ORGANISASI SOSIAL DAN KEBUDAYAAN KELOMPOK MINORITAS INDONESIA
1. Latar Belakang Permasalahan
Menurut Herakleitos, seorang filsuf yang berasal dari Yunani, ruang dan
waktu adalah bingkai, di dalamnya seluruh realitas kehidupan kita hadapi.
Kita tidak bisa mengerti benda-benda nyata apapun tanpa meletakkannya
pada bingkai ruang waktu (Cassirer, 1987: 63).
Lingkungan kita terbatas dan ruang itu ternyata penuh dengan hal-hal
abstrak dan konkret yang ditemui dan dialami oleh manusia. Disamping hal
tersebut, ada juga unsur dan wujud yang diwarisi serta dipelajari dari nenek
moyang. Peradaban selalu dinamis dan mudah bereaksi terhadap kegiatan
yang ada di lingkungan pada waktu tertentu. Kelompok manusia atau
masyarakat dan individu pribadi menginterpretasikan suatu peristiwa berbeda
dengan kelompok atau individu yang berlatar belakang lain atau yang berpola
pikir berbeda. Maksudnya, kita hidup dalam suatu lingkungan yang
membentuk sikap individu, kebudayaan masyarakat, dan lingkungan alam.
Pada saat seseorang lahir di dunia, dia memiliki kesempatan memilih
ribuan jalan kehidupan. Namun pada akhirnya dia hanya bisa memilih satu
jalan hidup saja. Pengalaman hidup manusia adalah sumber utama dalam filsafat manusia. Menurut Comte, filsuf modern: “Kondisi-kondisi sosial
ternyata memodifikasi bekerjanya hukum-hukum fisiologis, maka fisika
sosial harus menyelenggarakan observasi-observasinya sendiri” (Cassirer,
1987: 100).
Di Indonesia terdapat tigaratus lebih kelompok suku bangsa yang sifat
hidupnya berbeda cukup signifikan dari kelompok lain. Disamping hal itu
mereka mempunyai identitas yang berbeda dan menggunakan lebih dari dua
ratus bahasa khas. Namun demikian menurut postulasi ahli bahasa Robert
Blust, sebagian besar bahasa di Indonesia termasuk rumpun bahasa MelayuPolinesia.
Kira-kira duaratus sepuluh juta penduduk Indonesia tersebar di lebih dari
empat belas ribu pulau dan kira-kira 1,5 persen jumlah penduduknya hidup
dengan cara tradisional. Aktivitas memenuhi kebutuhan hidup atau hiburan
jauh berbeda dengan kelompok manusia lain.
Masyarakat Indonesia menganut bermacam-macam agama dan sejumlah
besar kepercayaan tradisional yang dapat ditemui di daerah yang terpencil.
Kepercayaan-kepercayaan tradisional sering diakulturasikan dengan ajaran
agama Islam, Hindu atau Kristen. Juga ada jumlah penganut agama yang
memasukkan unsur-unsur kepercayaan nenek moyang. Misalnya di Jawa
unsur-unsur Hindu dan animisme masuk agama Kristen dan Islam.
Kelihatannya dengan akulturasi tersebut, agama dengan unsur-unsur
kepercayaan tradisional, memyebabkan kemunculan kosmos baru.
Sumatera merupakan pulau yang memiliki sejumlah suku-suku besar
yang mempunyai ciri khas tradisional. Suku yang terkenal adalah Aceh,
Batak, Minangkabau dan Melayu. Juga adalah sejumlah suku-suku minoritas
di Sumatera sebelah timur di kawasan hutan luas diantara sungai-sungai
besar, maupun rawa-rawa pantai dan pulau-pulau lepas pantai. Kebanyakan
suku minoritas di propinsi Jambi dan sekitarnya dikenal dengan nama umum
orang Kubu yang benar-benar memiliki tradisi sendiri. Di kawasan pantai
terdapat orang Akit, orang Utan dan orang Kuala atau Duano. Di pulau-pulau
lepas pantai terdapat orang Laut dan orang Darat dari kepulauan Riau dan
Linga. Ada orang Sekak di pesisir kepulauan Bangka dan Belitung dan orang
Lom disebelah utara pulau Bangka.
Di pedalaman terdapat orang Sakai, yang berlokasi diantara sungai
Rokan dan Siak. Orang Petalangan ada diantara sungai Siak dan Kampur dan
diantara sungai Kampar dan Indragiri. Ada orang Talang Mamak diantara
sungai Indragiri dan Batang Hari. Orang Batin Sembilan di daerah antara
sungai Batang Hari dan Musi, tetapi khususnya di sisi perbatasan propinsi
Jambi. Orang Bonai, yang mendiami di kawasan berawa di pertengahan
Daerah Aliran Sungai (DAS) sungai Rokan yang bersebelahan kawasan orang
Sakai.
Dalam makalah ini penulis terutama memfokuskan pada salah satu suku
lain, yang tidak ingin dikenal dengan nama orang Kubu tetapi orang Rimba,
atau Kelam yang nama benar menurut salah seorang Rimba, kelompok Biring
yang masih tinggal di lingkungan tradisional. Walaupun nama suku Kubu sudah digunakan sejak beberapa abad, arti nama berubah dan konotasi nama
itu tidak selalu sesuai keinginan mereka lagi, supaya lebih cocok suku dikenal
dengan nama disebut diatas, Orang Rimba. Kadang-kadang ada keperluan
mereferensikan sebagai orang Kubu atau istilah yang digunakan oleh
pemerintah, Suku Anak Dalam (SAD). Dalam makalah ini beberapa data dari
suku tetangga orang Rimba yakni suku orang Batin Sembilan, dijadikan
sebagai studi pembandingan, alasannya ada beberapa sifat terkait dengan
budaya orang Rimba.
Sampai sekarang, kebudayaan masyarakat tradisional orang Rimba
bertahan dari tekanan hidup yang muncul dari pinggiran tanah tradisional
mereka. Kelihatannya, mau atau tidak mau, masyarakat transmigrasi dan
perantau baru yang mempunyai kebudayaan pasca tradisional masuk dengan
jumlah cukup besar dalam waktu 20 tahun terakhir. Hal ini berdampak pada
pencarian nafkah, kehidupan sosial dan aspek kehidupan lain orang Rimba
secara drastis. Misalnya, penebangan kayu resmi maupun liar dan pembukaan
lahan untuk perkebunan karet dan kelapa sawit, adalah aktivitas yang tidak
umum di kehidupan orang Rimba dan benar dirasakan oleh orang Rimba.
Mereka merupakan suku yang tergolong defensif dan tidak terbiasa
melakukan peperangan atau berjuang untuk mempertahankan hak adatnya
yang tidak selalu diterima oleh institusi resmi pemerintah yang mengatur
hukum.
Pada bulan November 2001, penulis pertama kali bertemu kelompok
tradisional, orang Batin Sembilan, di lokasi pembinaan di Silang Pungguk, yang termasuk desa Muara Singoan dekat Muara Bulian. Saat itu masih ada
bagian kelompok tradisional yang belum dibina dibawah supervisi
Departemen Kesejahteraan dan Sosial (DEPSOS). Penulis sangat tertarik
gaya hidup mereka dan berencana kembali ke propinsi Jambi untuk
melakukan studi di tingkat lebih lanjut.
Pada tahun 2003, selama sekitar dua bulan, penulis melakukan riset
di propinsi Jambi. Pada kesempatan tersebut, penulis bertemu lagi dengan
kelompok orang Batin Sembilan di Sialang Pungguk yang kelihatannya
beradaptasi tahap pasca tradisional dengan bantuan pemerintah. Di lokasi lain
di propinsi Jambi penulis bertemu dengan orang Rimba, yakni kelompok
Temenggung Tarib dan kelompok Bering, yang keduanya berada di Bukit
Duabelas dekat pemukiman transmigran Paku Aji yang tidak terlalu jauh dari
kota Bangko. Walaupun hutannya sudah sempit di Bukit Duabelas ada
beberapa kelompok yang tinggal disana yang ingin ikut pola kehidupan sosial
yang diwarisi dari nenek moyangnya.
Penulis tertarik pada bentuk kehidupan kelompok tersebut. Walaupun
mereka menghadapi banyak kesulitan, mereka tetap bertahan sebab memiliki
cukup kepuasan, perselisihan minimal dan harmonis dengan lingkungan
sekitarnya. Mereka tidak dipaksa hidup di hutan, sejak waktu kolonial ada
kesempatan dan bantuan dari luar untuk pindah ke kampung, tetapi
kelihatannya perpindahan tersebut gagal dan mereka kembali ke hutan lagi. Perbedaan budaya lisan dan budaya pasca lisan (tulisan) tidak perlu
menyebabkan prasangka. Budaya lisan lebih sederhana dibandingkan dengan
budaya pasca lisan yang lebih kompleks dan cenderung konsumtif.
Menurut informasi yang ada sampai sekarang, administrasi pusat maupun
propinsi mengetahui bahwa ada orang Kubu, tetapi mereka belum mendapat
pengakuan hak uliyat atau mendapat sertifikat milik tanah nenek moyang
yang diwariskan.
2. Perumusan Masalah
Penulis merumuskan masalah yang akan menjadi pedoman sekaligus
arah dari penelitiannya. Dari pertanyaan pokok ini penulis merincikan
menjadi beberapa pertanyaan hipotesis yang merupakan penurunan dari
pertanyaan pokok. Pertanyaan tersebut adalah: Apakah sejarah atau asal usul
orang Rimba, apakah struktur sosial masyarakat kelompok orang Rimba.
Apakah lingkungan flora dan fauna cukup untuk memenuhi atau bermanfaat
bagi kebutuhan hidup mereka. Apakah pola pikir orang Rimba dan
filosofinya mengenai hidup atau terhadap pemandangan dunia. Apakah
perubahan dari situasi kehidupan mereka pada zaman dahulu dan prospek
pada masa depan. Apakah keadaan dewasa ini kelompok tradisional Orang
Batin Sembilan setelah dibina oleh pemerintah beberapa tahun yang lalu
mengalami perubahan.
Kelihatannya ada kecenderungan di dunia bahwa masyarakat pasca
tradisional, yang menggunakan bahasa tulis, menginginkan suatu pengelolaan
kelompok suku tradisional yang mempunyai tradisi lisan. Sebuah kelompok yang tidak hidup menurut tata tertib atau tidak berbudaya tulisan, diterima
sebagai sekelompok yang susah, menurut masyarakat pasca tradisional. Sejak
dahulu, orang buta-huruf disamaartikan dengan orang terbelakang, alasannya
struktur masyarakat tradisional sangat sederhana dibandingkan dengan
masyarakat pasca tradisional.
Apabila kita mengamati struktur sosial masyarakat akan menunjuk
kepada suatu jenis suasana dan aturan. Komponen tersebut adalah unit-unit
struktur sosial yang terdiri dari orang atau masyarakat yang memenuhi
kedudukan dalam struktur sosial (Radcliff-Brown 1980: xix). Misalnya, sejak
kecil orang Rimba sadar bahwa struktur masyarakat memenuhi kebutuhan
pangan, papan dan sandang, dan memenuhi kebutuhan abstrak termasuk
kebutuhan psikologis yang mewujudkan kosmologi atau pola pikir mereka.
Kelihatannya bahwa untuk memenuhi kebutuhan materiil masyarakat
pasca tradisional perlu mengakseskan hasil alam, yang terletak di kawasan
suku tradisional. Daerah eksplorasi dibuka supaya bahan alam ditebang atau
ditambang dan diangkut keluar untuk memenuhi kepuasan pasar yang di luar
tanah tradisional. Demikian kelihatan kebutuhan masyarakat pasca tradisional
diprioritaskan, sebenarnya eksploitasi tanah yang sebenarnya “Lebensraum”
kelompok tradisional.
Karena terjadi perubahan sosial kultural dan lintas budaya, dimana
suku tradisional memiliki sifat rendah hati dan tidak melawan, terpecah. Dari
masalah-masalah yang disebutkan di atas, kelompok dibagi menjadi tiga.
Kelompok pertama yang masih tradisional atau dengan perubahan minimal, yaitu kelompok yang mengikuti kebudayaan secara sebaik mungkin yang
diwariskan dari nenek moyang.
Kelompok kedua, yang masih tinggal di
pinggir daerah tradisional, yang kurang bisa mengadopsi semua ciri-ciri hidup
pasca tradisional tetapi sudah masuk beberapa ide dari masyarakat pasca
tradisional.
Ketiga, kelompok yang tidak mampu mengre-fokuskan atau
mengorientasikan lagi untuk memenuhi kebutuhan primer sendiri dan hanya
bertahan dengan bantuan dari masyarakat luar saja.
Misalnya, kelompok
ketiga tersebut yang benar putus asa, bisa diamati di pinggir jalan raya, minta
uang. Dengan menggunakan tali berseberangan jalan mereka membatasi jalan
(seperti jalan tol) dan meminta uang. Pada umumnya stereotipe budaya orang
Kubu berasal dari pengamatan tindakan orang Kubu yang berada di pinggir
jalan seperti contoh diatas. Padahal hidup di pinggir jalan bukan lingkungan
asli mereka.
3. Maksud, Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Alasan menulis makalah mengenai orang Rimba untuk mengetahui
sejarah orang Kubu serta orang Rimba, termasuk prasejarah kawasan mereka
dari permulaan pertama. Untuk memahami budaya, ketindakan dan filosofi
masyarakat orang Rimba tradisional yang tinggal di bagian selatan, Cagar
Biosfer, Taman Nasional Bukit Duabelas. Sebagai studi pembandingan,
beberapa hari dihabiskan di tengah kelompok orang Batin Sembilan, untuk
mengukurkan kepuasannya setelah mereka ikut program pembinaan yang
dikelola oleh Departemen Sosial dan Kesejahteraan.
Penulis ingin mengetahui mengenai konsep atau pola pikir dan
kosmos orang Rimba dan keinginan mereka pada masa depan. Keterangan
yang dapat dari studi ini supaya memahami masyarakat secara mendalam dan
holistik, mengenai prinsip kehidupan dan pengendalian sosial, agar
keseimbangan dengan menggunakan beberapa aspek teori antropologi
struktur fungsional.
Dengan keterangan dari teori dan pengalaman studi lapangan
menggambarkan peradabannya dan keterangan itu menjadi senjata untuk
mengatasi kesalahpahaman antar kelompok budaya tradisional dan budaya
pasca tradisional. Selanjutnya, supaya kebutuhan hidup orang Indonesia
dimana-mana, dilihat dari sudut multi-kultur. Serta mengatasi masalah
mengamati kebudayaan individu dari sudut etnosentris saja pada masa depan.
Maknanya, penggunaan tanah tradisional, fakta sosial seperti moralitas,
kepercayaan, pola pikir, pendapat umum orang tradisional sama dihormati
oleh masyarakat pasca tradisional, yang sebetulnya juga ingin dihormati.
Sampai sekarang menurut pengamatan emperis, masyarakat
tradisional yang diserap kebudayaan pasca tradisional sering menjadi bagian
masyarakat lapisan terbawa. Kombinasi, unsur sakit-hati kelompok
masyarakat yang disteriotipe sebagai kelompok inferior, dan unsur kelompok
yang merasa mandul secara politikal, adalah unsur-unsur yang bahaya pada
waktu depan.
Di Indonesia keanekaragaman penduduk, kadang-kadang menjadi
alasan kesalahpahaman yang menyebabkan friksi antar-kelompok yang cepat meletus seperti gunung berapi. Gangguan itu, dan perubahan lain yang asal
dari dalam negeri maupun luar, mengancam stabilitas struktur dan bisa
menghancurkan keseimbangan ekonomi serta keadaan sosial masyarakat
lokal. Friksi antara kelompok seperti yang tersebut dikenal di Indonesia
dengan istilah SARA, atau dengan kata lain, friksi yang berkait dengan hal:
suku, agama, ras atau etnik atau status ekonomi. Masalah itu, salah satu
alasan untuk melakukan riset mengenai masalah sosiologi maupun
antropologi, supaya masalah tersebut bisa diatasi sebelum muncul dan
meledak.
4. Tinjauan Pustaka
Kelihatannya cara kehidupan lapisan masyarakat tradisional tidak
sesuai dengan pola pikir rasional pemerintah pasca tradisional. Pemerintah
membentuk distrik-distrik tertentu yang dikepalai oleh Pegawai Negeri Sipil
(PNS) yang menerapkan kebijaksanaan dari pusat maupun lokal serta
mengumpulkan data mengenai persoalan sosial dan ekonomi ala pasca
tradisional. Pengaruhnya mengganggu serta merubah bentuk-bentuk
masyarakat yang pra-modern (Geerz H, 1981 6)
Menurut interpretasi budaya Jawa oleh seorang sosiolog, adalah
keinginan oleh budaya untuk menghaluskan lingkungannya sebaik mungkin,
artinya menyempurnakan budaya dan alam. Kelihatannya, manusia sebaiknya
membebaskan dan menjauhkan diri dari alam, supaya alam dirobohkan dan
tanah dihaluskan. Maksudnya, hutan liar, dilihat sebagai dunia kasar yang boleh dilihat sebagai hal yang menakutkan atau yang tidak sesuai budaya
halus. Mungkin tempat liar tertentu memang tempat angker, tempat misteri
dengan roh-roh yang berbahaya. Sebenarnya tempat tersebut dilihat sebagai
tempat yang cocok bagi orang yang akan bertapa, atau mengasingkan diri
(Magnis-Suseno, 1997: 127). Dari sisi lain, petani mengamati tanah yang
belum dibuka sebagai tempat yang belum produktif yang perlu digarap
supaya berhasil. Menyadari latar belakang itu, penting untuk menjelaskan
pola pikir dari sudut budaya Jawa atau budaya modern terhadap orang dan
lingkungan yang belum dihaluskan seperti orang Rimba.
Smelser menyatakan bahwa pada umumnya kemajuan ekonomi
disamakan dengan "growth of output per head of population". Modernisasi
adalah jalur untuk meningkatkan hasil atau produksi. Mengganti teknik yang
sederhana dan lama dengan aplikasi ilmu pengetahuan terapan (scientific
knowledge). Di sektor ekonomi, bidang pertanian, khususnya pada pertanian
swadaya (subsistence farming), produksinya meningkat dengan aplikasi
model produksi komersial. Di bidang industri, dari kerajinan tangan dan
penggunaan tenaga hewan ditingkatkan dengan aplikasi mesin menggunakan
tenaga listrik dan Bahan Bakar Minyak (BBM). Dan perubahan terakhir,
transmigrasi atau gerak manusia dari daerah terpencil ke kota (Smelser in
Etioni-Halevy dan Etzioni (eds),-: 269
Evolusi sosial adalah bagian dari semua perubahan. Pada awalnya
sistem organisasi sosial peradaban sederhana dan tidak teratur. Namun
kemudian terjadi perubahan organisasi sosial terus menerus. Perubahan yang terjadi menjadi suatu kebiasaan yang kemudian menjadi lebih tetap dan pada
akhirnya kebiasaan itu menjadi hukum. Rupa-rupanya kemajuan berkait
dengan, persamaan dan ketentuan (Spenser in Etioni-Halevy & Etzioni (eds),
– : 13). Penggunaan teknik dan organisasi canggih yang digambarkan diatas
menyebabkan perubahan struktural sosial masyarakat, perubahan peranan
keluarga, kepercayaan dan stratifikasi masyarakat dalam peradaban pasca
tradisional. Pada umumnya dalam peradaban tradisional produksi kebutuhan
adalah urusan unit-unit kekerabatan (production is located in kinship units).
Pola pertukaran dan konsumsi makanan di daerah terpencil terkait dengan
unit kekerabatan. Sistem pertukaran serta tukar-balik (reciprocal exchange),
didasarkan tradisi dan kebiasaan yang terkait dengan status individu, tradisi
menghadiahkan atau tradisi gotong royong dan seterusnya. Peradaban itu
tidak memerlukan sistem pasar atau penggunaan uang untuk mendorong atau
melanjutkan produksi barang atau jasa. Menjaga suplai makanan pokok,
melestarikan keturunan, menyebarkan ilmu, hiburan dan seterusnya, menjadi
bagian kegiatan kekerabatan tradisional. Sebenarnya, tugas yang terkait
dengan kekerabatan tradisional dipersempit di masyarakat pasca tradisional.
Kekuasaan keluarga inti (nuclear family) serta kekerabatan luas (extended
kinship system) masyarakat pasca tradisional terhadap individu tidak sama
kuat dengan kekuasaan masyarakat tradisional. Berbagai urusan seperti
mencari pekerjaan, kedamaian, mencari jodoh, membesarkan anak dan hal
lain menjadi aktivitas pribadi atau diurus oleh seorang yang melakukan jasa
tertentu dan pada umumnya jasa itu dibayar. (Smelser in Etzioni (eds.): 273).
Selain itu ada perubahan dari sistem nilai tradisional versus sistim
nilai pasca tradisional. Membantu orang dari kelompok atau dari kekerabatan
yang sama atau membantu "saudara sedarah" mencari nafkah sudah menjadi
suatu kebiasaan. Hal itu sebagai suatu kewajiban dan bentuk saling
menghormati dalam kekerabatan. Kelakuan "membantu" bisa digambarkan
sebagai kelakuan yang termasuk nepotisme dalam masyarakat pasca
tradisional. Dilema yang disebut di atas, dialami oleh kebanyakan suku suku
yang bergerak dari lingkungan tradisional ke lingkungan pasca tradisional.
Disamping perubahan budaya ada perubahan fisik (menua) dan
psikologis (pengetahuan dan pengalaman) selama hidup. Sebenarnya,
kebudayaan membantu individu mengatasi ketakutan atau ketidaksenangan
dan merayakan perubahan fisik pada saat tertentu. Contohnya upacara
perempuan yang melahirkan bayi, sebetulnya mempersiapkan kehidupan
keluarga. Upacara sunatan sebetulnya adalah upacara untuk menjadi dewasa
dan mempersiapkan aktivitas. Puncak hidup, memilih jodoh atau
pasangan hidup, dirayakan dengan pernikahan dan membangun rumah tangga
sendiri. Tahap terakhir kehidupan adalah upacara pemakaman yang
sebetulnya merayakan kesementaraan hidup manusia di dunia. Pada
kelompok tertentu ada ritual yang berdasarkan waktu, misalnya upacara
panen, atau buah-buahan dan bunga-bunga atau upacara musiman dan ritual
lain. Upacara tersebut juga bisa dilihat sebagai kesempatan pertukaran sosial
(social exchange) dan kesempatan untuk menciptakan timbal-balik, supaya
keseimbangan baru muncul (Gennep van, 1960: 117). Hukum universal berkata: manusia yang menolong orang lain juga akan ditolong dan jangan
merugikan orang yang menyelamatkan anda (Ekeh, 1974: 206) Pada
dasarnya manusia punya impulsi untuk menunjuk, membagi dan memberikan
sesuatu supaya memunculkan hubungan sosial melalui timbal-balik itu.
5. Landasan Teori
Budaya sesuatu yang dinamis. Perubahan sosial muncul dari
perubahan luar atau di dalam. Apabila terjadi perubahan pada struktur
masyarakat maka otomatis fungsi-fungsi atau tugas individu dalam
masyarakat ikut berubah. Koentjaraningrat menggambarkan kosmos individu
yang terkait perilaku individu di peradaban tertentu.
Kebudayaan Gagasan Kolektif dan Gagasan Individu
(Gambar Koentjaraningat)
Beberapa hipotesis disampaikan oleh ilmuwan humaniora, dan kita
bisa mengamati “Metodenstreit” yang saling membuktikan kebenaran yang
diusulkan pihak lain, termasuk di dalam ilmu antropologi. Menurut pendapat
pakar sosial, bidang kajian dan interpretasi lapangan antropologi tidak selalu
tetap, tetapi selalu didasarkan teori. Hipotesis-hipotesis itu seperti, teori kultur
dan teori kepribadian (psychoanalytic/neo-behaviorist), difusioniskesejarahan,
teori Kulturkreis, neo-evolusi, teori evolusi, strukturfungsialisme
dan strukturalisme dan lainnya (Pelto 1970 :19).
Pada umumnya bisa dikatakan bahwa ilmu antropologi didasarkan atas
penelitian komparatif, artinya membanding-bandingkan ciri-ciri kebudayaan.
Max Weber menjelaskan dalam bukunya berjudul Verstehen, bahwa salah satu
konsep yang terpenting ilmu sosiologi adalah “artinya” atau interpretasi arti.
Kepentingan konsep itu, juga terdapat pada fenomena tradisi di teori
strukturalisme dari Lévi-Strauss. Konsep pokok phenomenology adalah untuk
“to look at how the individual tries to interpret the world and to make sense of
it” (Alasuutari 1996: 35). Para ahli antropologi menemukan dan mengeluarkan
hipotesis yang pada umumnya diterima dengan baik dan dapat dukungan di
bidang antropologi yang beberapa diantaranya dijelaskan di bawah ini.
Keinginan mempelajari konstruksi sosial kebudayaan mengenai latar
belakang aturan normatif juga hal yang diteliti oleh Claude Lévi-Strauss
(1908- ). Menurut Lévi-Strauss yang diilhami oleh sosiolog Emile Durkheim,
teori ilmu bahasa (linguistik) yang disajikan Saussure dan pandanganpandangan
dari Karl Marx dan Sigmund Freud mengenai psiko-analisis.
Melalui analisis struktur dalam (deep structure) seperti yang diterapkan
bahasa tertentu, Lévis-Strauss menemui gejala-gejala yang pada tataran
nirsadar (ketidak-sadaran). Struktur permukaan (surface structure) hanya
menganalisis gejala-gejala sebagai sebuah mitos, sebuah tradisi pakaian,
sebuah upacara, tatacara memasak, sistem kekeluargaan dan sebagainya
(Ahimsa-Putra 2001:68)
Untuk melakukan analisis yang dikeluarkan Lévis-Strauss harus mulai
mengembangkan semacam analisis kuantitatif (Lévis Strauss dikutip oleh
Koentjaraningrat 1990: 149). Istilah strukturalisme Lévi-Strauss sebetulnya
sengaja didasarkan analogi dengan linguistik struktural. Itu tidak didasarkan
strukturalisme Radcliff-Brown.
Sampai sekarang, analisis struktural Lévis-Strauss hanya diterapkan
untuk menganalisis sistem kekerabatan, sistem klasifikasi primitif atau ”the
science of the concrete” totemisme, dan mitos oleh Lévis-Strauss sendiri,
walaupun ahli-ahli antropologi lain yang memodifikasi analisis strukturalnya
Lévi-Strauss untuk menganalisis gejala sosial-budaya lain di Indonesia lewat
kaca mata struktural (Ahimsa-Putra 2001:392). Totemisme menurut LéviStrauss
adalah menggunakan konsep-konsep yang berada di lingkungan alam
sekitar manusia. Totemisme adalah bentuk klasifikasi atas dunia alam dan
dunia sosial yang dipakai oleh orang pra maupun pasca tradisional. Untuk
menggambarkan pandangan dan pengetahuan mereka mengenai dunia sosial.
Bronislaw Malinowski (1884-1942) dan Arthur Reginals RadcliffeBrown
(1881-1955) dengan kelompoknya yang dipengaruhi oleh Emile Durkheim seorang sosiolog Perancis yang mengeluarkan teori “organisme”
yang didasarkan gagasan bahwa suatu masyarakat adalah seperti sebuah badan
yang hidup. Konsep proses, struktur dan fungsi adalah bagian atau komponen
sebuah teori mengenai interpretasi sistem sosial manusia.
Studi lapangan Malinowski, sewaktu dia tinggal diantara penduduk
asli pulau Trobian selama perang dunia pertama, pada tahun 1914-1918. Studi
lapangan tersebut menjadi buku klasik antropologi. Dia mengasingkan diri
dari peradaban Barat yang berada di sebelah pulau Trobian dan mengamati
cara hidup penduduk asli pulau Trobian dari dekat. Aktivitasnya terdiri dari
menjelaskan bahwa semua hal suatu peradaban saling terkait atau berfungsi
dengan hal lain di masyarakat. Istilah institutions muncul untuk menjelaskan
keterkaitan antara budaya dan masyarakat. Studi lapangan dan pengamatan
suku tertentu adalah hal yang sangat penting untuk mendapatkan inti dari
keterkaitan antara budaya dan masyarakat. Fungsi individu dan institusi
sebuah masyarakat dilihat sebagai pusat budaya yang terpenting.
Dibandingkan Radcliffe-Brown artinya organic berbeda dari arti
organic Malinowski, maknanya masyarakat dilihat sebagai analogi perbuatan
dan kesadaran sosial itu sendiri, atau organisme dari teori diatas. Struktur
sebuah masyarakat dilihat sebagai inti atau pusat yang diteliti. Stuktural teori
digunakan untuk membandingkan sebuah masyarakat. Unit struktur sosial
terdiri dari individu-individu, manusia dianggap bukan sebagai satu organisme
tetapi untuk memenuhi kedudukan dalam struktur sosial (Radcliffe-Brown
1980: xix). Istilah fungsi digunakan untuk merujuk kepada hubungan di antara proses dengan struktur. Institusi yang ada misalnya seperti yang berwenang
dalam agama, upacara pernikahan dan kekerabatan. Organisasi suku juga
berdasarkan prinsip perpaduan dan kesatuan kelompok. Untuk meneliti
kegiatan dan fungsi kelompok sebaik mungkin dari sistim sosial termasuk
institusi kekerabatan, penting menemukan hubungan antar mereka. Kegiatan
individu melakukan fungsinya seperti bagian-bagian tubuh, yang mewujudkan
peradaban.
Sampai sekarang, peradaban suku pedalaman tetap mempertahankan
gaya hidupnya, walaupun tekanan dari luar sangat kuat untuk merubah. Untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat peradaban modern, bahan baku harus dicari
dan hasil bumi juga ditemukan di tanah suku tradisional. Ladang minyak,
kayu, batu-bara, emas, perunggu dan bahan mineral lain, dan tanah untuk
mengembangkan perkebunan sawit, karet, kopi dan lainnya harus dibuka.
Pada hakekatnya Taman Nasional atau daerah lain, dilihat dari sudut pandang
kelompok utama saja dan semua pandangan diorientasikan penilaiannya pada
kebudayaan mereka. (The view of things in which one's own group is the
centre of everything, and all others are scaled and rated with reference to it).
Atau menurut terjemahan penulis: “Sudut pandang kelompok sendiri menjadi
pusat dalam melihat segala sesuatu, dan segala hal diukur dan dinilai dengan
sudut pandang itu.” Maknanya, kebutuhan suku pedalaman mungkin menjadi
sekunder. Fenomena tersebut dikenal dengan istilah etnosentrik yang
digunakan oleh Sumner pada tahun 1906.
Pada umumnya saat seorang suku minoritas memasuki masyarakat
pasca tradisional, mereka menjadi bagian lapisan terbawah di masyarakat.
Margaret Mead mengamati bahwa manusia terus-menerus dibentuk (People
are continuously moldable) termasuk oleh masyarakat sekitarnya (Schoor
2003: 14).
Banyak keahlian dan ketrampilan yang diwariskan oleh nenek moyang
manusia tradisional akan hilang pada saat mereka memasuki kebudayaan
pasca tradisional. Sama dengan kehilangan spesies flora dan fauna,
keanekaragaman budaya juga terancam oleh kegiatan dan norma masyarakat
pasca tradisional, yang sebetulnya gaya hidupnya jauh lebih sempurna.
Menurut Malinowski proses observasi masyarakat sangat penting
untuk memahami bagaimana kebudayaan masyarakat tradisional bisa
memenuhi kebutuhan mereka (Kuper, 1983: 17; Pelto, 1970: 91).
Emeritus Professor Antropologi di London School of Economics Jean
La Fontaine mengatakan bahwa “Social anthropology is what is known
as participant observation, which essentially means direct observation,
living with the community being studied and learning to speak its
language” (La Fontaine, 1985: 16).
Atau diterjemahkan penulis sebagai berikut: "Antropologi Sosial
dikenal sebagai observasi partisipan, yang pada intinya adalah
pengamatan langsung serta hidup dengan kelompok yang diobservasi
dan belajar bahasanya".
6. Metode Penelitian
A. Persiapan Studi Lapangan
Saat penulis sampai kota Jambi, kurang jelas kualitas bahan referensi
cukup untuk melakukan semua kegiatan yang direncanakan untuk memenuhi
tugas. Semakin lama semakin banyak sumber karangan dan para ahli kebudayaan yang tertarik kehidupan orang Rimba muncul. Literatur dan opini
yang diterima terhadap keadaan orang Rimba dari opini progresif dan radikal
sampai konservatif. Dari salah satu pihak beropini bahwa integrasi dengan
masyarakat pasca tradisional adalah solusi terbaik, alasannya untuk
melanjutkan posisi ekonomis mereka dan untuk mengatasi kesulitan yang
dialami di tempat tinggal yang semakin lama semakin sempit. Juga ada
informasi lain dari pihak yang terlibat kesejahteraan orang Rimba yang
menginginkan kelestarian dan menghormati kebudayaan orang Rimba supaya,
mereka memenuhi kebutuhannya secara psikologi dan fisik sebaik mungkin
dengan sedikit mungkin gangguan dari luar sistem pemerintah tradisional.
Maknanya, dampak positif maupun negatif dikelola sebaik mungkin oleh
mereka sendiri.
Setelah evaluasi bahan referensi dirumuskan bahwa pada makalah ini
lebih tetap melakukan analisis kualitatif di tempat mereka dengan bantuan
bahan referensi kualitatif dari sumber sekunder yang didapatkan dari institusi
tertentu. Kemudian, merumuskan aspek perilaku sosial yang menjelaskan
semua fenomena yang relevan pada peradaban mereka. Maknanya sebuah
tipologi sebagai konstruksi secara deduktif dari seluruh observasi dan bahan
referensi yang diterima atau ditemukan dari studi lapangan.
Menurut
Aliasuutari seorang ahli penelitian teori kebudayaan lebih tetap waktu
pengamat melakukan observasi singkat atau terbatas, melakukan analisis
secara kualitatif. Ahli lain, Weber, juga berpendapat bahwa tipologi yang benar mengenai tindak sosial boleh diwujudkan melalui deduksi logika pada
akar permasalahan yang ditemui.
Seorang ahli orang Rimba yang fasih berbahasa mereka beberapa kali
melakukan penelitian, menyatakan bahwa pengamat-pengamat yang pertama,
seperti van Dongen dan van Hagen, sebenarnya tidak benar-benar mengamati
bahwa sedikitnya ada dua atau lebih kelompok, yang walaupun gaya hidupnya
mirip orang Rimba lain, sebenarnya berbeda. (Sandbukt 1988: 118).
Kelihatannya, bahwa kelompok inti sosial, khususnya yang tradisional,
didasarkan atas keturunan yang sama.
Tiap keluarga inti atau kekerabatan
punya hak mengenai sumber-sumber nyata dan non-fisik seperti aksi politik.
Apa yang diteliti adalah gejala seperti upacara kelahiran, pernikahan,
meninggal dunia dan kelakuan social individu, struktur masyarakat dan lain
lain. Misalnya pada umumnya pernikahan atas dasar saling mencintai dan juga
pembagian tugas kerja dan kewajiban untuk mencari nafkah untuk mencegah
kelaparan.
B. Lokasi Studi Lapangan
Penulis masuk propinsi Jambi tanggal 22 Juni 2003 dan tinggal
di Kota Jambi selama tiga minggu untuk mengumpulkan bahan referensi.
Pada tanggal 13 Juli 2003 berpindah ke lokasi dekat orang Rimba di pinggir
Taman Nasional Bukit Duabelas. Selama 24 hari ada kesempatan untuk
bertemu dengan pihak yang mempunyai hubungan akrab dengan orang
Rimba dan memwawancarai Temenggung kelompok orang Rimba Bapak Tarib dan pemimpin kelompok Bering Bapak Gera, yang kelompokkelompoknya
tinggal di dalam Taman Nasional Bukit Duabelas. Beberapa
hari penulis menginap ditenda dalam Taman Nasional, supaya lebih akrab
dengan kelompok.
Penulis punya keinginan untuk melakukan observasi kedua kelompok
tetapi waktu riset untuk menulis makalah ini terbatas. Itu alasan hanya
beberapa hari bisa bertemu dengan kelompok Batin Sembilan dekat Muara
Bulian dan kebanyakan studi lapangan dilakukan di lokasi Bukit Duabelas.
Titik kedua melakukan studi lapangan di tempat Orang Batin
Sembilan dekat Muara Bulian yang terletak sekitar 60 km dari kota Jambi
propinsi Jambi, Sumatra. Dari Muara Bulian naik kendaraan ke desa Muara
Singeon seberang sungai Batang Hari dengan sampan.
Di daratan jalan kaki
melalui jalur Hak Penebangan Hutan (HPH) yang berjarak 7 kilometer ke
Silang Pungguk. Di lokasi itu terdapat sekitar 50 rumah termasuk Mushola
dibangun oleh DEPSOS.
Lokasi penelitian studi lapangan primer adalah di tempat tradisional
orang Rimba, yang jumlah populasi diperkirakan sekitar 1000-1200 jiwa atau
300 KK yang menyebar di seluruh wilayah orang Rimba, termasuk Taman
Nasional Bukit Duabelas, yang terletak kurang lebih di 2º Lintang Selatan
dan 104º Bujur Timur dari Greenwich.
Tidak terlalu jauh dari pemukiman
dusun Singosari dan dusun Paku Aji, Sub Daerah Aliran Sungai (DAS), desa
Pematang Kabau, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun, Propinsi Jambi,
Sumatera. Taman Nasional Bukit Duabelas baru diresmikan pada bulan Agustus tahun 2000 oleh Presiden Republik Indonesia yang pada waktu itu
dijabat oleh Abdurrachman Wahid. Secara administratif Bukit Duabelas yang
dengan luas kira-kira 60.500 Ha, terletak pada empat wilayah Kabupaten
yaitu, Batanghari, Sarolangun, Merangin dan Tebo.
Bangko, ibu kota Sarolangun, kira-kira berjarak 50 km dengan jalan
aspal dari Pematang Kabau. Ada beberapa tempat orang Rimba yang tidak
jauh dari pemukiman transmigrasi Paku Aji. Pertama, kelompok
Temenggungng Tarib terletak sekitar 8 km arah barat-daya dari Paku Aji
dekat jalan Kutai kira-kira 4 kilometer melalui jalan aspal dan jalan tanah
serta 4 km jalan setapak melalui perkebunan sawit, perkebunan karet dan
hutan. Sebenarnya, sejumlah kecil mantan anggota kelompok tersebut sudah
pindah beberapa tahun lalu setelah mendapat bantuan dari pemerintah ke
lokasi Air Hitam.
Pada waktu itu mereka di pimpin alm. Temenggung
Basring.
Di Taman Nasional Bukit Duabelas ada 3 daerah besar, yaitu
kelompok Makakal di bagian barat, kelompok Kejasung bagian Timur dan
kelompok selatan dari pegunungan bukit Duabelas, kelompok Air Hitam.
Di utara, di luar Taman Nasional bukit Duabelas adalah sungai Batang Hari.
Di barat dari Taman Nasional, terdapat orang Kubu, yang sebenarnya orang
Rimba kelompok Tele, di selatan Taman Nasional terdapat kelompok orang
Kubu Pamenang daerah dekat kota Bangko, dan kelompok orang Kubu
Singkut sekitar Sorolangun. Di timur dari Taman Nasional, dekat Tembesi,
terdapat orang Kubu, yang sebenarnya orang Batin Sembilan.
Bagian dari kelompok Miring atau Biring yang masih hidup secara
tradisional yang dipimpin Gera, tinggal di hutan kira-kira 10 km arah utara
dari Paku Aji sebelah dusun Singosari. Melalui jalan tanah yang jaraknya
kira-kira 5 kilometer, sampai bagian kelompok Miring yang di pimpin oleh
Pak Helmi. Pak Helmi, sebetulnya mantan Temenggung Miring yang waktu
dia penganut Islam, mendapat bantuan sesuai dengan program pembinaan
departemen Kesejahteraan dan Sosial. Dari tempat Pak Helmi, ada jalan
setapak melalui perkebunan sawit dan karet, sampai sungai kecil Kru, sumber
air bersih utama bagi kelompoknya.
Satu kilometer jalan setapak lagi, melalui
tempat alang-alang, bekas daerah penebangan liar sampai pemukiman
tradisional yang dipimpin Pak Gera.
Pada kawasan Cagar Biosfer Bukit Duabelas, samping kehidupan
masyarakat tradisional, Taman Nasional diciptakan untuk mengelola dan
melestarikan satu-satunya hutan tropis dataran rendah Sumatera.
Menurut informan di dusun Paku Aji, desa Pematang Kabau, daerah
sekitar Paku Aji termasuk bagian Taman Nasional, diperkirakan bahwa
persentase penduduknya terdiri dari; 10 persen orang Rimba, 80 persen orang
transmigran, 5 persen orang Jambi dan 5 persen perantau yang masuk sendiri
tanpa bantuan dinas transmigrasi.
Lokasi penelitian sekunder terletak di pemukiman orang Kubu, yang
sebenarnya orang Batin Sembilan di desa Muara Singoan. Mereka tinggal di
Silang Punguk yang 7 km jauh dari desa Muara Singoan seberang sungai Batang Hari. Dari desa Muara Singoan ada jalan aspal ke ksana ke ibu kota
Kabupaten Muara Bulian, yang terletak 10 km dari Muara Singoan.
Iklim
Propinsi Jambi terletak sekitar khatulistiwa dengan iklim tropis, suhu
maksimum di daerah dataran adalah sekitar 32ºC dan di daerah Bukit Barisan
suhu maksimum sekitar 28ºC. Pada bulan September sampai dengan bulan
Maret bertutup angin dari barat ke timur, bulan itu termasuk musim hujan.
Selanjutnya pada bulan April sampai Agustus, bertiup angin dari timur ke
barat dan waktu itu terjadi musim kemarau. Bulan Juli adalah bulan dengan
curah hujan yang terrendah. Suhu yang paling rendah pada bulan September
dan yang paling tinggi pada bulan Mei. Curah hujan di daerah dataran rendah
sekitar 2000-3000 mm dan di daerah sekitar Bukit Barisan sekitar 3000-4000
mm per tahun.
Geologi
Pada umumnya di kabupaten Batanghari terdiri dari satuan tanah
alluvia, batuan endapan dan batuan beku. Pada umumnya tanah di kabupaten
Tebo, Merangin dan Sarolangun terdiri dari satuan-satuan tanah padsolik
merah kuning, latosol dan litosol yang terdiri dari bahan induk batuan
endapan, batuan beku, dan metamorf.
Topografi
Daerah bukit Duabelas terdiri dari beberapa bukit, bernama bukit
Subanpunai Banyak dengan ketinggian 160 meter, pegunungan Panggang
dengan ketinggian 328 meter, bukit Kuaran dengan ketinggian 436 meter.
Keadaan propinsi luas tanah, cadangan hutan luas iklim dan curah yang
hampir merata sepanjang tahun serta aliran Sungai Batanghari yang salah
satu sungai terbesar di Indonesia yang membujur dari barat ke arah timur
dengan berpuluh-puluh anak sungai, menjadi faktor yang strategis bagi lalu
lintas perdagangan (Sagimum 1985: 23).
Flora dan Fauna
Daerah yang terletak antara 23 1/2º LU- 23 1/2º LS dikenal sebagai
daerah iklim tropis, termasuk propinsi Jambi. Walaupun iklim tropis, dengan
cukup matahari dan hujan, elemen penting untuk tumbuh flora dan fauna.
Akan tetapi kelihatannya tanahnya tidak selalu subur, kompos dari daun-daun
pohon, dan hujan yang rata-rata cukup untuk pertumbuhan pohon yang
dahulu menurut pengamatan terdiri dari pohon-pohon tinggi sampai 80-100
meter. Keanekaragaman flora tropis terkenal sebagai yang terbesar di dunia,
dari lokasi daerah puncak bukit yang kering sampai rawa yang basah. Dari
akar sampai daun pohon tinggi, muncul banyak manfaatnya bagi manusia dan
binatang. Sebelum status Taman Nasional diumumkan, degradasi sangat
signifikan dengan kepunahan keanekaragaman hayati. Keanekeragaman
hayati fauna termasuk serangga-serangga, burung-burung, ular-ular, kurakura,
babi hutan, rusa, kijang, macan, sampai binatang menyusui terbesar,
gajah. Sayangnya spesies yang terakhir punah pada tahun 1985 di daerah
bukit Duabelas.
Kekayaan keanekaragaman hayati memenuhi kebutuhan primer orang
Kubu dari sudut minuman, makanan, obat, pakaian, bahan bangunan, alat dapur, dan kebutuhan untuk berburu diperlukan teman sebagai pembantu
yaitu seekor anjing. Sebenarnya, kekayaan hutan tidak hanya untuk memenui
kebutuhan sendiri tetapi juga sebagai bahan tukar dengan dunia luar.
Perniagaan hasil hutan atau pertukaran barang sudah dilakukan sejak lama
oleh orang Rimba.
C. Informan
Di lokasi bukit Duabelas selain dari orang Rimba penulis juga
mewawancarai, orang dusun dan perantauan, untuk dapat sudut pendapat
yang berbeda. Beberapa informan tinggal di lokasi dekat pemukiman
transmigrasi dusun Paku Aji. Yang utama adalah Temenggungng Tarib,
pemimpin kelompok orang Rimba, Pak Alisman yang dulu bertugas sebagai
Jenang, Pak Joko Sumarno yang terkait program Keluarga Berencana (KB).
Kedua, Pak Gera dan Pak Majid, orang Rimba dari kelompok Miring
yang waktu penulis melakukan studi lapangan tinggal di bukit Duabelas,
hutan dekat sungai Kru.
Di lokasi Silang Pungguk, mantan kepala sekolah Pak Al-hamidi
adalah sumber pertama yang menjelaskan keadaan di lokasinya. Juga dapat
banyak bantuan dari kepala desa Pak Asmawi. Pak Al-hamidi menjadi alih
bahasa sewaktu penulis mencari informasi.
D. Teknik Pengumpulan Data
Beberapa metode yang digunakan, antara lain: observasi partisipasi,
wawancara, life – history, penelitian arsip dan studi pustaka. Observasi
partisipasi yaitu mengamati kebiasaan-kebiasaan kelompok dan mencatat
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh mereka dan juga melihat aktivitasaktivitas
lain. Mencatat alokasi waktu yang dihabiskan oleh anggota suku
yang berhubungan dengan kegiatan sosial, istirahat dan pekerjaan.
Wawancara dilakukan dengan orang suku yang masih tinggal di tengah
hutan, di pinggir hutan dekat perkebunan sawit dan anggota yang sudah
pindah jauh dari tanah tradisional. Setelah itu beberapa tokoh masyarakat
diwawacara secara mendalam mengenai alasan pemilihan tempat hidupnya.
Tujuan dari wawancara itu adalah untuk mengetahui secara lebih detail
perubahan kehidupan kebudayaan orang keturunan suku pedalaman.
Penelitian arsip termasuk mencari data statistik mengenai jumlah
penduduk, fakta-fakta ekonomi termasuk jumlah rupiah yang dikeluarkan
sebagai bantuan kepada suku tertentu, ukuran tanah tradisional, hasil dari
tanah tradisional dan lain-lain. Data statistik yang didapat dari Pusat Biro
Statistik serta Departemen Kesejahteraan dan Sosial di Jambi dan
Perpustakaan Daerah diverivikasi sebaik mungkin. Walaupun mencoba
mendapatkan setidaknya mengkonsultasikan beberapa sumber, kadangkadang
berdasarkan sumber yang terbatas.