Contoh Proposal Tinjauan Pustaka
2.1 Konsep Strategi
Dalam Artikel Michail Porter berjudul “What is Strategy?” yang dimuat dalam Harvard Business Review (1996) Istilah strategi tidak asing dalam percakapan sehari-hari. Kita mempunyai pengertian tersendiri ketika membaca kata ini dalam sebuah tulisan atau mendengarnya dalam percakapan seseorang. Strategi sebagai penentu tujuan jangka panjang, program kerja dan alokasi sumberdaya.Dalam dimensi ini, strategi merupakan cara untuk secara eksplisit menentukan tujuan jangka panjang, sasaran-sasaran organisasi, program kerja yang dibutuhkan untu mencapai tujuan, dan alokasi sumberdaya yang diperlukan.
a. Strategi penentu aspek keunggulan organisasi, disini strategi dijadikan power yang efektif untuk menentukan segmentasi produk dan pasar. Segmentasi itu mencakup baik penentuan customer maupun pengenalan tentang competitor yang dihadapi.
b. Strategi sebagai penentu tugas manajerial. Dimensi ini memperlihatkan perspektif organisasi sebagai korporasi, bisnis, dan fungsi-fungsi. Ketiga perspektif ini harus dilihat secara holistik dengan tetap memperhatikan perbedaan tugas manajerial masing-masing perspektif.
c. Strategi sebagai pola pengambilan keputusan yang saling mengikat. Disini strategi dilihat sebagai pola pengambilan keputusan berdasarkan masa lampau yang mungkin ikut menentukan apa yang harus dilakukan dimasa depan.
d. Strategi sebagai upaya mengalokasikan sumberdaya untuk mengembangkan keunggulan berdaya saing yang berkesinambungan. Disini kompetensi inti terkait erat dengan sumberdaya organisasi.
2.2 Konsep Kelembagaan Kelompok Tani
Kelembagaan dan Organisasi adalah berbeda, kelembagaan adalah sesuatu yang berada diatas petani, sedangkan organisasi berada dilevel petani, sebagaimana yang dianut kalangan ahli “ekonomi Kelembagaan “. Menurut North (2005) institution adalah the rule of the game, sedangkan organization adalah “their enterpreneurs are the players”. Pendapat ini diperkuat oleh Robin (2005) yang berpendapat bahwa ”institution determine social organization”. Jadi kelembagaan merupakan wadah tempat-tempat organisasi hidup.
Upaya meningkatkan daya saing petani salah satunya adalah pengembangan kelembagaan pertanian, pemberdayaan, pemantapan dan peningkatan kemampuan kelompok-kelompok petani kecil (Kartasasmita, 1997 : 31-32).
Pada dasarnya pengertian kelompok tani tidak bisa dilepaskan dari pengertian kelompok itu sendiri. Menurut Sherif dan Sherif (Catrwright dan Zander, 1968) kelompok adalah suatu unit sosial yang terdiri dari sejumlah individu yang satu dengan individu lainnya, mempunyai hubungan saling tergantung sesuai dengan status dan perannya, mempunyai norma yang mengatur tingkah laku anggota kelompok itu.
Kelompok pada dasarnya adalah gabungan dua orang atau lebih yang berinteraksi untuk mencapai tujuan bersama, dimana interaksi yang terjadi bersifat relatif tetap dan mempunyai struktur tertentu. Menurut Polak (1976) maksud struktur sebuah kelompok adalah susunan dari pola antar hubungan intern yang agak stabil, yang terdiri atas : (1) suatu rangkaian status-status atau kedudukan-kedudukan para anggotanya yang hirarkhis, (2) peranan-peranan sosial yang berkaitan dengan status-status itu, (3) unsur-unsur kebudayaan (nilai-nilai, norma-norma, model) yang mempertahankan, membenarkan dan mengagungkan struktur.
Menurut Soekanto (1986) ada beberapa hal yang harus menjadi ciri kelompok, yaitu : setiap anggota kelompok harus sadar sebagai bagian dari kelompok, ada hubungan timbal balik antara sesama anggota dan terdapat suatu faktor yang dimiliki mbersama oleh para anggota sehingga hubungan diantara mereka semakin kuat.
Perry dan Perry (Rusdi, 1987) mengemukakan bahwa yang menjadi ciri-ciri suatu kelompok adalah : (1) ada interaksi antar anggota yang berlangsung secara kontinyu untuk waktu yang relatif lama, (2) setiap anggota menyadari bahwa ia merupakan bagian dari kelompok, dan sebaliknya kelompoknyapun mengakuinya sebagai anggota, (3) adanya kesepakatan bersama antar anggota mengenai norma-norma yang berlaku, nilai-nilai yang dianut dan tujuan atau kepentingan yang akan dicapai, (4) adanya struktur dalam kelompok, dalam arti para anggota mengetahui adanya hubungan-hubungan antar peranan, norma tugas, hak dan kewajiban yang semuanya tumbuh didalam kelompom itu.
Menurut Bappenas (2004), Dalam rangka pemberdayaan (penguatan) petani sebagai salah satu pelaku agribisnis hortikultura, maka perlu menumbuh kembangkan kelompok tani yang mandiri dan berwawasan agribisnis. Penguatan kelembagaan ditingkat petani meliputi kelompok tani, asosiasi, himpunan, koperasi, merupakan hal yang perlu segera dikembangkan secara dinamis guna meningkatkan profesionalisme dan posisi tawar petani.
1) Penumbuhan Kelompok tani
a) Menumbuhkan kelompok tani baik dari kelompok yang sudah ada ataupun dari petani dalam satu wilayah.
b) Membimbing dan mengembangkan kelompok berdasarkan kepentingan usaha tani kelompok.
c) Mengorganisasikan petani dalam kelompok.
d) Menjalin kerjasama antar individu petani didalam satu kelompok
2) Peningkatan Kemampuan Kelompok tani
a) Meningkatkan kemampuan kelompok tani melalui peningkatan kualitas dan produktivitas SDM, meningkatkan managerial dan kepemimpinan kelompok.
b) Mengembangkan fungsi kelompok tani menjadi kelompok usaha/ koperasi.
c) Mengembangkan organisasi kelompok ke bentuk yang lebih besar, seperti Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) atau Asosiasi.
3) Mengembangkan Kemitraan Usaha
a) Mengembangkan kemitraan usaha agribisnis antara kelompok on-farm dengan kelompok off-farm.
b) Meningkatkan nilai tambah ekonomis produk melalui kerjasama usaha antara pelaku agribisnis.
c) Memperhatikan prinsip-prinsip kemitraan adanya pelaku kemitraan (petani, kelompok tani, pengusaha, dan pemerintah; Adanya kebutuhan dan kepentingan bersama dari pelaku-pelaku agribisnis; Adanya kerjasama dan kemitraan yang seimbang dan saling menguntungkan.
Organisasi atau kelembagaan petani diakui sangat penting untuk pembangunan pertanian, baik di negara industri maupun negara berkembang seperti Indonesia. Namun kenyataan memperlihatkan kecenderungna masih lemahnya organisasi petani di negara berkembang, serta besarnya hambatan dalam menumbuhkan organisasi atau kelembagaan pada masyarakat petani. Intervensi yang terlalu besar dari pemerintah atau politisi seringkali menyebabkan organisasi itu bekerja bukan untuk petani tetapi melayani kepentingan pemerintah atau para pengelolanya (Vahn den Ban dan Hawkins, 1999: 265).
Bunch (1991: 270-271) menegaskan pembangunan lembaga tidak sekadar memindahkan kerangka organisasi tetapi juga hgarus memberikan “perasaan” tertentu, ciri-ciri masyarakat, perassan, keterampilan, sikap dan sikap moral merupakan darah dan daging suatu lembaga.
2.3 Konsep Pembangunan Pertanian
Pembangunan pertanian yang dilaksanakan adalah pembangunan pertanian yang berkelanjutan dengan mengimplementasikan beberapa elemen-elemen seperti peningkatan kualitas infrastruktur dan fasilitas ekonomi pedesaan, pelaksanaan reformasi agraria, peningkatan kesejahteraan masyarakat desa dan petani serta mengurangi kesenjangan pembangunan antar desa dan kota (Yudhoyono, 2006).
Terdapat 5 (lima) syarat pokok yang diperlukan untuk menggerakkan dan membangun pertanian yaitu (Mosher, 1987) :
1). Adanya pasar untuk hasil usaha tani.
2). Teknologi yang senatiasa berkembang
3). Tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal
4). Adanya perangsang produksi bagi petani
5). Tersedianya pengangkutan yang lancar dan kontinu.
Di samping lima syarat mutlak, ada lima syarat lagi yang adanya tidak mutlak tetapi kalau ada (dapat diadakan) benar-benar akan sangat memperlancar pembangunan pertanian. Yang termasuk sarana pelancar tersebut adalah pendidikan pembangunan, kredit produksi, kegiatan gotong royong petani, perbaikan dan perluasan tanah pertanian serta perencanaan nasional pembangunan pertanian. Syarat-syarat tersebut di atas dapat dikelompokkan kepada dua hal yaitu 1) Merupakan serangkaian kegiatan untuk menciptakan iklim yang merangsang, 2) Merupakan sarana-sarana fisik dan sosial yang merupakan alat (means) untuk mencapai tujuan pembangunan pertanian.
1) Perangsang pembangunan pertanian
a. Adanya rencana pembangunan yang memberi prioritas pada pembangunan pertanian.
b. Adanya kebijakan-kebijakan khusus seperti kebijakan harga minimum (floor price), subsidi harga pupuk, kegiatan penyuluhan yang intensif, perlombaan dengan hadiah-hadiah yang menarik pada petani teladan, pendidikan pembangunan pada petani-petani di desa baik mengenai teknik baru dalam pertanian maupun mengenai keterampilan lainnya yang membantu menciptakan iklim yang menggiatkan usaha pembangunan
2) Faktor-faktor fisik dan sosial
a. Tersedianya secara lokal kebutuhan akan sarana pertanian seperti bibit unggul, pupuk dan obat-obatan.
b. Adanya lembaga perbankan yang siap melayani dan meminjamkan kredit dengan persyaratan yang tidak berat.
c. Pengembangan usaha koperasi melalui peningkatan mutu pengurus koperasi yang ada dan pendidikan kader-kader baru, membantu dan membina sistem pembukuan dan lain-lain.
Mubyarto (1989) mengemukakan bahwa tidak semua model pembangunan pertanian bisa diimplementasikan oleh negara-negara yang sedang berkembang di dalam membangun pertaniannya. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi-kondisi kas dari negara yang bersangkutan seperti sosial-ekonomi, politik, tehnologi dan kebudayaan yang tidak memungkinkan penerapan model pembangunan pertanian dari negara luar tersebut secara keseluruhan. Namun, setidaknya (seperti Indonesia) bisa belajar dari Taiwan tentang “ cara-cara mengatur organisasi pertaniannya”, dari Jepang dalam “ merangsang kerja petani ”, dari Thailand dalam “ pembangunan jalan-jalan oleh negara “ dan dari India dalam “ kegiatan-kegiatan penelitiannya “.
2.4 Konsep Pengembangan Kawasan Agribisnis Hortikultura
Definisi yang lebih lengkap mengenai agribisnis diberikan oleh pencetus awal istilah agribisnis yaitu Davis dan Goldberg (1957) sebagai berikut: “Agribusiness is the sum total of all operations involved in the manufacture and distribution of farm supplies; production activities on the farm; and storage, processing and distribution of commodities and items made from them“. Definisi inilah yang sekarang sering digunakan dalam literatur manajemen agribisnis (Sonka dan Hudson 1989).
Agribisnis merupakan suatu sistem yang terdiri atas subsistem hulu, usahatani, hilir, dan penunjang. Menurut Saragih dalam Pasaribu (1999), batasan agribisnis adalah sistem yang utuh dan saling terkait di antara seluruh kegiatan ekonomi (yaitu subsistem agribisnis hulu, subsistem agribisnis budidaya, subsistem agribisnis hilir, susbistem jasa penunjang agribisnis) yang terkait langsung dengan pertanian.
Agribisnis diartikan sebagai sebuah sistem yang terdiri dari unsur-unsur kegiatan : (1) pra-panen, (2) panen, (3) pasca-panen dan (4) pemasaran. Sebagai sebuah sistem, kegiatan agribisnis tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, saling menyatu dan saling terkait. Terputusnya salah satu bagian akan menyebabkan timpangnya sistem tersebut. Sedangkan kegiatan agribisnis melingkupi sektor pertanian, termasuk perikanan dan kehutanan, serta bagian dari sektor industri. Sektor pertanian dan perpaduan antara kedua sektor inilah yang akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang baik secara nasional (Sumodiningrat, 2000).
Menurut Anonimous ( 2000 ), yang dimaksud dengan Sistem Agribisnis adalah rangkaian dari berbagai sub sistem penyelesaian prasarana dan sarana produksi, subsistem budidaya yang menghasilkan produk primer, sub sistem industri pengolahan (agroindustri), sub sistem pemasaran dan distribusi serta sub sistem jasa pendukung. Bagi Indoensia pengembangan usaha pertanian cukup prospektif karena memiliki kondisi yang menguntungkan antara lain; berada di daerah tropis yang subur, keadaan sarana prasarana cukup mendukung serta adanya kemauan politik pemerintah untuk menampilkan sektor pertanian sebagai prioritas dalam pembangunan. Tujuan pembangunan agribisnis adalah untuk meningkatkan daya saing komoditi pertanian, menumbuhkan usaha kecil menengah dan koperasi serta mengembangkan kemitraan usaha. Dengan visi mewujudkan kemampuan berkompetisi merespon dinamika perubahan pasar dan pesaing, serta mampu ikut meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Menurut Departemen Pertanian (2005), komoditas hortikultura merupakan sangat prospektif, baik untuk mengisi kebutuhan pasar domestik maupun internasional mengingat potensi permintaan pasarnya baik di dalam maupun di luar negeri besar dan nilai ekonominya yang tinggi. Dengan kemajuan perekonomian, pendidikan, peningkatan pemenuhan untuk kesehatan dan lingkungan menyebabkan permintaan produk hortikultura semakin meningkat. Disamping itu keragaman karakteristik lahan dan agroklimat serta sebaran wilayah yang luas memungkinkan wilayah Indonesia digunakan untuk pengembangan hortikultura tropis dan sub tropis. Fungsi utama tanaman hortikultura bukan hanya sebagai bahan pangan tetapi juga terkait dengan kesehatan dan lingkungan. Secara fungsi ini sederhana dapat dibagi menjadi 4 (empat) yaitu :
Fungsi Penyediaan Pangan, terutama dalam hal penyediaan vitamin, mineral, serat, energi dan senyawa lain untuk pemenuhan gizi.
Fungsi Ekonomi, pada umumnya komoditas hortikultura mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, sumber pendapatan cash petani, perdagangan, perindustrian, dan lain-lain.
Fungsi Kesehatan, bahwa buah dan sayur dan terutama biofarm maka dapat digunakan untuk mencegah dan mengobati penyakit-penyakit tidak menular.
Fungsi Sosial Budaya, sebagai unsur keindahan/kenyamanan lingkungan, upacara-upacara, pariwisata dan lain-lain.
Usaha kegiatan tanaman hortikultura adalah kegiatan yang menghasilkan produk tanaman sayuran, tanaman buah-buahan, tanaman hias dan tanaman obat-obatan dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual / ditukar atau memperoleh pendapatan / keuntungan atas resiko usaha ( Badan Pusat Statistik, 2003).
Pembangunan pertanian yang ada selama ini dengan pendekatan kewilayahan dan peningkatan partisipasi masyarakat daerah setempat, khususnya untuk program tanaman pangan dan hortikultura. Mendesaknya kepentingan pembangunan dan perancangan ulang program ini dapat dilihat dari beberapa segi. Pertama, program tanaman pangan dan hortikultura adalah merupakan tempat penyerapan tenaga kerja terbesar dalam sistem pembangunan nasional, sedemikian hingga setiap peningkatan pembangunan tanaman pangan dan hortikultura secara otomatis juga akan membantu mengatasi masalah pengangguran. Kedua, program tanaman pangan dan hortikultura masih merupakan penopang utama dalam sistem perekonomian nasional, khususnya dalam memproduksi makanan pokok, sehingga mengurangi ketergantungan pangan kepada dunia luar. Ketiga, harga produk tanaman pangan dan hortikultura memiliki bobot yang besar dalam penentuan indeks harga konsumen, sehingga sifat dinamikanya sangat berpengaruh dalam menekan laju inflasi, yang oleh karenanya pembangunan pertanian ini akan membantu memantapkan stabilitas ekonomi nasional. Keempat, Peningkatan pembangunan tanaman pangan dan hortikultura ini bisa berperan penting dalam mendorong sektor industri dan ekspor, serta mengurangi impor produk tanaman pangan dan hortikultura yang pada gilirannya akan memantapkan neraca pembayaran. Kenyataan betapa pentingnya pembangunan tanaman pangan dan hortikultura tersebut diatas telah disadari sepenuhnya oleh pemerintah yang melihat bahwa pemanfaatan sumberdaya dalam pembangunan sektor pertanian dimasa mendatang mutlak memerlukan reorientasi pemikiran dalam pelaksanaannya (Bappenas, 2004).
Pembangunan pertanian, khususnya subsektor tanaman pangan dan hortikultura, diarahkan pada pembangunan yang berkelanjutan yang tidak hanya bertumpu pada persoalan produksi semata-mata, tapi lebih berwawasan kepada peningkatan kesejahteraan dan mutu kehidupan masyarakat. Upaya ini dilakukan dengan prioritas utama kepada produksi, pelestarian sumberdaya dan swasembada pangan, serta agribisnis yang berwawasan lingkungan.
Suatu wilayah dapat dikembangkan menjadi suatu kawasan agribisnis karena :
1. Memiliki lahan yang sesuai untuk mengembangkan komoditi pertanian yang dapat dipasarkan yang disebut komoditi unggulan.
2. Memiliki pasar, baik itu pasar untuk hasil-hasil pertanian, pasar sarana pertanian maupun pasar jasa pelayanan.
3. Memiliki kelembagaan petani (kelompok, koperasi, assosiasi) yang dinamis dan terbuka padsa inovasi baru, yang harus berfungsi juga sebagai sentra pembelajaran dan pengembanagn agribisnis.
4. Memiliki Balai Penyulukan Pertanian yang berfungsi sebagai Klinik Konsultasi Agribisnsis (KKA) yaitu sebagai sumber informasi agribisnis, tempat percontohan usaha agribisnis dan pusat pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan usaha agribisnis yang lebih efisien dan menguntungkan (Deptan, 2002).
2.5 Konsep Pembangunan Pertanian
Pembangunan pertanian yang dilaksanakan adalah pembangunan pertanian yang berkelanjutan dengan mengimplementasikan beberapa elemen-elemen seperti peningkatan kualitas infrastruktur dan fasilitas ekonomi pedesaan, pelaksanaan reformasi agraria, peningkatan kesejahteraan masyarakat desa dan petani serta mengurangi kesenjangan pembangunan antar desa dan kota (Yudhoyono, 2006).
Terdapat 5 (lima) syarat pokok yang diperlukan untuk menggerakkan dan membangun pertanian yaitu (Mosher, 1987) :
1). Adanya pasar untuk hasil usaha tani.
2). Teknologi yang senatiasa berkembang
3). Tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal
4). Adanya perangsang produksi bagi petani
5). Tersedianya pengangkutan yang lancar dan kontinu.
Di samping lima syarat mutlak, ada lima syarat lagi yang adanya tidak mutlak tetapi kalau ada (dapat diadakan) benar-benar akan sangat memperlancar pembangunan pertanian. Yang termasuk sarana pelancar tersebut adalah pendidikan pembangunan, kredit produksi, kegiatan gotong royong petani, perbaikan dan perluasan tanah pertanian serta perencanaan nasional pembangunan pertanian. Syarat-syarat tersebut di atas dapat dikelompokkan kepada dua hal yaitu 1) Merupakan serangkaian kegiatan untuk menciptakan iklim yang merangsang, 2) Merupakan sarana-sarana fisik dan sosial yang merupakan alat (means) untuk mencapai tujuan pembangunan pertanian.
Perangsang pembangunan pertanian diantaranya : Adanya rencana pembangunan yang memberi prioritas pada pembangunan pertanian Adanya kebijakan-kebijakan khusus seperti kebijakan harga minimum (floor price), subsidi harga pupuk, kegiatan penyuluhan yang intensif, perlombaan dengan hadiah-hadiah yang menarik pada petani teladan, pendidikan pembangunan pada petani-petani di desa baik mengenai teknik baru dalam pertanian maupun mengenai keterampilan lainnya yang membantu menciptakan iklim yang menggiatkan usaha pembangunan
Faktor-faktor fisik dan sosial diantaranya : Tersedianya secara lokal kebutuhan akan sarana pertanian seperti bibit unggul, pupuk dan obat-obatan. Adanya lembaga perbankan yang siap melayani dan meminjamkan kredit dengan persyaratan yang tidak berat. Pengembangan usaha koperasi melalui peningkatan mutu pengurus koperasi yang ada dan pendidikan kader-kader baru, membantu dan membina sistem pembukuan dan lain-lain.
Mubyarto (1989) mengemukakan bahwa tidak semua model pembangunan pertanian bisa diimplementasikan oleh negara-negara yang sedang berkembang di dalam membangun pertaniannya. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi-kondisi kas dari negara yang bersangkutan seperti sosial-ekonomi, politik, teknologi dan kebudayaan yang tidak memungkinkan penerapan model pembangunan pertanian dari negara luar tersebut secara keseluruhan. Namun, setidaknya (seperti Indonesia) bisa belajar dari Taiwan tentang “ cara-cara mengatur organisasi pertaniannya”, dari Jepang dalam “ merangsang kerja petani ”, dari Thailand dalam “ pembangunan jalan-jalan oleh negara “ dan dari India dalam “ kegiatan-kegiatan penelitiannya “.
2.6 Konsep Pertanian Organik
Pertanian organik merupakan teknik pertanian yang tidak menggunakan bahan kimia (non sintetik), tetapi memakai bahan‑bahan organik (Pracaya, 2002). Secara sederhana, pertanian organik didefinisikan sebagai sistern pertanian yang mendorong kesehatan tanah dan tanaman melalui berbagai praktek seperti pendaur ulangan unsur hara dan bahan‑bahan organik, rotasi tanaman, pengolahan tanah yang tepat serta menghindarkan penggunaan pupuk dan pestisida sintetik (IASA dalam Dimyati, 2002). Sedangkan pengertian organik menurut FAOI adalah suatu sistem manajemen yang holistik yang mempromosikan dan meningkatkan pendekatan sistem pertanian berwawasan kesehatan lingkungan, termasuk biodiversitas, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah. Dalam pengertian ini ditekankan pada preferensi penerapan input of farm dalam manajemen dengan memperhatikan kondisi regional yang sesuai.
Pertanian organik didasarkan pada prinsip‑prinsip IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movement) 2005 : prinsip kesehatan, ekologi, keadilan dan pelindungan. Pertanian organik harus melestarikan dan meningkatkan kesehatan tanah, tanaman, hewan, manusia dan bumi sebagai satu kesatuan dan tak terpisahkan. Pertanian organik harus membangun hubungan yang mampu menjamin keadilan terkait dengan lingkungan dan kesempatan hidup bersama. Pertanian organik harus memberikan kualitas hidup yang baik bagi setiap orang yang terlibat, menyumbang bagi kedaulatan pangan dan pengurangan kemiskinan. Keadilan memedukan sistern produksi, dtstribusi dan perdagangan yang terbuka, adil dan mempertimbangkan biaya sosial dan lingkungan yang sebenamya.
Departemen Pertanian telah menyusun standar pertanian organik di Indonesia yang tertuang dalarn SNI 01‑6729‑2002 (BSN, 2002). SNI sistem pangan organik ini merupakan dasar bagi lembaga sertifikasi yang nantinya juga harus diakreditasi oleh Deptan melalui PSA (Pusat Standarisasi dan Akreditasi). SNI sistern pangan organik diadopsi dengan mengadopsi seluruh materi dalam dokumen standar CAC/GL 32 ‑ 1999, Guidelines for the production, processing, labeling and marketing of organikally produced food dan dimodifikasi sesuai dengan kondisi Indonesia. Bila dilihat kondisi petani di Indonesia, hampir tidak mungkin mereka mendapatkan label sertifikasi dad suatu lembaga sertifikasi asing maupun dalam negeri. Luasan lahan yang dimiliki serta biaya sertifikasi yang tidak terjangkau, menyebabkan mereka tidak mampu mensertifikasi lahannya. Satu‑satunya jalan adalah membentuk suatu kelompok petani organik dalam suatu kawasan yang luas yang memenuhi syarat sertifikasi, dengan demikian mereka dapat membiayai sertifikasi usaha tani mereka secara gotong royong. Namun ini pun masih sangat tergantung pada kontinuitas produksi mereka (Husnain et al., 2005).
Pertanian ramah lingkungan salah satunya adalah dengan menerapkan pertanian organik. Pertanian organik adalah sistem manajemen produksi terpadu yang menghindari penggunaan pupuk buatan, pestisida dan hasil rekayasa genetik, menekan pencemaran udara, tanah, dan air. Di sisi lain, Pertanian organik meningkatkan kesehatan dan produktivitas di antara flora, fauna dan manusia. Penggunaan masukan di luar pertanian yang menyebabkan degradasi sumber daya alam tidak dapat dikategorikan sebagai pertanian organik. Sebailknya, sistem pertanian yang tidak menggunakan masukan dari luar, namun mengikuti aturan pertanian organik dapat masuk dalam kelompok pertanian organik, meskipun agro-ekosistemnya tidak mendapat sertifikasi organik.
Pengelolaan pertanian yang berwawasan lingkungan dilakukan melalui pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal, lestari dan menguntungkan, sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk kepentingan generasi sekarang dan generasi mendatang.
Beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan adalah : 1) pemanfaatan sumberdaya alam untuk pengembangan agribisnis hortikultura (terutama lahan dan air) secara lestari sesuai dengan kemampuan dan daya dukung alam, 2) proses produksi atau kegiatan usahatani itu sendiri dilakukan secara akrab lingkungan, sehingga tidak menimbulkan dampak negatif dan eksternalitas pada masyarakat, 3) penanganan dan pengolahan hasil, distribusi dan pemasaran, serta pemanfaatan produk tidak menimbulkan masalah pada lingkungan (limbah dan sampah), 4) produk yang dihasilkan harus menguntungkan secara bisnis, memenuhi preferensi konsumen dan aman konsumsi. Keadaan dan perkembangan permintaan dan pasar merupakan acuan dalam agribisnis hortikultura ini.
Perkembangan pertanian organik di Indonesia masih sangat lambat. Namun minat bertani dengan sistem organik akhir-akhir ini sudah mulai tumbuh. Hal ini diharapkan akan berdampak positif terhadap pengembangan petanian organik yang waktu-waktu yang akan datang.
Kendala-kendala dalam pengembangan pertanian organik yang bersifat makro antara lain peluang pasar, penelitian dan pengembangan, dan kondisi iklim.
Sejak dua dasawarsa terakhir permintaan pasar dunia terhadap produk pertanian organik mulai tumbuh. Pertumbuhan pasar ini, khususnya di Eropa, merupakan salah satu pertimbangan utama dalam pemberlakuan Council Regulation (EEC) No. 2092/91 (EEC, 1991).
Disamping kendala pasar, program penelitian dan pengembangan yang mendukung ke arah pengembangan sistem pertanian organik di Indonesia pada komoditas lain masih belum banyak dilakukan, sehingga pengembangan agribisnis di sektor organik masih terbatas. Berdasarkan pengalaman pada komoditas kopi tersebut di atas, dukungan penelitian sangat diperlukan agar pengembangan agribisnis di sektor organik dapat berhasil dengan baik.
Kendala lainnya adalah Indonesia memiliki iklim tropika basah, bahkan di beberapa tempat tidak memiliki atau sedikit sekali periode kering. Kondisi iklim seperti ini menguntungkan untuk jasad penganggu, khususnya jamur. Intensitas serangan jasad penggangu yang tinggi akan lebih menyulitkan dalam praktek penerapan pertanian orgnik.
Kendala mikro yang dimaksud adalah kendala yang dijumpai di tingkat usaha tani, khususnya petani kecil. Minat produsen, pada pelaku usaha pertanian di Indonesia belum banyak yang beminat untuk betani organik. Minat pelaku usaha untuk mempraktekkan pertanian petanian organik ini akan meningkat apabila pasar domestik dapat ditumbuhkan. Pemahaman kurang, pemahaman para petani terhadap sistem pertanian organik masih sangat kurang. Pertanian organik sering dipahami sebatas pada praktek pertanian yang tidak menggunakan pupuk anorganik dan pestisida.
Pengertian tentang sistem pertanian organik yang benar perlu disebarluaskan pada masyarakat. Pengertian tersebut meliputi filosofi, tujuan, penerapan, perdagangan, dan lain-lain. Sebagai acuan untuk penyebarluasan pengertian pertanian organik sebaiknya menggunakan standar dasar yang dirumuskan oleh IFOAM. .
Organisasi di tingkat petani, Organisasi di tingkat petani merupakan kunci penting dalam budidaya pertanian organik. Hal ini terkait dengan masalah penyuluhan dan sertifikasi. Agribisnis produk organik di tingkat petani kecil akan sulit diwujudknan tanpa dukungan kelompok tani.
Di beberapa daerah organisasi petani sudah terbentuk dengan baik, tetapi sebaiknya di daerah-daerah lain organisasi pertani masih sulit diwujudkan.
Kemitraan petani dan pengusaha, upaya membentuk hubungan kemitraan antara petani dan pengusaha yang pernah dilakukan beberapa waktu yang lalu yang masih belum memberikan hasil seperti yang diharapkan petani.
2.6 Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Sry Wahyuni (2007) tentang Integrasi Kelembagaan di Tingkat Petani : Optimalisasi Kinerja Pembangunan Pertanian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa agar petani memiliki wadah untuk belajar, mengajar, bekerjasama antar petani maupun kelompok lain serta mencapai usaha ekonomi diwajibkan membentuik kelompok tani. Pembenahan yang dilakukan ditingkat petani adalah dengan mengintegrasikan kelompok tani dengan P3A.
Penelitian yang dilakukan oleh Kedi Suradisastra (2006) tentang Revitalisasi Kelembagaan Untuk Percepetan Pembangunan Sektor Pertanian dalam Otonomi Daerah. Tujuan penelitian ini adalah menganalisa kebijakan pertanian, sedangkan hasil penelitian menunjukkan bahwa Revitalisasi Kelembagaan memerlukan strategi yang luwes dan mampu memahami elemen-elemen kelembagaan formal dan non formal. Keberhasilan penerapan suatu lembaga pertanian tidak semata-mata diukur dengan nilai tambah ekonomi, namun harus mempertimbangkan peran dan fungsi nilai-nilai sosio kultural secara utuh.
Penelitian yang dilakukan oleh Saptana et. Al (2005) tentang Kebijakan Pengembangan Hortikultura di Kawasan Agribisnis Hortikultura Sumatera (KAHS). Hasil penlelitiannya menunjukkan bahwa sentralitas produksi sayuran di Sumatera terkonsentrasi tinggi terutama untuk komoditas sayuran spesifik dataran tinggi, seperti kubis dan kentang. Untuk dapat mengimplementasikan kebijakan yang seimbang antara produksi, pemasaran di KAHS maka perlu langkah kebijakan operasional diantaranya, penguatan kelembagaan, baik ditingkat petani, pemerintah maupun forum KAHS sendiri.
Penelitian yang dilakukan oleh Saptana et. Al (2005) tentang Mewujudkan Keunggulan Komparatif Menjadi Keunggulan Kompetitif Melalui Pengembangan Kemitraan Usaha Hortikultura. Hasil penlelitiannya menunjukkan bahwa lemahnya struktur, fungsi, dinamika dan konsolidasi kelompok tani sehingga menempatkan posisi perwakilan masyarakat petani lemah dalam kelembagaan kemitraan usaha.
Penelitian yang dilakukan oleh Saptana et. Al (2004) tentang Integrasi Kelembagaan Forum KASS dan Program Agropolitan Dalam Rangka Pengembangan Agribisnis Sayuran Sumatera. Hasil penlelitiannya menunjukkan bahwa masih lemahnya implementasi pengembangan agribisnis di Kawasan KASS baik melalui program forum KASS maupun program Agropolitan.
Penelitian yang dilakukan oleh Unang Yunasaf (2005) tentang Kepemimpinan Ketua Kelompok dan Hubungannya dengan Keefektifan Kelompok. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ketua kelompok dengan kepemimpinannya yang tergolong baik atau sangat tinggi tersebut akan memberikan peluang yang sangat besar untuk tercapainya keefektifan dikelompok yang dipimpinnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Saptana et. Al (2003) tentang Integrasi Kelembagaan Forum Kawasan Agribisnis sayuran Sumatera (KASS) dan Program Agropolitan Dalam Rangka Pengembangan Agribisnis Sayuran Sumatera. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa belum adanay keterpaduan antara program forum KASS dengan program Agropolitan, dan kinerja dari program pembangunan pertanian di Kawasan KASS masih mengalami hambatan.
Penelitian yang dilakukan oleh Ikin Sadikin et. Al (1999) tentang Kajian Kelembagaan Agribisnis Dalam Mendukung Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Berbasis Agroekosistem. Hasil Penelitiannya menunjukkan bahwa kelembagaan yang mampu tumbuh dan berkembang adalah kelembagaan komersial lokal yang berfungsi ganda.
Penelitian yang dilakukan oleh Sapja Anantanyu (2004) tentang Gambaran Kemiskinan Petani dan Alternatif Pemecahanny. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pengembangan SDM petani perlu didasarkan pemahaman terhadap petani secara utuh dan diarahkan pada kemandirian petani.
Penelitian yang dilakukan oleh Syahyuti (2007) tentang Kebijakan Pengembangan Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) Sebagai Kelembagaan Ekonomi di Pedesaan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa permasalahan kelembagaan masih banyak, maka pengembangan kelembagaan ditingkat lokal atau ditingkat komunitas perlu perhatian yang lebih. Gapoktan dibentuk hanya untuk menyukseskan kegiatan lain bukan untuk pengembangan kelembagaan itu sendiri.
Penelitian yang dilakukan oleh Kurnia Suci Indraningsih et, al (2005) tentang Strategi Pengembangan Model Kelembagaan Kemitraan Agribisnis Hortikultura di Bali. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa disamping menyimpan potensi yang besar, kelembagaan kemitraan agribisnis hortikultura di Propinsi Bali masih mempunyai kelemahan sehingga perlu upaya pembenahan dalam pembangunan kelembagaan.