Pajak Penghasilan (PPh)
Menurut pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, penghasilan adalah
“Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.”
Sedangkan menurut Standar Akuntansi Keuangan, penghasilan merupakan
“Kenaikan manfaat ekonomi selama satu periode akuntansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan aset atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas, yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal.”
Menurut pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, biaya fiskal adalah
“…a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan”
Sedangkan menurut Standar Akuntansi Keuangan, beban (expense) adalah
“sebagai upaya yang secara langsung menghasilkan pendapatan dalam suatu periode atau yang sudah tidak memberi manfaat ekonomi di masa berikutnya”
Perbedaan definitif di atas mengakibatkan adanya perlakuan yang berbeda dalam perhitungan pajak penghasilan (PPh). Sebagai akibatnya aturan pajak mensyaratkan adanya prosedur rekonsiliasi laporan keuangan terhadap ketentuan pajak mengenai pembukuan guna menghitung penghasilan kena pajak. Hal ini senada dengan salah satu pendekatan yang diungkapkan oleh kelompok kerja standar akuntansi OECD (Organization for Economic Cooperation and Development), dalam laporan seri harmonisasi standar akuntansi. Hal itu merupakan solusi beda antara akuntansi dan ketentuan pajak. Dalam SK Dirjen Pajak No. Kep.214/PJ/2001 dinyatakan bahwa rekonsiliasi laba rugi fiskal termasuk keterangan dan atau dokumen yang harus dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Badan.
Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
“ Pembukuan merupakan proses pencatatan untuk mengumpulkan informasi mengenai pajak yang terutang maupun tidak dan ditutup dengan penyusunan laporan keuangan pada setiap akhir tahun pajak “.
Jadi tujuan pembukuan adalah agar wajib pajak dapat menghitung besarnya pajak yang terutang. Untuk PPN, pembukuan juga mencakup mekanisme pengkreditan pajak (pajak masukan dan pajak keluaran) terhadap transaksi.
Dalam kaitan dengan laibilitas PPh badan dan bentuk usaha tetap, maka mekanisme akuntansi perpajakan wajib pajak nampak lebih kompleks. Hal ini mengingat adanya beberapa treatment kebijakan akuntansi yang diperhitungkan dalam prosedur penghitungan pajak terutang. Kebijakan tersebut seperti depresiasi dan amortisasi aset tetap, sistem penilaian persediaan barang dan asas pembukuan, untuk mengakui saat pajak terutang.
Rekonsiliasi fiskal merupakan mekanisme teknis yang dilakukan oleh wajib pajak ketika menghitung PPh menggunakan basis pembukuan. Rekonsiliasi fiskal menyandingkan antara laporan laba rugi komersil (yang disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan) dengan perhitungan penghasilan kena pajak (atas dasar pembukuan pajak). Hal ini ditempuh mengingat terdapat perbedaan konsep pengakuan, penilaian, dan pengungkapan penghasilan dan biaya antara Standar Akuntansi Keuangan dengan ketentuan pajak mengenai pembukuan. Selanjutnya hasil dari rekonsiliasi fiskal adalah perincian penyesuaian fiskal positif dan negatif, serta perbedaan tetap dan perbedaan temporer / waktu.
Dalam rangka rekonsiliasi fiskal guna menghitung laba kena pajak, maka dikenal istilah penyesuaian fiskal positif dan penyesuaian fiskal negatif. Penyesuaian fiskal positif terjadi apabila terdapat komponen penghasilan dalam rangka perhitungan PPh yang belum diperhitungkan dalam penghasilan komersil, jadi penyesuaian fiskal positif terhadap penghasilan terjadi bila mengakibatkan penghasilan komersil bertambah. Dan untuk komponen biaya, maka penyesuaian fiskal positif terjadi apabila komponen biaya dalam perhitungan komersil berkurang, sebagai akibat tidak diperkenankannya suatu jenis biaya tertentu diperhitungkan sebagai biaya fiskal dalam perhitungan PPh. Adapun penyesuaian fiskal negatif atas penghasilan dan biaya adalah kebalikan dari pengertian penyesuaian fiskal positif dalam rangka perhitungan PPh, yaitu bila penghasilan komersil berkurang namun untuk komponen biaya apabila bertambah.
Dalam rangka pelaporan keuangan komersil, PSAK No. 46 tentang Akuntansi PPh mengakomodir konsep beda waktu (timing / temporary differences). Perbedaan tersebut merupakan perbedaan waktu pengakuan penghasilan atau biaya antara pajak dengan akuntansi, mengakibatkan besarnya laba akuntansi lebih tinggi daripada laba pajak atau sebaliknya. Sedangkan beda tetap (permanent differences) yang merupakan penghasilan dan biaya yang diakui dalam perhitungan pajak namun tidak dalam laba akuntansi / komersil dan sebaliknya.
Empat jenis transaksi yang menimbulkan perbedaan waktu adalah
a) Penghasilan termasuk dalam perhitungan pajak sesudah laba akuntansi.
b) Biaya atau beban atau rugi perhitungan pajak yang diperhitungkan sesudah laba akuntansi.
c) Pendapatan pajak yang diperhitungkan sebelum laba akuntansi.
d) Biaya atau beban atau rugi pajak yang diperhitungkan sebelum laba akuntansi.
PPh dalam laporan laba rugi disajikan sebesar beban yang diperhitungkan menurut perhitungan laba rugi akuntansi. Sebagai akibatnya, ketika beban PPh disajikan dalam laporan posisi keuangan, diperlukan akun intermediary, yaitu PPh Ditangguhkan, yang mengakomodir beda waktu antara akuntansi dan pembukuan pajak dalam mengakui penghasilan dan biaya. Laba yang dilaporkan dalam SPT (surat pemberitahuan pajak), yaitu laba fiskal, hampir selalu berbeda jumlahnya dengan laba yang dilaporkan pada laporan keuangan (laba komersial).
Apabila dihubungkan dengan metode-metode pembebanan PPh, maka konsep pembukuan menurut ketentuan pajak dan penyajian laporan keuangan menurut PSAK akan sebagaimana dala gambar berikut ini: