BAB II
SEJARAH
1. Prasejarah
Di daerah propinsi Jambi, ahli ilmu arkeologi menemukan beberapa
tempat benda-benda flakes yang membuktikan bahwa sekitar 4000 Sebelum
Masehi (SM) pada zaman Mesolithicum didiami manusia. Kemudian,
menurut hipotesis menjelang akhir zaman Neolithicum perantau baru datang
dari dataran Asia yang membawa kebudayaan batu besar atau era
Megalithicum. Buktinya terdapat dalam benda Kisten Stenen diteliti oleh Bot
sekitar daerah Bangko. Dari zaman Perunggu ditemui benda-benda seperti
sebuah bejana dan sebuah guci, yang berisi perhiasan kalung.
Menurut Kern dan Sarasin yang melakukan penelitian mengenai
bahasa-bahasa di Asia Tenggara, yang hipotesisnya juga diperkuat oleh
banyak ahli lain, mengumumkan bahwa orang Melayu datang dari benua
Asia setidak-tidaknya dalam dua gelombang besar, yang berasal dari
propinsi Yunan, kawasan Tiongkok Selatan. Para perantau memasuki
Indonesia kira-kira pada tahun 4000 dan kira-kira 2500 SM (Idris, 2001: 27).
Manusia gelombang pertama yang mendarat di kepulauan Indonesia,
dikenal sebagai Melayu Tua atau Proto Melayu, yang memiliki peradaban
sangat sederhana.
Gelombang kedua yang mungkin berasal dari daerah Dongson,
sebelah utara Vietnam membawa teknologi dan ketrampilan yang lebih canggih dibandingkan gelombang pertama. Karena tingginya ilmu kelompok
gelombang kedua, dengan cepat Melayu Tua ditelan oleh kebudayaan
perantau baru dan melahirkan ras Duetron-Melayu.
Ada juga hipotesis lain dari beberapa ahli sejarah yang menyatakan
bahwa mereka tidak menemukan bukti kuat adanya persamaan ciri budaya
dan linguistik di Yunan dengan kelompok rumpun etnik Melayu di Champa,
Vietnam. Akan tetapi, terdapat persamaan aspek budaya dan linguistik
Melayu dengan pribumi Melayu di Taiwan, pulau Paskah, Hawaii dan
Selandia Baru.
Hipotesis migrasi lain yang dinyatakan Bellwood dalam bukunya
yang diterbitkan pada tahun 1985, menjelaskan bahwa mungkin orang
Melayu masuk Indonesia melalui Taiwan dan Filipina dan setelah itu
menyebar ke Indonesia melalui semenanjung Malaysia ke Asia Tenggara
dalam dua gelombang.
Vlekke mengeluarkan teori lain, bahwa orang Proto Melayu
merantau sebelum 3000 SM dari Yunnan melalui Indo Tiongkok untuk
mencapai Indonesia. Kelompok kedua yang lebih canggih berasal dari
daerah Yunnan mungkin merantau kira-kira antara 300 sampai 200 SM
(Vlekke 1947: 6).
Dalam diskusi dengan akademikus di Jambi mereka menyatakan
sampai sekarang tidak ada cukup bukti bahwa orang Kubu, termasuk orang
Rimba berasal dari keturunan orang yang sudah ada sebelum datangnya orang
Proto atau Deutro Melayu. Mereka juga berpendapat bahwa ras-ras yang disebut diatas, dewasa ini sudah dicampuri dengan kelompok lain.
Sebenarnya, ciri-ciri fisik orang Rimba, tidak terlalu jauh berbeda dari orang
Melayu.
Mengenai cara hidupnya Lee menulis tambahan berikut: “Cultural
man has been on earth for some 2.000.000 years; for over 99 per cent
of this period he has lived as a hunter gatherer... Of the estimated 80
Bilion men who have ever lived out a lifespan on earth over 90
percent have lived as hunter gathers” (Lee and DeVore 1968: 3)
Atau diterjemahkan penulis sebagai berikut: Manusia berbudaya
sudah berada di dunia sejak 2 juta tahun yang lalu; Lebih dari 99
persen dalam rentang waktu itu mausia hidup dengan cara berburu dan
meramu …..dari sekitar 80 milyar manusia yang pernah hidup di bumi
lebih dari 90 persen hidup dengan cara berburu dan meramu.
Artinya, hidup orang Kubu tidak jauh berbeda dari kebanyakan
manusia di dunia.
2. Sejarah
Salah satu sejarah tertulis pertama mengenai Jambi dicatat oleh
Yijing seorang Tiongkok yang belajar bahasa Sansekerta pada tahun 671 dan
689. Artinya peradaban tinggi sudah lama ada di Sumatera (Andaya 2001:
315).
Permulaan abad ke 11 kerajaan Sriwijaya menguasai sebagian
selat Malaka serta melakukan perniagaan dan memiliki hubungan sosial
dengan mancanegara termasuk Tiongkok dan Chola sebuah kerajaan di India
selatan. Sekitar tahun 1025 kerajaan Chola menyerang kerajaan Sriwijaya
dan menguasai daerahnya. Menurut informan penulis, mungkin pada saat itu
beberapa penduduk yang tidak ingin dikuasai oleh penguasa mengungsi ke hutan. Mereka disebut orang Kubu (arti kata “Kubu” mungkin: benteng)
membangun komunitas baru di daerah terpencil.
Di dekat kota Jambi ditemui beberapa candi dan tulisan tanggal
tahun Caka 986 atau 1064 M. Kelihatannya salah satu batu dari tempat
arkeologi tidak berasal dari Jawa tetapi mungkin dari pedalaman Jambi.
Artinya, mungkin sudah ada hubungan antara penduduk dari pesisir dan
pedalaman. Kerajaan Majapahit yang menguasai bagian Sumatera menjadi
contoh par excelen untuk menyatukan Indonesia. Sebenarnya, semboyan
Indonesia modern ‘Bhinneka tunggal ika’, atau berbeda beda tetapi tetap satu
juga (unity in diversity), didapat dari puisi Majapahit yang memiliki
keinginan untuk menyatukan nusantara.
Pada abad ke14 proporsi penduduk
yang berasal dari luar, khususnya dari Tiongkok bertambah.
Beberapa arca Budha ditemukan di Sarolangun, dan kelihatannya
ada sebuah kerajaan kuno di Muara Sungai Tebo. Di kampung lubuk di
Sarolangun, ditemukan beberapa pondasi dari reruntuhan yang mungkin
imerupakan reruntuhan bangunan Hindu yang terdiri dari batu merah.
Kelihatannya di daerah ini banyak mendapat pengaruh budaya Minangkabau,
Jawa dan India. Di Muarabungo terdapat adat matrilineal yang terdiri dari
ekso-dan endogami.
Pada tahun 1509, kaum niaga Portugis datang ke Malaka. Waktu
itu jumlah penganut Islam masih rendah, tetapi umumnya kaum niaga
penganut Islam.
Perniagaan di selat Malaka berkembang setelah orang Arab
dan orang Eropa masuk. Pada saat pertama kali pedagang Belanda masuk ke selat Malaka, Indonesia dikenal sebagai "Portugaels Indien" atau IndonesiaPortugis.
Pada tahun 1512 Tomé Pires mencatat bahwa penduduk Jambi
lebih mirip orang Palembang dan orang Jawa dibandingkan mirip dengan
orang Melayu. Pada abad 16 daerah Batanghari hulu menjadi daerah
perantauan Minangkabau (Andaya 1993: 14).
Dalam tulisan dari tahun 1637 disebutkan bahwa kapal laut niaga
asal Inggris dan Belanda berada di pelabuhan kota Jambi. Pada tahun 1653
sebuah surat menyebutkan bahwa kapal laut pedagang Vogel yang berada di
pelabuhan Jambi mengadu kepada raja Jambi bahwa ada kapal niaga Portugis
di pelabuhannya (Wellan 1925: 852-857).
Dengan aktivitas niaga yang digambarkan diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa perniagaan sudah beberapa abad dilakukan di Palembang
dan Jambi.
Terdapat permintaan niaga dari Arab, Tiongkok, India, Persia, Sri
Lanka, Indonesia, Portugis, Inggris dan Belanda, untuk memuat bahan yang
tersedia di pelabuhan tengah Sumatra. Walaupun kuantitas niaga mungkin
kecil, orang Kubu memiliki pengetahuan geografis serta ketrampilan untuk
berburu atau memanfaatkan hasil hutan di hulu sungai, dengan hubungan lalu
lintas sungai yang cukup baik untuk mengirim atau bertukar hasil hutan.
Barang yang diniagakan mungkin termasuk: gading gajah dan cula badak
(Rhinoceros sumatrensis), gading burung enggang (Buceros rhiniceros),
lebah madu, tawon lilin, getah jelutung (Dyera Costulata), damar
(f:Dipterocarp), bahan warna, jernang yang didapat dari beberapa jenis rotan (Detemonorhops spp.), getah pohon (viz gutta percha) dari jenis
(f:Sapotaceae), beberapa obat, kulit ular, bahan kemenyan dari pohon (Pinus
sumatrana), kayu yang harum (Aquilaria spp atau jenus Gonystylus), kayu
besi dan mungkin beberapa kerajinan tangan yang ditukarkan atau digunakan
sebagai alat pembayaran kepada kerajaan supaya eksistensi orang Kubu aman
dan mereka dibiarkan (McKinnon 1992 :130).
Demikianlah tampaknya
hubungan orang Kubu dengan orang luar sudah menjadi kebiasaan untuk
menambah kebutuhan makanan atau mendapatkan sesuatu, seperti bahan
buatan besi, misalnya peralatan pisau, senjata, serta peralatan perburuan,
perumahan dan lain-lain.
Sudah lama terjadi persaingan dalam beberapa hal seperti politik
dan akses hasil hutan antara hulu dan lilir sungai Batang Hari. Pada tahun
1688 pangeran Pringgabaya yang berasal dari Jambi, bertikai dengan
saudaranya dan pindah ke Muara Tebo yang diberi nama Mangunjaya yang
letaknya strategis. Kerajaan baru tersebut mempunyai hubungan baik dengan
Pagaruyung, dan orang Rimba menukar hasil hutan melalui Jenang, seorang
perantara, serta membayar upeti kepada raja (jajah), dan menerima hadiah
(serah) yang terdiri dari kain dan pisau seperti parang, tembilang atau
beliung dari kerajaan (Andaya 1993 : 133).
Walaupun pada tahun 1820 Palembang di bawah kekuasaan
kolonial secara penuh, Jambi masih bertahan sampai tahun 1906. Program
transmigrasi ke Sumatera tengah dimulai waktu kolonial dan dilanjutkan
sampai beberapa tahun lalu. Pada tahun 1970an dan sebelumnya, menebang kayu sekitar bukit Duabelas menjadi industri besar. Menurut laporan yang
dikeluarkan oleh Worldbank kelihatannya dalam waktu 20 tahun lagi sudah
tidak akan ada hutan lagi di propinsi Jambi. Pada tahun 1980an daerah
selatan dari bukit Duabelas dibuka untuk pemukiman transmigrasi dan lahan
dibuka untuk perkebunan karet dan terutama untuk perkebunan sawit. Tahun
2002 Tanam Nasional Bukit Duabelas di resmikan.
3. Mitos dan Sejarah Lisan
Sebelum kita berbicara mengenai sejarah orang Kubu, kita harus
menyadari bahwa kelompok Kubu ternyata terdiri sedikitnya 2 kelompok
besar di daerah hulu sungai Batanghari, batang Tembesi dan batang
Merangin. Walaupun banyak ciri-ciri peradaban mereka mirip, juga ada ciriciri
yang berbeda. Suku Kubu yang tinggal sebelah timur batang Tembesi
dan sebelah utara Batanghari dikenal sebagai suku Kubu atau lebih cocok
disebut orang Batin Sembilan. Menurut sejarah lisan asal usul mereka
berbeda dari masyarakat tradisional yang tinggal sebelah barat sungai
Tembesi dan barat sungai Batanghari sebelum gabung dengan Batang Hari.
Keturunan orang Batin Sembilan mungkin berasal dari Melayu yang pada
waktu lampau bercampur dengan perantau lain, seperti orang dari
semenanjung Malaka dan Jawa.
Pada waktu lampau beberapa ahli antropologi tertarik dengan daerah
tradisional orang Kubu di Sumatera tengah. Forbes menggambarkan kepada
pembaca asal usulnya yang sangat pendek. Menurut cerita yang dia dengar, mereka keturunan dari saudara termuda yang tidak disunat, sebab di
sekitarnya tidak ada alat yang cukup tajam untuk melakukan penyunatan.
Pemuda merasa malu, sehingga dia mengungsi ke hutan dan berpisah dari
kelompoknya serta dua saudara laki-lakinya yang sudah disunat. Menurut
mitologi orang Kubu Sumatra tengah mereka memang keturunan dari saudara
yang mengungsi ke hutan (Forbes 1884: 124).
Orang Kubu dmenceritakan kepada Van Dongen bahwa mereka
keturunan dari pasangan saudara dan saudari kapal bajak, yang dilepaskan
oleh nahkoda waktu perempuan itu hamil muda di kapal. Mereka diturunkan
di pantai hulu sungai di Sumatera.
Pasangan tersebut memiliki banyak anak
dan membangun kampung Ulu Kepajang dekat dusun Penamping di sungai
Lalan. Menurut pendapat van Dongen Kubu atau ngubu artinya hutan. Masih
ada banyak orang Kubu yang tinggal sekitar lokasi Ulu Kepajang. (Van
Dongen :1850)
Menurut dongeng-dongeng Jambi, perantau dari Malaka, Johor,
Patani serta Jawa, pindah ke daerah daratan rendah Jambi. Mereka bercampur
dengan orang asli dan orang yang berasal dari Minangkabau termasuk dari
kerajaan Pagaruyung (Dharmacraya). Juga ada mitos mengenai garis
keturunan orang Kubu yang diceritakan kepada Damsté oleh kepala laras
Datoeq Padoeko Soetan yang ceritanya berikut ini. Konon peristiwa pada
waktu lampau Daulat yang dipertuan dari Pagaruyung duduk di batu di
pinggir sungai setelah dia sholat. Dia masukkan sirih ke dalam mulut,
kemudian dia mengeluarkannya, selanjutnya batu yang dia duduki bergerak dan dia sadar bahwa sebenarnya dia duduk di atas kura-kura besar yang ada
di sungai.
Dengan kekuasaan Allah, kura-kura tersebut bunting dan
melahirkan anak manusia laki-laki, sebab kura-kura menelan sirih yang
dikeluarkan oleh raja. Tiap hari beberapa anak kampung bermain di sungai
dan anak manusia laki-laki itu ikut bermain dengan mereka. Setelah bosan
bermain, anak manusia kura-kura itu pulang ke ibunya. Kabar mengenai anak
kura-kura didengar raja kemudian raja menyuruh mencari anak tersebut
supaya dibawa ke istananya. Raja Pagaruyung bertanya kepada anak siapa
bapaknya. Anak langsung menujuk kepada raja, dia sangat heran dan
bertanya kepada anak tersebut bagaimana dia menjadi bapak anak kura-kura.
Anak tersebut menjawab bahwa menurut ibunya, waktu raja duduk diatasnya
dan mengeluarkan sirihnya yang ditelan ibunya, dia langsung hamil dan
melahirkan dia. Raja berpikir beberapa saat dan berkata bahwa sebetulnya
anak itu benar dan peristiwa itu terjadi.
Lalu raja mengumumkan kepada
rakyat bahwa anak tersebut, yang ibunya tenggelam waktu bajir, adalah
benar-benar anaknya. Beberapa tahun kemudian, raja Daulat yang dipertuan
dari Pagaruyung, menjelaskan kepada kepala daerah, bahwa anaknya akan
menjadi raja negeri dari kota Tujuh, Sembilan Kota, Pitajin Muara Sebo,
Sembilan Luruh sampai daerah terpencil Jambi. Mereka semua senang, tetapi
pada waktu singkat mereka mendapat kabar bahwa anak tersebut adalah
keturunan dari kura-kura.
Setelah mereka tahu asal usul raja, mereka tidak
setuju dan tidak menerima raja yang berketurunan kura-kura sebagai raja mereka. Lalu mereka menyingkir ke hutan dan hidup disana. Itu cerita
sejarah orang Kubu (Damsté 1901: 281-284).
Mitologi sejarah dari kepala suku Kubu, Datu Husin di Silang
Pungguk, berbeda dengan cerita yang disampaikan oleh Temenggung Tarib
dari suku orang Rimba. Pak Husin menceritakan bahwa ribuan tahun yang
lalu turunlah sembilan orang bersaudara, terdiri dari empat perempuan dan
lima laki-laki. Mereka keturunan dari Raden Nogosari. Sembilan orang
tersebut akhirnya berpisah dan berpencar untuk mencari tempat hidup di
lembah-lembah. Itulah legenda keberadaan orang Kubu di Jambi.
Beberapa mitos-mitos lisan mengenai putri cantik Pinang Masak dari
Minangkabau diceritakan.
Dia menjadi ratu di Sumatera dan dikenal oleh ratu
Majapahit sebagai ratu Jambé. Juga ada mitos tentang Iskandar Zulkarnain
(Alexander the Great) dan menurut salah satu mitos orang Kubu mereka
sebenarnya prajurit Iskandar Zulkarnain (Andaya 1995: 8).
Temenggung Tarib menceritakan bahwa menurut sejarah lisan orang
Rimba di bukit Duabelas mereka berasal dari kerajaan Pagaruyung yang
merantau ke Jambi.
Temenggung Tarib pribadi menjelaskan bahwa memang
dia bisa berhitung sejarah sampai 6 generasi lalu. Ahli antropolog asal dari
Jambi menjelaskan kepada penulis bahwa kelompok yang tinggal dekat
Temenggung Tarib menceritakan kepada ahli antropolog bahwa menurut
sejarah lisan orang Rimba itu, mereka bisa berhitung sejarah dari nenek
moyangnya sampai 10 generasi. Artinya, orang Rimba memiliki sejarah lisan
dalam jangka 300 sampai 500 tahun, atau kurang lebih dari abad ke16 atau ke 17.
Sebenarnya jelas bahwa dari cerita diatas sangat sulit menggambarkan
peristiwa pada masa lalu.
Demikian juga, menurut pengamatan logat dan bahasa yang
digunakan oleh penduduk propinsi Jambi, dipengaruhi oleh Minangkabau,
Jawa dan Bugis. Selain dari pengaruh bahasa juga ada pengaruh dari budaya
Jawa yang diterima oleh penduduk pesisir pantai dan daratan rendah dari
Palembang sampai kota Jambi. Pengaruh dari budaya Bugis dapat dilihat di
daerah Tungkal dan sekitarnya. Pengaruh budaya Minangkabau dapat dilihat
di daerah bagian barat Tembesi.
BAB III
KEHIDUPAN ORANG RIMBA DAN BATIN SEMBILAN
1. Pola Pemukiman dan Lingkungan
Kelompok Temenggung Tarib di Bukit Duabelas, merupakan salah
satu kelompok yang bertekad untuk mengikuti gaya kehidupan yang
diturunkan oleh nenek moyang sebaik mungkin. Tempat pemukiman
terdiri dari beberapa kediaman yang terletak beberapa ratus meter dari
rumah (bubangan) Temenggung Tarib. Bubangan bertiang yang didiami
oleh Temenggung Tarib terdiri dari dinding kayu, atap dari daun, yang
lantainya kira-kira 2 meter tingginya dari tanah.
Penulis mengamati tempat
kediaman lain yang dikenal dengan nama sampaeon. Tempat kediaman ini
lebih sederhana, dengan lantai kira-kira setengah meter tingginya dari
tanah. Lantai dibuat dari batang kecil kayu bulat dan atapnya dibuat dari
plastik hitam yang didapat dari pasar mingguan hari Jumat di Paku Aji.
Untuk rumah sementara, misalnya waktu mereka memburu binatang atau
sedang pindah ke tempat lain saat melangun, mereka membuat pondok
bernama sudung yang bentuknya sederhana tanpa lantai tetapi dengan atap
saja. Sudung itu cepat dibangun untuk pelindungan di waktu malam.
Semua keluarga punya tempat tinggal sendiri yang terletak beberapa meter
dari rumah lain dengan dapur sendiri.
Dekat pemukiman mereka tersebar bekas kertas dan plastik
pembungkus yang dibawa dari luar. Sering terjadi kontak dengan orang dusun yang mencari jasa orang Rimba seperti menangkap burung hiasan
atau memburu babi hutan (Sus vitatur) yang berada di perkebunan orang
dusun, atau orang dusun membeli ubi kayu (Manihot uthlissima) dan
sebagainya.
Pemukiman orang Rimba terletak disebelah ladangnya.
Mereka menanam ubi kayu (Manihot uthlissima) atau perkebunan kecil
pohon karet (Helvea brassiliensis). Sudah lama mereka mengelola atau
potong (menyadap) pohon karet disekitar pemukiman mereka. Rumahrumah
tidak berdinding kecuali rumah Temunggung Tarib.Terlihat nyata
bahwa alam sangat dekat dan tempat-tempat kediaman menjadi bagian
lingkungan mereka.
Samping harta benda pribadi seperti rumah, peralatan berburu,
peralatan perumahan, kain, pakaian dan lain-lain. Ada harta yang bersamo
dan yang tidak bersamo. Misalnya, pada umumnya saat mereka membuka
ladang dilakukan sebagai aktivitas gotong-royong tetapi kemudian ladang
dibagi antara keluarga inti setelah tanah di buka dan kayu bekas di tempat
itu dibakar.
Setiap keluarga mendapat bagian tanah yang digunakan untuk
menanam bahan makanan pokok seperti ubi kayu. Pohon-pohonan yang
bernilai tinggi dan ubi kayu yang ditanam sendiri adalah harto yang tidak
bersamo.
Memburu binatang di hutan dilakukan sendiri atau dilakukan oleh
beberapa anggota kelompok orang Rimbo. Mereka mungkin pergi jauh
dari hunian dan tinggal di hutan beberapa hari sebelum mereka kembali dengan hasil buruan.
Waktu itu ada satu atau dua orang laki-laki yang
menjaga perempuan dihunianya.
Ketika orang Rimba menemukan pohon di hutan yang menjadi
bagian tanah tradisional mereka, dan pohon tersebut bernilai guna tinggi,
seperti pohon kedondong dengan sarang lebah, atau durian yang belum
dimiliki,orang itu bisa memberi tanda kepemilikannya di batang atau
sekitarnya supaya orang Rimba lain tahu pohon itu tidak harto samo,
tetapi milik pribadi.
Radcliff-Brown menulis mengenai penduduk pulau Andaman.
“The economic life of the local group, though in effect to a sort of
communism, is yet based on the notion of private property. Land is
the only thing that is owned in common... hunting grounds of a
local group belong to the whole group...There exist a certain
private ownership of trees.... another man would not cut it down
without first asking the owner to give him permission to give him
the tree” (Radcliff-Brown 1922: 41)
Atau diterjemahkan penulis sebagai berikut: Kehidupan ekonomi
kelompok, walaupun sebenarnya semacam jenis komunisme,
ternyata berdasar keberadaan milik pribadi.
Hanya tanah yang
merupakan milik seluruh masyakat, …. Daerah perburuan
kelompok lokal adalah milik seluruh kelompok… Ada pohonpohon
yang menjadi harta pribadi …. seseorang tidak menebang
suatu pohon sebelum mendapat ijin pemilik.
Buang air kecil atau air besar biasanya di lakukan di daratan,
supaya tanah langsung dipupuki dan sungai yang digunakan untuk air
minum tidak dicemari. Memiliki anjing - anjing dalam bahasa Rimba
disebut dengan konotasi lucu penjilat burit (penjilat pantat) - sangat
berguna. Disamping membantu orang Rimba berburu, anjing juga
menolong untuk membersihkan pantat anak dan bayi.
Beberapa kali diamati anak yang bermain di sungai atau
perempuan mencuci sarung. Walaupun mereka jarang atau tidak memakai
sabun, kelompok tersebut kelihatannya tidak menderita masalah kulit atau
bau badan. Menurut kepercayaan orang Rimba menggunakan sabun akan
dimarahi oleh dewa-dewi.
Orang Kubu kelompok Batin Sembilan yang dipimpin oleh kepala
suku Pak Dato Husin desa Muara Singeon, di pemukiman Pungguk Silang,
terlihat jauh berbeda. Ada sekitar 50an rumah yang dibangun oleh
pemerintah pada tahun 1999 di pinggir perkebunan swasta kelapa sawit.
Ada beberapa toko sangat kecil yang menjual bahan pokok.
Ada sekolah
dasar dengan dua guru dan seorang kepala sekolah serta musholla dengan
seorang ustad. Mereka kadang-kadang mencari nafkah di hutan yang tidak
luas lagi yang jaraknya beberapa kilometer dari pemukimannya.
Perkebunan swasta adalah tempat terdekat mencari nafkah. Penghasilan
buruh perkebunan tujuh ribu rupiah per hari saja, berkerja tiap hari dari
jam enam pagi sampai kira-kira jam satu sore. Dengan traktor mereka di
jemput dan diantar setiap hari. Walaupun lapisan masyarakat terbawah
berhak mendapat kartu sehat, tetapi penduduk Pungguk Silang belum
mendapatkannya kecuali seorang saja (Weintré, 2000: 17).
Kurangnya
kesempatan menjadi alasan beberapa penduduk untuk pindah ke luar
pemukiman dan beberapa rumah sudah kosong. Perundingan antara
pemerintah dan perusahaan eksploitasi minyak memutuskan bahwa orang Kubu di Pungguk Silang mendapatkan beberapa juta per KK sebagai uang
ganti rugi pembangunan infrastruktur lapangan minyak di dekatnya.
2. Mata Pencarian
A. Makanan dan Hasil Hutan
Secara tradisional pada dasarnya kebutuhan makanan pokok dan
kebutuhan lain dipenuhi oleh hutan. Gaya hidup tradisional terdiri dari
berburu dan meramu (hunting and gathering). Di hutan mereka meramu
buah-buahan, ubi, binatang kecil, kayu, dan damar yang pada umumnya,
tetapi tidak selalu, dilakukan oleh kaum perempuan. Kaum laki-laki
memburu binatang di hutan dan membuka hutan untuk ladang. Kaum lakilaki
menebang pohon dan kaum perempuan memotong tumbuhan kecil.
Pada umumnya mereka menggunakan uang hanya dengan orang luar
(terang).
Memburu binatang besar dilakukan oleh laki-laki dan pola berburu
bergantung pada musim. Ada 3 jenis babi yang ditangkap, babi hutan (Sus
vitatur), babi jengkot (sus barbatus) atau babi biasa (sus scrofa). Diburu
juga rusa (Cervus equimus) dan kijang (Cervulus muntjac). Menangkap
burung seperti tiung (Gracula relegiosa) elang (Haliastur indus) dan
gagak (Corvus macroynchus) serta, tupai atau poso (Lariscus insgnis) dan
lain-lain.
Kaum laki-laki mempunyai hak untuk berburu. Kaum perempuan,
pada umumnya isterinya, mempunyai hak untuk membagi yang diburu atau ditangkap oleh seorang laki-laki. Waktu mereka mencari makanan
sendiri atau dengan keluarganya di sungai mereka menangkap harto
sendiri, seperti siput (Molusca gastropoda), belut (Monopterus) atau ikan
seperti lembat (Melapterurus electricus) atau kodok (kodoq atau
beretong), kura-kura dan labi-labi (lelabi, dedaray, pangkaq) dan ular
(piahi) termasuk ulo sao (Python retculatus). Mereka menangkap di
daratan ulo pandoq (Python curtus) termasuk kobra atau ular sendok,
todung, gerom (Naia spp) atau beberapa jenis burung.
Kadang-kadang anak-anak menangkap kelewar (kelelawor) kecil,
sebagai makanan jajanan.
Kalong besar keleluang (mungkin Pteropus
vampyrus) atau kalong yang memakan serangga, beyut (mungkin
Cheiromeles torquatus) juga ditangkap dan sebenarnya sumber protein
penting.
Disamping berburu, perempuan dan laki-laki meramu ubi dan
buah-buahan. Mencari ubi memakan banyak waktu, tetapi menurut
informan rasa ubi liar lebih lezat dibandingkan ubi ladang. Beberapa ubi
diambil dari hutan, seperti ubi kulit halus benor licin yang ukuran
besarnya sampai 40-50mm tebal dan sampai beberapa meter panjangnya.
Mereka harus menggali sampai kedalaman satu meter. Ubi rambat, benor
bobulu yang dalamnya sampai setegah meter yang bisa berhasil 30-40 kg.
Benor godong atau ubi besar hanya 300mm dari permukaan daratan yang
akarnya sampai 30-40 meter dari ubi induk. Mereka juga berhasil mendapatkan ubi yang beracun. racun pada ubi itu dipakai untuk
mengerdilkan ikan.
Disamping hasil ubi liar ada hasil dari ladang seperti ubi kayu
(Manihot uthlissima) atau mungkin keladai (Colacia esculinta).
Sering
diantara garis tanaman ubi kayu, bibit buah-buah seperti durian (Durio
Zebetinus), rambutan (Nedphelium lapcium), duku atau langsat (Lancium
domisticium) atau pohon karet (Helvea brassiliensis) ditanam. Mereka
juga tertarik menanam sesuatu yang manis seperti tebu (Saccharum
offiTiongkokrum).
Seperti yang dikatakan tadi, sejarah tukar menukar (barter) dengan
dunia luar sudah terjadi sejak masa lampau. Keperluan orang Rimba
seperti alat besi untuk dapur atau parang serta pisau, atau kain yang sudah
lama yang digunakan untuk membayar denda, membayar ganti-rugi atau
sebagai mas kawin didapat dari pihak dari luar. Barter juga bisa dilakukan
untuk memperoleh makanan sewaktu kelaparan.
Orang Rimba juga harus
memenuhi retribusi yang diminta oleh kerajaan hilir sungai untuk
melestarikan keadaan damai di tempat orang Rimba dan untuk mencegah
masuknya orang terang atau orang luar ke hutan.
Pada waktu lampau hasil dari kegiatan berburu dan meramu ditukar
dengan pedagang di pinggir sungai. Barang yang mau ditukar oleh orang
Rimba ditinggalkan di pinggir sungai yang diketahui pedagang yang
melewati tempat itu. Pada waktu pedagang lewat, dia menaruh barangnya
yang ingin ditukar dan setelah itu dia akan kembali lagi.
Orang Rimba kembali ke tempat penukaran setelah pedagang tak ada disana dan
memilih yang diinginkan dari barang yang dimiliki pedagang. Mereka
menaruh barang hasil hutan mereka yang menurut mereka setara dengan
barang dari pedagang yang mereka pilih. Pedagang atau orang Terang
kembali dan mengambil atau merubah yang dia ingin ditukar. Proses itu
diulangi sampai kedua pihak puas tanpa komunikasi visual. Pada akhirnya
proses penukaran selesai dan orang Rimba mengambil barang yang
ditawarkan oleh orang Terang dan lalu bersembunyi dan masuk ke hutan.
Proses penukaran itu, dilakukan menurut antropolog-antropolog pertama
yang menulis mengenai keadaan orang Kubu. Dewasa ini proses
penukaran sudah berubah.
Mereka masih menggunakan orang yang
bergelar Jenang yang ditugasi untuk pengantar antara orang Kubu dan
Terang. Walaupun dia dipilih oleh orang Kubu sehingga dia berhasil
menjalankan tugasnya, sebab dia bisa menjual barang dengan harga yang
lebih tinggi. Kelompok yang dijumpai penulis tidak perlu menggunakan
jasa Jenang lagi.
Pada waktu lampau, hasil hutan yang ingin ditukar oleh orang
Terang adalah gading, beberapa getah, jernang (Daemonorops hyigrophilus),
jelutung, lilin, damar (parashorea stellana) yang pada umumnya
dari pohon keluarga dipterocarp, dan lain-lain. Mereka tertarik dengan hal
yang terbuat dari besi, kain.
Dewasa ini, pola niaga berubah dan kelompok orang Rimba
menyediakan barang seperti getah karet (Hevea brassiliensis), ubi, getah jelutung, getah jernang, rotan khususnya rounton sego (Calamus caesius),
manau (Calamus ornatus) dan daging babi hutan (celeng, 1000 rupiah per
kilo) yang dijual ke orang transmigran, orang dusun atau ke toke.
Orang
Rimba juga terlibat menjual kayu. Ada rencana untuk menyediakan hasil
dari kelapa sawit.
Jumlah harta benda yang sudah terkumpul dalam waktu beberapa
tahun seperti kain, pakaian modern, radio. Juga, penulis bertemu seorang
Rimba yang memiliki sepeda motor bekas, yang sebenarnya mempersulit
dalam pola hidup nomaden dan tradisi melangun.
B. Peralatan, Komunikasi & Seni
Nomaden didefinisikan sebagai orang yang memiliki harta benda
minimal, termasuk barang seni dan alat teknologi yang minimal pula.
Sebetulnya, gaya hidup orang Rimba hampir tabu
untuk memiliki atau menambah harta benda yang tidak
termasuk kebutuhan primer atau memiliki barangbarang
yang menyulitkan untuk berpindah-pindah.
Kelihatannya menurut kosmologi orang Rimba, mereka
tidak terdorong atau tergoda mempunyai harta benda.
Mungkin alasan itu yang menyebabkan mereka tidak
merasakan adanya kecemburuan dan iri hati. Untuk memburu, membuka
ladang, menebang pohon, dan
lain-lain mereka memakai peralatan yang terbuat dari kayu dan besi.
Kuantitas jenis kerajinan tangan terbatas. Ada kerajinan yang
dibuat dari bambu, daun, rotan, rumput, kayu dan kulit. Seperti tikar untuk
membungkus barang atau sebagai tempat tidur, dan wadah untuk tempat
makanan, ubi, kain, damar, madu, garam dan lain-lain. Wadah-wadah
berfungsi sebagai tempat menyimpan, untuk membawa barang dan untuk
melengkapi sistem adat, atau sebagai alat tukar-menukar dalam upacara
perkawinan.
Sebelum memiliki kain untuk membuat cawat (kancut) orang
Rimba membuat cawat dari kulit kayu yang dipukul-pukul hingga lembut.
Sudah lama laki-laki memakai cawat dari kain dan perempuan memakai
kain panjang yang dikenakan dari pusar sampai di bawah lutut atau
kadang-kadang betis. Pakaian seperti itu merupakan pakaian tradisional
orang Rimba yang memudahkan mereka bergerak cepat di dalam hutan,
karena mereka perlu untuk mengejar binatang buruan atau untuk
menghindari dari hal-hal yang berbahaya. Pada umumnya, saat mereka
pergi ke pasar mingguan atau keluar hutan untuk pergi ke dusun, laki-laki
sering memakai celana dan perempuan menutupi badannya agar mereka
tidak merasa malu, demi menghormati budaya dusun serta agar diterima
dengan baik.
Menyaksikan tarian, mendengarkan nyanyian, pantun atau seloka
sulit sekali. Kebanyakan tarian dan nyanyian adalah bagian upacara yang
tidak terbuka bagi orang luar. Pada saat penulis disana, seorang Rimba bernyanyi lagu yang digunakan untuk mengambil sarang madu dari pohon
yang tinggi.
Forbes bertemu orang Kubu pada tahun 1885 disekitar sungai
Musi. Dia mengatakan bahwa mereka punya bahasa sendiri yang tidak bisa
dimengerti oleh suku tetangga. Pada awalnya, dia tidak mengerti
bahasanya, tetapi semakin lama semakin banyak dia mengerti tipe bahasa
dan logat Melayu mereka.
Pada waktu ekspedisi tahun 1878, pemandu
yang berasal dari Jambi tidak mengerti bahasa orang Rimba, tetapi jelas
bahwa bahasa di daerah bukit Duabelas dipengaruhi oleh budaya
Minangkabau.
“Es mag hier auch daran erinnert werden, dass Menangkabau das
aelteste Malayische element auf der Insel vorsellt und dass
Tradition, Sprache, Sitten und Gebraechen der meisten
Primitivvoelker des mittleren Sumatra (der Kubu, Lubu, Mamaq
Sakai usw.) auf einstigen Zusammenhang mit Menangkabau
hindeuten” (Hagan 1908 :197).
Atau diterjemahkan penulis sebagai berikut:
"Kita harus ingat bahwa budaya Minangkabau adalah elemen tertua
Melayu di pulau Sumatera. Tradisi, bahasa, dan kebiasaan,
kebanyakan masyarakat sederhana di Sumatera bagian tengah
(Kubu, Lubu, Mamaq, Sakai dan lain-lain) punya beberapa
persamaan dengan kebudayaan Minangkabau".
C. Pemunculan Inovasi
Kebudayaan, termasuk budaya orang Rimba, selalu dinamis.
Walaupun tradisi orang Rimba adalah sangat penting, mereka mengadopsi
beberapa inovasi yang berasal dari luar. Sandbukt menceritakan bahwa
hanya beberapa tahun sebelum memulai studi lapangannya, sekitar tahun
1980an, mereka baru menggunakan senter yang dibeli di pasar terdekat.
Senter itu menjadi alat baru dalam memburu binatang pada waktu malam.
Penggunaan senter saat berburu pada waktu malam, dapat menyilaukan
atau membutakan (transfix) mata binatang. Dengan menggunakan senter,
pemburu bisa mendekati dan menombak lebih akurat. Dewasa ini
penggunaan senter lebih efektif, antara lain untuk memburu rusa (Cervus
unicolor), kijang (Muntiacus muntjak), napuh (Tragulus napu) dan kancil
(Tragulus javanicus).
Penggunaan baterai juga memudahkan untuk menghidupkan dan
mendengarkan radio atau tape. Pada waktu malam, penulis berkunjung ke
kelompok Gera, yang sedang mendengarkan lagu dangdut dan siaran
radio.
Mereka suka berdansa dengan musik itu, dan para remaja cepat
belajar bahasa Indonesia dan nilai-nilai baru.
Sama halnya dengan para remaja di tempat lain, khususnya
perempuan, mereka cepat mengadopsi pakaian yang dipakai oleh gadis
di dusun, sedangkan laki-laki tertarik memakai arloji, yang dijual di pasar
mingguan di pemukiman transmigran Paku Aji. Obat baru seperti Bodrex
dan semacam itu diminum untuk mengatasi gangguan kecil, dan mereka
tertarik jasa yang diberikan oleh Puskesmas.
Waktu penulis disana, ada sebuah kesalahpahaman antara seorang
dari kelompok tradisional dengan seorang dari kelompok pasca tradisional.
Masalah itu diselesaikan oleh kepala desa, dan orang yang terdakwa
didenda dengan membayar ratusan ribu rupiah kepada Temenggung
kelompok tradisional.
Ada juga beberapa laki-laki yang mencari nafkah diluar, seperti
menjadi kondektur (kenek) bis jarak jauh, atau yang bekerja dan tinggal di
dusun tetapi pada akhirnya mereka mencari istri dan kembali hidup di
hutan. Penulis juga bertemu orang dusun yang bekerja di perkebunan yang
dimiliki kelompok tradisional orang Rimba.
Menurut aturan tradisional, pemburu wajib untuk menyerahkan
sebagian tangkapannya kepada Temenggung. Namun dewasa ini, tradisi itu
sudah hilang. Pelanggaran aturan adat yang tidak terlalu mengganggu
ketertiban dibiarkan.
Temenggung menjelaskan alasannya mengapa sanksi
tersebut dibiarkan, karena bila sanksi diberikan terhadap pelanggaran kecil
semisal di denda, orang yang melanggar aturan, bisa lari ke kelompok lain
atau pindah keluar, yang mana akan melemahkan posisi kelompok orang
Rimba tradisional tertentu.
Pola makan juga berubah. Makanan pokok biasanya terdiri dari ubi
dan daging, terutama daging babi. Akan tetapi dewasa ini, makanan seperti
beras, mie instan, kue-kue dan jajanan lain juga diterima dengan baik.
Pola niaga dengan pihak luar juga berubah.
Misalnya pada waktu
lampau, getah dan damar adalah hasil hutan yang dijual ke pihak luar.
Dewasa ini, industri kimia telah menggantikan kebutuhan getah alami
dengan buatan kimia. Rotan bahan penting niaga yang hampir habis, juga
diganti dengan bahan lain.
Sejarah pohon karet di Indonesia sudah panjang. Jenis pohon itu
sebenarnya disosialisasikan oleh pemerintah kolonial kepada orang desa namun ditanam juga oleh orang Rimba sebelum Taman Nasional Bukit
Duabelas diresmikan. Sekarang harga getah karet dibandingkan dengan
hasil sawit kurang baik, itu alasan beberapa orang Rimba terlibat dalam
membuka perkebunan sawit, supaya penghasilan mereka meningkat.
Ada orang Rimba yang tinggal di pinggir Taman Nasional Bukit
Duabelas yang menggunakan emas atau rekening bank yang berupa
tabungan untuk menyimpan harta benda mereka. Dewasa ini, ada program
dari pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang
menyiapkan pendidikan formal dan informal. Temenggung Tarib
menyuruh anaknya masuk pendidikan supaya dia dibekali ilmu agar bisa
bertahan di masa depan.
3 Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan orang Rimba adalah matrilineal yang sama
dengan sistem kekerabatan budaya Minangkabau.
Tempat hidup pasca
pernikahan adalah uxorilokal, artinya saudara perempuan tetap tinggal
didalam satu pekarangan sebagai sebuah keluarga luas uxorilokal.
Sedangkan saudara laki-laki dari keluarga luas tersebut harus mencari istri
diluar pekarangan tempat tinggal.
Orang Rimba tidak diperbolehkan memanggil istri atau suami
dengan namanya, demikian pula antara adik dengan kakak dan antara anak
dengan orang tua. Mereka juga tidak menyebut nama orang yang sudah meninggal dunia. Sebenarnya menyebut nama seseorang dianggap tabu
oleh orang Rimba.
Sebelum menikah tidak ada tradisi berpacaran, gadis dan pemuda
laki-laki saling menjaga jarak. Waktu seorang anak laki-laki beranjak
remaja atau dewasa, sekitar umur 14-16 tahun, bila tertarik kepada seorang
gadis, akan mengatakan hal tersebut kepada orang tuanya. Lalu orangtuanya
akan menyampaikan keinginan anak mereka kepada orang tua si
gadis dan bersama-sama memutuskan apakah mereka cocok. Pernikahan
yang terjadi antara orang desa dan orang Rimba, sama dengan antara anak
kelompok Rimba dan kelompok Rimba lain.
Ada tiga jenis perkawinan, yaitu; pertama dengan mas kawin.
Kedua, dengan prinsip pencurahan, yang artinya laki-laki sebelum
menikah harus ikut mertua dan bekerja di ladang dan berburu untuk dia
membuktikan dirinya.
Ketiga, dengan pertukaran gadis, artinya gadis dari
kelompok lain bisa ditukar dengan gadis dari kelompok tertentu sesuai
dengan keinginan laki-laki dan gadis-gadis tersebut. Orang Rimba
menganggap hubungan endogami keluarga inti (saudara seperut/suadara
kandung) atau hubungan dengan orang satu darah, merupakan sesuatu
yang tabu. Dengan kata lain, perbuatan sumbang (incest) dilarang, sama
halnya dengan budaya Minangkabau.
Mayoritas pernikahan adalah monogami, tetapi ada juga hubungan
poligami atau lebih tepat poligini, yang kelihatannya untuk melestarikan
asal suku. Sebenarnya, adalah alasan sosial lain, samping melindungi sumber anak adalah keinginan untuk memelihara janda atau perempuan
mandul. Poligini jarang jadi di kelompok Temenggung Tarib.
Umur
harapan hidup laki-laki lebih pendek daripada harapan hidup perempuan
dan perempuan selalu diutamakan, pada umumnya pekerjaan berbahaya
dilakukan oleh laki-laki. Kaum kerabat merupakan sumber semua bantuan.
Kelompok Temenggung Tarib terdiri dari 28 pesakan atau Kepala
Keluarga (KK) dengan jumlah kira-kira 100 jiwa. Sebenarnya kelompok
ini terbagi dua, yaitu di tempat Semapui yang berjumlah 9 KK dan di
tempat dekat Paku Aji 19 KK. Temenggung Tarib sendiri pernah bercerai
dan kawin lagi. Dia mempunyai 8 anak kandung, 3 jenton dan 5 betino,
ditambah satu anak angkat betino.
Penulis juga melakukan studi lapangan di kelompok Biring.
Kelompok Biring terdiri dari 2 kelompok.
Kelompok pertama, tinggal di
hutan dibawah pemimpin Gera terdiri dari 6 KK saja. Kelompok kedua
yang terdiri dari sekitar 12 KK sudah dibina, masuk Islam dan mendapat
paket bantuan dari Depsos.
Kebudayaan orang Rimba juga mengenal sistem pelapisan sosial.
Temenggung adalah pemimpin utama dalam struktur kelompok., yang
posisinya diwarisi sebagai hak lahir dari orang tua. Tetapi, jika pemimpin
tidak sesuai atau disetujui oleh anggota kelompok, pemimpin bisa diganti
melalui jalur “diskusi terbuka” atau forum yang bisa dilakukan dimana
mana.
Menurut Temenggung Tarib, jumlah kelompok yang diwakili oleh
Temenggung naik dari 3 kelompok pada tahun 1980an, sampai 6
kelompok yang di wakili oleh Temenggung di Bukit Duabelas dewasa ini.
Dulu ada kelompok Makekal, Kejasun dan Air Hitam, dewasa ini di
daerah Makekal adalah kelompok yang di Temenggungi oleh Temenggung
Mukir dan Temenggung Merah, daerah Kejasung dengan kelompok yang
dipimpin oleh Temenggung Mijah, Marid, Kecik dan Jelita dan di daerah
Air Hitam adalah kelompok Tarib dan Biring.
Banyak interaksi dan lintas pernikahan (cross weddings) terjadi
antar kelompok, misalnya istri Temenggung Tarib punya darah Makakal
dan orang kelompok Tarib nikah orang kelompok Biring. Hal tersebut
mengakibatkan struktur dan komposisi organisasi sosial hampir sama
dengan kelompok lain. Temenggung Biring setelah pindah keluar dan
menganut agama Islam berganti nama dan sekarang dikenal dengan nama
Pak Helmi.
Sebenarnya anggota kelompok Biring serta anggota kelompok
Tarib terpisah. Artinya, ada anggota yang tinggal di hutan secara
tradisional dan ada anggota kelompok yang pindah keluar yang dapat
bantuan dan merubah kepercayaan. Mungkin alasan memisahkan diri
adalah faktor ekonomi atau faktor akulturasi dengan budaya pasca
tradisional.
Menurut mantan Temenggung Biring, pak Helmi, struktur
masyarakat terdiri dari: Temenggung adalah kepala suku. Ketika dia absen
dia diwakili wakil Temenggung. Seorang yang bergelar Depati bertugas menyelesaikan hal-hal yang terkait dengan hukum dan keadilan. Seorang
yang bergelar Debalang yang tugasnya terkait dengan stabilitas keamanan
masyarakat dan seorang yang bergelar Manti yang tugasnya memanggil
masyarakat pada waktu tertentu. Pengulu adalah sebuah institusi sosial
yang mengurus dan memimpin masyarakat orang Rimba. Ada juga yang
bertugas seperti dukun, atau Tengganai dan Alim yang mengawasi dan
melayani masyarakat dalam masalah spiritual dan di bidang kekeluargaan,
nasehat adat dan sebagainya.
Temenggung Tarib sangat aktif mengorganisir hubungan dengan
dunia luar, supaya nasib orang Rimba diketahui. Misalnya dia bertemu
dengan Presiden Megawati Sukarnoputri, menjadi pewakil orang Rimba
dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara di Jakarta, 15-22 Maret 1999
dan wakil orang Rimba untuk Dewan Aliansi Daerah untuk Aliansi
Masyarakat Daerah propinsi Jambi dari periode 1999 sampai sekarang.
Orang Rimba yang tinggal di pinggir Bukit Duabelas berinteraksi
cukup sering dengan orang desa. Kelihatannya orang Rimba yang tinggal
lebih didalam Bukit Duabelas tidak berinteraksi sama sekali. Orang Rimba
sebenarnya sering memerlukan bantuan dari orang Rimba yang bermukim
di pinggir hutan.
Mereka minta bantuan untuk mendapat barang dari pasar.
Maksudnya, orang Rimba yang tinggal didalam Bukit Duabelas memesan
barang yang dijual di pasar kepada orang Rimba di pinggir hutan, dan
diambil oleh mereka setelah barangnya sudah didapat.
Posisi Jenang, atau penghubung antara orang Rimba dan
pemerintah adalah warisan dari masa lampau, waktu belum sering ada
hubungan dengan luar. Tugas pertamanya beli barang dan jual kepada
pihak tertentu, serta jalur komunikasi dengan luar. Kelihatannya posisinya
terkadang disalahgunakan, itu alasan saat Jenang meninggal posisinya
tidak diisi lagi dan orang Rimba yang sudah cukup biasa dengan prosedur,
melakukan perundingan sendiri dengan luar.
4 Kesehatan
Pada akhir abad ke-18, orang Kubu bertemu dengan orang luar,
termasuk orang Barat. Penyakit menular cacar yang dibawa oleh
pendatang masuk dan mencapai tingkat epidemi dan parah. Beberapa
kelompok dimusnahkan dan jumlah orang Kubu turun drastis. Dengan
latar belakang itu, pertama terkena penyakit menular (cacar), dan kedua,
masalah perbudakan yang menyebabkan ketakutan dan trauma
berhubungan sosial dengan orang luar.
Kedua alasan tersebut, mendorong
orang Rimba mencari obat penyembuhan dari tumbuhan hutan dan
ditambah ilmu obat tradisional yang didapat dari nenek moyang.
Beberapa tahun lalu, Temenggung Tarib dalam sebuah proyek
kerjasama dengan universitas yang mengidentifikasikan lebih dari 130
tumbuhan di hutan yang mempunyai substansi yang nampaknya
bermanfaat untuk mengatasi beberapa masalah kesehatan manusia.
Walaupun tersedia obat alam, sekarang mereka juga berpendapat
obat pasca tradisional juga bermanfaat. Misalnya, beberapa kali waktu
penulis di Paku Aji orang Rimba diperiksa oleh dokter dan diberi atau
mendapat obat apotek.
Melahirkan anak adalah peristiwa penting bagi orang Rimba.
Perempuan yang siap untuk melahirkan anak diberi minuman tradisional
untuk memudahkan proses melahirkan. Sebetulnya, perempuan yang akan
melahirkan ditolong oleh 2 orang. Seorang yang mendorong anak dari
kandungan dan seorang yang menerima anak pada saat keluar dari
kandungan.
Walaupun demikian, aturan medis modern menolak melahirkan anak
seperti yang digambarkan diatas, tetapi kelihatannya orang Rimba yang
sudah cukup lama menggunakan metode ini, tidak membahayakan
kesehatan si perempuan atau si anak.
Waktu melakukan penelitian, kelihatannya orang Rimba sama
sehatnya dengan orang dusun secara fisik. Kebanyakan masalah kesehatan
orang Rimba adalah Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) yang
mungkin disebabkan oleh kesukaan. Penyakit kulit juga diamati,
yang kemungkinan disebabkan oleh tingkat kebersihan, luka, dan jamur
(fungus) yang sulit diatasi di iklim tropis.
Akibat pembukaan ladang menimbulkan masalah yaitu, jumlah
nyamuk malaria meningkat pesat yang mengganggu kesehatan mereka.
Sebagai akibat banyak beraktifitas yang berat ada gangguan otot dan
60
tulang.
Penyakit lain yang mengganggu kesehatan diantaranya: demam,
diare, sakit gigi, anemia, sakit kepala, cacingan, hepatitis dan lain-lain.
Beberapa orang Rimba menderita penyakit kulit losong, yang
memutihkan kulit. Mereka berpendapat bahwa penyakit itu merupakan
denda dari dewinya. Sebetulnya, laki-laki yang menderita penyakit kulit
losong dipaksa membayar denda sewaktu menikahi isterinya. Untunglah
dewasa ini, salep dari apotek mengatasi penyakit kulit losong dalam waktu
beberapa bulan dan penderita penyakit itu tidak bernoda lagi (Stigmatis).
Dari sudut psikologi, terlihat bahwa tingkat gangguan jiwa atau
stres banyak dialami oleh kelompok orang Rimba yang baru dibina.
Perubahan pola kehidupan yang dialami menyebabkan trauma yang
dampaknya bagi orang yang setengah tua atau lanjut usia, lebih sulit
diatasi. Bagi orang Rimba yang masih muda lebih gampang merubah pola
pikir dan cara hidupnya. Untunglah, Mereka yang mau kembali ke hutan,
diperbolehkan. Ada aturan yang mengikat bahwa sebelum masuk atau
kembali ke tempat tradisional, mereka tidak diperbolehkan menggunakan
selama beberapa lama sabun atau mengkonsumsi makanan yang tidak
sesuai tradisi orang Rimba.
Kelihatannya bahwa, Orang Rimba tradisional yang tinggal di
hutan jarang mengalami kesulitan psikologis. Menurut opini dari abad
akhir yang menerangkan “Die Kubu erfreuen sich einer gute Gesundheid
und werden in der Regel alt” atau menurut terjemahan penulis, "Orang
61
Kubu menikmati kesehatan yang baik dan pada umumnya mereka sampai
umur yang cukup lanjut usia" (Andree 1874: 46).
5 Kepercayaan dan Kosmos orang Rimba
Menurut salah satu mitos yang di ceritakan orang Rimba, mereka
berasal dari Pagaruyung (Minangkabau) dan bersumpah bahwa mereka
tidak berkampung, dan tidak makan makanan binatang yang dipelihara
termasuk ayam, bebek, kambing dan sapi. Makanan lain yang haram atau
tabu termasuk telur dan susu.
Dengan pengalaman hidup di hutan dan pengalaman interaksi
terbatas dengan dunia luar, kepercayaan dan kosmologi yang muncul dan
unik serta berbeda dari pola pikir masyarakat umum.
Penulis hanya beberapa minggu di tempat mereka. Informasi
mengenai kosmologi orang Rimba diperoleh dari pengamatan sendiri, dari
informan di Paku Aji dan dari bahan referensi termasuk referensi yang
didapat dari karya Sandbukt yang melakukan studi lapangan di daerah
Bukit Duabelas pada tahun 1980an.
Menurut kosmologi orang Rimba waktu mereka pindah ke dusun
atau orang Melayu menguasai hutan (imigrasi dan transmigrasi) dianggap
sebagai pemusnahan dunia atau kiamat. Pola pikir orang Rimba terkait
dengan kata dasar “layu” artinya, menjadi lesu, kehilangan tenaga atau
seperti bunga yang sudah lewat masa mekarnya dan mati. Sepertinya
sudah menjadi sampah.
Ada awalan dalam bahasa orang Rimba “me-” yang berarti, memboroskan, melimpah (Sandbukt 1984, 85-98). Arti
“Melayu" dalam bahasa Melayu tidak jelas.
Juga harus dijelaskan ada hewan landak yang berjenis besar yaitu
landoq (Hysterix brachyma), yang berjenis kecil, yaitu titil bonor
(Atherurus macrourus) dan jenis ekor panjang, yaitu titil kelumbi (Trichys
lipura). Menurut filosofi orang Melayu pada umumnya, kebanyakan
daging dari hutan haram, kecuali satu-dua saja seperti landak. Bagi orang
Rimba, landak termasuk beberapa jenis hewan lain yang tabu. Pada orang
Rimba, makanan haram menurut orang Melayu adalah makanan halal bagi
mereka. Sebaliknya, yang tabu untuk orang Rimba sering halal bagi orang
Melayu.
Dewa Silum-on dilihat sebagai kultivator pohon bambu dan juga
dilihat sebagai orang “me-layu”, tetapi Dewa tersebut juga bisa dipanggil
untuk melakukan hubungan dengan Dewa-dewi lain. Dewa Mato merego
atau Harimau juga diklasifikasikan sebagai orang me-layu, yang cenderung
mengharamkan manusia, termasuk orang Rimba.
Saat orang Rimba mendengar bunyi burung suci, gading, mereka
berhenti dan berdoa supaya mereka bisa memperoleh hal-hal yang baik.
Konsep dunia mereka dibagi halo nio atau dunia disini (dunia
nyata) dan halom Dewa atau dunia di atas (dunia setelah wafat). Kedua
dunia tersebut dikontraskan dengan istilah kasar dan haluy, atau kasar dan
halus yang diatur oleh Tuhan.
Tuhannya tidak bisa dilihat seperti juga
Dewa, tetapi bisa didengar sebagai bunyi alam yang keras seperti kicau burung. Dewa-dewi berada di hutan, di puncak bukit, tempat air dan di
pinggir sungai. Dewa-dewi yang tinggal di hulu sungai dianggap sebagai
Dewa yang bermanfaat, Dewa-dewi yang tinggal di hilir sungai, tempat
kebanyakan orang Melayu tinggal, dianggap sebagai pembawa hal-hal
yang jelek seperti penyakit cacar dan pedagang budak.
Peristiwa seperti melahirkan anak, pernikahan, menyembuhkan
seseorang, musim panen atau musim buah, merupakan peristiwa yang
dirayakan dan sajian dibuat untuk menyenangkan Dewa-dewi. Pada waktu
tertentu, mereka membangun sebuah balai atau balay, yang berukuran
sampai 9 x 9 meter di tengah hutan dengan pondok-pondok sementara di
sekitarnya.
Balai itu disiapkan untuk salé, suatu ritual dengan nyanyian,
tarian, berhiaskan dengan bunga-bunga, menghidangkan makanan, buahbuahan,
daging, kecuali babi, ubi dan semacamnya. Hal itu dilakukan
supaya hubungan dengan Dewa-dewi lebih baik dan bermanfaat bagi
orang Rimba. Roh nenek moyang orang Rimba dianggap mengawasi
kehidupan, dan dapat dihubungi pada saat upacara salé.
Jiwa atau roh orang yang meninggal dunia berjalan ke alam baka.
Orang yang belum mencapai kehidupan spiritual yang tinggi sebelum
meninggal dunia berjalan ke tempat dekat Tuhan, hentew, (limbo).
Pemimpin spiritual juga berjalan ke hentew, untuk meninggalkan sifat-sifat
duniawi sebelum menuju ke dunia Tuhan serta menjadi malaikat yang bisa
menjadi Dewa bila menyampai tingkat spiritual yang cukup tinggi.
Salah satu peristiwa lain yang terkait dengan kosmosnya dikenal
dengan istilah melangun atau berpindah-pindah. Peristiwa itu terjadi bila
mereka merasa kurang puas atau bila ada orang yang meninggal dunia.
Mereka berpindah ke tempat lain supaya bisa re-group lagi sesuai
keinginan mereka serta menghilangkan kesedihan. Orang yang meninggal
dunia ditaruh di dalam pondok, di tempat tidur dengan kelambu tertutup.
Di dalam pondok lampu damar dinyalakan, dan disediakan beberapa hal,
seperti makanan dan beberapa alat untuk berburu. Anjing milik orang yang
meninggal diikat di dekatnya dan kelompok memberi tanda arah tempat
baru, supaya orang yang bangun lagi dari kematiannya bisa ikut melangun
bersama anjingnya.
Sebelum orang luar, termasuk orang Rimba yang mau kembali ke
tempat asli diijinkan oleh Temenggung, mereka perlu menyiapkan diri.
Proses itu memakan waktu minimal selama 3 bulan. Orang yang mau
masuk wajib membersihkan diri, artinya tidak boleh makan makanan yang
tabu, seperti kambing, ayam, bebek, sapi dan telur atau memakai sabun
yang harumnya akan menghina Dewa-dewi mereka.
Menurut informan orang Rimba, mereka merasa takut melawan
orang luar yang membawa senjata tajam. Alasannya, orang Rimba sudah
mengalami kekalahan dan menyadari bahwa mereka diharamkan oleh
orang luar. Persepsi orang Rimba terhadap kelanjutan penggunaan
(sustainable) hutan sudah dimiliki sejak waktu lampau.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Di propinsi Jambi terdapat suku-suku yang belum berakulturasi
dengan masyarakat pasca tradisional. Mereka dikenal dengan nama umum
suku Kubu, dewasa ini namanya memiliki konotasi yang kurang baik. Di
propinsi Jambi terdapat beberapa suku Kubu yang masing-masing
memiliki mitos sejarah dan budaya yang berbeda. Walaupun mereka
diklasifikasikan sebagai hunters and gatherers, lokasi dan lingkungannya
berbeda. Mereka tinggal berpindah-pindah dari rawa dekat laut, dataran
sampai kaki pegunungan dan pegunungan di propinsi Jambi. Mereka
memakai pola hidup dan mata pencaharian untuk memenuhi
kebutuhannya. Kebudayaan mereka selalu dipengaruhi oleh perubahan
pola pikir individu dan input perubahan dari luar, artinya budaya orang
asing. Ada beberapa mitos serta sejarah tertulis mengenai asal usul orang
Rimba termasuk orang Kubu. Sejarah tertulis pertama ditulis oleh orang
Tiongkok, mereka berkunjung ke Sumatera bagian tengah dengan alasan
belajar bahasa Sansekerta atau berniaga.
Mereka membeli atau tukar
barang di hilir sungai. Orang Tiongkok dan orang Barat mengangkut
kapalnya dengan barang seperti, menyan, beberapa jenis getah, obat alami
dan lain yang diperoleh dari hutan dan pegunungan. Di hulu sungai banyak
pecahan porselin ditemukan yang berasal dari Tiongkok. Dari aktivitas
tersebut diatas bisa disimpulkan bahwa sejak lama orang Rimba disampingsebagai hunters and gatherers juga terlibat perniagaan untuk memenuhi
kebutuhannya, seperti alat dapur serta pisau dan tombak. Kelihatannya
bahwa membayar upeti (tribute), ke kerajaan atau tukar barang kepada
pengantar atau pedagang, supaya orang Terang dari hilir sungai tidak perlu
masuk dan mengganggu orang Rimba di kawasan tradisional.
Menurut
pengamatan seorang eksplorir pertama dari Eropa, orang Rimba
digambarkan sebagai orang yang tanpa dosa dan kebudayaannya yang
unik. Memang kebudayaan dan kosmologi sangat berbeda. Walaupun
kelihatannya struktur masyarakat sederhana, kebutuhan mereka dipenuhi
setidaknya selama 6 sampai 10 generasi, atau sekitar 300 sampai 500
tahun, menurut sejarah lisan orang Rimba.
Masyarakat Rimba menganut sistem kekerabatan matrilineal dan
pologini. Matrilineal, artinya saudara perempuan tinggal bersama di
kelompok orang tua dan saudara laki-laki harus ikut kelompok isterinya.
Pologini artinya suaminya boleh mempunyai hubungan dengan beberapa
istri Alasannya perempuan subur, mandul, dan janda harus dilindungi
sebagai sumber hidup. Kelihatannya tanggung jawab laki-laki berat dan
pada tingkat harapan hidup laki-laki lebih rendah dibandingkan dengan
perempuan.
Dampak perubahan zaman sekarang terhadap kebudayaan mereka
sangat besar, dewasa ini lingkungan tradisionalnya semakin lama semakin
sempit oleh penebangan dan perkebunan. Akan tetapi mereka tetap bertekad mengikuti aturan dan budaya yang diwariskan dari nenek
moyangnya.
Kelihatannya program transmigrasi, menebang hutan serta
memburu fauna dan mengambil flora oleh orang Terang, berdampak
negatif pada kebudayaan orang Rimba. Akan tetapi orang Rimba sudah
beradoptasi supaya bertahan pada masa depan. Orang Rimba sudah
mengambil getah pohon karet dan berencana kultivasi kelapa sawit, untuk
menaikkan penghasilan. Kelihatannya mereka beradopsi kembar kultur.
Menurut Motto Indonesia: “Bhinneka Tunggal Ika”, artinya
berbeda beda tetapi tetap satu juga, membolehkan diversitas tetapi
kelihatannya tidak selalu terjadi dan nilai-nilai mereka tidak selalu
dihormati.
2. Saran
Orang Rimba mengalami kesulitan untuk bertahan dalam
lingkungan yang muncul dari interaksi dengan para pendatang.
Transmigran menggunakan tanah tradisional orang Rimba tanpa
memperhatikan kelangsungan hidup orang Rimba yang selama ini
nomaden, yang mencari sumber kehidupan dengan mengandalkan hutan.
Kebudayaan orang Rimba kurang dihormati dan dihargai.
Sepatutnya pendatang yang selama ini menggunakan tanah
tradisional orang Rimba memberikan sesuatu ganti-rugi. Salah satu
jalurnya adalah orang Rimba mendapat ilmu (knowledge) yang relevan dan sesuai dengan keinginannya untuk bertahan di lingkungan pasca
tradisional. Artinya pendidikan yang sesuai dengan budaya nomaden.
Di Indonesia sudah terdapat Kantor Pos Keliling dan Puskesmas
Keliling, sebaiknya juga dibentuk Sekolah Keliling yang diperuntukkan
orang nomaden dengan kurikulum terfokus mengenai kehidupan mereka di
hutan dan materi pelajaran yang lebih sesuai dengan orang Rimba untuk
mengatasi masalah hubungan dengan orang luar.
Lebih cocok ilmu budaya orang Rimba, orang Batin Sembilan dan
suku lain dimasukkan dalam pelajaran di pendidikan supaya seluruh
kekayaan budaya Indonesia dihormati, sesuai dengan motto Indonesia
“Bhinneka Tunggal Ika”, atau berbeda beda tetapi tetap satu juga.
Semua suku perlu habitat atau lingkungan yang cukup aman, tetapi
kelihatannya tidak ada cukup input orang Rimba mengenai lingkungan
mereka. Misalnya, sangat penting bagi pemerintah sebelum merubah
lingkungan untuk mendapat nasihat dari orang Rimba mengenai tanah
nasional.
Melakukan interaksi itu adalah satu hal yang sangat positif.
Kelihatannya dampak kerusakan habitat oleh orang Rimba tidak
signifikan, tetapi dampak HPH, transmigrasi, pembangunan perkebunan
besar perlu pengawasan yang lebih ketat.
Suku tradisional perlu sertifikat otentik sama dengan yang diterima
oleh perusahaan, maupun individu luar supaya tidak ada kesalahpahaman
mengenai batasan tanah. Hak sipil, adat atau HAM belum cukup dihormati
terhadap orang Rimba oleh orang luar. Orang Rimba jarang mendapat harga yang sesuai atau seimbang
dengan harga pasar. Sebenarnya, memberi nasihat kepada orang Rimba
mengenai harga pasar akan dihargai, supaya mereka tidak merasa ditipu.
Orang Rimba ingin bekas tanah HPH dikembalikan, supaya tanah itu
digunakan sebagai ganti rugi hutan yang ditebang liar, supaya bisa
ditanami karet.
Pada waktu dahulu, sudah jelas bahwa orang Kubu direndahkan
oleh orang desa maupun kota. Mereka juga orang Indonesia, yang sering
tidak dapat kartu sehat, walaupun mereka mempunyai hak sebagai warga
Indonesia. Ini salah satu dari sekian banyak contoh kepada masyarakat
luas.
Orang Rimba membangun ilmu mengenai hutannya yang lebih
maju dibandingkan dengan orang luar. Disini merupakan kesempatan
untuk melakukan program kerjasama antara orang luar dengan orang
Rimba. Menyalahgunakan kesempatan ini akan merugikan manusia
selama-lamanya.
DAFTAR PUSTAKA
Andaya, L. Y. 2001, The search for the 'origins' of melayu in Journal of
Southeast Asian Studies, Oct p315 Singapore University Press,
Singapore
Andaya, W. A. 1993, To live as Brothers, University of Hawaii, Honolulu
Andree, K. (ed.) 1874, Das Welt der Orang Kubus auf Sumatra, Globus,
Zeitschrift fur Länder und Völkerkunde, Friedrich Bieweg und Zohn,
Braunschweig
Ahimsa-Putra, H S. 2001, Lévi-Strauss, mitos dan karya sastra, Galang Press,
Yogyakarta
Alasuutari, P. 1996, Researching Culture, qualitative method and cultural
studies, Sage, London
Cassirer, C. 1987, Manusia dan Kebudayaan: Sebuah esei tentang manusia,
PT Gramedia, Jakarta
Damsté, H. T. 1901, Een Maleische Legende Omtrent De Afstammeling Der
Vorsten Van Djambi En De Geschiedenis Der Oerang Koeboe –
tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur twintigste deel nos 1-6
Kolff dan Co, Batavia
Djoewisno, MS 1988, Portret Kehidupan Masyarakat Badui, SAS, Jakarata
Dongen v. 1910, De Koeboes In De Onderafdeling Koeboestreken Der
Residentie Palembang, article in Bijdrage tot de Taal -, Land-, en
Volkenkunde (63:191-335)
Dove M. 1997, Manusia dan Alang-Alang di Indonesia, Gadja Mada
University Press, Yogyakarta
Lee R, - R Lee and De Vore (eds) 1968, Man the Hunter, article What hunters
do for a living, or, how to make out on scarce resources, Aldine,
Chicago
Spence H, -Etzioni-Halevy E dan Etzioni A (eds)- --, Social Change, article
in The Evolution of Societies, Basic Books, New York
Smelser, N., -Etzioni-Halevy E dan Etzioni A (eds)- --, Social Change,
article in Towards a Theory of Modernization, Basic Books, New
York
Sagimun, 1985, Adat Istiadat Daerah Jambi, DPK, Jambi
Forbes, H. O. 1885, “On the Kubus of Sumatra”, The Journal of the
Anthropological Institute of Great Britain dan Ireland Vol XIV,
Trűbner dan Co, London
Geertz, H. 1981, Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia, Yayasan IlmuIlmu
Sosial dan FIS-UI, Jakarta
Geertz, C. 1992, Tafsir Kebudayaan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
____________. 1998, After the Fact, Dua Negeri, Empat Dasawarsa Satu
Antropolog, LkiS, Yogyakarta.
____________. 1977, Penjaja dan Raja, perubahan sosial dan modernisasi
ekonomi di dua kota Indonesia, Gramedia, Jakarta
Gennep van, A. 1960, The Rites of Passage, Routlege and Kegan Paul,
London
Hagen von, B. 1908, Die Orang Kubu auf Sumatra, Staedtischen Voelker
Museum, Frankfurt am Main, Joaeph Baer und Co.
Ihromi, I. 1996, Antropologi Budaya, Yayasan Ober Indonesia, Jakarta
Idris Djakfar, H. 2001, Menguak Tabir Prasejarah Di Alam Kerinci,
Pemerintah Kabupaten Kerinci, Jambi
Kuper, A. 1991, Anthropology and Anthropologists the modern British
school, Routledge, New York
Koentjaraningrat. 1985, Javanese Culture, Oxford University Press,
Singapore
______________. 1985, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Dian Rakyat,
Jakarta
______________.1990, Sejarah Teori Antropologi I, Universitas Indonesia,
Jakarta
______________.1990, Sejarah Teori Antropologi II, Universitas Indonesia,
Jakarta
McKinnon, E. 1992, Malayu Jambi Interlocal dan International Trade (11th
to 13th century), Seminar Sejarah Malayu Kuno, Jambi
Magnis-Suseno, F. 1977, Javanese Ethics and World-View, the Javanese idea
of the good life, Gramedia, Jakarta
Muntholib S. 1995, Orang Rimbo: Kajuan Struktural – Fungsional
Masyarakat Terasing di Makekal, Provinsi Jambi. Disertasi,
Universitas Padjadjaran Bandung Indonesia
Muntholib, S. Teamleader 1999, Kubu Development Study, pusat penelitian
IAIN Sulthan Taha Saifuddin, Jambi
Persoon, G. A. 1989, The Kubu and the Outside World, The modification of
Hunting and Gathering, article in Antropos 84
Pelto, P. 1970, Anthropological Research, The Structure of Inquiry, Harper
dan Row, New York
Pranowo, B. 1988, Steriotip Etnik, Asimilasi, Intergrasi Sosial, Pustaka
Grafika Kita, Jakarta
Spradley, J. 1997, Metode Etnografi, Tiara Wacana, Yogyakarta
Schoor, H. J., De mens is oneindig kneedbaar, article in De Volkskrant, 27
September 2003, reflex page 14, Amsterdam
Sandbukt, Ø. 1984, Kubu Conceptions of Reality, Asian Folklore Studies Vol
43 (85-98) Scandinavian Institute of Asian Studies , Copenhagen
______________. Ingold, Riches dan Woodburn(eds) 1988, Tributary
tradition and relations of affinity and gender among the Sumatran
Kubu article in Hunters and Gatherers 1, history, evolution and social
change. University College, London
______________. 1988, Resource Constraints and relations of appropriation
amoung tropical forest foragers; The case of the Sumatran Kubu
article in Reseach in Economic Anthropology, Volume 10 pages 117-
156, JAI Press
______________. 1991, Precolonial Populations dan Polities in Lowland
Sumatra. An Anthropological Perspective. Kabar Seberang No22
Radcliff-Brown, A.R. 1980 , Struktur dan Fungsi dalam Masyarakat Primitif,
Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur
______________. 1922, The Andaman Islanders, Cambridge University
Press, London
73
Vlekke, B. 1947, Geschiedenis van den Indische Archipel, Romen, Roermond
Waterschoot van der Gracht, W. A. 1915, Eenige bijzonderheden omtrent de
oorspronkelijke orang koeboe in de omgeving van het Doeabelas
Gebergte van Djambi, Tijdschrift van het Koninklijk Aardrijkskundig
Genootschap, tweede serie deel XXII, Brill, Leiden
Wellan, J.W.1925, Het Eiland Berhala Bij Djambi, Tijdschrift van het
Koninklijk Aardrijkskundig Genootschap, derde serie deel XLII, Brill,
Leiden
Weintré, J. J. 2001, Krisis Ekonomi Masyarakat Indonesia pada Lapisan
Bawah, Studi Lapangan Universitas Muhammadiyah dan ACICS,
Malang
Winter. 1901, Ook Onderdanen Onze Koningin (een bezoek aan de Tamme
Koeboes), De Indische Gids. Staat en Letterkundig maandschrift 23ste
jaargang, J H de Bussy, Amsterdam