Nasionalisme Sebagai Landasan Pengembangan Entrepreneur

Nasionalisme Sebagai Landasan Pengembangan Entrepreneur 
Memasuki abad 21 bangsa Indonesia masih dihadapkan pada persoalan krusial pada berbagai segi kehidupan baik sosial, budaya, ekonomi politik dan pertahanan keamanan. Tingkat kemiskinan dan pengangguran menunjukkan tren semakin tinggi (tahun 2005, 15.97 %, 2006, 17.75 %) dunia industri yang begitu didewakan sebagai soko guru pembangunan sepanjang Orde Baru begitu rapuh, demikian juga fenomena disintegrasi merebak dimana-mana menjadi tontonan yang semakin jelas untuk kita saksikan. Banyak ahli berpendapat, bahwa sistem ekonomi kapitalis yang monopolistik yang telah menggurita di Indonesia itulah penyebab utama terpuruknya kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini, diperparah dengan kondisi begitu rapuhnya jiwa nasionalisme kita sebagai bangsa.

Sebenarnya sejak tahun 1970-an telah banyak kritik terhadap sistem ekonomi kapitalis, karena dipandang tidak mampu mensejahterakan umat manusia secara adil dibanyak negara di dunia bahkan justru menciptakan keterbelakangan dan ketergantungan. Kondisi keterbelakangan antara lain merupakan produk historis hubungan negara kolonial dengan negara terjajah, negara miskin dengan negara maju. Selain itu adanya polarisasi hubungan satelit-metropolis merupakan sebab langsung keterbelakangan karena hubungan itu menyebabkan terbangunnya mekanisme pengambilan surplus oleh negara pusat dari negara satelit. Akan tetapi penguasa Indonesia pada periode itu justru ikut “bermain” dalam ekonomi “kapitalis yang monopolistik” sebagaimana tercermin dari produk hukum berupa UU No. 5/ tahun 1967 tentang Kehutanan. Menyertai implementasi UU ini adalah pemberian hak-hak pada pemodal luar negeri maupun dalam untuk memanfaatkan hutan sebagai areal industri. Untuk itu ada Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pengelolaan Hutan (HPH), Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), UU No. 11/ 1967 tentang Pertambangan. Sebagai implementasi dari UU ini ada Kontrak Karya Pertambangan dan lain-lain, yang memberi peluang pemodal mengekplorasi dan mengeksploitasi potensi pertambangan kita, disusul juga UU tentang Penanaman Modal Asing (PMA), dan sebagainya.

Baru pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Orde Baru, Presiden Suharto mencanangkan gerakan Kebangkitan Kebangsaan Nasional II (gerakan nasionalisme II). Tampaknya ada beberapa isu penting dibalik pencanangan gerakan itu. Pertama, secara eksplisit Presiden Suharto ingin menggelorakan kembali semangat nasionalisme yang menunjukkan fenomena memudar yang diindikasikan oleh apatisme dan frustasi massa yang meluas sebagai akibat dari kerapuhan-kerapuhan dalam pembangunan ekonomi dan politik selama kekuasaannya. Melalui gerakan kebangkitan nasionalisme II itu ia ingin mendapatkan dukungan lebih kuat dari semua elemen bangsa. Kedua, secara implisit pencanangan gerakan itu sangat terkait dengan upaya Presiden Suharto dalam membangun merek diri (personal branding) dan merupakan manifestasi dalam upayanya untuk memperkuat legitimasi kekuasaan yang dimilikinya.

Realitasnya gerakan itu hanya menyentuh tataran retorika, tidak pernah berhasil menyentuh pada tataran subtansi dari kehidupan rakyat banyak, sehingga sama sekali tidak berpengaruh terhadap kebangkitan nasionalisme II. Pertanyaannya adalah mengapa upaya untuk menggelorakan kembali jiwa dan semangat nasioalime bangsa Indonesia, sulit untuk dilakukan. Apakah ada yang salah dari kondisi dan cara berfikir bangsa Indonesia dewasa ini sehingga sulit diajak melakukan manufer menggelorakan kembali jiwa dan semangat nasionalisme dalam rangka melakukan loncatan historis untuk mencapai perkembangan yang spektakuler sebagaimana yang terjadi pada awal abad 19. Untuk itu tulisan ini akan memaparkan beberapa permasalahan yang menarik; pertama, bagimana perkembangan nasionalisme Indonesia pra kemerdekaan yang bergerak dari skala etnisitas ke arah kerakyatan (populist) dan kebangsaan (nationality); kedua, mengapa upaya menggelorakan kembali nasionalisme dalam kehidupan kebangsaan dewasa ini begitu sulit dilakukan; ketiga, bagaimana pentingnya nasionalisme sebagai landasan bagi pengembangan entrepreneur.

Dalam mengkaji nasionalisme dan landasan pengembangan entrepreneur digunakan metode sejarah. Menurut Garraghan, metode sejarah merupakan seperangkat aturan dan prinsip yang sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis, dan menyajikan sintesa hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis. Sementara itu Gottschalk mendefinisikan metode sejarah sebagai proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Dalam menerapkan metode sejarah ini ada empat langkah kegiatan yang dilakukan, yaitu; (1) Heuristik, yaitu pengumpulan sumber baik berupa sumber primer (arsip, dokumen, dll.) maupun sumber sekunder (jurnal, buku), (2) Kritik, intern dan ekstern terhadap sumber sejarah yang diperoleh (penilaian kritis terhadap sumber sejarah yang berguna untuk memastikan apakah data/sumber yang ditemukan asli/otentik ataukah palsu dan apakah data tersebut dapat dipercaya/kredibel atau bohong), (3) Interpretasi yang merupakan analisis dan sintesis terhadap fakta-fakta yang telah ditemukan dari sumber sejarah yang dalam penelitian sosiologi disebut analisa data, (4) Historiografi, yaitu kegiatan merekonstruksi peristiwa masa lampau dalam bentuk kisah sejarah yang harus dituangkan secara tertulis.

Nasinalisme Dan Kemandirian Bangsa
Nasionalisme merupakan suatu bentuk ideologi yang meletakkan kecintaan, kesetiaan dan komitmen tertinggi pada negara kebangsaan. Unsur utama yang terkandung dalam konsep nasionalisme itu adalah keinginan untuk hidup bersama sebagai suatu komunitas bangsa yang memiliki tujuan dan cita-cita yang hendak diraih bersama. Dengan demikian pemikiran dan tingkah laku seorang nasionalis senantiasa didasarkan pada kesadaran menjadi bagian dari suatu komunitas bangsa dan berorientasi pada pencapaian tujuan bersama sebagai bangsa. 

Sebagaimana telah disinggung nasionalisme Indonesia pada awalnya muncul sebagai respon atas kolonialisme. Kesamaan nasib sebagai sesama kaum terjajah merupakan suatu ikatan kuat diantara etnik-etnik di Indonesia untuk menjalin ikatan perjuangan, sedangkan keinginan untuk merajut masa depan yang lebih gemilang mendorong untuk membuat kesepakatan-kesepakatan sebagai manifestasi dari nasionalisme. Suatu hal yang luar biasa adalah nasionalisme ini mencapai tingkatan tertinggi dengan dirumuskannya hal itu secara tegas dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu berkehendak membangun suatu negara bangsa (nation-state) yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur dengan cara demokratis. 

Persoalannya adalah setelah Indonesia merdeka, masih perlukah nasionalisme itu dimiliki oleh bangsa Indonesia, untuk kepentingan apa, dan dalam bentuk yang bagaimana. Indonesia sebagai negara merdeka berdasarkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan daerah bekas koloni Belanda memiliki wilayah yang sangat luas yaitu sekitar 587.000 km2, jarak dari barat ke timur lebih panjang dari pada jarak antara London dan Siberia. Wilayah itu merupakan kawasan kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari sekitar 17.508 pulau besar dan kecil yang dihuni oleh ratusan suku bangsa. Dengan kondisi objektif yang demikian itu, agar Indonesia tetap eksis sebagai negara yang merdeka dan berdaulat tentu mutlak tetap diperlukan nasionalisme, meskipun dalam bentuk yang fleksibel kontekstual sesuai dengan kebutuhan dan tantangan pada jamannya. 

Ir. Soekarno sebagai salah seorang founding father dan Presiden pertama negara RI, selama masa kekuasaannya ideologi nasionalisme diarahkan untuk mendesain suatu nation state dengan fundamen nation and character building. Kebijakan-kebijakannya sangat nasionalistik dan berkarakter untuk membangun kemandirian bangsa dalam rangka mewujudkan cita-cita kemerdekaan seperti yang diamanatkan dalam bagian Pembukaan UUD 1945. Hal tersebut juga tercermin dari perlawanannya yang gigih terhadap kolonialisme, kapitalisme dan feodalisme. Secara garis besar dapat dikatakan, bahwa nasionalisme yang dibangun dan digelorakan Soekarno berhasil memadukan relasi masyarakat-negara ke dalam ikatan solidaritas sosial yang berhasil meleburkan sekat-sekat primordialisme sebagai penggerak persatuan bangsa.

Dalam pandangan Soekarno, nasionalisme adalah dasar untuk membangun kemandirian bangsa dan kemandian bangsa adalah modal utama untuk mewujudkan cita-cita kemedekaan, yaitu bangsa yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur dengan cara demokratis. Program-program yang diarahkan untuk itu antara lain “Berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri) yang berimplikasi pada peningkatan produk bangsa sendiri dan pembatasan produk impor. Program “Benteng” untuk menghidupi dan melindungi industri pribumi dari tekanan kekuatan non pribumi. Nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Kemandirian tidak terbatas secara ekonomi, tetapi juga politik. Oleh karena itu pada era Soekarno nasionalisme dijadikan dasar untuk membangun dan memperkokoh integrasi politik nasional sebagaimana tercermin dalam menumpas gerakan-gerakan separatis seperti DI/TII, PRRI/PERMESTA, RMS, OPM, dan sebagainya. Bahkan dari hal ini bangsa Indonesia menjadi bangsa yang diperhitungkan di negara-negara bekas koloni di kawasan Asia Afrika (AA), karena mampu tampil sebagai pelopor dalam gerakan AA, gerakan Non Blok, Nefo, dan lain- lain.

Memasuki era Soeharto bahkan hingga dewasa ini, nasionalisme dan kemandirian bangsa seakan “tergadaikan”, tidak jelas bentuk dan fungsinya, sehingga tampak jauh dari cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Selama orde baru kebijakan penguasa lebih diletakkan pada ideologi “developmentalism” yang bergerak ke arah formula administrative-state, sehingga lahirlah monopoli negara di satu sisi dan pemisahan negara dan masyarakat pada sisi yang lain. Kebijakan pembangunan sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran ekonomi kelompok ekonom yang dipimpin oleh Prof. Widjojo Nitisastro yang bekerja dengan tim penasehat asing (Amerika dan Badan Internasional atau Transnasional Corporation). Dengan kondisi yang demikian, Indonesia telah menjerumuskan diri dalam pusaran kekuatan ekonomi kapitalis dan ikut “bermain” dalam ekonomi “kapitalis yang monopolistik”. Dalam konteks yang demikian tentu sulit bagi kita untuk dapat menemukan aktualisasi dari jiwa dan semangat nasionalisme dan mustahil kita dapat memiliki kemandirian sebagai bangsa.

Tidak berlebihan jika kemudian kita simpulkan, bahwa nasionalisme dan kemandirian bangsa Indonesia hingga dewasa ini sangat paradoks dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Hal ini mengingat Indonesia tidak saja terjerumus dan kemudian terjerat dalam skenario ekonomi “kapitalis yang monopolistik”, melainkan telah sangat pandai ikut “bermain”. Sebagai contoh adalah berkuasanya korporasi asing seperti Caltex, Freeport, Newmont, dan lain-lain. untuk mengeksploitasi sumberdaya alam Indonesia. Berkuasanya korporasi-korporasi asing di Indonesia yang dalam banyak kasus justru menimbulkan ketergantungan, kemiskinan dan kehancuran masyarakat lokal yang menjadi bagian integral dari masyarakat nasional (bangsa Indonesia), jelas merupakan fakta bahwa kita sebagai bangsa tidak lagi cukup kuat memiliki nasionalisme dan kemandirian. Ini adalah fakta aktual yang harus kita hadapi dan sikapi secara kritis sebagai anak bangsa.

Sebagaimana kita ketahui Freeport adalah korporasi milik Amerika Serikat yang telah mengangkangi tambang emas terbesar dunia di Papua dengan cadangan terukur lebih dari 3.046 juta ton emas, 31 juta ton tembaga, dan 10 ribu ton perak. Selama 30 tahun lebih dan belum lama diperpanjang lagi Freeport telah mengeksploitasi kekayaan itu dengan pendapatan sekitar 1.5 miliar $ AS/tahun. Sebagai kompensasinya Freeport hanya memberi bagi hasil (profit sharing) pada Indonesia 10-13 % dari pendapat bersih di luar pajak. Oleh karena itu kita dapat menyaksikan apa yang terjadi di Papua, 60 % rakyat Papua tidak memiliki akses pendidikan, 35,5 % tidak memiliki akses fasilitas kesehatan, dan lebih dari 70 % hidup tanpa air bersih. Data HDI (Human Development Index) 2004 menunjukkan, Papua menempati urutan ke-212 (terutama mereka yang tinggal di daerah Mimika, Paniai, dan Puncak Jaya) dari 300 lebih kabupaten yang ada di Indonesia. Belum lagi kerusakan ekologi yang sangat parah yang tidak mungkin dapat diperbaiki dalam beberapa generasi.

Nasionalisme Sebagai Landasan Pengembangan Jiwa Entrepreneur
Bertitik tolak dari fakta aktual, bahwa kita sebagai bangsa berada dalam kondisi krisis multidimensi, maka menjadi keharusan untuk menggelorakan kembali nasionalisme terutama di kalangan mahasiswa yang merupakan golongan intelektual kader penerus pemimpin bangsa. Dalam kehidupan ekonomi, secara nyata kita sebagai bangsa tidak lagi memiliki kemandirian apalagi kedaulatan, sehingga krisis ekonomi yang berlangsung tidak ada prospek kapan akan berakhir. Salah satu faktor yang memperparah krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia adalah banyaknya para pebisnis atau entrepreneur Indonesia yang kurang bahkan tidak memiliki jiwa nasionalisme dan patriotisme. Mereka kurang memiliki rasa “handarbeni” keberadaan bangsa Indonesia dan keutuhan tanah air Indonesia. Oleh karena itu banyak pengusaha melarikan uangnya ke luar negeri, kolusi dan nepotisme, dan tindakan bisnis lain yang merugikan negara dan masyarakat termasuk pembalakan hutan secara liar yang terjadi akhir-akhir ini dalam kasus Edelin Lis.

Sesungguhnya upaya-upaya untuk membangun “ekonomi nasionalistik”, artinya pembangunan ekonomi yang didasari atas semangat kebangsaan dan cinta tanah air sudah diupayakan oleh pemerintah republik Indonesia segera setelah kemerdekaan. Pada waktu itu, dalam ranah entrepreneurship, masih ada pembedaan tajam antara pengusaha pribumi dan non pribumi. Kolonialisme telah mewariskan kehancuran jiwa entrepreneurship kaum pribumi dan sebaliknya memberikan kesempatan yang luas kepada kaum non pribumi. Akibatnya pengusaha pribumi tidak memiliki banyak pengalaman yang signifikan dalam berbisnis. Demikian juga para ekonomom pribumi juga tidak memiliki pengalaman mengatur perekonomian negara. Apa yang terjadi kemudian adalah masuknya korporasi-korporasi asing yang kemudian diintegrasikan dalam kebijakan ekonomi politik nasional yang kurang berpihak pada kepentingan masyarakat luas. Terjadilah praktek-praktek KKN antara penguasa dan pengusaha. Pada akhirnya dominasi ekonomi Indonesia merdeka jatuh ke tangan pengusaha non-pribumi. Program “perlindungan” pemerinah seperti Program Benteng akhirnya hanya menjadi selubung bagi praktek kolusi yang terkenal dengan “Ali-Baba”.

Saat ini kita masih mewarisi kondisi sebagaimana yang digambarkan di atas, meskipun dikotomi antara pengusaha pribumi dan non-pribumi sudah semakin meluntur. Persoalannya adalah bahwa saat ini nasionalisme dan patriotisme, tampak sudah tidak lagi menjadi jiwa para entrepreneur. Apalagi saat ini terjadi kemerosotan perasaan nasionalisme di berbagai kalangan dalam masyarakat. Dengan demikian penanaman rasa nasionalisme dan patriotisme di kalangan entrepreneur sangat diperlukan. Dengan nasionalisme, karya usaha anak bangsa akan lebih bermakna, dan harapan untuk kembali pada upaya menggapai cita-cita kemerdekaan bisa dicapai. Jika nasionalisme tidak dijadikan landasan bagi pengembangan jiwa entrepreneur, kita sebagai bangsa akan sulit untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan, yaitu sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur dengan cara demokratis.
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson