Jangan Anggap Remeh Cemaran Mikotoksin : Belajar Dari Kasus Penyakit Ergot
Pembangunan pangan Indonesia adalah tersedianya pangan bagi seluruh rumah tangga dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, merata dan terjangkau oleh setiap individu serta aman untuk dikonsumsi (UU No: 7, Th 1996, Tentang Pangan). Mungkin karena perhatian utama saat ini masih pada usaha pengadaan pangan yang cukup dan bahaya akibat mengkonsumsi pangan yang kurang aman masih belum banyak diketahui, perhatian kita terhadap masalah keamanan pangan masih sangat rendah. Indikator masih kurangnya perhatian kita terhadap masalah keamanan pangan tercermin antara lain pada masih sedikitnya jumlah diskusi diskusi masalah keamanan pangan, dibanding dengan diskusi pada ketahanan pangan. Pada hal menurut Sardjono (2011) dan Agus (2011), keamanan pangan dan pakan kita sudah dalam kondisi yang memprihatinkan, antara lain karena tingginya kontaminasi mikotoksin pada bahan tersebut. Mikotoksin adalah bahan beracun yang dikeluarkan oleh jamur yang meginfeksi biji bijian, pangan dan pakan yang dapat menyebabkan sakit atau kematian manusia atau hewan yang mengkonsumsi bahan tersebut. Tingginya kontaminasi pada berbagai bahan oleh mikotoksin merupakan salah satu masalah penyakit tumbuhan pasca panen yang perlu segera mendapatkan perhatian secara serius.
Kelembaban dan temperatur yang tinggi merupakan faktor luar yang sangat mendukung berkembangnya penyakit pasca panen pada bahan pangan dan pakan, khususnya yang tergolong biji bijian di Indonesia. Selain menimbulkan kerugian secara kualitatif dengan jalan menurunkan bobot, pathogen pasca panen, khususnya jamur juga menurunkan kualitas bahan bahkan dapat menyebabkan bahan tersebut tidak layak untuk di konsumsi. Sardjono et al. (1992) melaporkan bahwa persentase infeksi jamur yang berpotensi sebagai penghasil mikotoksin pada beberapa biji bijian yang pernah diteliti, sudah pada aras yang perlu dikendalikan.
Dari 256 buah sample kacang tanah yang diamati, 100% menunjukkan infeksi jamur dengan rincian infeksi oleh Aspergillus flavus Link sebesar 98%, Aspergillus niger v.Tiegh sebesar 80%, serta kelompok Fusarium sebesar 14%. Sedangkan untuk Jagung, dari 82% sampel yang diteliti, sebanyak 80% terinfeksi Aspergillus flavus, 70% terinfeksi Fusarium moniliforme, dan 23% tercemar oleh Fusarium sp yang berpotensi menghasilkan mikotoksin jenis fumonisin. Seterusnya Sardjono (2005) juga melaporkan adanya cemaran mikotoksin pada sebagian produk produk olahan yang dihasilkan dari bahan mentah yang telah tercemar mikotoksin, antara lain bumbu pecel, enting-enting, oncom dan hasil olahan jagung. Di lingkungan ASEAN, Indonesia menduduki peringkat tertinggi dalam hal pencemaran mikotoksin pada biji bijian (Yamashita et al., 1995 cit. Sardjono, 2011).
Di Indonesia, cerita keamanan pangan, khususnya kontaminasi mikotoksin dan racun lain pada bahan pangan dan pakan, adalah cerita yang kurang menggembirakan. Dampak dari adanya cemaran mikotoksin pada bahan pangan sebagian besar terjadi pada anak anak muda dari golongan masyarakat yang tidak berpenghasilan tetap dan pas-pasan, karena mereka terpaksa harus mengkonsumsi makanan yang kualitasnya rendah. Situasi ini merupakan tantangan yang berat bagi berbagai pihak untuk bekerja lebih keras untuk mencukupi kebutuhan pangan yang lebih aman bagi seluruh warga Negara. Kiranya sangat tepat bila Internasional Society for Plant Pathology (ISPP) dalam penyelenggaraan the 9th International Congress of Plant Pathology di Italy tahun 2008, mengangkat tema “HEALTHY AND SAFE FOOD FOR EVERYBODY”. Tema tersebut mirip tema kongres beberapa tahun sebelumya yaitu “HEALTHY PLANT HEALTHY PEOPLE”.
Selain mengancam keamanan pangan, mikotoksin juga mengancam keamanan pakan ternak, yang pada gilirannya juga membahayakan manusia. Agus (2011) melaporkan bahwa pada pakan ternak sering terdeteksi adanya cemaran yang berupa mikotoksin, dioxin, melamin, logam berat, pestisida, obat hewan dan aditif (antibiotik, hormone), mikrobia pathogen (Salmonella enteric, Bacillus anthracis, Toxoplasma gondii, Trichinella spiralis, Bovine spongiform Encephalopathy) dan polycyclic aromatic hydrocarbons. Dalam situasi demikian penanganan pasca panen dan penyimpanan perlu ditingkatkan untuk meghasilkan pakan yang lebih aman bagi ternak dan manusia.
Mengenai cemaran mikotoksin pada bahan pakan ternak di Indonesia, Agus dan Nuryono (2007) melaporkan bahwa lebih dari 80% jagung yang pernah diteliti tercemar aflatoksin B1 dan rata rata di atas ambang batas toleransi (lebih dari 50 ppb). Tingkat cemaran aflatoksin B1 pada jagung di aras pedagang pengumpul selalu lebih tinggi dari pada aras petani, seperti di Kabupaten Tasikmalaya (243 vs 45 ppb), Klaten (147 vs 9,7) dan Blitar (29 vs 0,9 ppb) (Yunianta dan Agus, 2008).
Dalam sejarah kemanusiaan adanya penyakit dan kematian pada manusia dan hewan karena mikotoksin, sebenarnya sudah dikenal lebih dari 1000 tahun yang lalu, ketika ribuan manusia dan hewan ternak mengalami kesakitan, cacat seumur hidup bahkan kematian beberapa saat setelah mereka mengkonsumsi biji bijian yang berjamur. Salah satu catatan sejarah terpenting terkait dengan mikotoksin adalah kematian ribuan manusia pada kurun waktu sekitar 500 tahun pada pertengahan abad 15 dan 16 di Spanyol dan Rusia. Kemudian diketahui bahwa kematian tersebut terjadi karena mereka makan roti yang terbuat dari tepung gandum (rye) yang bijinya terkontaminasi jamur pathogen (Claviceps purpurea ND) yang memproduksi mikotoksin. Penyakit yang sama diduga sebagai penyebab matinya ribuan orang di China pada 1100 sebelum Masehi dan di Assyria pada 600 tahun sebelum Masehi. Penyakit ini mulai mendapat perhatian yang serius setelah pada tahun 1722 menyebabkan kematian sekitar 20.000 tentara Russia setelah makan roti yang terbuat dari gandum yang terinfeksi C. purpurea. (Agrios, 2005). Di sub sektor peternakan, kehadiran mikotoksin dalam pakan juga menjadi perhatian yang serius, terutama setelah pada tahun 1960 terjadi kematian 100.000 anak kalkun di Inggris setelah memakan biji bijian yang terkontaminasi jamur berbahaya tersebut.