Ilmu Pengetahuan Dipandang Dari Sisi Filsafat Ilmu Dan Teori Kuantum

Ilmu Pengetahuan Dipandang Dari Sisi Filsafat Ilmu Dan Teori Kuantum 
Filsafat Ilmu
Kini terasa adanya kekaburan mengenai batas-batas antara (cabang) ilmu yang satu dengan yang lain, sehingga interde­pendensi dan interrelasi ilmu menjadi terasa pula. Oleh karena itu dibutuhkan suatu overview untuk meletakkan jaringan interaksi untuk saling menyapa menuju hakikat ilmu yang integral dan integratif. Kehadiran etik dan moral menjadi semakin dirasakan, sikap pandang bahwa ilmu adalah bebas nilai semakin diting­galkan. Tanggungjawab dan integritas seorang ilmuwan kini se­dang diuji.

Karena Immanuel Kant dan semenjak Immanuel Kant (1724-1804) yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat, maka semenjak itu pula re­fleksi filsafat mengenai pengetahuan manusia menjadi menarik perhatian. Lahirlah di abad ke-18 cabang filsafat yang disebut sebagai Filsafat Pengetahuan (Theory of Knowledge, atau Epistemologi) di mana logika, filsafat bahasa, matematika, metodologi, merupakan komponen-komponen pendukungnya. Melalui cabang filsafat ini diterangkan sumber dan sarana serta tata-cara untuk menggunakan sarana itu guna men­capai pengetahuan ilmiah. Diselidiki pula arti evidensi, syarat-sya­rat yang harus dipenuhi bagi apa yang disebut kebenaran ilmiah, serta batas-batas validitasnya.

Dengan mendasarkan diri atas sumber-sumber atau sarana tertentu seperti panca-indera, akal (Verstand), akal-budi (Vemunft) dan intuisi, berkembanglah berbagai macam school of thought, yaitu empirisme (John Locke), rasionallsme (Descartes), kritisis­me (Immanuel Kant), positivisme (Auguste Comte), fenomeno­logi (Husserl), konstruktivisme (Feyerabend), dan lain-lainnya yang muncul sebagai upaya pembaharuan.

Di dalam sejarah kita mengenal tiga macam epistemologi, yaitu 
1. Pertama dengan secara sadar dan berkelanjutan orang me­nempuh cara untuk menguasai serta merobah objek, melalui upaya-upaya konkrit dan secara langsung menuju ke arah kema­juan (progress, improvement) atau pun pembaharuan. Orang­orang Yunani Kuno telah merintis tradisi semacam ini, yang ke­mudian diwarisi serta dikembangkan oleh masyarakat Barat seba­gaimana terjadi seperti sekarang ini.

2. Kedua, dengan cara meng­asingkan diri secara fisik maupun rohani, sebagaimana nenek mo­yang kita dahulu secara praksis melakukannya. dengan bertapa di suatu tempat tertentu hingga saat merasa telah memperoleh wangsit yang dianggapnya sebagai petunjuk jalan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. 

3. Ketiga, dengan membungkus objek yang dijadikan sasaran, yaitu dengan memperindahnya ke dalam suatu ideal. Wujud daripadanya adalah nilai-nilai seni, sastra, mitologik yang bermuatan etik, moral ataupun agama. Dunia Timur dan ju­ga nenek moyang kita sangat mendambakan cara ini, sehingga dunia Timur diakui sebagai masyarakat yang kaya dalam pengua­saan perbendaharaan filsafat-hidup yang dalam. Bahkan Dr. Stut­terheim menilai dunia pewayangan kita sebagai gudang (arsenal) nilai-nilai budaya dan kesopan-saptunan yang tiada tandingannya.

Karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan a higher level of knowledge maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai ca­bang filsafat menempatkan objek sasarannya: I1mu (pengeta­huan). Flsafat Ilmu yang kini semakin disadari oleh masyarakat kita akan panting-mutlaknya untuk diarahkan tidak saja di tingkat Sl melainkan juga program Pasca Sarjana, adalah suatu cabang fil­safat yang sudah lama dikembangkan di dunia Barat semenjak abad ke-18, dengan sebutan Philosophy of Science.

Objek kedua cabang filsafat ini, di sana-sini sering bertum­pang tindih, namun perlu dibedakan aspek formalnya, dan jangan dikaburkan sebagaimana sementara penulis sering menunjukkan hal tersebut. Bidang garapan Filsafat Ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksis­tensi ilmu, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat ke­benaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagai­mana (yang) "Ada" itu. Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme, Paham dua­lisme, pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik yang pada akhirnya menentukan pendapat bahkan ke­yakinan kita masing-masing mengenai apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari. 

Epistemologi ilmu, meliputi sumber, sarana, dan tatacara rnengunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan (il­miah). Perbedaan mengenai pilihan landasan ontologik akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal, akal budi pengalaman, atau kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga dikenal adanya model-model epistemologik seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme atau rasionalisme kritis, positivisme, feno­menologi dengan berbagai variasinya. Ditunjukkan pula bagai­mana kelebihan dan kelemahan sesuatu model epistemologik be­serta tolok ukumya bagi pengetahuan (ilmiah) itu sepeti teori ko­herensi, korespondesi, pragmatis, dan teori intersubjektif. 

Aksiologi ilmu meliputi nilai-nilai (values) yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau ke­nyataan sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik-material. Lebih dari itu nilai-nilai juga ditun­jukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu conditio sine qua non yang wajib dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu.

Dalam perkembangannya Filsafat Ilmu juga mengarahkan pandangannya pada Strategi Pengembangan ilmu, yang me­nyangkut etik dan heuristik. Bahkan sampai pada dimensi ke­budayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau keman­faatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan umat ma­nusia. Strategi Pengembangan llmu, dewasa ini menganut tiga pendapat:
1. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa ilmu berkem­bang dalam otonomi dan tertutup, dalam arti pengaruh konteks dibatasi atau bahkan disingkirkan, Science for the sake of science only merupakan semboyan yang didengungkan.

2. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa ilmu lebur dalam konteks, ti­dak hanya memberikan refleksi, bahkan juga memberikan justi­fikasi. Dengan ini ilmu, cenderung memasuki kawasan untuk men­jadikan dirinya sebagai ideologi. 

3. Ketiga, pendapat yang menya­takan bahwa ilmu dan konteks saling meresapi dan saling mem­beri pengaruh untuk menjaga agar dirinya beserta temuan-temu­annya tidak tejebak dalam kemiskinan relevansi dan aktualitas­nya. Science for the sake human progress adalah pendiriannya

Strategi pembangunan ilmu pengetahuan (dan teknologi) tidak dapat dilepaskan dari garis politik pemba­ngunan nasional kita yang aktualitasnya seperti berikut ini:
1. Visi dan orientasi filsafatinya haruslah diletakkan pada nilai-nilai budaya bangsa.
2. Visi dan orientasi praksisnya haruslah diletakkan pada sifat­sifat teleologis, etis, dan integratif. 
a. Teleologis dalam arti bahwa ilmu pengetahuan sebagai asas pembangunan diarahkan untuk mencapai suatu tujuan (te­leos) yaitu ideal 
b. Etis dalam arti bahwa ilmu pengetahuan diterapkan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Bukan manusia yang direkayasa ilmu, tetapi sebaliknya. Sifat etis ini menuntut pene­rapan ilmu pengetahuan secara bertanggung jawab. 
c. Integratif dalam arti bahwa penerapan ilmu pengetahuan selain untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia atau kualitas SDM, juga dimaksudkan untuk meningkatkan struktur dan kultur masyarakat. Manusia tidak pernah terisolasi, manusia selalu berada dalam relasi dengan sesama dan lingkungan masyarakat­nya. Peningkatan kualitas SDM hanya akan mempunyai arti dan makna apabila terintegraslkan ke dalam masyarakat yang juga ditingkatkan struktur dan kulturnya.

Dalam pada itu, sebagaimana dampak pengaruh globalisasi baik positif maupun negatif yang tidak dapat dielakkan, maka ti­dak dapat dielakkan pula adanya urgensi untuk mengembangkan ilmu, tidak hanya atas dasar metodologi yang dibatasi oleh con­text of justification, melainkan juga atas dasar heuristik yang bergerak dalam context of discovery.

TEORI QUANTUM
Teori kuantum merupakan salah satu teori yang membalikkan cara berpikir kita tentang dunia fisik. Apa yang semula dianggap serba jelas dan pasti, ternyata pada level atom-subatom justru bertingkah tidak jelas dan sama sekali tidak dapat dipastikan. Sebelum teori kuantum, cara kita melihat dunia banyak dipengaruhi tradisi berpikir Cartesian. Tradisi ini melihat dunia kurang lebih seperti jam mekanis yang setiap gerakannya merupakan interaksi unsur-unsur pembentuknya yang serba pasti. Alam bekerja menurut hukum yang mekanis. Segala sesuatu yang ada di alam dapat dijelaskan dalam pengertian tatanan dan gerakan bagian-bagiannya.

Kerangka konseptual itu mendapatkan formulasi matematis dalam teori Isaac Newton. Ia berhasil mengembangkan kerangka konseptual mekanistik yang sangat lengkap. Dengan prosedur sistematis yang merupakan kombinasi metode empiris-induktif Bacon dan metode rasional-deduktif Descartes, Newton berhasil mengembangkan teori yang dapat menjelaskan rentang fenomena yang luas, sepert menjelaskan gerak planet, bulan, komet sampai rincian yang lebih kecil seperti gerak gelombang dan berbagai fenomena lain yang berkaitan dengan gravitasi, pendek kata realitas. Saking lengkapnya salah satu pengikutnya yang terbesar, Simon Laplace pernah mengatakan bahwa bila ada orang yang memiliki kemampuan matematika yang sangat luar biasa, seluruh mekanisme alam semesta ini akan dapat dipahami hanya dengan teori Newton. Meskipun terlalu hiperbolik, kurang lebih itulah pandangan yang umum pada wakru itu.

Maka, ketika teori kuantum lahir, muncul kehebohan yang sangat luar biasa, sehingga ilmuwan sekaliber Einstein dan Heisenberg terpaksa mengakui keterbatasan kerangka konseptual Cartesian di hadapan sifat alam yang temyata tidak pasti. Heisenberg mengatakan bahwa reaksi keras pada perkembangan fisika modern mutakhir hanya dapat dipahami bila orang menyadari bahwa bangunan besar fisika mulai retak; dan kegoyahan itu menyebabkan perasaan bahwa dasar-dasar ilmu menjadi rapuh. Keterkejutan yang sama juga melanda Einstein. Ia menyatakan rasa gamang yang sama: "Semua usaha menyesuaikan landasan teori fisika dengan pengetahuan baru itu sama sekali gagal. Rasanya seolah-olah tanah yang kita pijak runtuh dan tidak ada landasan yang dapat dijadikan sebagai tempat berpijak bangunan teori yang baru."

Memang, penelitian yang dilakukan di wilayah atom dan subatom membuat para ilmuwan berhadapan dengan realitas yang aneh, sama sekali tidak terduga, dan meruntuhkan kerangka konseptual mereka. Sedap kah mereka mengajukan pertanyaan pada alam melalui eksperimen mereka, alam akan menjawab dengan paradoks, dan semakin mereka berusaha memperjelas simasi im, semakin tajam paradoks yang mereka peroleh.

Pada titik tertentu, ternyata atom tersusun dari bidang-bidang ruang luas di mana partikel yang sangat kecil-elektron-bergerak mengelilingi nukleus (inti atom). Lebih jauh lagi, partikel subatom pun-proton, neutron, dan elektron-ternyata bukan semacam benda padat seperti yang dibayangkan fisika klasik. Partikel im merupakan entitas yang memiliki aspek ganda yang saling berkontradiksi, tergantung pada cara melihatnya, kadang tampak sebagai gelombang, yang artinya membentang dalam dimensi ruang yang luas, dan kadang sebagai partikel, yaitu entitas yang terbatas pada volume yang sangat kecil.

Retakan bangunan fisika klasik.
Perkembangan pertama fisika modern mencapai titik kulminasi pada 1687, dengan penerbitan buku Isaac Newton, Principia. Sejak saat itu, mekanika diterima sebagai disiplin ilmu yang mapan, mampu menjelaskan gerak partikel secara jelas dan deterministik. Tampaknya teori ini sangat lengkap, sehingga pada penghujung abad ke-18, pengikut Newton yang terbesar, Pierre Simon Laplace, mengutarakan pernyataannya yang terkenal bahwa orang yang memiliki kemampuan menghitung yang tidak terbatas dan pengetahuan yang lengkap tentang disposisi semua partikel, dengan persamaan Newton, dapat dengan cepat meramalkan masa depan dan menyingkapkan masa lalu semesta raya dengan tingkat kepastian yang sama. Sebenarnya klaim mekanistik yang agak menggetarkan ini terlalu berlebihan. Di satu sisi, manusia tidak mengalami diri sebagai mesin otomatis yang bekerja seperti jam. Di sisi lain, bila pun diterapkan, capaian-capaian Newton itu tidak merangkum seluruh aspek dunia fisik yang telah diketahui. Masih terdapat sejumlah persoalan yang belum selesai yang mengancam keyakinan pada kemandirian sintesis Newtonian yang total. Misalnya, masih ada persoalan tentang sifat dan asal usul hukum gravitasi universal yang sebenarnya, yang ditemukan Sir Isaac. Persoalan inilah yang membuat Newton sendiri mengurungkan niat untuk merumuskan hipotesis. Selain ini, masih ada persoalan sifat cahaya yang belum terpecahkan. Dalam kaitannya dengan persoalan ini, sampai derajat tertentu, Newton mcmbiarkan diri mengemukakan spekulasi. Dalam Opticks, is cenderung berpendapat bahwa cahaya terbentuk dari aliran partikel yang sangat kecil. Teori corpuscular ini sejalan dengan kecenderungan Newton untuk melihat dunia fisik dalam pengertian atomistik.

PELAJARAN DAN MAKNA
Gambaran proses fisik yang dibawa teori kuantum sangat berbeda dengan pengalaman hidup sehari-hari kita. Gambaran yang khas ini membuat kita bertanya-­tanya, apakah dunia kuantum memang "seperti itu" atau apakah itu sekadar cara bicara yang paling cocok, meskipun aneh, yang memungkinkan kita melakukan penghitungan. Mungkin, kita dapat memperoleh jawaban yang sepenuhnya selaras dengan hasil penelitian yang didasarkan pada penelitian laboratorium yang menggunakan aparatus pengukuran klasik, namun demikian sebaiknya kita tidak mempercayai teori semacam itu. Pada dasarnya, persoalan yang muncul adalah persoalan filsafat, yang jauh melampaui apa yang dapat diselesaikan hanya dengan penggunaan sumber daya ilmu itu sendiri. Pada kenyataannya, persoalan yang diangkat teori kuantum ini adalah persoalan istimewa­ bila bukan, persoalan yang sangat menantang dalam perdebatan filosofis mendasar antara kaum realis dan positivis.

Positivisme dan realisme
Kaum positivis melihat peran ilmu sebagai menuturkan data penelitian. Bila orang dapat memperkirakan secara akurat dan selaras dengan penjelasan perilaku apartus pengukuran, tugas ilmu itu terpenuhi. Pertanyaan ontologis (apa yang sebenarnya terjadi?) dipandang sebagai kemewahan yang tidak relevan dan sebaiknya diabaikan saja. Dunia kaum positives berisi pembacaan skala dan tanda pada lempeng fotografis.

Sudut pandang ini memiliki sejarah panjang. Kardinal Bellarrnine mendesak Galileo untuk menerima sistem Copernicus sebagai sekadar sarana yang paling sesuai untuk "menyelamatkan apa yang tampak", sebuah cara penghitungan yang baik untuk menuturkan posisi planet di langit. Galileo dilarang berpikir bahwa bumi sebenarnya mengelilingi matahari dan Copernicus sebaiknya dipandang menggunakan pengandaian itu sekadar sebagai alat pernghitungan yang berguna. Saran untuk menyelamatkan apa pang tampak ini sama sekali tidak menarik Galileo, atau pun para ilmuwan pada umumnya. Bila ilmu tidak lebih dari sekadar alat mengkorelasikan data, dan tidak menuturkan bagaimana dunia fisik yang sebenarnya, kiranya sulit menganggap upaya ilmiah itu pantas diperjuangkan dengan waktu, tenaga, dan bakat yang selama ini telah dicurahkan. Capaian-capaian upaya ilmiah itu akan tampak tidak sebanding dengan derajat keterlibatan yang sedalam itu. Selain itu, penjelasan paling wajar tentang kemampuan ilmu menyelamatkan apa yang tampak tidak dapat tidak pasti berkaitan dengan bagaimana dunia fisik yang sebenamya.

Namun demikian, tampaknya Niels Bohr sering bicara teori kuantum dari sudut pandang positivistik. Suatu ketika ia menulis pada seorang teman bahwa:

Dunia kuantum itu tidak ada. Yang ada hanyalah penjelasan fisika kuantum yang abstrak. Berpikir bahwa tugas fisika adalah menyingkap bagaimana adanya alam adalah pendapat yang keliru. Fisika berhubungan dengan apa yang dapat kita katakan tentang alam.

Perhatian Bohr pada peran aparatus pengukuran klasik dapat dilihat sebagai sebentuk dukungan pada sudut pandang yang positivistik. Kita menyaksikan pada akhir hayatnya ia menaruh perhatian besar pada persoalan­ persoalan filsafat, dengan menulis persoalan-persoalan tersebut secara ekstensif. Hasil karyanya sulit untuk ditafsirkan. Bakat filsafatnya tidak secemerlang bakatnya sebagai fisikawan. Di samping itu, is percaya dan menunjukkan adanya dua jenis kebenaran: kebenaran remeh dan kebenaran mendalam yang hanya dapat dibahasakan secara samar-samar. Tentu saja, karya tulisnya ditafsirkan secara beragam oleh para pengamat. Beberapa pengamat mengatakan karyanya memper­lihatkan sebentuk realisme moderat yang memang diyakini Bohr.

Menurut kaum realis, peran ilmu adalah menying­kapkan bagaimana sebenarnya dunia fisik. Ini adalah tugas yang tidak akan pernah selesai sepenuhnya. Sistem­-sistem fisika yang baru (yang dapat ditemukan pada energi tingkat tinggi, misalnya) akan selalu menjadi wilayah yang menunggu untuk diteliti, dan mungkin, wilayah itu akan terbukti memperlihatkan aspek-aspek perilaku yang sama sekali tidak terduga. Penilaian paling jujur atas capaian fisika paling banter hanyalah klaim apa yang tampak benar (vevzrimililude) (penjelasan yang akurat atas ruang lingkup fenomena yang luas tapi terbatas) dan bukan kebenaran absolut (penjelasan yang serba menyeluruh atas realitas fisik). Para fisikawan adalah pembuat peta dunia fisik, yang berusaha menemukan teori yang memadai untuk skala yang tertentu, tapi tidak dapat menjelaskan setiap aspek peristiwa pang terjadi). Pandangan filosofis ini melihat capaian dalam fisika sebagai upaya semakin memahami realitas aktual. Dunia kaum realis berisi elektron dan foton, kuark dan gluon.

Jalan tengah antara positivisme dan realisme di­tawarkan pragmatisme. Pragmatisme merupakan posisi filosofis yang mengakui fakta teknologis bahwa fisika dapat mengerjakan sesuatu, tapi tidak dapat melangkah sejauh pemikiran realis bahwa kita tahu bagaimana dunia yang sebenarnya. Seorang pragmatis mungkin akan berkata kita harus menerima ilmu dengan serius, tapi tidak sampai harus mempercayainya. Namun demikian, bagaimanapun juga penjelasan yang paling jelas tentang keberhasilan teknologis ilmu pasti didasarkan pada pemahaman yang tampak benar tentang bagaimana sebenarnya perilaku materi.

Sejumlah pembelaan realisme ilmiah dapat diajukan di sini. Pertama, seperti yang telah dibahas, realisme ilmiah menyediakan pemahaman dasar tentang keberhasilan prediktif fisika dan kesuksesan jangka panjangnya, serta tentang kerja yang dapat diandalkan dari peralatan-per­alatan teknologis yang dikonstruksi berdasarkan gambaran dunia fisik. Selain itu, realisme menyediakan penjelasan mengapa kerja keilmuan dianggap bernilai, mengundang orang-orang yang memiliki talenta besar untuk mencurahkan seluruh hidupnya, karena kerja keilmuan adalah aktivitas yang dapat menghasilkan pengetahuan aktual tentang realitas. Realisme selaras dengan keyakinan para ilmuwan bahwa mereka men­jalani proses penemuan dan bahwa mereka tidak hanya mempelajari bagaimana melakukan penghitungan dengan lebih baik, atau sekadar diam-diam saling sepakat tentang suatu cara pandang terhadap realitas. Keyakinan pada penemuan itu muncul ke permukaan dengan kuat dari pengalaman yang terus berulang tentang keftdak­terdugaan yang diperlihatkan alam di hadapan perkiraan awal para ilmuwan. Mungkin, para ilmuwan mendekati fenomena tertentu dengan gagasan-gagasan tertentu di benak mereka, tapi kemudian mendapatkan bahwa gagasan mereka dinegasi pola perilaku dunia fisik yang aktual. Alam memaksa kita mempertimbangkan kembali gagasan kita dan hal ini kadang membawa kita pada penemuan sifat yang sama sekali tidak terduga dari fakta yang sebenarnya terjadi. Tentu saja, penemuan teori kuantum merupakan contoh mencolok perombakan yang dibawa realitas fisik pada pola pikir para ilmuwan.

Bila teori kuantum memang menyingkapkan bagai­mana sebenarnya dunia subatomik, maka realitas dunia subatomik itu sangat berbeda dengan objektivitas naif yang kita gunakan untuk mendekati dunia objek sehari­-hari. Inilah poin yang sulit diterima Einstein. Ia sangat percaya pada realitas dunia fisik, tapi menolak teori kuantum konvensional karena is secara keliru ber­anggapan hanya yang objektif-lah yang nyata.

Realitas kuantum memang tidak jelas dan sulit dipastikan. Fisikawan dan filsuf Prancis, Bernard d'Espagnat mengatakan sifat realitas kuantum itu "separuh tertutup". Refleksi paling filosofis dari para eksponen teori kuantum berasal dari Werner Heisenberg. Ia merasa perlu meminjam konsep potentia-nya Aristotcles. Heisenberg menulis:

Dalam eksperimen peristiwa atom, kita berhadapan dengan hal-hal yang faktual, dengan fenomena yang sama nyatanya dengan fenomena hidup sehari-hari. Namun demikian, atom atau partikel-pardkel elementer tidak sangat nyata; atom atau partikel itu mempakan kemungkinan-kcmungkinan atau potensialitas, dan bukan benda atau fakta seperti pada umumnya.

Sebuah elektron tidak selalu mcmiliki posisi atau momentum yang pasti. Lebih tepatnya, elektron memiliki potensialitas untuk mcmiliki posisi atau momentum bila tindak pengukuran mengubah potensialitas itu menjadi aktualitas. Fakta ini membuat elektron menjadi "tidak senyata" kursi atau meja. Elektron mendiami realitas yang berbeda, yang khas dengan sifatnya. Bila kita ingin mempelajari sesuatu sebagaimana adanya, kita harus siap memahami sesuatu itu sebagaimana adanya, dengan segala ciri khasnva.

Mengapa hampir semua fisikawan ingin menekan­kan realitas elektron, sebagaimana realitas tersebut di­pahami? Hal tersebut karena asumsi bahwa terdapat elektron, dengan semua sifat kuantum yang dibawanya, yang dapat memberikan penjelasan tentang sejumlah besar pengalaman fisik realitas itu. Asumsi im menjelaskan sifat konduksi logam, sifat kimiawi atom, kemampuan kita menciptakan mikroskop elektron, dan lain scbagainya. Kedapatdipahami-lah (dan bukan objek­tivitas) yang menjadi kunci memahami realitas­keyakinan yang, kebetulan, sejalan dengan tradisi metafisik pang berasal dan pemikiran Thomas Aquinas.

Realitas yang "separuh tertutup", yang merupakan sifat elektron, direpresentasikan dalam pemikiran kita dengan fungsi gelombang yang diasosiasikan dengan elektron ini. Ketika seorang fisikawan berpikir tentang "apa yang dilakukan" elektron, yang ada di benak ilmuwan ini adalah fungsi gelombang. Jelas, bahwa fungsi gelombang tidak dapat diakses dengan tingkat kemudahan seperti akses pada kehadiran objektif bola biliar. Namun demikian, fungsi gelombang tidak berfungsi dalam pola pikir kuantum dengan cara yang sama dengan konsep positivistik, yakni sebagai sarana penghitungan. Fungsi gelombang yang mirip roh itu tampaknya dapat menjadi sarana pembawa potensialitas realitas kuantum yang "separuh tertutup" ini.

Kedapatdinalaran (reasonableness)
Bila memang studi fisika kuantum mengajarkan sesuatu, itu pasti bahwa dunia penuh dengan kejutan. Tidak seorang pun pernah membayangkan sebelumnya bahwa ada entitas yang dapat berperilaku, kadang sebagai gelombang dan kadang sebagai partikel. Kesadaran tersebut dipaksakan atas komunitas fisika oleh desakan pengalaman empiris aktual yang tidak kenal kompromi. Seperti yang dikatakan Bohr, dunia tidak hanya jauh lebih aneh daripada yang kita pikirkan, tapi seaneh yang dapat kita pikirkan. Bahkan logika kita pun harus dimodifikasi bila kita masuk ke dunia kuantum.

Mungkin, slogan para fisikawan kuantum adalah "Katakan `tidak' pada tirani akal sehat yang berlebihan". Semboyan yang membangkitkan semangat ini membawa pesan yang relevansinya jauh melampaui ranah kuantum itu sendiri. Slogan itu mengingatkan kita bahwa kemam­puan rasional melihat masa depan kita sangat terbatas. Pertanyaan instingtif yang harus ditanyakan para ilmuwan dalam kaitannya dengan usulan penjelasan aspek-aspek realitas, baik ini di wilayah keilmuan atau bukan, bukan lagi "apakah itu masuk akal?", seolah-olah kita telah tahu bentuk penalaran macam apa yang digunakan. Tetapi, pertanyaan yang tepat adalah "Apa yang membuat anda menyimpulkan demikian?" Pertanyaan yang kedua lebih bersifat terbuka daripada pertanyaan yang pertama, tidak menutup kemungkinan kejutan yang radikal, tapi menekankan bahwa pasti ada bukti yang mendukung kesimpulan tersebut.

Selain membuat konsepsi kita tentang apa yang masuk akal tetap cair, teori kuantum mengajak kita menyadari ketiadaan epistemologi universal, tidak ada cara otontatif yang dapat kita gunakan untuk mendapat­kan semua pengetahuan. Sementara kita dapat me­mahami dunia hidup sehari-hari dengan kejelasan Newtoniannya, kita hanya dapat memahami dunia kuantum bila kita bersedia menerima dunia tersebut dengan ketidakpastian Heisenbergianisme. Bersikeras pada penjelasan elektron objektif yang naif hanya akan membawa kita pada kegagalan. Ada semacam lingkaran epistemologis: cara kita memahami suatu entitas harus selaras dengan sifat entitas itu; sifat entitas itu dapat disingkap melalui apa yang kita ketahui tentang entitas itu. Kita tidak dapat mengelak dari lingkaran epistemologis yang rumit itu. Contoh teori kuantum mendorong kepercayaan bahwa lingkaran itu dapat dinalar dan mungkin dipahami.

Kriteria metafisik
Teori-teori fisika yang sukses pada akhirnya harus dapat memperlihatkan kemampuan menyesuaikan dengan fakta penelitian. Penyelamatan penampakan yang pokok merupakan capaian penting, meskipun mungkin terdapat periode kesulitan yang sifatnya sementara dalam proses menuju capaian ini (seperti yang dialami Dirac ketika pada awalnya ia berhadapan dengan perkiraan yang secara empiris menyesatkan tentang kondisi energi negatif elektron). Bila suatu teori terbukti dapat memper­kirakan atau memberikan penjelasan pada fenomena baru atau yang tidak terduga, secara khusus teori itu akan dipandang dapat dipertahankan dalam waktu lama (penjelasan sifat magnetik elektron dan perkiraannya tentang positron). Namun demikian, sukses empires ini tidak dengan sendirinya menjadi kriteria yang memadai untuk membuat komunitas ilmiah mengesahkan suatu teori. Pilihan antara penafsiran nondeterministik dan determinisfk atas teori kuantum tidak dapat ditentukan hanya berdasarkan alasan itu. Seperti halnya Bohr, Bohm juga menyelamatkan apa yang tampak. Persoalan yang muncul di antara mereka harus segera diselesaikan karena alasan yang lain. Pada akhirnya, keputusannya tergantung pada pertimbangan metafisik dan tidak semata ber­dasarkan pengukuran fisik.

Kriteria metafisik yang dipertimbangkan secara serius oleh komunitas ilmiah dalam menilai kelayakan suatu teori antara lain adalah:
(1) Ruang Lingkup. Suatu teori harus dapat menjelaskan ruang lingkup fenomena yang seluas mungkin. Pada kasus Bohr dan Bohm, Kriteria ini tidak menuntun pada penyelesaian masalah mereka, karena ekuivalensi empiris kedua rangkaian hasil penelitian itu (meskipun kita harus mencatat bahwa pemikiran Bohmian masih harus dilengkapi dengan argumen yang lebih baik untuk memperkuat keyakinannya bahwa kemungkinan­ kemungkinan awal dapat diperkirakan dengan tepat melalui penghitungan angka gelombang).

(2) Ekonomi. Semakin ringkas dan padat suatu teori, semakin menarik teori itu. Dalam hal ini, teori Bohm tampak kurang menarik, karena asumsinya tentang gelombang yang tersembunyi dan partikel yang dapat diamati. Tentu saja, bagi sejumlah ilmuwan penjamakan entitas ini merupakan aspek kurang menarik dari teori itu.

(3) Keanggunan. Kriteria ini merupakan konsep, yang dapat ditambah dengan sifat kewajaran, yang disebabkan keterbatasan peralatan. Inilah kriteria yang membuat para ilmuwan sangat kesulitan dengan gagasan Bohmian. Secara khusus, penggunaan penyesuaian persamaan Schrodinger, yang bersifat sementara tapi penting, menimbulkan kesan oportunis yang tidak menarik.

Di samping berada di luar wilayah fisika, kriteria­-kriteria itu merupakan kriteria yang penilaiannya bersifat pribadi. Pengujian kriteria itu tidak dapat direduksi menjadi protokol yang dapat diformalkan. Kriteria tersebut bukanlah pengujian yang penilaiannya dapat didelegasikan pada komputer. Mayoritas keputusan komunitas fisika kuantum yang mendukung Bohr dan menentang Bohm adalah contoh paradigma yang disebut filsuf ilmu, Michael Polanyi, sebagai peran ilmu "penge­tahuan personal". Polanyi, yang sebelum memutuskan menjadi filsuf ilmu adalah ahli kimia yang menonjol, mengatakan bahwa meskipun materi pokok ilmu adalah dunia fisik yang impersonal, aktivitas dalam kegiatan ilmiah tidak dapat dilepaskan dari pengalaman personal. Hal ini karena proses ilmiah itu melibatkan sejumlah tindak penilaian yang mensyaratkan pelaksanaan kemampuan-kemampuan khas yang hanya dapat diper­oleh orang yang menjalani proses pendidikan panjang di komunitas ilmuwan yang berusaha mencari kebenaran. Penilaian ini tidak hanya berkaitan dengan penerapan kriteria metafisik seperti yang telah dibahas. Pada level yang lebih membumi, penilaian itu meliputi kemampuan-kemampuan peneliti, seperti kemampuan menilai dan menekan efek-efek "latar"yang tidak relevan yang mungkin mencemari hasil penelitian. Tidak ada buku pedoman yang akan menunjukkan apa yang harus dilakukan peneliti. Ini adalah kemampuan yang hanya dapat dipelajari melalui pengalaman. Meminjam per­nyataan yang sering dikatakan Polanyi, kita semua "tahu lebih banyak daripada apa yang dapat kita katakan", apakah ini kemampuan mengendarai sepeda yang khas, keahlian mencicipi anggur, atau rancangan dan pelaksanaan penelitian fisik yang sukses.

Holisme
Meskipun merupakan fisika materi yang sangat kecil, fisika kuantum sama sekali tidak memberikan penjelasan realitas yang sepenuhnya atomistik, "realitas yang terpecah-pecah dan terpotong­ potong". Fisika tidak menentukan tapi membatasi metafisika (pandangan dunia yang lebih luas). Kurang lebih seperti fondasi rumah yang membatasi, dan bukan menentukan, kemungkinan bangunan yang akan dibangun di atasnya. Pemikiran filosofis tidak selalu secara memadai mem­perhitungkan penjelasan implikasi aspek-aspek holistik teori kuantum ini. Jelas bahwa implikasi penjelasan ter­sebut mendorong penerimaan kebutuhan pada penjelasan dunia alamiah yang dapat menjelaskan, baik bahwa blok-blok bangunannya memang terdiri dari partikel-partikel elementer maupun bahwa kombinasi blok-blok bangunan itu dapat memberikan gambaran realitas yang terintegrasi dan potongan-potongan gambar yang saling berdiri sendiri.

Peran pengamat
Ungkapan klise yang sering dikatakan adalah bahwa teori kuantum merupakan "hasil ciptaan pengamat". Penjelasan yang lebih cermat akan menjernihkan dan memperjelas klaim tersebut. Apa yang dapat dikatakan sangat tergantung pada pilihan penafsiran proses peng­ukuran yang digunakan. Ini merupakan persoalan pokok karena, di antara berbagai macam pengukuran, per­samaan Schrodinger mengatakan bahwa sistem kuantum berkembang dengan cara yang kontinu secara sempurna dan tetap. Selain itu, perlu diingat bahwa definisi umum pengukuran adalah pencatatan sinyal kondisi mikros­kopik yang tidak dapat berulang. Tindak pengukuran ini mungkin mensyaratkan pengamat, namun secara umum, pengukuran ini tidak membutuhkan pengamat.

Penafsiran kesadaranlah yang membuat peran pengamat yang sadar menjadi unik. Semua penafsiran yang lain hanya menaruh perhatian pada aspek proses fisik, tanpa mempedulikan kehadiran pribadi manusia. Bahkan dalam penafsiran kesadaran, peran pengamat terbatas pada pemilihan pilihan sadar apa yang akan diukur dan kemudian tanpa sadar menguatkan apa yang

sebenarnya terjadi. Aktualitas hanya dapat ditransfor­masikan di dalam batas-batas potensialitas kuantum yang telah ada sebelumnya. Mlenurut pandangan Neo-Kopenhagen, pengamat memilih aparatus apa yang akan digunakan dan dengan demikian, apa yang akan diukur, namun kemudian hasil pengukuran ditentukan di dalam apararus itu oleh proses fisik makroskopik. Bila, sebaliknya, yang bekerja adalah fisika baru, maka proses acaklah yang akan meng­hasilkan hasil yang aktual. Bila teori Bohmian benar, peran pengamat tidak lebih dan sekadar fungsi klasik mengamati hal yang tidak lagi perlu dipersoalkan. Di dunia penafsiran yang jamak ini, pengamatlah yang menjadi sasaran tindakan realitas fisik, digandakan untuk muncul di semua semesta paralel itu, di dalam ruang lingkup kemungkinan yang serba mungkin untuk terjadi di satu atau tempat lain.

Tidak ada faktor umum yang menyatukan berbagai penjelasan peran pengamat yang mungkin. Paling banter, kita hanya dapat bicara tentang "realitas yang dipengaruhi pengamat" dan menghindari bicara tentang "realitas yang diciptakan pengamat". Apa yang belum, dalam pengertian berpotensi mengada, tidak akan dapat dibuat menjadi ada.

Berkaitan dengan persoalan ini, kita juga harus mempersoalkan pernyataan, yang sering dikatakan paralel dengan konsep maya dalam permikiran Timur, bahwa dunia kuantum adalah "dunia ketidaknyataan (insubstantiality) yang melarut". Pernyataan tersebut tidak benar seluruhnya. Ada semacam "ketertutupan" kuantum yang telah kita bahas sebelumnya, bersama dengan peran yang diakui luas bahwa potensialitas ikut bermain dalam pemahaman kuantum. Meskipun demikian, masih ada aspek lain dunia kuantum yang juga perlu dipertimbangkan. Besaran fisik, seperti energi dan momentum, merupakan besaran kekal dalam teori kuantum, seperti halnya dalam fisika klasik. Selain itu, perlu diingat bahwa salah satu kemenangan awal mekanika kuantum adalah mampu menjelaskan stabilitas atom. Prinsip larangan kuantum mendukung (undergira) struktur tetap tabel periodik. Dengan demikian, dunia kuantum sama sekali tidak melarut ke dalam kehampaan.
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson