Contoh Makalah Bab II ORGANISASI SOSIAL DAN KEBUDAYAAN KELOMPOK MINORITAS INDONESIA

BAB II SEJARAH 
1. Prasejarah 
Di daerah propinsi Jambi, ahli ilmu arkeologi menemukan beberapa tempat benda-benda flakes yang membuktikan bahwa sekitar 4000 Sebelum Masehi (SM) pada zaman Mesolithicum didiami manusia. Kemudian, menurut hipotesis menjelang akhir zaman Neolithicum perantau baru datang dari dataran Asia yang membawa kebudayaan batu besar atau era Megalithicum. Buktinya terdapat dalam benda Kisten Stenen diteliti oleh Bot sekitar daerah Bangko. Dari zaman Perunggu ditemui benda-benda seperti sebuah bejana dan sebuah guci, yang berisi perhiasan kalung. 

Menurut Kern dan Sarasin yang melakukan penelitian mengenai bahasa-bahasa di Asia Tenggara, yang hipotesisnya juga diperkuat oleh banyak ahli lain, mengumumkan bahwa orang Melayu datang dari benua Asia setidak-tidaknya dalam dua gelombang besar, yang berasal dari propinsi Yunan, kawasan Tiongkok Selatan. Para perantau memasuki Indonesia kira-kira pada tahun 4000 dan kira-kira 2500 SM (Idris, 2001: 27). 

Manusia gelombang pertama yang mendarat di kepulauan Indonesia, dikenal sebagai Melayu Tua atau Proto Melayu, yang memiliki peradaban sangat sederhana. 

Gelombang kedua yang mungkin berasal dari daerah Dongson, sebelah utara Vietnam membawa teknologi dan ketrampilan yang lebih canggih dibandingkan gelombang pertama. Karena tingginya ilmu kelompok gelombang kedua, dengan cepat Melayu Tua ditelan oleh kebudayaan perantau baru dan melahirkan ras Duetron-Melayu. 

Ada juga hipotesis lain dari beberapa ahli sejarah yang menyatakan bahwa mereka tidak menemukan bukti kuat adanya persamaan ciri budaya dan linguistik di Yunan dengan kelompok rumpun etnik Melayu di Champa, Vietnam. Akan tetapi, terdapat persamaan aspek budaya dan linguistik Melayu dengan pribumi Melayu di Taiwan, pulau Paskah, Hawaii dan Selandia Baru. 

Hipotesis migrasi lain yang dinyatakan Bellwood dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1985, menjelaskan bahwa mungkin orang Melayu masuk Indonesia melalui Taiwan dan Filipina dan setelah itu menyebar ke Indonesia melalui semenanjung Malaysia ke Asia Tenggara dalam dua gelombang. 

Vlekke mengeluarkan teori lain, bahwa orang Proto Melayu merantau sebelum 3000 SM dari Yunnan melalui Indo Tiongkok untuk mencapai Indonesia. Kelompok kedua yang lebih canggih berasal dari daerah Yunnan mungkin merantau kira-kira antara 300 sampai 200 SM (Vlekke 1947: 6). 

Dalam diskusi dengan akademikus di Jambi mereka menyatakan sampai sekarang tidak ada cukup bukti bahwa orang Kubu, termasuk orang Rimba berasal dari keturunan orang yang sudah ada sebelum datangnya orang Proto atau Deutro Melayu. Mereka juga berpendapat bahwa ras-ras yang disebut diatas, dewasa ini sudah dicampuri dengan kelompok lain. Sebenarnya, ciri-ciri fisik orang Rimba, tidak terlalu jauh berbeda dari orang Melayu. 

Mengenai cara hidupnya Lee menulis tambahan berikut: “Cultural man has been on earth for some 2.000.000 years; for over 99 per cent of this period he has lived as a hunter gatherer... Of the estimated 80 Bilion men who have ever lived out a lifespan on earth over 90 percent have lived as hunter gathers” (Lee and DeVore 1968: 3) Atau diterjemahkan penulis sebagai berikut: Manusia berbudaya sudah berada di dunia sejak 2 juta tahun yang lalu; Lebih dari 99 persen dalam rentang waktu itu mausia hidup dengan cara berburu dan meramu …..dari sekitar 80 milyar manusia yang pernah hidup di bumi lebih dari 90 persen hidup dengan cara berburu dan meramu. 

Artinya, hidup orang Kubu tidak jauh berbeda dari kebanyakan manusia di dunia. 

2. Sejarah 
Salah satu sejarah tertulis pertama mengenai Jambi dicatat oleh Yijing seorang Tiongkok yang belajar bahasa Sansekerta pada tahun 671 dan 689. Artinya peradaban tinggi sudah lama ada di Sumatera (Andaya 2001: 315). 

Permulaan abad ke 11 kerajaan Sriwijaya menguasai sebagian selat Malaka serta melakukan perniagaan dan memiliki hubungan sosial dengan mancanegara termasuk Tiongkok dan Chola sebuah kerajaan di India selatan. Sekitar tahun 1025 kerajaan Chola menyerang kerajaan Sriwijaya dan menguasai daerahnya. Menurut informan penulis, mungkin pada saat itu beberapa penduduk yang tidak ingin dikuasai oleh penguasa mengungsi ke hutan. Mereka disebut orang Kubu (arti kata “Kubu” mungkin: benteng) membangun komunitas baru di daerah terpencil. 

Di dekat kota Jambi ditemui beberapa candi dan tulisan tanggal tahun Caka 986 atau 1064 M. Kelihatannya salah satu batu dari tempat arkeologi tidak berasal dari Jawa tetapi mungkin dari pedalaman Jambi. Artinya, mungkin sudah ada hubungan antara penduduk dari pesisir dan pedalaman. Kerajaan Majapahit yang menguasai bagian Sumatera menjadi contoh par excelen untuk menyatukan Indonesia. Sebenarnya, semboyan Indonesia modern ‘Bhinneka tunggal ika’, atau berbeda beda tetapi tetap satu juga (unity in diversity), didapat dari puisi Majapahit yang memiliki keinginan untuk menyatukan nusantara. 

Pada abad ke14 proporsi penduduk yang berasal dari luar, khususnya dari Tiongkok bertambah. Beberapa arca Budha ditemukan di Sarolangun, dan kelihatannya ada sebuah kerajaan kuno di Muara Sungai Tebo. Di kampung lubuk di Sarolangun, ditemukan beberapa pondasi dari reruntuhan yang mungkin imerupakan reruntuhan bangunan Hindu yang terdiri dari batu merah. Kelihatannya di daerah ini banyak mendapat pengaruh budaya Minangkabau, Jawa dan India. Di Muarabungo terdapat adat matrilineal yang terdiri dari ekso-dan endogami. Pada tahun 1509, kaum niaga Portugis datang ke Malaka. Waktu itu jumlah penganut Islam masih rendah, tetapi umumnya kaum niaga penganut Islam. 

Perniagaan di selat Malaka berkembang setelah orang Arab dan orang Eropa masuk. Pada saat pertama kali pedagang Belanda masuk ke selat Malaka, Indonesia dikenal sebagai "Portugaels Indien" atau IndonesiaPortugis. Pada tahun 1512 Tomé Pires mencatat bahwa penduduk Jambi lebih mirip orang Palembang dan orang Jawa dibandingkan mirip dengan orang Melayu. Pada abad 16 daerah Batanghari hulu menjadi daerah perantauan Minangkabau (Andaya 1993: 14). Dalam tulisan dari tahun 1637 disebutkan bahwa kapal laut niaga asal Inggris dan Belanda berada di pelabuhan kota Jambi. Pada tahun 1653 sebuah surat menyebutkan bahwa kapal laut pedagang Vogel yang berada di pelabuhan Jambi mengadu kepada raja Jambi bahwa ada kapal niaga Portugis di pelabuhannya (Wellan 1925: 852-857). Dengan aktivitas niaga yang digambarkan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perniagaan sudah beberapa abad dilakukan di Palembang dan Jambi. 

Terdapat permintaan niaga dari Arab, Tiongkok, India, Persia, Sri Lanka, Indonesia, Portugis, Inggris dan Belanda, untuk memuat bahan yang tersedia di pelabuhan tengah Sumatra. Walaupun kuantitas niaga mungkin kecil, orang Kubu memiliki pengetahuan geografis serta ketrampilan untuk berburu atau memanfaatkan hasil hutan di hulu sungai, dengan hubungan lalu lintas sungai yang cukup baik untuk mengirim atau bertukar hasil hutan. Barang yang diniagakan mungkin termasuk: gading gajah dan cula badak (Rhinoceros sumatrensis), gading burung enggang (Buceros rhiniceros), lebah madu, tawon lilin, getah jelutung (Dyera Costulata), damar (f:Dipterocarp), bahan warna, jernang yang didapat dari beberapa jenis rotan (Detemonorhops spp.), getah pohon (viz gutta percha) dari jenis (f:Sapotaceae), beberapa obat, kulit ular, bahan kemenyan dari pohon (Pinus sumatrana), kayu yang harum (Aquilaria spp atau jenus Gonystylus), kayu besi dan mungkin beberapa kerajinan tangan yang ditukarkan atau digunakan sebagai alat pembayaran kepada kerajaan supaya eksistensi orang Kubu aman dan mereka dibiarkan (McKinnon 1992 :130). 

Demikianlah tampaknya hubungan orang Kubu dengan orang luar sudah menjadi kebiasaan untuk menambah kebutuhan makanan atau mendapatkan sesuatu, seperti bahan buatan besi, misalnya peralatan pisau, senjata, serta peralatan perburuan, perumahan dan lain-lain. Sudah lama terjadi persaingan dalam beberapa hal seperti politik dan akses hasil hutan antara hulu dan lilir sungai Batang Hari. Pada tahun 1688 pangeran Pringgabaya yang berasal dari Jambi, bertikai dengan saudaranya dan pindah ke Muara Tebo yang diberi nama Mangunjaya yang letaknya strategis. Kerajaan baru tersebut mempunyai hubungan baik dengan Pagaruyung, dan orang Rimba menukar hasil hutan melalui Jenang, seorang perantara, serta membayar upeti kepada raja (jajah), dan menerima hadiah (serah) yang terdiri dari kain dan pisau seperti parang, tembilang atau beliung dari kerajaan (Andaya 1993 : 133). 

Walaupun pada tahun 1820 Palembang di bawah kekuasaan kolonial secara penuh, Jambi masih bertahan sampai tahun 1906. Program transmigrasi ke Sumatera tengah dimulai waktu kolonial dan dilanjutkan sampai beberapa tahun lalu. Pada tahun 1970an dan sebelumnya, menebang kayu sekitar bukit Duabelas menjadi industri besar. Menurut laporan yang dikeluarkan oleh Worldbank kelihatannya dalam waktu 20 tahun lagi sudah tidak akan ada hutan lagi di propinsi Jambi. Pada tahun 1980an daerah selatan dari bukit Duabelas dibuka untuk pemukiman transmigrasi dan lahan dibuka untuk perkebunan karet dan terutama untuk perkebunan sawit. Tahun 2002 Tanam Nasional Bukit Duabelas di resmikan. 

3. Mitos dan Sejarah Lisan 
Sebelum kita berbicara mengenai sejarah orang Kubu, kita harus menyadari bahwa kelompok Kubu ternyata terdiri sedikitnya 2 kelompok besar di daerah hulu sungai Batanghari, batang Tembesi dan batang Merangin. Walaupun banyak ciri-ciri peradaban mereka mirip, juga ada ciriciri yang berbeda. Suku Kubu yang tinggal sebelah timur batang Tembesi dan sebelah utara Batanghari dikenal sebagai suku Kubu atau lebih cocok disebut orang Batin Sembilan. Menurut sejarah lisan asal usul mereka berbeda dari masyarakat tradisional yang tinggal sebelah barat sungai Tembesi dan barat sungai Batanghari sebelum gabung dengan Batang Hari. Keturunan orang Batin Sembilan mungkin berasal dari Melayu yang pada waktu lampau bercampur dengan perantau lain, seperti orang dari semenanjung Malaka dan Jawa. 

Pada waktu lampau beberapa ahli antropologi tertarik dengan daerah tradisional orang Kubu di Sumatera tengah. Forbes menggambarkan kepada pembaca asal usulnya yang sangat pendek. Menurut cerita yang dia dengar, mereka keturunan dari saudara termuda yang tidak disunat, sebab di sekitarnya tidak ada alat yang cukup tajam untuk melakukan penyunatan. Pemuda merasa malu, sehingga dia mengungsi ke hutan dan berpisah dari kelompoknya serta dua saudara laki-lakinya yang sudah disunat. Menurut mitologi orang Kubu Sumatra tengah mereka memang keturunan dari saudara yang mengungsi ke hutan (Forbes 1884: 124). Orang Kubu dmenceritakan kepada Van Dongen bahwa mereka keturunan dari pasangan saudara dan saudari kapal bajak, yang dilepaskan oleh nahkoda waktu perempuan itu hamil muda di kapal. Mereka diturunkan di pantai hulu sungai di Sumatera. 

Pasangan tersebut memiliki banyak anak dan membangun kampung Ulu Kepajang dekat dusun Penamping di sungai Lalan. Menurut pendapat van Dongen Kubu atau ngubu artinya hutan. Masih ada banyak orang Kubu yang tinggal sekitar lokasi Ulu Kepajang. (Van Dongen :1850) Menurut dongeng-dongeng Jambi, perantau dari Malaka, Johor, Patani serta Jawa, pindah ke daerah daratan rendah Jambi. Mereka bercampur dengan orang asli dan orang yang berasal dari Minangkabau termasuk dari kerajaan Pagaruyung (Dharmacraya). Juga ada mitos mengenai garis keturunan orang Kubu yang diceritakan kepada Damsté oleh kepala laras Datoeq Padoeko Soetan yang ceritanya berikut ini. Konon peristiwa pada waktu lampau Daulat yang dipertuan dari Pagaruyung duduk di batu di pinggir sungai setelah dia sholat. Dia masukkan sirih ke dalam mulut, kemudian dia mengeluarkannya, selanjutnya batu yang dia duduki bergerak dan dia sadar bahwa sebenarnya dia duduk di atas kura-kura besar yang ada di sungai. 

Dengan kekuasaan Allah, kura-kura tersebut bunting dan melahirkan anak manusia laki-laki, sebab kura-kura menelan sirih yang dikeluarkan oleh raja. Tiap hari beberapa anak kampung bermain di sungai dan anak manusia laki-laki itu ikut bermain dengan mereka. Setelah bosan bermain, anak manusia kura-kura itu pulang ke ibunya. Kabar mengenai anak kura-kura didengar raja kemudian raja menyuruh mencari anak tersebut supaya dibawa ke istananya. Raja Pagaruyung bertanya kepada anak siapa bapaknya. Anak langsung menujuk kepada raja, dia sangat heran dan bertanya kepada anak tersebut bagaimana dia menjadi bapak anak kura-kura. Anak tersebut menjawab bahwa menurut ibunya, waktu raja duduk diatasnya dan mengeluarkan sirihnya yang ditelan ibunya, dia langsung hamil dan melahirkan dia. Raja berpikir beberapa saat dan berkata bahwa sebetulnya anak itu benar dan peristiwa itu terjadi. 

Lalu raja mengumumkan kepada rakyat bahwa anak tersebut, yang ibunya tenggelam waktu bajir, adalah benar-benar anaknya. Beberapa tahun kemudian, raja Daulat yang dipertuan dari Pagaruyung, menjelaskan kepada kepala daerah, bahwa anaknya akan menjadi raja negeri dari kota Tujuh, Sembilan Kota, Pitajin Muara Sebo, Sembilan Luruh sampai daerah terpencil Jambi. Mereka semua senang, tetapi pada waktu singkat mereka mendapat kabar bahwa anak tersebut adalah keturunan dari kura-kura. 

Setelah mereka tahu asal usul raja, mereka tidak setuju dan tidak menerima raja yang berketurunan kura-kura sebagai raja mereka. Lalu mereka menyingkir ke hutan dan hidup disana. Itu cerita sejarah orang Kubu (Damsté 1901: 281-284). Mitologi sejarah dari kepala suku Kubu, Datu Husin di Silang Pungguk, berbeda dengan cerita yang disampaikan oleh Temenggung Tarib dari suku orang Rimba. Pak Husin menceritakan bahwa ribuan tahun yang lalu turunlah sembilan orang bersaudara, terdiri dari empat perempuan dan lima laki-laki. Mereka keturunan dari Raden Nogosari. Sembilan orang tersebut akhirnya berpisah dan berpencar untuk mencari tempat hidup di lembah-lembah. Itulah legenda keberadaan orang Kubu di Jambi. Beberapa mitos-mitos lisan mengenai putri cantik Pinang Masak dari Minangkabau diceritakan. 

Dia menjadi ratu di Sumatera dan dikenal oleh ratu Majapahit sebagai ratu Jambé. Juga ada mitos tentang Iskandar Zulkarnain (Alexander the Great) dan menurut salah satu mitos orang Kubu mereka sebenarnya prajurit Iskandar Zulkarnain (Andaya 1995: 8). Temenggung Tarib menceritakan bahwa menurut sejarah lisan orang Rimba di bukit Duabelas mereka berasal dari kerajaan Pagaruyung yang merantau ke Jambi. 

Temenggung Tarib pribadi menjelaskan bahwa memang dia bisa berhitung sejarah sampai 6 generasi lalu. Ahli antropolog asal dari Jambi menjelaskan kepada penulis bahwa kelompok yang tinggal dekat Temenggung Tarib menceritakan kepada ahli antropolog bahwa menurut sejarah lisan orang Rimba itu, mereka bisa berhitung sejarah dari nenek moyangnya sampai 10 generasi. Artinya, orang Rimba memiliki sejarah lisan dalam jangka 300 sampai 500 tahun, atau kurang lebih dari abad ke16 atau ke 17. 

Sebenarnya jelas bahwa dari cerita diatas sangat sulit menggambarkan peristiwa pada masa lalu. Demikian juga, menurut pengamatan logat dan bahasa yang digunakan oleh penduduk propinsi Jambi, dipengaruhi oleh Minangkabau, Jawa dan Bugis. Selain dari pengaruh bahasa juga ada pengaruh dari budaya Jawa yang diterima oleh penduduk pesisir pantai dan daratan rendah dari Palembang sampai kota Jambi. Pengaruh dari budaya Bugis dapat dilihat di daerah Tungkal dan sekitarnya. Pengaruh budaya Minangkabau dapat dilihat di daerah bagian barat Tembesi.

BAB III KEHIDUPAN ORANG RIMBA DAN BATIN SEMBILAN 
1. Pola Pemukiman dan Lingkungan 
Kelompok Temenggung Tarib di Bukit Duabelas, merupakan salah satu kelompok yang bertekad untuk mengikuti gaya kehidupan yang diturunkan oleh nenek moyang sebaik mungkin. Tempat pemukiman terdiri dari beberapa kediaman yang terletak beberapa ratus meter dari rumah (bubangan) Temenggung Tarib. Bubangan bertiang yang didiami oleh Temenggung Tarib terdiri dari dinding kayu, atap dari daun, yang lantainya kira-kira 2 meter tingginya dari tanah. 

Penulis mengamati tempat kediaman lain yang dikenal dengan nama sampaeon. Tempat kediaman ini lebih sederhana, dengan lantai kira-kira setengah meter tingginya dari tanah. Lantai dibuat dari batang kecil kayu bulat dan atapnya dibuat dari plastik hitam yang didapat dari pasar mingguan hari Jumat di Paku Aji. Untuk rumah sementara, misalnya waktu mereka memburu binatang atau sedang pindah ke tempat lain saat melangun, mereka membuat pondok bernama sudung yang bentuknya sederhana tanpa lantai tetapi dengan atap saja. Sudung itu cepat dibangun untuk pelindungan di waktu malam. 

Semua keluarga punya tempat tinggal sendiri yang terletak beberapa meter dari rumah lain dengan dapur sendiri. Dekat pemukiman mereka tersebar bekas kertas dan plastik pembungkus yang dibawa dari luar. Sering terjadi kontak dengan orang dusun yang mencari jasa orang Rimba seperti menangkap burung hiasan atau memburu babi hutan (Sus vitatur) yang berada di perkebunan orang dusun, atau orang dusun membeli ubi kayu (Manihot uthlissima) dan sebagainya. 

Pemukiman orang Rimba terletak disebelah ladangnya. Mereka menanam ubi kayu (Manihot uthlissima) atau perkebunan kecil pohon karet (Helvea brassiliensis). Sudah lama mereka mengelola atau potong (menyadap) pohon karet disekitar pemukiman mereka. Rumahrumah tidak berdinding kecuali rumah Temunggung Tarib.Terlihat nyata bahwa alam sangat dekat dan tempat-tempat kediaman menjadi bagian lingkungan mereka. Samping harta benda pribadi seperti rumah, peralatan berburu, peralatan perumahan, kain, pakaian dan lain-lain. Ada harta yang bersamo dan yang tidak bersamo. Misalnya, pada umumnya saat mereka membuka ladang dilakukan sebagai aktivitas gotong-royong tetapi kemudian ladang dibagi antara keluarga inti setelah tanah di buka dan kayu bekas di tempat itu dibakar. 

Setiap keluarga mendapat bagian tanah yang digunakan untuk menanam bahan makanan pokok seperti ubi kayu. Pohon-pohonan yang bernilai tinggi dan ubi kayu yang ditanam sendiri adalah harto yang tidak bersamo. Memburu binatang di hutan dilakukan sendiri atau dilakukan oleh beberapa anggota kelompok orang Rimbo. Mereka mungkin pergi jauh dari hunian dan tinggal di hutan beberapa hari sebelum mereka kembali dengan hasil buruan. 

Waktu itu ada satu atau dua orang laki-laki yang menjaga perempuan dihunianya. Ketika orang Rimba menemukan pohon di hutan yang menjadi bagian tanah tradisional mereka, dan pohon tersebut bernilai guna tinggi, seperti pohon kedondong dengan sarang lebah, atau durian yang belum dimiliki,orang itu bisa memberi tanda kepemilikannya di batang atau sekitarnya supaya orang Rimba lain tahu pohon itu tidak harto samo, tetapi milik pribadi. 

Radcliff-Brown menulis mengenai penduduk pulau Andaman. “The economic life of the local group, though in effect to a sort of communism, is yet based on the notion of private property. Land is the only thing that is owned in common... hunting grounds of a local group belong to the whole group...There exist a certain private ownership of trees.... another man would not cut it down without first asking the owner to give him permission to give him the tree” (Radcliff-Brown 1922: 41) Atau diterjemahkan penulis sebagai berikut: Kehidupan ekonomi kelompok, walaupun sebenarnya semacam jenis komunisme, ternyata berdasar keberadaan milik pribadi. 

Hanya tanah yang merupakan milik seluruh masyakat, …. Daerah perburuan kelompok lokal adalah milik seluruh kelompok… Ada pohonpohon yang menjadi harta pribadi …. seseorang tidak menebang suatu pohon sebelum mendapat ijin pemilik. Buang air kecil atau air besar biasanya di lakukan di daratan, supaya tanah langsung dipupuki dan sungai yang digunakan untuk air minum tidak dicemari. Memiliki anjing - anjing dalam bahasa Rimba disebut dengan konotasi lucu penjilat burit (penjilat pantat) - sangat berguna. Disamping membantu orang Rimba berburu, anjing juga menolong untuk membersihkan pantat anak dan bayi.

Beberapa kali diamati anak yang bermain di sungai atau perempuan mencuci sarung. Walaupun mereka jarang atau tidak memakai sabun, kelompok tersebut kelihatannya tidak menderita masalah kulit atau bau badan. Menurut kepercayaan orang Rimba menggunakan sabun akan dimarahi oleh dewa-dewi. Orang Kubu kelompok Batin Sembilan yang dipimpin oleh kepala suku Pak Dato Husin desa Muara Singeon, di pemukiman Pungguk Silang, terlihat jauh berbeda. Ada sekitar 50an rumah yang dibangun oleh pemerintah pada tahun 1999 di pinggir perkebunan swasta kelapa sawit. Ada beberapa toko sangat kecil yang menjual bahan pokok. 

Ada sekolah dasar dengan dua guru dan seorang kepala sekolah serta musholla dengan seorang ustad. Mereka kadang-kadang mencari nafkah di hutan yang tidak luas lagi yang jaraknya beberapa kilometer dari pemukimannya. Perkebunan swasta adalah tempat terdekat mencari nafkah. Penghasilan buruh perkebunan tujuh ribu rupiah per hari saja, berkerja tiap hari dari jam enam pagi sampai kira-kira jam satu sore. Dengan traktor mereka di jemput dan diantar setiap hari. Walaupun lapisan masyarakat terbawah berhak mendapat kartu sehat, tetapi penduduk Pungguk Silang belum mendapatkannya kecuali seorang saja (Weintré, 2000: 17). 

Kurangnya kesempatan menjadi alasan beberapa penduduk untuk pindah ke luar pemukiman dan beberapa rumah sudah kosong. Perundingan antara pemerintah dan perusahaan eksploitasi minyak memutuskan bahwa orang Kubu di Pungguk Silang mendapatkan beberapa juta per KK sebagai uang ganti rugi pembangunan infrastruktur lapangan minyak di dekatnya. 

2. Mata Pencarian 
A. Makanan dan Hasil Hutan 
Secara tradisional pada dasarnya kebutuhan makanan pokok dan kebutuhan lain dipenuhi oleh hutan. Gaya hidup tradisional terdiri dari berburu dan meramu (hunting and gathering). Di hutan mereka meramu buah-buahan, ubi, binatang kecil, kayu, dan damar yang pada umumnya, tetapi tidak selalu, dilakukan oleh kaum perempuan. Kaum laki-laki memburu binatang di hutan dan membuka hutan untuk ladang. Kaum lakilaki menebang pohon dan kaum perempuan memotong tumbuhan kecil. 

Pada umumnya mereka menggunakan uang hanya dengan orang luar (terang). Memburu binatang besar dilakukan oleh laki-laki dan pola berburu bergantung pada musim. Ada 3 jenis babi yang ditangkap, babi hutan (Sus vitatur), babi jengkot (sus barbatus) atau babi biasa (sus scrofa). Diburu juga rusa (Cervus equimus) dan kijang (Cervulus muntjac). Menangkap burung seperti tiung (Gracula relegiosa) elang (Haliastur indus) dan gagak (Corvus macroynchus) serta, tupai atau poso (Lariscus insgnis) dan lain-lain. 

Kaum laki-laki mempunyai hak untuk berburu. Kaum perempuan, pada umumnya isterinya, mempunyai hak untuk membagi yang diburu atau ditangkap oleh seorang laki-laki. Waktu mereka mencari makanan sendiri atau dengan keluarganya di sungai mereka menangkap harto sendiri, seperti siput (Molusca gastropoda), belut (Monopterus) atau ikan seperti lembat (Melapterurus electricus) atau kodok (kodoq atau beretong), kura-kura dan labi-labi (lelabi, dedaray, pangkaq) dan ular (piahi) termasuk ulo sao (Python retculatus). Mereka menangkap di daratan ulo pandoq (Python curtus) termasuk kobra atau ular sendok, todung, gerom (Naia spp) atau beberapa jenis burung. Kadang-kadang anak-anak menangkap kelewar (kelelawor) kecil, sebagai makanan jajanan. 

Kalong besar keleluang (mungkin Pteropus vampyrus) atau kalong yang memakan serangga, beyut (mungkin Cheiromeles torquatus) juga ditangkap dan sebenarnya sumber protein penting. Disamping berburu, perempuan dan laki-laki meramu ubi dan buah-buahan. Mencari ubi memakan banyak waktu, tetapi menurut informan rasa ubi liar lebih lezat dibandingkan ubi ladang. Beberapa ubi diambil dari hutan, seperti ubi kulit halus benor licin yang ukuran besarnya sampai 40-50mm tebal dan sampai beberapa meter panjangnya. 

Mereka harus menggali sampai kedalaman satu meter. Ubi rambat, benor bobulu yang dalamnya sampai setegah meter yang bisa berhasil 30-40 kg. Benor godong atau ubi besar hanya 300mm dari permukaan daratan yang akarnya sampai 30-40 meter dari ubi induk. Mereka juga berhasil mendapatkan ubi yang beracun. racun pada ubi itu dipakai untuk mengerdilkan ikan. Disamping hasil ubi liar ada hasil dari ladang seperti ubi kayu (Manihot uthlissima) atau mungkin keladai (Colacia esculinta). 

Sering diantara garis tanaman ubi kayu, bibit buah-buah seperti durian (Durio Zebetinus), rambutan (Nedphelium lapcium), duku atau langsat (Lancium domisticium) atau pohon karet (Helvea brassiliensis) ditanam. Mereka juga tertarik menanam sesuatu yang manis seperti tebu (Saccharum offiTiongkokrum). Seperti yang dikatakan tadi, sejarah tukar menukar (barter) dengan dunia luar sudah terjadi sejak masa lampau. Keperluan orang Rimba seperti alat besi untuk dapur atau parang serta pisau, atau kain yang sudah lama yang digunakan untuk membayar denda, membayar ganti-rugi atau sebagai mas kawin didapat dari pihak dari luar. Barter juga bisa dilakukan untuk memperoleh makanan sewaktu kelaparan. 

Orang Rimba juga harus memenuhi retribusi yang diminta oleh kerajaan hilir sungai untuk melestarikan keadaan damai di tempat orang Rimba dan untuk mencegah masuknya orang terang atau orang luar ke hutan. Pada waktu lampau hasil dari kegiatan berburu dan meramu ditukar dengan pedagang di pinggir sungai. Barang yang mau ditukar oleh orang Rimba ditinggalkan di pinggir sungai yang diketahui pedagang yang melewati tempat itu. Pada waktu pedagang lewat, dia menaruh barangnya yang ingin ditukar dan setelah itu dia akan kembali lagi. 

Orang Rimba kembali ke tempat penukaran setelah pedagang tak ada disana dan memilih yang diinginkan dari barang yang dimiliki pedagang. Mereka menaruh barang hasil hutan mereka yang menurut mereka setara dengan barang dari pedagang yang mereka pilih. Pedagang atau orang Terang kembali dan mengambil atau merubah yang dia ingin ditukar. Proses itu diulangi sampai kedua pihak puas tanpa komunikasi visual. Pada akhirnya proses penukaran selesai dan orang Rimba mengambil barang yang ditawarkan oleh orang Terang dan lalu bersembunyi dan masuk ke hutan. Proses penukaran itu, dilakukan menurut antropolog-antropolog pertama yang menulis mengenai keadaan orang Kubu. Dewasa ini proses penukaran sudah berubah. 

Mereka masih menggunakan orang yang bergelar Jenang yang ditugasi untuk pengantar antara orang Kubu dan Terang. Walaupun dia dipilih oleh orang Kubu sehingga dia berhasil menjalankan tugasnya, sebab dia bisa menjual barang dengan harga yang lebih tinggi. Kelompok yang dijumpai penulis tidak perlu menggunakan jasa Jenang lagi. Pada waktu lampau, hasil hutan yang ingin ditukar oleh orang Terang adalah gading, beberapa getah, jernang (Daemonorops hyigrophilus), jelutung, lilin, damar (parashorea stellana) yang pada umumnya dari pohon keluarga dipterocarp, dan lain-lain. Mereka tertarik dengan hal yang terbuat dari besi, kain. 

Dewasa ini, pola niaga berubah dan kelompok orang Rimba menyediakan barang seperti getah karet (Hevea brassiliensis), ubi, getah jelutung, getah jernang, rotan khususnya rounton sego (Calamus caesius), manau (Calamus ornatus) dan daging babi hutan (celeng, 1000 rupiah per kilo) yang dijual ke orang transmigran, orang dusun atau ke toke. 

Orang Rimba juga terlibat menjual kayu. Ada rencana untuk menyediakan hasil dari kelapa sawit. Jumlah harta benda yang sudah terkumpul dalam waktu beberapa tahun seperti kain, pakaian modern, radio. Juga, penulis bertemu seorang Rimba yang memiliki sepeda motor bekas, yang sebenarnya mempersulit dalam pola hidup nomaden dan tradisi melangun. 

B. Peralatan, Komunikasi & Seni 
Nomaden didefinisikan sebagai orang yang memiliki harta benda minimal, termasuk barang seni dan alat teknologi yang minimal pula. Sebetulnya, gaya hidup orang Rimba hampir tabu untuk memiliki atau menambah harta benda yang tidak termasuk kebutuhan primer atau memiliki barangbarang yang menyulitkan untuk berpindah-pindah. 



Kelihatannya menurut kosmologi orang Rimba, mereka tidak terdorong atau tergoda mempunyai harta benda. Mungkin alasan itu yang menyebabkan mereka tidak merasakan adanya kecemburuan dan iri hati. Untuk memburu, membuka ladang, menebang pohon, dan lain-lain mereka memakai peralatan yang terbuat dari kayu dan besi.

Kuantitas jenis kerajinan tangan terbatas. Ada kerajinan yang dibuat dari bambu, daun, rotan, rumput, kayu dan kulit. Seperti tikar untuk membungkus barang atau sebagai tempat tidur, dan wadah untuk tempat makanan, ubi, kain, damar, madu, garam dan lain-lain. Wadah-wadah berfungsi sebagai tempat menyimpan, untuk membawa barang dan untuk melengkapi sistem adat, atau sebagai alat tukar-menukar dalam upacara perkawinan. Sebelum memiliki kain untuk membuat cawat (kancut) orang Rimba membuat cawat dari kulit kayu yang dipukul-pukul hingga lembut. 

Sudah lama laki-laki memakai cawat dari kain dan perempuan memakai kain panjang yang dikenakan dari pusar sampai di bawah lutut atau kadang-kadang betis. Pakaian seperti itu merupakan pakaian tradisional orang Rimba yang memudahkan mereka bergerak cepat di dalam hutan, karena mereka perlu untuk mengejar binatang buruan atau untuk menghindari dari hal-hal yang berbahaya. Pada umumnya, saat mereka pergi ke pasar mingguan atau keluar hutan untuk pergi ke dusun, laki-laki sering memakai celana dan perempuan menutupi badannya agar mereka tidak merasa malu, demi menghormati budaya dusun serta agar diterima dengan baik. 

Menyaksikan tarian, mendengarkan nyanyian, pantun atau seloka sulit sekali. Kebanyakan tarian dan nyanyian adalah bagian upacara yang tidak terbuka bagi orang luar. Pada saat penulis disana, seorang Rimba bernyanyi lagu yang digunakan untuk mengambil sarang madu dari pohon yang tinggi. Forbes bertemu orang Kubu pada tahun 1885 disekitar sungai Musi. Dia mengatakan bahwa mereka punya bahasa sendiri yang tidak bisa dimengerti oleh suku tetangga. Pada awalnya, dia tidak mengerti bahasanya, tetapi semakin lama semakin banyak dia mengerti tipe bahasa dan logat Melayu mereka. 

Pada waktu ekspedisi tahun 1878, pemandu yang berasal dari Jambi tidak mengerti bahasa orang Rimba, tetapi jelas bahwa bahasa di daerah bukit Duabelas dipengaruhi oleh budaya Minangkabau. “Es mag hier auch daran erinnert werden, dass Menangkabau das aelteste Malayische element auf der Insel vorsellt und dass Tradition, Sprache, Sitten und Gebraechen der meisten Primitivvoelker des mittleren Sumatra (der Kubu, Lubu, Mamaq Sakai usw.) auf einstigen Zusammenhang mit Menangkabau hindeuten” (Hagan 1908 :197). 

Atau diterjemahkan penulis sebagai berikut: "Kita harus ingat bahwa budaya Minangkabau adalah elemen tertua Melayu di pulau Sumatera. Tradisi, bahasa, dan kebiasaan, kebanyakan masyarakat sederhana di Sumatera bagian tengah (Kubu, Lubu, Mamaq, Sakai dan lain-lain) punya beberapa persamaan dengan kebudayaan Minangkabau". 

C. Pemunculan Inovasi 
Kebudayaan, termasuk budaya orang Rimba, selalu dinamis. Walaupun tradisi orang Rimba adalah sangat penting, mereka mengadopsi beberapa inovasi yang berasal dari luar. Sandbukt menceritakan bahwa hanya beberapa tahun sebelum memulai studi lapangannya, sekitar tahun 1980an, mereka baru menggunakan senter yang dibeli di pasar terdekat.

Senter itu menjadi alat baru dalam memburu binatang pada waktu malam. Penggunaan senter saat berburu pada waktu malam, dapat menyilaukan atau membutakan (transfix) mata binatang. Dengan menggunakan senter, pemburu bisa mendekati dan menombak lebih akurat. Dewasa ini penggunaan senter lebih efektif, antara lain untuk memburu rusa (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjak), napuh (Tragulus napu) dan kancil (Tragulus javanicus). Penggunaan baterai juga memudahkan untuk menghidupkan dan mendengarkan radio atau tape. Pada waktu malam, penulis berkunjung ke kelompok Gera, yang sedang mendengarkan lagu dangdut dan siaran radio. 

Mereka suka berdansa dengan musik itu, dan para remaja cepat belajar bahasa Indonesia dan nilai-nilai baru. Sama halnya dengan para remaja di tempat lain, khususnya perempuan, mereka cepat mengadopsi pakaian yang dipakai oleh gadis di dusun, sedangkan laki-laki tertarik memakai arloji, yang dijual di pasar mingguan di pemukiman transmigran Paku Aji. Obat baru seperti Bodrex dan semacam itu diminum untuk mengatasi gangguan kecil, dan mereka tertarik jasa yang diberikan oleh Puskesmas. Waktu penulis disana, ada sebuah kesalahpahaman antara seorang dari kelompok tradisional dengan seorang dari kelompok pasca tradisional. Masalah itu diselesaikan oleh kepala desa, dan orang yang terdakwa didenda dengan membayar ratusan ribu rupiah kepada Temenggung kelompok tradisional. 

Ada juga beberapa laki-laki yang mencari nafkah diluar, seperti menjadi kondektur (kenek) bis jarak jauh, atau yang bekerja dan tinggal di dusun tetapi pada akhirnya mereka mencari istri dan kembali hidup di hutan. Penulis juga bertemu orang dusun yang bekerja di perkebunan yang dimiliki kelompok tradisional orang Rimba. Menurut aturan tradisional, pemburu wajib untuk menyerahkan sebagian tangkapannya kepada Temenggung. Namun dewasa ini, tradisi itu sudah hilang. Pelanggaran aturan adat yang tidak terlalu mengganggu ketertiban dibiarkan. 

Temenggung menjelaskan alasannya mengapa sanksi tersebut dibiarkan, karena bila sanksi diberikan terhadap pelanggaran kecil semisal di denda, orang yang melanggar aturan, bisa lari ke kelompok lain atau pindah keluar, yang mana akan melemahkan posisi kelompok orang Rimba tradisional tertentu. Pola makan juga berubah. Makanan pokok biasanya terdiri dari ubi dan daging, terutama daging babi. Akan tetapi dewasa ini, makanan seperti beras, mie instan, kue-kue dan jajanan lain juga diterima dengan baik. Pola niaga dengan pihak luar juga berubah. 

Misalnya pada waktu lampau, getah dan damar adalah hasil hutan yang dijual ke pihak luar. Dewasa ini, industri kimia telah menggantikan kebutuhan getah alami dengan buatan kimia. Rotan bahan penting niaga yang hampir habis, juga diganti dengan bahan lain. Sejarah pohon karet di Indonesia sudah panjang. Jenis pohon itu sebenarnya disosialisasikan oleh pemerintah kolonial kepada orang desa namun ditanam juga oleh orang Rimba sebelum Taman Nasional Bukit Duabelas diresmikan. Sekarang harga getah karet dibandingkan dengan hasil sawit kurang baik, itu alasan beberapa orang Rimba terlibat dalam membuka perkebunan sawit, supaya penghasilan mereka meningkat. 

Ada orang Rimba yang tinggal di pinggir Taman Nasional Bukit Duabelas yang menggunakan emas atau rekening bank yang berupa tabungan untuk menyimpan harta benda mereka. Dewasa ini, ada program dari pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menyiapkan pendidikan formal dan informal. Temenggung Tarib menyuruh anaknya masuk pendidikan supaya dia dibekali ilmu agar bisa bertahan di masa depan. 3 Sistem Kekerabatan Sistem kekerabatan orang Rimba adalah matrilineal yang sama dengan sistem kekerabatan budaya Minangkabau. 

Tempat hidup pasca pernikahan adalah uxorilokal, artinya saudara perempuan tetap tinggal didalam satu pekarangan sebagai sebuah keluarga luas uxorilokal. Sedangkan saudara laki-laki dari keluarga luas tersebut harus mencari istri diluar pekarangan tempat tinggal. Orang Rimba tidak diperbolehkan memanggil istri atau suami dengan namanya, demikian pula antara adik dengan kakak dan antara anak dengan orang tua. Mereka juga tidak menyebut nama orang yang sudah meninggal dunia. Sebenarnya menyebut nama seseorang dianggap tabu oleh orang Rimba. 

Sebelum menikah tidak ada tradisi berpacaran, gadis dan pemuda laki-laki saling menjaga jarak. Waktu seorang anak laki-laki beranjak remaja atau dewasa, sekitar umur 14-16 tahun, bila tertarik kepada seorang gadis, akan mengatakan hal tersebut kepada orang tuanya. Lalu orangtuanya akan menyampaikan keinginan anak mereka kepada orang tua si gadis dan bersama-sama memutuskan apakah mereka cocok. Pernikahan yang terjadi antara orang desa dan orang Rimba, sama dengan antara anak kelompok Rimba dan kelompok Rimba lain. Ada tiga jenis perkawinan, yaitu; pertama dengan mas kawin. Kedua, dengan prinsip pencurahan, yang artinya laki-laki sebelum menikah harus ikut mertua dan bekerja di ladang dan berburu untuk dia membuktikan dirinya. 

Ketiga, dengan pertukaran gadis, artinya gadis dari kelompok lain bisa ditukar dengan gadis dari kelompok tertentu sesuai dengan keinginan laki-laki dan gadis-gadis tersebut. Orang Rimba menganggap hubungan endogami keluarga inti (saudara seperut/suadara kandung) atau hubungan dengan orang satu darah, merupakan sesuatu yang tabu. Dengan kata lain, perbuatan sumbang (incest) dilarang, sama halnya dengan budaya Minangkabau. Mayoritas pernikahan adalah monogami, tetapi ada juga hubungan poligami atau lebih tepat poligini, yang kelihatannya untuk melestarikan asal suku. Sebenarnya, adalah alasan sosial lain, samping melindungi sumber anak adalah keinginan untuk memelihara janda atau perempuan mandul. Poligini jarang jadi di kelompok Temenggung Tarib. 

Umur harapan hidup laki-laki lebih pendek daripada harapan hidup perempuan dan perempuan selalu diutamakan, pada umumnya pekerjaan berbahaya dilakukan oleh laki-laki. Kaum kerabat merupakan sumber semua bantuan. Kelompok Temenggung Tarib terdiri dari 28 pesakan atau Kepala Keluarga (KK) dengan jumlah kira-kira 100 jiwa. Sebenarnya kelompok ini terbagi dua, yaitu di tempat Semapui yang berjumlah 9 KK dan di tempat dekat Paku Aji 19 KK. Temenggung Tarib sendiri pernah bercerai dan kawin lagi. Dia mempunyai 8 anak kandung, 3 jenton dan 5 betino, ditambah satu anak angkat betino. Penulis juga melakukan studi lapangan di kelompok Biring. Kelompok Biring terdiri dari 2 kelompok. 

Kelompok pertama, tinggal di hutan dibawah pemimpin Gera terdiri dari 6 KK saja. Kelompok kedua yang terdiri dari sekitar 12 KK sudah dibina, masuk Islam dan mendapat paket bantuan dari Depsos. Kebudayaan orang Rimba juga mengenal sistem pelapisan sosial. Temenggung adalah pemimpin utama dalam struktur kelompok., yang posisinya diwarisi sebagai hak lahir dari orang tua. Tetapi, jika pemimpin tidak sesuai atau disetujui oleh anggota kelompok, pemimpin bisa diganti melalui jalur “diskusi terbuka” atau forum yang bisa dilakukan dimana mana.

Menurut Temenggung Tarib, jumlah kelompok yang diwakili oleh Temenggung naik dari 3 kelompok pada tahun 1980an, sampai 6 kelompok yang di wakili oleh Temenggung di Bukit Duabelas dewasa ini. Dulu ada kelompok Makekal, Kejasun dan Air Hitam, dewasa ini di daerah Makekal adalah kelompok yang di Temenggungi oleh Temenggung Mukir dan Temenggung Merah, daerah Kejasung dengan kelompok yang dipimpin oleh Temenggung Mijah, Marid, Kecik dan Jelita dan di daerah Air Hitam adalah kelompok Tarib dan Biring. 

Banyak interaksi dan lintas pernikahan (cross weddings) terjadi antar kelompok, misalnya istri Temenggung Tarib punya darah Makakal dan orang kelompok Tarib nikah orang kelompok Biring. Hal tersebut mengakibatkan struktur dan komposisi organisasi sosial hampir sama dengan kelompok lain. Temenggung Biring setelah pindah keluar dan menganut agama Islam berganti nama dan sekarang dikenal dengan nama Pak Helmi. 

Sebenarnya anggota kelompok Biring serta anggota kelompok Tarib terpisah. Artinya, ada anggota yang tinggal di hutan secara tradisional dan ada anggota kelompok yang pindah keluar yang dapat bantuan dan merubah kepercayaan. Mungkin alasan memisahkan diri adalah faktor ekonomi atau faktor akulturasi dengan budaya pasca tradisional. 

Menurut mantan Temenggung Biring, pak Helmi, struktur masyarakat terdiri dari: Temenggung adalah kepala suku. Ketika dia absen dia diwakili wakil Temenggung. Seorang yang bergelar Depati bertugas menyelesaikan hal-hal yang terkait dengan hukum dan keadilan. Seorang yang bergelar Debalang yang tugasnya terkait dengan stabilitas keamanan masyarakat dan seorang yang bergelar Manti yang tugasnya memanggil masyarakat pada waktu tertentu. Pengulu adalah sebuah institusi sosial yang mengurus dan memimpin masyarakat orang Rimba. Ada juga yang bertugas seperti dukun, atau Tengganai dan Alim yang mengawasi dan melayani masyarakat dalam masalah spiritual dan di bidang kekeluargaan, nasehat adat dan sebagainya. 

Temenggung Tarib sangat aktif mengorganisir hubungan dengan dunia luar, supaya nasib orang Rimba diketahui. Misalnya dia bertemu dengan Presiden Megawati Sukarnoputri, menjadi pewakil orang Rimba dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara di Jakarta, 15-22 Maret 1999 dan wakil orang Rimba untuk Dewan Aliansi Daerah untuk Aliansi Masyarakat Daerah propinsi Jambi dari periode 1999 sampai sekarang. Orang Rimba yang tinggal di pinggir Bukit Duabelas berinteraksi cukup sering dengan orang desa. Kelihatannya orang Rimba yang tinggal lebih didalam Bukit Duabelas tidak berinteraksi sama sekali. Orang Rimba sebenarnya sering memerlukan bantuan dari orang Rimba yang bermukim di pinggir hutan. 

Mereka minta bantuan untuk mendapat barang dari pasar. Maksudnya, orang Rimba yang tinggal didalam Bukit Duabelas memesan barang yang dijual di pasar kepada orang Rimba di pinggir hutan, dan diambil oleh mereka setelah barangnya sudah didapat.

Posisi Jenang, atau penghubung antara orang Rimba dan pemerintah adalah warisan dari masa lampau, waktu belum sering ada hubungan dengan luar. Tugas pertamanya beli barang dan jual kepada pihak tertentu, serta jalur komunikasi dengan luar. Kelihatannya posisinya terkadang disalahgunakan, itu alasan saat Jenang meninggal posisinya tidak diisi lagi dan orang Rimba yang sudah cukup biasa dengan prosedur, melakukan perundingan sendiri dengan luar. 

4 Kesehatan 
Pada akhir abad ke-18, orang Kubu bertemu dengan orang luar, termasuk orang Barat. Penyakit menular cacar yang dibawa oleh pendatang masuk dan mencapai tingkat epidemi dan parah. Beberapa kelompok dimusnahkan dan jumlah orang Kubu turun drastis. Dengan latar belakang itu, pertama terkena penyakit menular (cacar), dan kedua, masalah perbudakan yang menyebabkan ketakutan dan trauma berhubungan sosial dengan orang luar. 

Kedua alasan tersebut, mendorong orang Rimba mencari obat penyembuhan dari tumbuhan hutan dan ditambah ilmu obat tradisional yang didapat dari nenek moyang. Beberapa tahun lalu, Temenggung Tarib dalam sebuah proyek kerjasama dengan universitas yang mengidentifikasikan lebih dari 130 tumbuhan di hutan yang mempunyai substansi yang nampaknya bermanfaat untuk mengatasi beberapa masalah kesehatan manusia. 

Walaupun tersedia obat alam, sekarang mereka juga berpendapat obat pasca tradisional juga bermanfaat. Misalnya, beberapa kali waktu penulis di Paku Aji orang Rimba diperiksa oleh dokter dan diberi atau mendapat obat apotek. Melahirkan anak adalah peristiwa penting bagi orang Rimba. Perempuan yang siap untuk melahirkan anak diberi minuman tradisional untuk memudahkan proses melahirkan. Sebetulnya, perempuan yang akan melahirkan ditolong oleh 2 orang. Seorang yang mendorong anak dari kandungan dan seorang yang menerima anak pada saat keluar dari kandungan. 

Walaupun demikian, aturan medis modern menolak melahirkan anak seperti yang digambarkan diatas, tetapi kelihatannya orang Rimba yang sudah cukup lama menggunakan metode ini, tidak membahayakan kesehatan si perempuan atau si anak. Waktu melakukan penelitian, kelihatannya orang Rimba sama sehatnya dengan orang dusun secara fisik. Kebanyakan masalah kesehatan orang Rimba adalah Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) yang mungkin disebabkan oleh kesukaan. Penyakit kulit juga diamati, yang kemungkinan disebabkan oleh tingkat kebersihan, luka, dan jamur (fungus) yang sulit diatasi di iklim tropis. Akibat pembukaan ladang menimbulkan masalah yaitu, jumlah nyamuk malaria meningkat pesat yang mengganggu kesehatan mereka. Sebagai akibat banyak beraktifitas yang berat ada gangguan otot dan 60 tulang. 

Penyakit lain yang mengganggu kesehatan diantaranya: demam, diare, sakit gigi, anemia, sakit kepala, cacingan, hepatitis dan lain-lain. Beberapa orang Rimba menderita penyakit kulit losong, yang memutihkan kulit. Mereka berpendapat bahwa penyakit itu merupakan denda dari dewinya. Sebetulnya, laki-laki yang menderita penyakit kulit losong dipaksa membayar denda sewaktu menikahi isterinya. Untunglah dewasa ini, salep dari apotek mengatasi penyakit kulit losong dalam waktu beberapa bulan dan penderita penyakit itu tidak bernoda lagi (Stigmatis). Dari sudut psikologi, terlihat bahwa tingkat gangguan jiwa atau stres banyak dialami oleh kelompok orang Rimba yang baru dibina. Perubahan pola kehidupan yang dialami menyebabkan trauma yang dampaknya bagi orang yang setengah tua atau lanjut usia, lebih sulit diatasi. Bagi orang Rimba yang masih muda lebih gampang merubah pola pikir dan cara hidupnya. Untunglah, Mereka yang mau kembali ke hutan, diperbolehkan. Ada aturan yang mengikat bahwa sebelum masuk atau kembali ke tempat tradisional, mereka tidak diperbolehkan menggunakan selama beberapa lama sabun atau mengkonsumsi makanan yang tidak sesuai tradisi orang Rimba. 

Kelihatannya bahwa, Orang Rimba tradisional yang tinggal di hutan jarang mengalami kesulitan psikologis. Menurut opini dari abad akhir yang menerangkan “Die Kubu erfreuen sich einer gute Gesundheid und werden in der Regel alt” atau menurut terjemahan penulis, "Orang 61 Kubu menikmati kesehatan yang baik dan pada umumnya mereka sampai umur yang cukup lanjut usia" (Andree 1874: 46). 5 Kepercayaan dan Kosmos orang Rimba Menurut salah satu mitos yang di ceritakan orang Rimba, mereka berasal dari Pagaruyung (Minangkabau) dan bersumpah bahwa mereka tidak berkampung, dan tidak makan makanan binatang yang dipelihara termasuk ayam, bebek, kambing dan sapi. Makanan lain yang haram atau tabu termasuk telur dan susu. 

Dengan pengalaman hidup di hutan dan pengalaman interaksi terbatas dengan dunia luar, kepercayaan dan kosmologi yang muncul dan unik serta berbeda dari pola pikir masyarakat umum. Penulis hanya beberapa minggu di tempat mereka. Informasi mengenai kosmologi orang Rimba diperoleh dari pengamatan sendiri, dari informan di Paku Aji dan dari bahan referensi termasuk referensi yang didapat dari karya Sandbukt yang melakukan studi lapangan di daerah Bukit Duabelas pada tahun 1980an. Menurut kosmologi orang Rimba waktu mereka pindah ke dusun atau orang Melayu menguasai hutan (imigrasi dan transmigrasi) dianggap sebagai pemusnahan dunia atau kiamat. Pola pikir orang Rimba terkait dengan kata dasar “layu” artinya, menjadi lesu, kehilangan tenaga atau seperti bunga yang sudah lewat masa mekarnya dan mati. Sepertinya sudah menjadi sampah. 

Ada awalan dalam bahasa orang Rimba “me-” yang berarti, memboroskan, melimpah (Sandbukt 1984, 85-98). Arti “Melayu" dalam bahasa Melayu tidak jelas. Juga harus dijelaskan ada hewan landak yang berjenis besar yaitu landoq (Hysterix brachyma), yang berjenis kecil, yaitu titil bonor (Atherurus macrourus) dan jenis ekor panjang, yaitu titil kelumbi (Trichys lipura). Menurut filosofi orang Melayu pada umumnya, kebanyakan daging dari hutan haram, kecuali satu-dua saja seperti landak. Bagi orang Rimba, landak termasuk beberapa jenis hewan lain yang tabu. Pada orang Rimba, makanan haram menurut orang Melayu adalah makanan halal bagi mereka. Sebaliknya, yang tabu untuk orang Rimba sering halal bagi orang Melayu. 

Dewa Silum-on dilihat sebagai kultivator pohon bambu dan juga dilihat sebagai orang “me-layu”, tetapi Dewa tersebut juga bisa dipanggil untuk melakukan hubungan dengan Dewa-dewi lain. Dewa Mato merego atau Harimau juga diklasifikasikan sebagai orang me-layu, yang cenderung mengharamkan manusia, termasuk orang Rimba. Saat orang Rimba mendengar bunyi burung suci, gading, mereka berhenti dan berdoa supaya mereka bisa memperoleh hal-hal yang baik. Konsep dunia mereka dibagi halo nio atau dunia disini (dunia nyata) dan halom Dewa atau dunia di atas (dunia setelah wafat). Kedua dunia tersebut dikontraskan dengan istilah kasar dan haluy, atau kasar dan halus yang diatur oleh Tuhan. 

Tuhannya tidak bisa dilihat seperti juga Dewa, tetapi bisa didengar sebagai bunyi alam yang keras seperti kicau burung. Dewa-dewi berada di hutan, di puncak bukit, tempat air dan di pinggir sungai. Dewa-dewi yang tinggal di hulu sungai dianggap sebagai Dewa yang bermanfaat, Dewa-dewi yang tinggal di hilir sungai, tempat kebanyakan orang Melayu tinggal, dianggap sebagai pembawa hal-hal yang jelek seperti penyakit cacar dan pedagang budak. Peristiwa seperti melahirkan anak, pernikahan, menyembuhkan seseorang, musim panen atau musim buah, merupakan peristiwa yang dirayakan dan sajian dibuat untuk menyenangkan Dewa-dewi. Pada waktu tertentu, mereka membangun sebuah balai atau balay, yang berukuran sampai 9 x 9 meter di tengah hutan dengan pondok-pondok sementara di sekitarnya. 

Balai itu disiapkan untuk salé, suatu ritual dengan nyanyian, tarian, berhiaskan dengan bunga-bunga, menghidangkan makanan, buahbuahan, daging, kecuali babi, ubi dan semacamnya. Hal itu dilakukan supaya hubungan dengan Dewa-dewi lebih baik dan bermanfaat bagi orang Rimba. Roh nenek moyang orang Rimba dianggap mengawasi kehidupan, dan dapat dihubungi pada saat upacara salé. Jiwa atau roh orang yang meninggal dunia berjalan ke alam baka. Orang yang belum mencapai kehidupan spiritual yang tinggi sebelum meninggal dunia berjalan ke tempat dekat Tuhan, hentew, (limbo). Pemimpin spiritual juga berjalan ke hentew, untuk meninggalkan sifat-sifat duniawi sebelum menuju ke dunia Tuhan serta menjadi malaikat yang bisa menjadi Dewa bila menyampai tingkat spiritual yang cukup tinggi. 

Salah satu peristiwa lain yang terkait dengan kosmosnya dikenal dengan istilah melangun atau berpindah-pindah. Peristiwa itu terjadi bila mereka merasa kurang puas atau bila ada orang yang meninggal dunia. Mereka berpindah ke tempat lain supaya bisa re-group lagi sesuai keinginan mereka serta menghilangkan kesedihan. Orang yang meninggal dunia ditaruh di dalam pondok, di tempat tidur dengan kelambu tertutup. Di dalam pondok lampu damar dinyalakan, dan disediakan beberapa hal, seperti makanan dan beberapa alat untuk berburu. Anjing milik orang yang meninggal diikat di dekatnya dan kelompok memberi tanda arah tempat baru, supaya orang yang bangun lagi dari kematiannya bisa ikut melangun bersama anjingnya. 

Sebelum orang luar, termasuk orang Rimba yang mau kembali ke tempat asli diijinkan oleh Temenggung, mereka perlu menyiapkan diri. Proses itu memakan waktu minimal selama 3 bulan. Orang yang mau masuk wajib membersihkan diri, artinya tidak boleh makan makanan yang tabu, seperti kambing, ayam, bebek, sapi dan telur atau memakai sabun yang harumnya akan menghina Dewa-dewi mereka. Menurut informan orang Rimba, mereka merasa takut melawan orang luar yang membawa senjata tajam. Alasannya, orang Rimba sudah mengalami kekalahan dan menyadari bahwa mereka diharamkan oleh orang luar. Persepsi orang Rimba terhadap kelanjutan penggunaan (sustainable) hutan sudah dimiliki sejak waktu lampau. 

 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 
1. Kesimpulan 
Di propinsi Jambi terdapat suku-suku yang belum berakulturasi dengan masyarakat pasca tradisional. Mereka dikenal dengan nama umum suku Kubu, dewasa ini namanya memiliki konotasi yang kurang baik. Di propinsi Jambi terdapat beberapa suku Kubu yang masing-masing memiliki mitos sejarah dan budaya yang berbeda. Walaupun mereka diklasifikasikan sebagai hunters and gatherers, lokasi dan lingkungannya berbeda. Mereka tinggal berpindah-pindah dari rawa dekat laut, dataran sampai kaki pegunungan dan pegunungan di propinsi Jambi. Mereka memakai pola hidup dan mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhannya. Kebudayaan mereka selalu dipengaruhi oleh perubahan pola pikir individu dan input perubahan dari luar, artinya budaya orang asing. Ada beberapa mitos serta sejarah tertulis mengenai asal usul orang Rimba termasuk orang Kubu. Sejarah tertulis pertama ditulis oleh orang Tiongkok, mereka berkunjung ke Sumatera bagian tengah dengan alasan belajar bahasa Sansekerta atau berniaga. 

Mereka membeli atau tukar barang di hilir sungai. Orang Tiongkok dan orang Barat mengangkut kapalnya dengan barang seperti, menyan, beberapa jenis getah, obat alami dan lain yang diperoleh dari hutan dan pegunungan. Di hulu sungai banyak pecahan porselin ditemukan yang berasal dari Tiongkok. Dari aktivitas tersebut diatas bisa disimpulkan bahwa sejak lama orang Rimba disampingsebagai hunters and gatherers juga terlibat perniagaan untuk memenuhi kebutuhannya, seperti alat dapur serta pisau dan tombak. Kelihatannya bahwa membayar upeti (tribute), ke kerajaan atau tukar barang kepada pengantar atau pedagang, supaya orang Terang dari hilir sungai tidak perlu masuk dan mengganggu orang Rimba di kawasan tradisional. 

Menurut pengamatan seorang eksplorir pertama dari Eropa, orang Rimba digambarkan sebagai orang yang tanpa dosa dan kebudayaannya yang unik. Memang kebudayaan dan kosmologi sangat berbeda. Walaupun kelihatannya struktur masyarakat sederhana, kebutuhan mereka dipenuhi setidaknya selama 6 sampai 10 generasi, atau sekitar 300 sampai 500 tahun, menurut sejarah lisan orang Rimba. Masyarakat Rimba menganut sistem kekerabatan matrilineal dan pologini. Matrilineal, artinya saudara perempuan tinggal bersama di kelompok orang tua dan saudara laki-laki harus ikut kelompok isterinya. Pologini artinya suaminya boleh mempunyai hubungan dengan beberapa istri Alasannya perempuan subur, mandul, dan janda harus dilindungi sebagai sumber hidup. Kelihatannya tanggung jawab laki-laki berat dan pada tingkat harapan hidup laki-laki lebih rendah dibandingkan dengan perempuan. 

Dampak perubahan zaman sekarang terhadap kebudayaan mereka sangat besar, dewasa ini lingkungan tradisionalnya semakin lama semakin sempit oleh penebangan dan perkebunan. Akan tetapi mereka tetap bertekad mengikuti aturan dan budaya yang diwariskan dari nenek moyangnya. Kelihatannya program transmigrasi, menebang hutan serta memburu fauna dan mengambil flora oleh orang Terang, berdampak negatif pada kebudayaan orang Rimba. Akan tetapi orang Rimba sudah beradoptasi supaya bertahan pada masa depan. Orang Rimba sudah mengambil getah pohon karet dan berencana kultivasi kelapa sawit, untuk menaikkan penghasilan. Kelihatannya mereka beradopsi kembar kultur. Menurut Motto Indonesia: “Bhinneka Tunggal Ika”, artinya berbeda beda tetapi tetap satu juga, membolehkan diversitas tetapi kelihatannya tidak selalu terjadi dan nilai-nilai mereka tidak selalu dihormati. 

2. Saran 
Orang Rimba mengalami kesulitan untuk bertahan dalam lingkungan yang muncul dari interaksi dengan para pendatang. Transmigran menggunakan tanah tradisional orang Rimba tanpa memperhatikan kelangsungan hidup orang Rimba yang selama ini nomaden, yang mencari sumber kehidupan dengan mengandalkan hutan. Kebudayaan orang Rimba kurang dihormati dan dihargai. Sepatutnya pendatang yang selama ini menggunakan tanah tradisional orang Rimba memberikan sesuatu ganti-rugi. Salah satu jalurnya adalah orang Rimba mendapat ilmu (knowledge) yang relevan dan sesuai dengan keinginannya untuk bertahan di lingkungan pasca tradisional. Artinya pendidikan yang sesuai dengan budaya nomaden. 

Di Indonesia sudah terdapat Kantor Pos Keliling dan Puskesmas Keliling, sebaiknya juga dibentuk Sekolah Keliling yang diperuntukkan orang nomaden dengan kurikulum terfokus mengenai kehidupan mereka di hutan dan materi pelajaran yang lebih sesuai dengan orang Rimba untuk mengatasi masalah hubungan dengan orang luar. Lebih cocok ilmu budaya orang Rimba, orang Batin Sembilan dan suku lain dimasukkan dalam pelajaran di pendidikan supaya seluruh kekayaan budaya Indonesia dihormati, sesuai dengan motto Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika”, atau berbeda beda tetapi tetap satu juga. Semua suku perlu habitat atau lingkungan yang cukup aman, tetapi kelihatannya tidak ada cukup input orang Rimba mengenai lingkungan mereka. Misalnya, sangat penting bagi pemerintah sebelum merubah lingkungan untuk mendapat nasihat dari orang Rimba mengenai tanah nasional. 

Melakukan interaksi itu adalah satu hal yang sangat positif. Kelihatannya dampak kerusakan habitat oleh orang Rimba tidak signifikan, tetapi dampak HPH, transmigrasi, pembangunan perkebunan besar perlu pengawasan yang lebih ketat. Suku tradisional perlu sertifikat otentik sama dengan yang diterima oleh perusahaan, maupun individu luar supaya tidak ada kesalahpahaman mengenai batasan tanah. Hak sipil, adat atau HAM belum cukup dihormati terhadap orang Rimba oleh orang luar. Orang Rimba jarang mendapat harga yang sesuai atau seimbang dengan harga pasar. Sebenarnya, memberi nasihat kepada orang Rimba mengenai harga pasar akan dihargai, supaya mereka tidak merasa ditipu. 

Orang Rimba ingin bekas tanah HPH dikembalikan, supaya tanah itu digunakan sebagai ganti rugi hutan yang ditebang liar, supaya bisa ditanami karet. Pada waktu dahulu, sudah jelas bahwa orang Kubu direndahkan oleh orang desa maupun kota. Mereka juga orang Indonesia, yang sering tidak dapat kartu sehat, walaupun mereka mempunyai hak sebagai warga Indonesia. Ini salah satu dari sekian banyak contoh kepada masyarakat luas. Orang Rimba membangun ilmu mengenai hutannya yang lebih maju dibandingkan dengan orang luar. Disini merupakan kesempatan untuk melakukan program kerjasama antara orang luar dengan orang Rimba. Menyalahgunakan kesempatan ini akan merugikan manusia selama-lamanya. 

DAFTAR PUSTAKA 
 Andaya, L. Y. 2001, The search for the 'origins' of melayu in Journal of Southeast Asian Studies, Oct p315 Singapore University Press, Singapore 

Andaya, W. A. 1993, To live as Brothers, University of Hawaii, Honolulu 

Andree, K. (ed.) 1874, Das Welt der Orang Kubus auf Sumatra, Globus, Zeitschrift fur Länder und Völkerkunde, Friedrich Bieweg und Zohn, Braunschweig 

Ahimsa-Putra, H S. 2001, Lévi-Strauss, mitos dan karya sastra, Galang Press, Yogyakarta

Alasuutari, P. 1996, Researching Culture, qualitative method and cultural studies, Sage, London 

Cassirer, C. 1987, Manusia dan Kebudayaan: Sebuah esei tentang manusia, PT Gramedia, Jakarta 

Damsté, H. T. 1901, Een Maleische Legende Omtrent De Afstammeling Der Vorsten Van Djambi En De Geschiedenis Der Oerang Koeboe – tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur twintigste deel nos 1-6 Kolff dan Co, Batavia 

Djoewisno, MS 1988, Portret Kehidupan Masyarakat Badui, SAS, Jakarata 

Dongen v. 1910, De Koeboes In De Onderafdeling Koeboestreken Der Residentie Palembang, article in Bijdrage tot de Taal -, Land-, en Volkenkunde (63:191-335) 

Dove M. 1997, Manusia dan Alang-Alang di Indonesia, Gadja Mada University Press, Yogyakarta 

Lee R, - R Lee and De Vore (eds) 1968, Man the Hunter, article What hunters do for a living, or, how to make out on scarce resources, Aldine, Chicago 

Spence H, -Etzioni-Halevy E dan Etzioni A (eds)- --, Social Change, article in The Evolution of Societies, Basic Books, New York 

Smelser, N., -Etzioni-Halevy E dan Etzioni A (eds)- --, Social Change, article in Towards a Theory of Modernization, Basic Books, New York  

Sagimun, 1985, Adat Istiadat Daerah Jambi, DPK, Jambi 

Forbes, H. O. 1885, “On the Kubus of Sumatra”, The Journal of the Anthropological Institute of Great Britain dan Ireland Vol XIV, Trűbner dan Co, London 

Geertz, H. 1981, Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia, Yayasan IlmuIlmu Sosial dan FIS-UI, Jakarta 

Geertz, C. 1992, Tafsir Kebudayaan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. 

____________. 1998, After the Fact, Dua Negeri, Empat Dasawarsa Satu Antropolog, LkiS, Yogyakarta. 

____________. 1977, Penjaja dan Raja, perubahan sosial dan modernisasi ekonomi di dua kota Indonesia, Gramedia, Jakarta 

Gennep van, A. 1960, The Rites of Passage, Routlege and Kegan Paul, London 

Hagen von, B. 1908, Die Orang Kubu auf Sumatra, Staedtischen Voelker Museum, Frankfurt am Main, Joaeph Baer und Co.

Ihromi, I. 1996, Antropologi Budaya, Yayasan Ober Indonesia, Jakarta 

Idris Djakfar, H. 2001, Menguak Tabir Prasejarah Di Alam Kerinci, Pemerintah Kabupaten Kerinci, Jambi 

Kuper, A. 1991, Anthropology and Anthropologists the modern British school, Routledge, New York 

Koentjaraningrat. 1985, Javanese Culture, Oxford University Press, Singapore 

______________. 1985, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Dian Rakyat, Jakarta 

______________.1990, Sejarah Teori Antropologi I, Universitas Indonesia, Jakarta 

______________.1990, Sejarah Teori Antropologi II, Universitas Indonesia, Jakarta 

McKinnon, E. 1992, Malayu Jambi Interlocal dan International Trade (11th to 13th century), Seminar Sejarah Malayu Kuno, Jambi 

Magnis-Suseno, F. 1977, Javanese Ethics and World-View, the Javanese idea of the good life, Gramedia, Jakarta 

Muntholib S. 1995, Orang Rimbo: Kajuan Struktural – Fungsional Masyarakat Terasing di Makekal, Provinsi Jambi. Disertasi, Universitas Padjadjaran Bandung Indonesia 

Muntholib, S. Teamleader 1999, Kubu Development Study, pusat penelitian IAIN Sulthan Taha Saifuddin, Jambi 

Persoon, G. A. 1989, The Kubu and the Outside World, The modification of Hunting and Gathering, article in Antropos 84 

Pelto, P. 1970, Anthropological Research, The Structure of Inquiry, Harper dan Row, New York 

Pranowo, B. 1988, Steriotip Etnik, Asimilasi, Intergrasi Sosial, Pustaka Grafika Kita, Jakarta 

Spradley, J. 1997, Metode Etnografi, Tiara Wacana, Yogyakarta 

Schoor, H. J., De mens is oneindig kneedbaar, article in De Volkskrant, 27 September 2003, reflex page 14, Amsterdam 

Sandbukt, Ø. 1984, Kubu Conceptions of Reality, Asian Folklore Studies Vol 43 (85-98) Scandinavian Institute of Asian Studies , Copenhagen 

______________. Ingold, Riches dan Woodburn(eds) 1988, Tributary tradition and relations of affinity and gender among the Sumatran Kubu article in Hunters and Gatherers 1, history, evolution and social change. University College, London 

______________. 1988, Resource Constraints and relations of appropriation amoung tropical forest foragers; The case of the Sumatran Kubu article in Reseach in Economic Anthropology, Volume 10 pages 117- 156, JAI Press 

______________. 1991, Precolonial Populations dan Polities in Lowland Sumatra. An Anthropological Perspective. Kabar Seberang No22 

Radcliff-Brown, A.R. 1980 , Struktur dan Fungsi dalam Masyarakat Primitif, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur

______________. 1922, The Andaman Islanders, Cambridge University Press, London 73 

Vlekke, B. 1947, Geschiedenis van den Indische Archipel, Romen, Roermond 

Waterschoot van der Gracht, W. A. 1915, Eenige bijzonderheden omtrent de oorspronkelijke orang koeboe in de omgeving van het Doeabelas Gebergte van Djambi, Tijdschrift van het Koninklijk Aardrijkskundig Genootschap, tweede serie deel XXII, Brill, Leiden 

Wellan, J.W.1925, Het Eiland Berhala Bij Djambi, Tijdschrift van het Koninklijk Aardrijkskundig Genootschap, derde serie deel XLII, Brill, Leiden 

Weintré, J. J. 2001, Krisis Ekonomi Masyarakat Indonesia pada Lapisan Bawah, Studi Lapangan Universitas Muhammadiyah dan ACICS, Malang 

Winter. 1901, Ook Onderdanen Onze Koningin (een bezoek aan de Tamme Koeboes), De Indische Gids. Staat en Letterkundig maandschrift 23ste jaargang, J H de Bussy, Amsterdam
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson