Islam Dan Pendidikan Pluralisme
Entah kenapa ketika mendengar kata “pluralisme”, sebagian dari kebanyakan umat Islam harus menutup kuping mereka rapat-rapat. Seolah-olah pluralisme ini telah dianggap oleh mereka, sebagai “hantu” yang perlu ditakuti dan dijauhi. Orang yang mencoba menjelaskan dan mewacanakannya pun juga terkena imbasnya, tak sedikit dari mereka yang telah di hujat, dicaci maki dan dikucilkan tidak hanya dianggap sebagai antek-antek Barat, tetapi juga telah “diklaim” sebagai calon penghuni neraka. Masyaallah..!
Saya memahami, kenapa mereka sampai berbuat demikian. Karena kebanyakan dari mereka saya yakin belum mengetahui secara komprehensif substansi pluralisme itu sendiri. Disamping itu, mereka juga sudah terburu-buru untuk bersikap antipati dan penuh kecurigaan, kalau pluralisme ini adalah produk Barat, yang pasti sesat dan menyesatkan. Memang sih, tidak bisa dipungkiri dalam realitas kesejarahanya pluralisme ini adalah berasal dari Barat. Tetapi kalau kemudian paham ini, mampu memberikan kontribusi positif bagi terciptanya persahabatan dan perdamaian bagi masyarakat agama, kenapa harus ditampik, inilah pertanyaanya.
Bukankah kalau mau jujur, selama ini kita juga telah ikut merasakan dan menikmati produk-produk barat akibat keunggulan IPTEK yang dimilikinya? Janganlah menutup mata, kalau kita selama ini bisa berkomunikasi jarak jauh dengan HP, faximile dan internet serta bisa bepergian keseluruh dunia (termasuk menunaikan ibadah haji ke mekkah) dengan naik pesawat, mobil dan kapal adalah berkat Barat.
Dengan begitu, dapatlah dikatakan bahwa sesuatu yang datang dari Barat ternyata tidak selamanya jelek dan bertentangan dengan Islam. Semuanya sebenarnya tergantung bagaimana cara kita menyikapi dan mempergunakanya. Sebagai contoh, kalau kita tidak dapat secara arif dan bijaksana mempergunakan sains dan teknologi, maka hal ini pastilah akan berimplikasi negatif bagi kehidupan manusia, yaitu menyebabkan terjadinya krisis dalam berbagai bidang kehidupan. Bukankah contoh seperti ini juga berlaku bagi paham pluralisme?
Namun haruslah diakui, bahwa Barat tentu saja bukanlah “segala-galanya”. Sehingga semua pikiran, perilaku, budaya serta norma-norma kita harus berkiblat dengan Barat. Kalau tidak mengikuti trend Barat, dikataka “ndeso” dan kampungan alias ketinggalan zaman. Karena memang pada kenyataanya, terdapat dari tradisi dan kebudayaan yang berasal dari Barat yang tidak sesuai dengan kultur Islam seperti; dari cara berpakaian yang banyak mengundang syahwat, makanan dan minuman beralkohol, free sex. Alangkah baiknya kalau kita memang seselektif mungkin untuk mencoba memilih dan memilah budaya Barat tersebut. Yang baik kita tiru, dan yang tidak sesuai dengan Islam kita bung jauh-jauh.
Lebih baik memang, dan ini sudah saatnya, kalau kita sesegera mungkin melakukan upaya-upaya menuju dialog antara Islam dan barat. Sehingga melalui proses dialog ini, akan memungkinkan terciptanya suasana saling belajar satu sama lain. Dialog juga akan memungkinkan diantara keduanya untuk saling sharing pemahaman tentang budaya masing-masing yang dimilikinya serta memberikan suatu kritik yang kontrukstif demi terciptanya saling memahami dan menghormati. Kalau hal seperti ini dapat dilakukan, saya yakin cita-cita menciptakan perdamaian global akan tercapai. Tetapi kalau belum-belum sudah saling mengkafirkan satu sama lain, lantas apa yang bakal terjadi? Pastilah kekacauan dan peperangan seperti yang terjadi selama ini, akan selalu terulang kembali. Termasuk salah satu yang perlu didialogkan antara barat dan Islam adalah gagasan perlunya konsep pluralisme, sebuah konsep yang berasal dari Barat yang bertujuan untuk menciptakan harmonisasi di antara agama-agama di dunia.
Apakah sebenarnya pluralisme itu? kalau melacak dari beberapa sumber, dapatlah didefenisikan bahwa pluralisme adalah sebuah paham tentang pluralitas. Paham, bagaimana melihat keragaman dalam agama-agama, mengapa dan bagaimana memandang agama-agama, yang begitu banyak dan beragam. Apakah hanya ada satu agama yang benar atau semua agama benar.
Paham pluralisme dengan begitu, sangat menghendaki terjadinya dialog antaragama, dan dengan dialog agama memungkinkan antara satu agama terhadap agama lain untuk mencoba memahami cara baru yang mendalam mengenai bagaimana Tuhan mempunyai jalan penyelamatan. Pengalaman ini, saya kira sangat penting untuk memperkaya pengalaman antar iman, sebagai pintu masuk ke dalam dialog teologis. Inilah sebuah teologi yang menurut Wilfred C. Smith (1981: 187) disebut dengan istilah world theology (teologi dunia) dan oleh John Hick (1980: 8) disebutnya global theology (teologi global). Kemudian teologi tersebut belakangan ini terkenal dengan sebutan teologi pluralisme.
Pengakuan terhadap pluralisme agama dalam suatu komunitas umat beragama menjanjikan dikedepankanya prinsip inklusifitas yang bermuara pada tumbuhnya kepekaan terhadap berbagai kemungkinan unik yang bisa memperkaya usaha manusia dalam mencari kesejahteraan spritual dan moral. Gagasan bahwa manusia adalah satu umat, seperti ini menurut Sachedina “merupakan dasar pluralisme teologis yang menuntut adanya kesetaraan hak yang diberikan Tuhan bagi semua. Manusia tetap merupakan “satu bangsa” berdasarkan kemanusiaan yang sama-sama mereka miliki. Karena itulah diperlukan suatu “etika global” yang bisa memberikan dasar pluralistik untuk memperantarai hubungan antar agama di antara orang-orang yang memiliki komitmen spritual berbeda”.
Pengertian dan tujuan pluralisme seperti itu, sebenarnya telah lama menimbulkan perdebatan di kalangan umat beragama. Sampai akhirnya, pembicaraan mengenai pluralisme sempat “menghangat” kembali ketika MUI melalui fatwanya baru-baru ini, menyatakan bahwa pluralisme adalah paham yang sesat dan sangat membahayakan, karena dianggap sebagai paham yang menyebarkan “ semua agama adalah benar”.
Fatwa MUI yang melarang pluralisme seperti itu, kemudian menunai banyak protes dari masyarakat luas. Karena dianggap fatwa MUI seperti itu akan sangat membahayakan bagi integritas bangsa Indonesia yang pluralistik. Bahkan, salah satu dari ketua MUI ketika menanggapi protes dari berbagai kalangan, ada yang dengan tegas menyatakan bahwa mereka yang protes itu berdasarkan akal, sedangkan ulama (MUI) berdasarkan Alquran dan Sunnah Rasul.
Padahal kalau kita mau memahami dan mempelajari pengertian dari pluralisme yang dimaksud, pastilah kita akan secara arif dapat menerimanya. Bukankah pluralisme pada dasarnya justru sangat compatible dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Apalagi kalau mau membaca sejarah, pasti kita dapat menyimpulkan bahwa meskipun Islam merupakan agama termuda dalam tradisi Ibrahimi. Pemahaman diri Islam sejak kelahiranya pada abad ke-7 justru sudah melibatkan unsur kritis pluralisme, yaitu hubungan Islam dengan agama lain. Dan agama Ibrahimi termuda ini sebenarnya bisa mengungkap diri dalam suatu dunia agama pluralistis. Islam mengakui dan menilainya secara kritis, tapi tidak pernah menolaknya atau menganggapnya salah.
Bahkan menurut Alquran sendiri, pluralitas adalah salah satu kenyataan objektif komunitas umat manusia, sejenis hukum Allah atau Sunnah Allah, dan bahwa hanya Allah yang tahu dan dapat menjelaskan, di hari akhir nanti, mengapa manusia berbeda satu dari yang lain, dan mengapa jalan manusia berbeda-beda dalam beragama. Dalam al-Qura’an disebutkan, yang artinya: “Untuk masing-masing dari kamu (umat manusia) telah kami tetapkan Hukum (Syari’ah) dan jalan hidup (minhaj). Jika Tuhan menghendaki, maka tentulah ia jadikan kamu sekalian umat yang tunggal (monolitk). Namun Ia jadikan kamu sekalian berkenaan dengan hal-hal yang telah dikarunia-Nya kepada kamu. Maka berlombalah kamu sekalian untuk berbagai kebajikan. Kepada Allah-lah tempat kalian semua kembali; maka Ia akan menjelaskan kepadamu sekalian tentang perkara yang pernah kamu perselisihkan” (QS 5: 48).
Dalam kaitannya yang langsung dengan prinsip inilah Allah, di dalam Alquran, menegur keras Nabi Muhammad SAW ketika ia menunjukkan keinginan dan kesediaan yang menggebu untuk memaksa manusia menerima dan mengikuti ajaran yang disampaikanya, sebagai berikut: “Jika Tuhanmu menghendaki, maka tentunya manusia yang ada di muka bumi ini akan beriman. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia, di luar kesediaan mereka sendiri? (QS 10: 99).
Demikianlah beberapa prinsip dasar Alquran yang berkaitan dengan masalah pluralisme dan toleransi. Paling tidak, dalan dataran konseptual, Alquran telah memberi resep atau arahan-arahan yang sangat diperlukan bagi manusia Muslim untuk memecahkan masalah kemanusiaan universal, yaitu realitas pluralitas keberagamaan manusia dan menuntut supaya bersikap toleransi terhadap kenyataan tersebut demi tercapainya perdamaian di muka bumi. Karena Islam menilai bahwa syarat untuk membuat keharmonisan adalah pengakuan terhadap komponen-komponen yang secara alamiah berbeda.
Melihat peran pentingnya sikap pluralisme untuk bisa mengakui dan menghormati “perbedaan” dan sikap seperti ini ternyata memiliki landasan teologis dari Al-Qur’an maka, teologi pluralisme seperti ini sangat penting untuk ditekankan pada peserta didik melalui pendidikan agama, sebab persoalan teologi sampai sekarang masih menimbulkan kebingungan di antara agama-agama. Soal teologi yang menimbulkan kebingungan adalah standar: bahwa agama kita adalah agama yang paling sejati berasal dari Tuhan, sedangkan agama lain adalah hanya kontruksi manusia. Dalam sejarah, standar ganda ini biasanya dipakai untuk menghakimi agama lain dalam derajad keabsahan teologis di bawah agama kita sendiri. Lewat standar ganda inilah kita menyaksikan bermunculnya perang klaim-klaim kebenaran dan janji penyelamatan, yang kadang-kadang kita melihatnya berlebihan, dari satu agama atas agama lain.
Selain itu, era sekarang adalah era multikulturalisme dan pluralisme, yang dimana seluruh masyarakat dengan segala unsurnya dituntut untuk saling tergantung dan menanggung nasib secara bersama-sama demi terciptanya perdamaian abadi. Salah satu bagian penting dari konsekuensi tata kehidupan global yang ditandai kemajemukan etnis, budaya, dan agama tersebut, adalah membangun dan menumbuhkan kembali teologi pluralisme dalam masyarakat.
Demi tujuan itu, maka pendidikan sebenarnya masih dianggap sebagai instrumen penting. Sebab, “pendidikan” sampai sekarang masih diyakini mempunyai peran besar dalam membentuk karakter individu-individu yang dididiknya, dan mampu menjadi “guiding light” bagi generasi muda penerus bangsa. Dalam konteks inilah, pendidikan agama sebagai media penyadaran umat perlu membangun teologi inklusif dan pluralis, demi harmonisasi agama-agama (yang telah menjadi kebutuhan masyarakat agama sekarang).
Hal tersebut dengan suatu pertimbangan, bahwa salah satu peran dan fungsi pendidikan agama diantaranya adalah untuk meningkatkan keberagamaan peserta didik dengan keyakinan agama sendiri, dan memberikan kemungkinan keterbukaan untuk mempelajari dan mempermasalahkan agama lain sebatas untuk menumbuhkan sikap toleransi (Sealy, 1986: 43-44). Ini artinya, pendidikan agama pada prinsipnya, juga ikut andil dan memainkan peranan yang sangat besar dalam menumbuh-kembangkan sikap-sikap pluralisme dalam diri siswa.
Apalagi, kalau mencermati pernyatan yang telah disampaikan oleh Alex R. Rodger (1982: 61) bahwa “pendidikan agama merupakan bagian integral dari pendidikan pada umumnya dan berfungsi untuk membantu perkembangan pengertian yang dibutuhkan bagi orang-orang yang berbeda iman, sekaligus juga untuk memperkuat ortodoksi keimanan bagi mereka”. Artinya pendidikan agama adalah sebagai wahana untuk mengekplorasi sifat dasar keyakinan agama di dalam proses pendidikan dan secara khusus mempertanyakan adanya bagian dari pendidikan keimanan dalam masyarakat. Pendidikan agama dengan begitu, seharusnya mampu merefleksikan persoalan pluralisme, dengan mentransmisikan nilai-nilai yang dapat menumbuhkan sikap toleran, terbuka dan kebebasan dalam diri generasi muda.
Organisasi sekolah dan atmosfirnya harus mampu mewujudkan jalan menuju kehidupan secara personal dan sosial. Sekolah harus dapat mempraktekkan sesuatu yang telah diajarkanya. Dengan demikian, lingkungan sekolah tersebut dapat dijadikan percontohan oleh murid-murid untuk learning by doing. Di dalam sekolah, peserta didik seharusnya dapat mempelajari adanya kurikulum-kurikulum umum di dalam kelas-kelas heterogen. Hal ini diperlukan guna mendorong adanya persamaan ideal, membangun perasaan persamaan, dan memastikan adanya input dari peserta didik yang memiliki latar belakang berbeda.
Adanya serentetan kerusuhan-kerusuhan yang berbau SARA di Indonesia, menunjukkan bahwa secara kolektif kita sebenarnya tidak mau belajar tentang bagaimana hidup secara bersama secara rukun. Bahkan, dapat dikatakan, agen-agen sosialisasi utama seperti keluarga dan lembaga pendidikan, tampaknya tidak berhasil menanamkan sikap toleransi-inklusif dan tidak mampu mengajarkan untuk hidup bersama dalam masyarakat plural. Di sinilah letak pentingnya sebuah ikhtiar menanamkan teologi pluralisme melalui pendidikan agama. Sehingga, masyarakat Indonesia akan mampu membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama. Inilah pendidikan akan nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas.
Melalui pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam berbasis kemajemukan dengan mempertimbangkan pengembangan komponen-komponen, ya , bahan, metode, peserta didik, media, lingkungan, dan sumber belajar Maksud dan tujuan pendidikan pluralisme, dengan begitu akan dapat dijadikan sebagai jawaban atau solusi alternatif bagi keinginan untuk merespon persoalan-persoalan di atas. Sebab dalam pendidikanya, pemahaman Islam yang hendak dikembangkan oleh pendidikan berbasis pluralisme adalah pemahaman dan pemikiran yang bersifat inklusif.
Melalui sistem pendikikanya, sebuah pendidikan yang berbasis pluralisme akan berusaha memelihara dan berupaya menumbuhkan pemahaman yang inklusif pada peserta didik. Dengan suatu orientasi untuk memberikan penyadaran terhadap para peserta didiknya akan pentingnya saling menghargai, menghormati dan bekerja sama dengan agama-agama lain.