Pengertian Permainan Matematika
“Permainan matematika adalah sesuatu kegiatan yang menyenangkan (menggembirakan) yang dapat menunjang tercapainya tujuan instruksional dalam pengajaran matematika baik aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik”. (Ruseffendi, 2006: 312). Berdasarkan pernyataan tersebut, bahwa setiap permainan tidak bisa disebut permainan matematika. Karena permainan matematika bukan sekedar membuat siswa senang dan tertawa, tetapi harus menunjang tujuan instruksional pengajaran matematika baik aspek kognitif, afektif, maupun kognitif. Dimana aspek kognitif itu sendiri adalah segi kemampuan yang berkenaan dengan pengetahuan, penalaran atau pikiran. Menurut Bloom (dalam Dimyati dan Mudjiono, 1999: 298), “Aspek kognitif terdiri dari 6 kategori, yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi”. Aspek afektif adalah kemampuan yang mengutamakan perasaan, emosi, dan reaksi-reaksi yang berbeda dengan penalaran. Menurut Krathwohl dkk. (dalam Dimyati dan Mudjiono, 1999: 298), “Aspek afektif terdiri dari lima kategori yaitu penerimaan, partisipasi, penilaian, penentuan sikap, organisasi dan pembentukan pola”. Sedangkan aspek psikomotorik adalah kemampuan yang mengutamakan keterampilan jasmani. Menurut Symposium (dalam Dimyati dan Mudjiono, 1999: 298), “Ranah psikomotorik terdiri dari tujuh kategori yaitu persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks, penyesuaian pola gerakan, dan kreativitas”. Selain itu, penempatan penggunaan permainan matematika harus sesuai, jangan salah waktu dan tempat.
Permainan matematika sangat bervariasi macam dan kegunaannya, untuk itu guru matematika dapat memilih permainan-permainan yang akan digunakan dalam pengajaran. Seorang guru matematika harus pandai dalam memilih permainan yang akan digunakan, karena permainan yang akan digunakan itu bukan sekedar membuat siswa senang dan tertawa, tetapi permainan tersebut harus menunjang tujuan instruksional pengajaran matematika serta pelaksanaannya harus terencana. Dengan tercapainya tujuan instruksional pengajaran, pelaksanaan permainan matematika dalam pembelajaran tidak akan sia-sia dan membuang waktu. Jadi, permainan matematika bisa menjadi salah satu alat yang efektif untuk pembelajaran.
Ruseffendi (2006: 312) mengatakan,
Manfaat dari permainan matematika dalam pengajaran matematika terutama untuk: 1) menimbulkan dan meningkatkan minat; 2) menumbuhkan sikap yang baik terhadap matematika. Sebagai kegunaan tambahannya: 1) untuk mengembangkan konsep; 2) untuk melatih keterampilan; 3) untuk penguatan; 4) untuk memupuk kemampuan pemahaman; 5) untuk pemecahan masalah; 6) untuk mengisi waktu senggang.
Sedangkan menurut Diner (dalam Lisnawaty, 1993: 91) menyebutkan,
Dengan pengaitan bermain dengan pelajaran matematika peserta didik akan: 1) berkenalan dengan konsep matematika melalui benda-benda konkrit; 2) menambah atau memperkaya pengalaman peserta didik; 3) tertanam konsep matematika pada peserta didik; 4) dapat menelaah sifat bersama atau dapat membedakan antara dua jenis benda; 5) mampu mengatakan representasi suatu konsep dengan belajar membuat simbol; 6) belajar mengorganisasikan konsep-konsep matematika secara formal sampai pada aksioma dalil atau teori.
Masalah Kecemasan Siswa
Menurut Morris Kline (dalam Lisnawaty, 1993: 57) menyatakan, “Jatuhnya bangunnya suatu negara dewasa ini tergantung dari kemajuan dibidang matematika”. Senada dengan Slamet Imam Santoso (dalam Lisnawaty, 1993: 57) yang mengemukakan bahwa, “Fungsi matematika dapat merupakan ketahanan Indonesia dalam abad 20 di jalan raya bangsa-bangsa”.
Pada kenyataannya, pencapaian nilai hasil belajar siswa Indonesia untuk bidang studi matematika cukup mengkhawatirkan. Matematika dianggap sebagai pelajaran yang sulit dan ruwet, sehingga siswa merasakan kecemasan saat pembelajaran matematika. Persepsi itulah yang harus dihilangkan dalam pembelajaran karena persepsi seperti itu akan menghambat proses pembelajaran.
1. Pengertian Kecemasan
Menurut Richard & Lazarus (www.wangmuba.com), kecemasan mempunyai dua arti.
1) Kecemasan sebagai suatu respon. Kecemasan ini yaitu reaksi individu terhadap kejadian atau peristiwa yang menimpa dirinya. hal ini dapat dilihat dari apa yang dilakukannya, apa yang dikatakannya, dan perubahan-perubahan fisik yang terjadi.
2) Kecemasan sebagai variabel perantara. Reaksi dan keadaan yang disebabkan oleh beberapa stimulus yang dapat berakibat tertentu dan dirasakan oleh individu lebih lanjut, atau suatu keadaan yang mempengaruhi rangkaian stimulus dan respon.
2. Macam-Macam Kecemasan
Banyak para ahli yang mengungkapkan macam-macam kecemasan, diantaranya menurut Freud (chrisna, www.wangmuba.com) ada tiga macam kecemasan.
1) Kecemasan Realistik adalah ketakutan terhadap bahaya dari dunia eksternal, dan taraf kecemasannya sesuai dengan ancaman yang ada. Dalam kehidupan sehari-hari kecemasan jenis ini kita sebut sebagai rasa takut. Persis inilah yang dimaksud Freud dalam bahasa jerman, tapi penerjemahnya menganggap kita takut (fear) terkesan terlalu umum. Contohnya sangat jelas, jika saya melempar seekor ular berbisa kedepan anda, anda pasti akan mengalami kecemasan ini.
2) Kecemasan Moral, kecemasan ini akan kita rasakan ketika ancaman datang bukan dari dunia luar atau dari dunia fisik, tapi dari dunia sosial super ego yang telah diinternalisasikan ke dalam diri kita. Kecemasan moral ini adalah kata lain dari rasa malu, rasa bersalah atau rasa takut mendapat sanksi. Kecemasan bentuk ini merupakan ketakutan terhadap hati nurani sendiri.
3) Kecemasan Neurotik, perasaan takut jenis ini muncul akibat rangsangan-rangsangan id, kalau anda pernah merasakan ’kehilangan ide, gugup, tidak mampu mengendalikan diri, perilaku, akal dan bahkan pikiran anda, maka anda saat itu sedang mengalami kecemasan neurotik. Neurotik adalah kata lain dari perasaan gugup. Kecemasan jenis terakhir inilah yang paling menarik perhatian freud, dan biasanya kita hanya menyebutnya dengan kecemasan saja.
3. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Kecemasan Siswa
Banyak faktor-faktor pemicu timbulnya kecemasan pada diri siswa di sekolah. Target kurikulum yang terlalu tinggi, iklim pembelajaran yang tidak kondusif, pemberian tugas yang sangat padat, serta sistem penilaian ketat dan kurang adil dapat menjadi faktor penyebab timbulnya kecemasan yang bersumber dari faktor kurikulum. Begitu juga, sikap dan perlakuan guru yang kurang bersahabat, galak, judes dan kurang kompeten merupakan sumber penyebab timbulnya kecemasan pada diri siswa yang bersumber dari faktor guru. Penerapan disiplin sekolah yang ketat dan lebih mengedepankan hukuman, iklim sekolah yang kurang nyaman, serta sarana dan prasarana belajar yang sangat terbatas juga merupakan faktor-faktor pemicu terbentuknya kecemasan pada siswa yang bersumber dari faktor manajemen sekolah.
Pengertian Pembelajaran
Pada undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, bab I, pasal 1 dikemukakan, “Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Menurut Dimyati dan Mudjiono(1999: 297), “Pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar”. Sedangkan Piaget (dalam Dimyati dan Mudjiono, 1999: 14) mengemukakan,
Pembelajaran terdiri dari 4 langkah, 1) menentukan topik yang dapat dipelajari oleh anak sendiri; 2) memilih atau mengembangkan aktivitas kelas dengan topik tersebut; 3) mengetahui adanya kesempatan bagi guru untuk mengemukakan pertanyaan yang menunjang proses pemecahan masalah; 4) menilai pelaksanaan tiap kegiatan, memperhatikan keberhasilan, dan melakukan revisi.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, pembelajaran dapat dikatakan sebagai aktivitas yang paling utama yang menyebabkan efektivitas pengajar yang paling utama. Menyambung dengan masalah kecemasan dikatakan bahwa faktor pendidik/guru pun menjadi faktor yang dapat menimbulkan kecemasan pada diri siswa. Guru yang akan mengatur jalannya proses pembelajaran mulai dari pembuka sampai penutup. Untuk itu, guru harus dapat melaksanakan suatu pembelajaran yang kondusif (menyenangkan) supaya tujuan instruksional bisa tercapai.
Lingkungan Belajar yang Efektif
Lingkungan belajar yang efektif adalah sebuah lingkungan belajar yang produktif, dimana sebuah lingkungan belajar yang di desain atau di bangun untuk membantu pelajar meningkatkan produktifitas belajar mereka, sehingga proses belajar mengajar tercapai sesuai dengan yang di harapkan atau sebuah lingkungan belajar yang sangat ideal yang sesuai dengan kebutuhan para pelajar.
Berdasarkan pernyataan tersebut, dalam sebuah lingkungan belajar yang efektif, pelajar akan bisa menjadi lebih produktif, hal ini di gambarkan dengan kemudahan para pelajar dalam berpikir, berkreasi juga mampu belajar secara aktif dikarenakan lingkungan belajar yang sangat mendukung sehingga timbul ketertarikan dan kenyamanan pada saat proses belajar mengajar berlangsung.
Lingkungan mempengaruhi kemampuan siswa dalam berkonsentrasi untuk belajar. Siswa akan dapat memaksimalkan kemampuan konsentrasinya, jika mereka mengetahui faktor apa saja yang berpengaruh terhadap konsentrasi. Jika siswa dapat memaksimalkan konsentrasi, mereka mampu menggunakan kemampuannya pada saat dan suasana yang tepat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi siswa dalam belajar diantaranya faktor lingkungan dan faktor manusia. Faktor lingkungan yang mempengaruhi konsentrasi belajar adalah suara, pencahayaan, temperatur, dan desain belajar. Sedangkan faktor manusia yang mempengaruhi konsentrasi belajar adalah pendidik dan peserta didik.
Pengajaran yang Efektif
Dari suatu penelitian yang dilakukan oleh MacKay, tentang pengajaran yang efektif (dalam M. Surya, 2004: 93), disarankan mengenai perilaku untuk mengajar yang efektif adalah sebagai berikut:
- menggunakan suatu sistem aturan tertentu dalam menghadapi hal-hal pribadi atau prosedur tertentu;
- mencegah agar perilaku siswa yang salah tidak keterusan;
- mengarahkan tindakan dengan disiplin secara tepat;
- bergerak ke seluruh ruangan kelas untuk mengamati siswa;
- situasi-situasi yang menggangu diatasi dengan cara-cara yang baik;
- memberikan tugas-tugas yang menarik minat siswa, terutama apabila mereka bekerja secara bebas;
- menggunakan cara yang memungkinkan siswa melaksanakan tugas-tugas belajar dengan arahan seminimal mungkin;
- memanfaatkan waktu pembelajaran sebaik mungkin dan siswa harus terlibat aktif dan produktif dalam melaksanakan tugas-tugas pembelajaran;
- tidak memulai berbicara kepada kelas sebelum siswa-siswa memberikan perhatian;
- memelihara jalannya arahan pelajaran dengan baik;
- memberikan penyajian secara jelas di depan kelas;
- dapat memotivasi siswa dalam pembelajaran;
- mengarahkan pertanyaan kepada banyak siswa yang berbeda-beda, bukan hanya kepada siswa tertentu saja;
- memberikan penghargaan dan ganjaran untuk memotivasi siswa;
- dan lain-lain.
Berdasarkan penelitian itu, menunjukan bahwa diantaranya seorang guru harus bisa memberikan tugas-tugas yang menarik minat siswa, memanfaatkan waktu pembelajaran sebaik mungkin dan siswa harus terlibat aktif dan produktif dalam pembelajaran serta guru harus menggunakan cara-cara tertentu untuk mendapat perhatian siswa. Dari itu semua, bahwa seorang guru harus menciptakan pelaksanaan pembelajaran yang kondusif dalam meningkatkan minat siswa dan perhatian siswa serta mengurangi kecemasan siswa dalam pembelajaran demi tercapainya mutu pendidikan yang berkualitas. Salah satu cara dalam pelaksanaan pembelajaran yang kondusif adalah dengan penerapan permainan matematika dalam pembelajaran.