadvertising juga dimaknai sebagai greenwashing. Greenwashing bisa terjadi jika ada kesalahan informasi dari claim lingkungan yang pada kenyataanya produk tersebut tidak sesuai dengan apa yang ada dalam keterangan di iklan, greenwashing adalah tindakan kebohongan yang dilakukan sejumlah perusahaan karena mereka ingin mendapatkan keuntungan pada produk atau servis yang mereka pasarkan. Informan Puguh (P) melihat bahwa perusahaan di Indonesia khususnya perusahaan migas (minyak dan gas bumi) dianggap melakukan tindakan yang merusak lingkungan karena jika ditinjau dari proses produksi, mereka adalah pihak yang secara langsung berhubungan dengan eksploitasi alam diantaranya seperti kegiatan menebang pohon untuk kepentingan pribadi perusahaan. Fenomena tersebut dipandang berkebalikan dengan image yang dibangun dalam iklan yang seolah-olah ramah lingkungan, hal ini dimaknai Informan P sebagai bentuk CSR perusahaan yang menggembar-gemborkan bahwa jika kita membeli suatu produk migas, maka kita dianggap telah menyumbangakan pohon untuk ditanam kembali, padahal kenyataannya itu hanya tameng yang dibuat perusahaan saja.
“yaa.. kalau menurut saya itu emang deh, emang rata-rata perusahaan migas itu mesti punya tameng kayak gitu jadi istilahnya mereka CSR nya itu mesti nanem pohon apa. Sebenernya mereka malah dari mbukak lahannya itu lebih banyak dari nanamnya itu lebih gede,”
(Informan P, Focuss Group Discussion, 27 Oktober 2012)
Hal ini seperti yang dikatakan Gilian Dyer dalam ‘Advertising as Communication’, kapitalisme menghasilkan pelbagai barang yang tidak benar-benar kita butuhkan dan sebagai akibatnya, iklan adalah bentuk komunikasi yang disalah gunakan, yang tidak selalu menyampaikan kebenaran dalam usahanya untuk memaksimalkan laba perusahaan dan mengeluarkan barang dari rak.
Pemaknaan selanjutnya yaitu “green advertising sebagai usaha untuk mendapatkan citra baik perusahaan dimata masyarakat”, berlatar belakang sebagai aktifis lingkungan di Komunitas Tunas Hijau Informan Ali (Al) terbiasa dengan aksi yang benar-benar nyata untuk lingkungan, seharusnya tidak hanya gencar pada promosinya saja. Karena itu, green advertising hanya sebuah tindakan yang semata-mata menguntungkan perusahaan, bukan untuk kesejahteraan masyarakat dan lingkungan.
“ee.. yah itukan pencarian branded dari sebuah perusahaan kan, dimana sekarang kan lagi banyak isu tentang go green nah jadi perusahanan kan banyak yang mengarah kesana, ee.. ya ini, untuk mencari branded-nya dia”
(Informan Al, Focuss Group Discussion, 27 Oktober 2012)
Green advertising tidak bisa dijadikan sebagai jaminan bahwa produk yang diiklankan itu benar-benar hijau/ramah lingkungan seperti yang digembar-gemborkan pada tampilan iklan. Sejatinya, ‘hijau’ yang masyarakat harapkan harusnya tetap mempertimbangkan juga material/bahan bakunya, jadi tindakan ramah lingkungan itu tidak hanya berhenti pada promosi iklannya saja.
“kalau menurutku sih harusnya eem..apa ya mempertimbangkan bahan-bahan yang digunakan atau ee.. dampak iklan itu sendiri ke lingkungan, tapi kayakya green advertising itu, udah mulai jadi bener eco label asal aja, asal ada iklan pokoknya dikasih embel-embel go green, save the earth pokoknya sayangi bumi gitu, kebanyakan sih kayak gitu padahal maksudnya sih sebenernya kayaknya green advertising itu kayak gitu sih,”
(Informan L, Focuss Group Discussion, 27 Oktober 2012)
Pemaknaan paling berbeda disampaikan oleh Informan Riris (Ri). Memilki latar belakang sebagai praktisi lingkungan, Ia memaknai green advertising sebagai suatu iklan yang bisa menghijaukan. Menghijaukan yang dimaksudkan adalah membuat lingkungan menjadi bersih, udara menjadi segar dan peduli terhadap lingkungan. Berdasarkan pengalaman, jika terdapat kata ‘hijau’ dalam suatu iklan, maka hal itu dimaknai secara positif. Informan Ri beranggapan bahwa green advertising mengajak masyarakat untuk hidup lebih sehat dan ramah lingkungan.
“ee..kalo menurut bahasaku ya mbak ya ee.. iklan hijau maksudnya itu memang tujuannya mengajak masyarakat, msyarakat itu... menghijaukan paling tidak itu ee.. menghijaukan membuat bersih, dan udaranya itu seger gitu lo mbak.. lebih green, peduli tentang kegiatan apa yang dilakukan saat ini kan gitu…”
(Informan Ri, Focuss Group Discussion, 27 Oktober 2012)
Pendapat ini juga dipengaruhi dari jenjang pendidikan formal yang dilaluinya sampai SMA, jadi pengetahuan tentang periklanan dan ‘green’ cukup terbatas pada pengalamannya saja selama ini. Green advertising dimaknai sesuai dengan definisi awal yang memang mengusung hal-hal ramah lingkungan. Pendapat informan Ri melihat sesuatu secara total dan jumlah besar sebagai ‘national interest’.
KESIMPULAN
Melalui analisis dengan menggunakan studi reception analysis peneliti menyimpulkan berdasarkan rumusan permasalahan yang telah diajukan, berdasar sesi Focus Group Discussion (FGD) yang telah dilakukan peneliti mendapatkan beberapa variasi pemaknaan yang dibentuk oleh masing-masing informan terkait beberapa green advertising yang terdapat di media massa. Pertama, yaitu green advertising sebagai bentuk komoditas yang bisa diperdagangkan. Penjelasannya adalah green advertising sebagai bentuk pemanfaatan isu go green yang dijadikan komoditas utama dengan tujuan untuk menaikkan penjualan produk dari perusahaan.
Isu go green ditampilkan untuk menarik minat masyarakat agar bersedia membeli produk dan memberikan keuntungkan pihak perusahaan yang beriklan. Informan berlatarbelakang sebagai sarjana lulusan Ilmu komunikasi sehingga memiliki pemahaman lebih tentang ilmu-ilmu yang berkaitan dengan mata kuliah pemasaran seperti dalam Integrated Marketing Communication (IMC) saat dibangku perkuliahan, ditambah lagi Ia bekerja dibidang advertising agency, hal ini membuatnya paham tentang seluk beluk dunia periklanan. Informan yang memiliki latar belakang sebagai mahasiswa S2 Sosiologi Fakultas Ilmu sosial dan Politik memahami green advertising dihubungkan dengan ilmu politik dan fenomena sosial saat ini. Menurutnya, green advertising tidak berbeda dengan tujuan iklan pada umum nya yaitu untuk marketing/pemasaran produk, tidak ada perbedaan tujuan antara iklan hijau ataupun iklan yang tidak hijau. Pengiklan memanfaatkan metode baru dengan mencoba menjual isu green yang sedang booming di abad 21, dengan kata lain ‘isu hijau’ inilah yang digunakan sebagai ‘senjata’ untuk penjualan produk dalam iklan.
Garis besar pemaknaan kedua yang dibentuk informan adalah “green advertising sebagai bentuk dari tindakan greenwashing”. Greenwashing adalah tindakan kebohongan yang dilakukan sejumlah perusahaan karena mereka ingin mendapatkan keuntungan pada produk atau servis yang mereka pasarkan. Informan berlatarbelakang sebagai mahasiswa di jurusan Teknik Material dan Metalurgi Fakultas Teknologi di Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS) memaknai green advertising khususnya pada perusahaan Migas (minyak dan gas bumi) dianggap melakukan tindakan yang merusak lingkungan karena jika ditinjau dari proses produksi, mereka adalah pihak yang secara langsung berhubungan dengan eksploitasi alam, diantaranya adalah seperti kegiatan menebang pohon untuk kepentingan pribadi perusahaan. Fenomena tersebut dipandang berkebalikan dengan image yang dibangun dalam iklan yang seolah-olah ramah lingkungan, hal ini dimaknai Informan P sebagai bentuk CSR perusahaan yang menggembar-gemborkan bahwa jika kita membeli suatu produk migas, maka kita dianggap telah menyumbangakan pohon untuk di tanam kembali, padahal kenyataannya itu hanya tameng yang dibuat perusahaan saja.
Pemaknaan ketiga oleh informan yaitu green advertising adalah sebagai usaha untuk mendapatkan citra baik perusahaan dimata masyarakat. Informan memiliki latarbelakang sebagai aktifis lingkungan di Komunitas Tunas Hijau, menurutnya green advertising perusahaan hanya bertujuan untuk mengejar branded-nya sendiri, yang dimaksud ‘branded’ disini adalah perusahaan akan menjadi lebih bermerk atau dengan kata lain menaikkan gengsi perusahaan. Informan dengan latar belakang sebagai mahasiswa lulusan Desain Komunikasi Visual memaknai green advertising ini merupakan label yang dipasangkan secara asal-asalan saja oleh perusahaan dengan tujuan agar produknya dianggap lebih ramah lingkungan dan baik bagi alam jika dibandingkan dengan produk-produk lainnya. Informan mengatakan iklan dengan bentuk green advertising tidak bisa dijadikan sebagai jaminan bahwa produk yang diiklankan itu benar-benar ramah lingkungan seperti yang digembar-gemborkan pada tampilan dalam iklan. Sejatinya, ‘hijau’ yang masyarakat harapkan harusnya tetap mempertimbangkan juga material/bahan baku-nya, jadi tindakan ramah lingkungan itu tidak hanya berhenti pada promosi iklannya saja.
Garis besar pemaknaan keempat green advertising sebagai iklan yang ramah lingkungan. Memiliki latar belakang sebagai praktisi lingkungan, Informan Ri memaknai green advertising sebagai suatu iklan yang bisa menghijaukan. Menghijaukan yang di maksudkan adalah membuat lingkungan menjadi bersih, udara menjadi segar dan peduli terhadap lingkungan. Berdasarkan pengalamannya, jika terdapat kata ‘hijau’ dalam suatu iklan, maka hal itu dimaknai secara positif. Informan Ri beranggapan bahwa green advertising mengajak masyarakat untuk hidup lebih sehat dan ramah lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Lee, morle and Carla Johnson.1999.Principles of advertising : a global perpective. Jakarta:Prenada
Myers,Kathy. 2012. Membongkar Sensasi dan Godaan Iklan. Yogyakarta:Jalasutra
Rahmadi, Takdir.2001.Hukum Lingkungan di Indonesia.Jakarta:Rajawalipers
Shim, Terence.2003. Advertising Promotion and Supplemental Aspect of Integrated Marketing Communications.Jakarta:Erlangga
Thwaites, Tony, Llyod Davis & Warwick Mules,2002. Introduction Cultural and Media Studies : Sebuah Pendekatan Semiotik.Yogyakarta: Jalasutra.
Karna,Jari., Juslin,Heikki., Ahonen, Virpi., & Hansen, Eric.2001.Green Advertising : greenwash or a true reflection of marketing strategies?,page 59-70.pdf
www.menlh.go.id
www.sinsofgreenwashing.com