Contoh Proposalan Peluang Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi Dan Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup

Peluang Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi Dan Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup 
1. Pendahuluan
Pendidikan sebagai sumber daya insani sepatutnyalah mendapat perhatian secara terus menerus dalam upaya peningkatan mutunya. Peningkatan mutu pendidikan berarti pula peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), oleh karena manusia merupakan produk pertama dan utama pendidikan itu sendiri. Peningkatan mutu SDM merupakan cerminan keberhasilan suatu bangsa dalam memajukan peradaban manusia. Kualitas pendidikan sangat menentukan survival suatu bangsa. Namun, di balik itu pendidikan merupakan suatu kegiatan rekayasa manusia. Oleh sebab itu, manusia juga yang menentukan keberhasilan pendidikan itu sendiri demi keberhasilan manusia itu juga.

Keabsahan dalam mempersoalkan pendidikan didukung oleh logika berpikir manusia. Manusia dalam hidupnya dilingkungi oleh perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang semakin canggih yang akan menuntut logika berpikir mesti diarahkan ke sana. Manusia sebagai pengguna sekaligus pengembang IPTEK mau tidak mau harus mampu beradaptasi, beraktivitas, dan berkreativitas di dalamnya. Dalam lingkup inilah tampak pentingnya pendidikan manusia dan masyarakat yang berkualitas. Kreativitas, kompetensi, dan kelebihan manusia dapat dikembangkan lewat pendidikan, dan pendidikan yang akan mampu meredam cacat dan kekurangan manusia itu sendiri.

Mungkin telah disadari oleh sebagian besar masyarakat, bahwa praktek-praktek pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari berbagai kendala. Kendala-kendala tersebut antara lain, penghargaan terhadap praktisi pendidikan terlalu rendah, kurang adanya pemberdayaan sumber daya praktisi dan teoretisi pendidikan, tuntutan kurikulum yang berlebihan, kurangnya penguasaan para praktisi pendidikan terhadap tugas yang menjadi tanggung jawabnya, kurang adanya sosialisasi evaluasi kurikulum yang berlaku selama ini, dan lemahnya sistem pengawasan. Kendala-kendala tersebut cenderung bermuara pada proses pendidikan dengan model esensialis dan behavioristik yang terimplementasikan dalam bentuk pengajaran linier yang fasif, model ceramah dan instruksi, mekanistik, drill, pembelajaran lebih berorientasi pada EBTANAS, dan interaksi yang kurang harmonis antara sekolah dan realitas sosial. Kendala yang terakhir ini mengindikasikan sistem pendidikan yang kurang baik, karena menurut Abdul Malik Fadjar (Kompas 15/9, 2001) bahwa sistem pendidikan yang baik harus mampu membangun sistem komunikasi antar semua unsur pendidikan.

Patut diduga bahwa, hasil-hasil pendidikan dengan model tersebut kurang mendukung pembangunan SDM dan IPTEK, kurang mendukung pembangunan SDM yang bermoral dan berketerampilan, tidak dapat mempertahankan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai yang akhirnya bermuara pada krisis ekonomi, tidak mampu bersaing dalam pasar kerja global, sulit dalam pencapaian demokratisasi pendidikan, kurang mengantisipasi lulusan sekolah menengah yang tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi untuk siap kerja.

Untuk mengatasi kesenjangan-kesenjangan tersebut, pemerintah melalui GBHN 1999 mengisyaratkan perlunya pembaharuan sistem pendidikan termasuk perubahan kurikulum. Untuk menjawab himbauan GBHN 1999 tersebut, maka diduga perubahan kurikulum yang cocok adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dengan gagasan pengembangan Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH). Perubahan kurikulum sangat penting dalam upaya memajukan pendidikan. Pentingnya perubahan tersebut sesuai dengan pernyataan Abdul Malik Fadjar bahwa dalam pendidikan, terdapat empat hal yang harus tampak (1) pertumbuhan, (2) perubahan, (3) pembaharuan, dan (4) kontinuitas (Kompas 15/9, 2001). Namun, perubahan tersebut hendaknya diikuti oleh pola pikir para praktisi dan teoretisi pendidikan terhadap konsep belajar. Costa (1999) menyatakan bahwa changing curriculum means changing your mind. Sedangkan gagasan pendidikan berorientasi kecakapan hidup didorong oleh alasan bahwa hanya 30% siswa lulusan SD, SLTP, dan SLTA yang akhirnya terus melanjutkan ke Perguruan Tinggi (Kompas 17/9, 2001). 

Perubahan kurikulum berarti pula perubahan menuju arah baru pembelajaran dan penilaian proses dan hasil belajar. Pembelajaran dan penilaian dalam KBK dan PKH hendaknya berorientasi pada pengembangan kompetensi dan kecakapan hidup seseorang. Oleh sebab itu, artikel ini memusatkan perhatian pada pembahasan tentang konsep-konsep kompetensi, kecakapan hidup, pembelajaran, penilaian, dan peluang implementasinya dalam sistem pendidikan Indonesia. Bahasan tersebut diharapkan pula dapat memprediksi kemungkinan hambatan-hambatan yang ada.

2. Pengertian Kompetensi 
Kompetensi sering disebut sebagai standar kompetensi, adalah kemampuan yang secara umum harus dikuasai oleh para lulusan. Dalam pembelajaran, definisi tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa penilaian hasil belajar haruslah memenuhi kompetensi dan standar tertentu. Kompetensi dan standar adalah dua konsep yang saling berkaitan satu sama lain. Keterkaitan antara kompetensi dan standar dapat dianalisis melalui definisi yang dikemukakan oleh Burke (1995), yaitu A competency is being to perform whole work roles to the standards expected in employment in real working environment, while standards are the means by which the model of competence is specified in the current occupational context. Berdasarkan definisi tersebut, terdapat tiga kriteria kompetensi, (1) dapat melaksanakan keseluruhan tugas-tugas dari suatu pekerjaan, (2) sesuai dengan standar yang diharapkan dalam pekerjaan, (3) dalam lingkungan pekerjaan yang sebenarnya. Sedangkan standar adalah suatu alat dengan mana suatu model kompetensi ditentukan dalam konteks pekerjaan yang sedang berjalan.

Spencer dan Spencer (1993) mengklasifikasi kompetensi menjadi tiga bagian, (1) karakteristik dasar, (2) hubungan sebab akibat, dan (3) acuan kriteria.

Karakteristik dasar adalah kompetensi sebagai bagian dari kepribadian individu dan dapat memprediksi prilaku dalam berbagai situasi dan tugas. Pernyataan ini sesuai dengan definisi yang dikemukakan oleh Marshall (dalam Santyasa, 2003(a)), A competency is an underlying characteristic of a person which enables them to deliver superior performance in a given job, role, or situation. Karakteristik dasar kompetensi dapat digolongkan atas lima tipe. (1) motif, yaitu dorongan individu secara konsisten dalam melakukan tindakan. Siswa yang memiliki motivasi berprestasi secara konsisten mengembangkan tujuan belajar yang menantang dan bertanggungjawab untuk mencapai tujuan serta mengharapkan umpan balik untuk upaya perbaikan. (2) Sifat/watak, yaitu karakteristik fisik dan respon yang konsisten terhadap situasi atau informasi tertentu. Sikap percaya diri, sanggup melakukan kontrol diri, dan memiliki ketahanan terhadap stress merupakan contoh-contoh tipe kompetensi ini. (3) Kosep diri, yaitu nilai-nilai sikap atau citra diri yang dimiliki oleh individu. Siwa yang memiliki kemampuan untuk percaya diri relatif lebih berhasil dalam belajar. (4) Pengetahuan, yaitu informasi yang dimiliki oleh individu. Pengetahuan termasuk kompetensi yang kompleks. (5) Keterampilan, yaitu kemampuan untuk melaksanakan tugas secara fisik atau mental.

Dari lima tipe karakteristik dasar kompetensi tersebut, kompetensi pengetahuan dan keterampilan dapat tampak lebih nyata, sedangkan konsep diri, sifat, dan motif bersifat lebih tersembunyi dan berada pada pusat keperibadian individu. Kompetensi pengetahuan dan keterampilan relatif lebih mudah dikembangkan dalam pembelajaran, sedangkan konsep diri, sifat, dan motif relatif lebih sulit dikembangkan sekaligus dinilai, sehingga memerlukan waktu relatif lebih lama dalam proses pengembangannya.

Hubungan sebab akibat adalah kompetensi yang menyebabkan dan memprediksi prilaku dan kinerja. Secara prosedural, kompetensi ini dimulai dengan tujuan tindakan hasil. Tujuan tercermin dari karakteristik pribadi, tindakan terefleksi lewat prilaku, dan hasil ditunjukkan melalui kinerja. Karakteristik pribadi terdiri dari motif, sifat/watak, konsep diri, dan pengetahuan. Kompetensi yang terdiri dari motif, sifat/watak, dan konsep diri dapat memprediksi tindakan prilaku yang pada akhirnya dapat memprediksi hasil kinerja. Kompetensi selalu mengandung maksud dan tujuan yang merupakan dorongan motif yang menyebabkan timbulnya tindakan untuk mencapai suatu hasil. Jadi prilaku tanpa tujuan tidak dapat didefinisikan sebagai kompetensi.

Acuan kriteria adalah kompetensi paling kritis yang dapat membedakan kompetensi dengan kinerja tinggi atau rata-rata. Kriteria yang digunakan dalam kompetensi adalah (1) kinerja superior, yaitu suatu kinerja yang secara statistik berada di atas kinerja rata-rata, (2) kinerja efektif, yaitu kinerja yang secara statistik berada pada tingkatan minimal yang dapat diterima.

Berdasarkan pengeratian dan model kompetensi tersebut, kompetensi dapat dibedakan menjadi dua kategori, (1) kompetensi dasar, yaitu karakteristik esensial seperti pengetahuan dan keterampilan dasar yang harus dimiliki lulusan agar dapat melaksanakan pekerjaan, (2) kompetensi pembeda, yaitu faktor-faktor yang membedakan individu dengan kinerja tinggi dan rendah. Misalnya, kompetensi siswa yang memiliki motivasi berprestasi tinggi dapat menetapkan target yang melampaui kinerja rata-rata yang ditetapkan.

Amstrong (1999) mendefinisikan kompeten (competence) dan kompetensi (competency) secara berbeda. Kompeten menyatakan apa yang dibutuhkan oleh individu untuk melakukan pekerjaan dengan baik, sedangkan kompetensi menyatakan bagaimana melakukan pekerjaan. Kompeten menekankan pada hasil dan fokus pada output, sedangkan kompetensi menekankan pada upaya dan fokus pada input dan process. Kompetensi mengacu pada dimensi prilaku yang mendukung kinerja. Amstrong membagi kompetensi menjadi tiga jenjang (1) Kompetensi inti, yaitu kompetensi yang diterapkan dalam pembelajaran secara keseluruhan. Kompetensi ini memiliki empat perspektif, (a) perspektif eksternal, bagaimana siswa memandang guru, (b) perspektif internal, apa yang harus diunggulkan, (c) perspektif belajar dan inovasi, berorientasi pada pembaharuan, dan (d) perspektif pengguna, bagaimana guru memandang siswa. (2) kompetensi generik, yaitu kompetensi yang memiliki nilai keberlanjutan, dan (3) kompetensi spesifik, yaitu kompetensi yang unik untuk fungsi dan aktivitas tertentu.

Konsep dan prinsip kompetensi tersebut selain memiliki implikasi pada siswa, juga berimplikasi pada sumber daya praktisi pendidikan. Para praktisi pendidikan diharapkan memiliki komitmen, motivasi, dan sikap yang positif dalam pelaksanaan pembelajaran dan penilaian. Kompetensi menuntut seseorang untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai serta karakteristik pribadi yang mendukung pekerjaan dengan kriteria unggul. Kriteria unggul tersebut sangat penting untuk dicapai oleh seseorang untuk menjadi manusia unggul. Manusia unggul adalah manusia yang memiliki kompetensi standar dan kecakapan hidup yang dibutuhkan untuk bisa bersaing dalam percaturan global. Kompetensi tersebut antara lain: berpikir kreatif-produktif, pengambilan keputusan, pemecahan masalah, belajar bagaimana belajar, kolaborasi, pengelolaan/pengendalian diri.

3. Kompetensi dan Kecakapan Hidup
Suatu kompetensi adalah suatu pernyataan tentang apa yang sepantasnya dipelajari dan dilakukan siswa secara terus menerus. Dari konsep ini tampak adanya pergeseran makna tentang pembelajaran dari semula penekanan pada isi kurikulum menuju pada bagaimana harus belajar dan bagaimana melakukannya. Dua indikator kompetensi tersebut memberikan panduan kepada seseorang untuk menjadi masyarakat belajar dan siap belajar sepanjang hayat. Proses belajar sepanjang hayat memerlukan dukungan pendidikan sepanjang hayat, yang dalam skala mikro paling tidak berwujud kurikulum yang mendukung terwujudnya belajar sepanjang hayat. Implementasi kurikulum yang dimaksud hendaknya memperhatikan dua dimensi, vertikal dan horizontal.

Dimensi vertikal kurikulum sekolah menyediakan kondisi yang link and match antar jenjang persekolahan dan kebutuhan untuk hidup di masa yang akan datang. Untuk tujuan inilah pendidikan hendaknya berorientasi pada kecakapan hidup yang memfasilitasi seseorang untuk menjadi manusia unggul. Reigeluth (1999) menyebut dimensi-dimensi kecakapan hidup terdiri dari: integritas, inisiatif, fleksibilitas, ketekunan, berorganisasi, humor, upaya, berpikir sehat, pemecahan masalah, tanggung jawab, kesabaran, persahabatan, sikap ingin tahu, kerja sama, kepedulian dan ketelitian, keberanian dan keteguhan hati, kebanggaan. Sedangkan dimensi horizontal kurikulum sekolah mengaitkan antara pengalaman belajar di sekolah dengan di luar sekolah. Rancangan dan implementasi kurikulum yang memperhatikan dua dimensi tersebut akan mengakrabkan peserta didik dengan berbagai sumber belajar yang ada di sekitarnya.

Kecakapan hidup adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problema hidup dan kehidupan dengan wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya (Depdiknas, 2002). Secara garis besar, kecakapan hidup memiliki dua dimensi, kecakapan hidup generik dan kecakapan hidup spesifik. Kecakapan hidup generik memiliki tiga subdimensi, kecakapan personal (integritas, inisiatif, ketekunan, upaya, humor, kesabaran, kebanggaan, kerja sama), kecakapan sosial (fleksibiltas, berorganisasi, kerja sama, kesabaran, persahabatan), dan kecakapan berpikir (ketekunan, upaya, berpikir sehat, pemecahan masalah, kerja sama). Sedangkan kecakapan spesifik memiliki dua subdimensi, kecakapan intelektual (rasa ingin tahu, upaya, ketekunan, pemecahan masalah, kerja sama) dan kecakapan vokasional (tanggung jawab, kepedulian dan ketelitian, keberanian dan keteguhan hati, kerja sama).

Prinsip pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup di SD dan SLTP diutamakan kecakapan hidup generik, di SMK diutamakan kecakapan hidup vokasional, dan di SMU diutamakan kecakapan hidup intelektual. Yang perlu diperhatikan, adalah bahwa kecakapan hidup generik merupakan fondasi dari kecakapan hidup lainnnya. Oleh sebab itu, sesungguhnya semua kecakapan hidup bisa dilaksanakan pada semua jenjang pendidikan asal diterapkan secara proporsional. 

Di tingkat TK, pendidikan dan pembelajaran sebaiknya secara penuh diarahkan pada kecakapan hidup dan interaksi sosial dan tidak mengaitkan dengan mata pelajaran. Hal ini karena anak-anak TK masih berada dalam tahap berpikir pra operasional yang belum mampu mengaitkan hubungan antar fakta yang abstrak. Sebaliknya, untuk jenjang S3, mahasiswa diyakini telah matang dan memiliki kecakapan hidup yang kuat, sehingga dalam studi fokus diarahkan pada pengembangan kompetensi pada bidang keahlian yang ditekuninya.

Untuk jenjang pendidikan SLTA, proporsi antara kecakapan hidup dan substasi mata pelajaran adalah sebanding. Pada jenjang pendidikan SD dan SLTP, pendidikan kecakapan hidup masih lebih mendominasi, sebaliknya pada jenjang pendidikan S1 dan S2, pendidikan bidang studi memiliki proporsi lebih banyak dibandingkan pendidikan kecakapan hidup.

Pendidikan sebagai suatu sistem, pada dasarnya merupakan sistematisasi dari proses perolehan pengalaman. Oleh karena itu, secara filosofis pendidikan diartikan sebagai proses perolehan pengalaman belajar yang diharapkan mampu mengembangkan potensi dan kompetensi yang dimiliki peserta didik, sehingga siap digunakan untuk memecahkan masalah kehidupan secara keilmuan. Untuk maksud tersebut, integrated learning dan contextual teaching and learning merupakan model pembelajaran yang mengarah pada kecakapan hidup. Di samping itu, realistic education juga merupakan upaya mengatur agar pendidikan sesuai dengan kebutuhan nyata peserta didik. Dalam implementasi KBK dan PKH diupayakan merefleksikan potensi lingkungan, kegiatan pendidikan mengacu pada paradigma learning for life dan school to work, dan yang terpenting adalah pembelajaran dan penilaian menggunakan prinsip learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together.

4. Dimensi Belajar, Strategi Pembelajaran, dan Penilaian
Kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kemampuan sekolah dalam mengelola proses pembelajaran, lebih-lebih pembelajaran di kelas yang berbasis kompetensi. Pembelajaran berbasis kompetensi dapat diartikan sebagai sistem pembelajaran di mana hasil belajar berupa komptensi-kompetensi yang harus dikuasai siswa yang bermanfaat untuk hidup mereka yang meliputi aspek-aspek: kognitif, afektif, dan psikomotor (Depdiknas, 2002). Dalam pembelajaran berbasis komptensi perlu ditentukan standar minimum kompetensi yang harus dikuasai siswa. Oleh sebab itu, komponen pokok pembelajaran berbasis kompetensi meliputi: (1) kompetensi yang akan dicapai, (2) strategi pencapaian untuk mencapai kompetensi, dan (3) sistem evaluasi atau pengujian yang digunakan untuk menentukan keberhasilan siswa untuk mencapai kompetensi dan kecakapan hidup. 

Dimensi Belajar. Berbicara tentang pembelajaran berbasis kompetensi dan kecakapan hidup, tidak terlepas dari dimensi belajar. Dimensi belajar merupakan suatu paradigma yang dapat dipakai oleh para pengajar, perancang kurikulum, dan perancang pembelajaran sebagai landasasan ilmiah dalam melakukan reformasi pendidikan, kurikulum, pembelajaran, dan penilaian hasil belajar. Menurut Marzano et al (1993), dimensi belajar terdiri dari lima tingkatan, (1) sikap dan persepsi yang positif terhadap belajar, (2) perolehan dan pengintegrasian pengetahuan baru, (3) perluasan dan penyempurnaan pengetahuan, (4) penggunaan pengetahuan secara bermakna, dan (5) pembiasakan berpikir efektif dan produktif.

Strategi untuk mengembangkan sikap dan persepsi yang positif terhadap belajar adalah dengan memberikan motivasi melalui model Keller (dalam Dick & Carey, 1990), yaitu: Attention—Relevance—Confidence—Satisfaction (ARCS). Attention dapat dibangkitkan dengan informasi atau pertanyaan-pertanyaan yang menantang, Relevance dapat dibangkitkan dengan menyajikan standar kompetensi dan standar kinerja yang relevan dengan kebutuhan hidup siswa, Confidence dapat dibangkitkan melalui informasi bahwa semua siswa akan mencapai harapan berhasil, Satisfaction dapat dimunculkan melalui konsep merayakan keberhasilan.

Strategi untuk mengembangkan perolehan dan pengeintegrasian pengetahuan baru terhadap pengetahuan awal siswa adalah dengan strategi konflik kognitif melalui demonstrasi, analogi, contoh-contoh tandingan, dan konfrontasi (Santyasa, 2002). Strategi-strategi tersebut berfungsi sebagai pengaktif pengetahuan awal siswa. Pengetahuan awal menduduki posisi sangat strategis dan sebagai springboard untuk mencapai pemahaman mendalam terhadap pengetahuan yang baru dan meningkatkan hasil belajar.

Strategi untuk memperluas dan menyempurnakan pengetahuan yang telah diperoleh adalah dengan penugasan yang memberi peluang pelibatan aktivitas mental seperti membandingkan, mengklasifikasi, membuat induksi, membuat deduksi, menganalisis kesalahan, mengidentifikasi hal-hal yang dapat mendukung pemecahan masalah, menganalisis perspektif, dan mengabstraksi.

Strategi untuk mengembangkan dimensi penggunaan pengatahuan secara bermakna adalah dengan menyajikan tugas-tugas atau masalah-masalah yang berkaitan dengan dunia nyata. Tugas-tugas atau masalah-masalah tersebut akan memberikan peluang kepada siswa untuk beraktivitas pengambilan keputusan, penyelidikan, eksperimen, pemecahan masalah, dan penemuan.

Strategi untuk mengembangkan pembiasaan berpikir efektif dan produktif adalah dengan penugasan yang menantang siswa untuk beraktivitas selalu mencari kejelasan, open minded, kritis terhadap pikiran sendiri, mengevaluasi tindakan sendiri, meningkatkan batas kompetensi.

Dari lima dimensi belajar tersebut, dimensi pertama dan kelima adalah dua dimensi yang terkait dan bersama-sama mempengaruhi proses belajar yang tertuang dalam dimensi 2, 3, dan 4. Kelima dimensi belajar tersebut saling berinteraksi dalam menentukan keefektifan belajar.

Strategi Pembelajaran. Pembelajaran yang dapat mengakomodasi pengembangan kompetensi dan kecakapan hidup adalah pembelajaran yang berorientasi pada dimensi belajar. Pembelajaran yang berorientasi pada dimensi belajar siswa dilandasi oleh paham konstruktivistik. Pembelajaran konstruktivistik yang bersifat kontekstual memberi peluang kepada siswa untuk selalu berpikir tingkat tinggi. Hal ini dsebabkan karena siswa harus dihadapkan pada masalah-masalah dunia nyata yang bersifat tidak jelas dan tidak berstruktur.

Paham konstruktivistik menyatakan bahwa setiap individu menciptakan makna dan pengertian baru berdasarkan interaksi antara apa yang telah dimiliki (pengetahuan awal) dengan fenomena, ide, atau infomasi baru. Pengetahuan awal yang dibawa siswa di dalam event belajar senantiasa mengalami pembaharuan, modifikasi, penambahan, penghalusan, revisi, bahkan perubahan sebagai akibat informasi baru. Pengkonstruksan pengetahuan merupakan hasil dari pemikiran dan interaksi siswa dalam suatu koteks sosial. Proses belajar tidak dapat dilepaskan dari tindakan (aktivitas) dan interaksi, karena persepsi dan aktivitas berjalan seiring secara dialogis. Pengetahuan tidak terpisahkan dari aktivitas di mana pengetahuan itu dikonstruksi dan dari komunitas belajar di mana pengetahuan didiseminasikan dan diterapkan. Jadi belajar dan pembelajaran merupakan proses penciptaan makna sebagai akibat aktivitas dan interaksi sosial.

Dalam interaksi sosial, terjadi proses pembimbingan dan negosiasi antara siswa dengan siswa lain dan antara siswa dengan guru dalam zone perkembangan terdekat siswa. Sebagai hasil dari interaksi sosial tersebut adalah siswa menjadi lebih mandiri dan terjadi transformasi pengetahuan—pengetahuan yang dipersepsi adalah sebagai sesuatu yang dinamis, diciptakan, dikaji, dianalisis, dan diinternalisasi oleh siswa.

Kerangka pemikiran konstruktivistik sangat menantang guru dan perancang pembelajaran untuk mampu menciptakan, mengkreasikan lingkungan belajar yang memungkinkan guru dan siswa berpartisipasi aktif dalam proses berpikir, mencari, menemukan, dan menciptakan makna berdasarkan pengalaman dan pengetahuan awal yang dimiliki siswa dalam suatu komunitas belajar. Melalui partisipasi aktif tersebut, guru dan siswa dapat memiliki rasa saling menghormati dan saling menghargai, bahwa setiap individu dapat belajar, menciptakan makna, dan berkreasi. Melalui pembelajaran konstruktivistik akan tercipta pula pembelajaran pekerti dan empati. Di sinilah sumber moral seseorang yang akhirnya akan melahirkan ketercapaian tujuan pendidikan memanusiakan manusia (plural humanis), bukan sekedar mencetak robot-robot bermoral sosiopat dan mati empati.

Secara operasional, pembelajaran konstruktivistik dapat dilakukan melalui berbagai model dan pendekatan pembelajaran, antara lain: model pembelajaran perubahan konseptual (Santyasa, 2002), pembelajaran berbasis model rekonstruksi pengetahuan kognitif (Santyasa, 2003(b)), model pembelajaran kooperatif (Santyasa, 2003(b)), Pembelajaran dengan pendekatan kontektual (Johnson, 2002), Pembelajaran Berbasis Masalah (Arend, et al., 2001), Pembelajaran dengan pendekatan Belajar Berbasis Masalah (Fogarty, 1997), Pembelajaran dengan Pendekatan Belajar Berbasis Projek (Fogarty, 1997). Apabila dikemas dengan baik dan benar, maka semua model pembelajaran tersebut akan memfasilitasi para siswa untuk mengembangkan kompetensi dan kecakapan hidup.

Apapun model dan pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran berbasis kompetensi dan kecakapan hidup, secara esensial masing-masing dalam operasionalisasinya sangat bertumpu pada sejumlah proposisi. 

Proposisi, bahwa belajar adalah pengkonstruksian hubungan dan fenomena alam (Brooks & Brooks, 1993). Bertolak dari proposisi tersebut, maka stratedi pembelajaran hendaknya mulai dengan membangkitkan siswa agar menanyakan pertanyaannya sendiri dan mencari jawabannya sendiri, dan menantang mereka untuk memahami kompleksitas dunia. Mengajar hendaknya lebih mengutamakan pendekatan “apa yang dikatakan siswa kepada guru tentang apa yang mereka kerjakan daripada guru mengatakan kepada mereka bagaimana mengerjakannya”. Pendekatan ini menghargai pandangan siswa dan berusaha mendorong siswa ke dalam cara yang telah direncanakan untuk mereka sendiri.

Proposisi, bahwa pengetahuan awal, prakonsepsi, dan miskonsepsi sangat menetukan efesiensi dan efektivitas proses dan hasil belajar (Duit, 1996). Implikasi untuk strategi pembelajaran adalah menggali pengetahuan awal, prakonsepsi, dan miskonsepsi para siswa sebelum proses pembelajaran; mendorong pemahaman pada siswa bahwa miskonsepsi dapat dialami oleh siapa saja dan kapan saja; pembelajaran dilakukan dengan mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan awal, prakonsepsi, dan miskonsepsi siswa; menyediakan konflik kognitif untuk membantu siswa mengubah miskonsepsinya menuju konsepsi ilmiah; menyediakan fakta-fakta bahwa pengetahuan ilmiah lebih ampuh ketimbang pengetahuan awal, prakonsepsi, dan miskonsepsi siswa.

Proposisi, bahwa belajar adalah proses pemaknaan informasi baru, penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi (Degeng, 2000; Herman et al, 1992). Implikasi untuk strategi pembelajaran adalah mendorong diskusi tentang pengetahuan baru, mendorong munculnya berpikir divergen, mendorong munculnya berbagai jenis aktivitas dan peluang debat antar siswa, lebih menekankan pada keterampilan berpikir kritis. 

Proposisi, bahwa kebebasan menjadi unsur yang esensial dalam lingkungan belajar (Degeng, 2000; Herman et al, 1992). Implikasi untuk strategi pembelajaran adalah menyediakan pilihan tugas yang beragam, menyediakan balikan bahwa siswa telah menguasai apa yang dipelajari, menyediakan waktu yang cukup bagi siswa dalam mengerjakan tugas, pemberian tes dengan waktu yang relatif fleksibel, menyediakan peluang bagi siswa untuk melakukan perbaikan, melibatkan pengalaman-pengalaman konkrit.

Proposisi, bahwa strategi belajar seseorang akan menentukan kualitas proses dan hasil belajarnya (Degeng, 2000; Herman et al, 1992). Implikasi untuk strategi pembelajaran adalah memberi kesempatan pada siswa untuk belajar sesuai dengan strateginya masing-masing, menyediakan peluang bagi siswa untuk melakukan evaluasi diri tentang proses dan hasil belajarnya.

Proposisi, bahwa motivasi dan upaya mempengaruhi belajar dan unjuk kerja (Degeng, 2000; Herman et al, 1992). Implikasi untuk strategi pembelajaran adalah memberikan motivasi kepada siswa dengan menyediakan tugas-tugas riil dalam kehidupan sehari-hari dan mengaitkan tugas tersebut dengan pengalaman pribadinya, mendorong siswa untuk memahami kaitan antara upaya yang dilakukan dengan hasil yang diperolehnya.

Proposisi, bahwa belajar pada dasarnya memiliki aspek sosial (Degeng, 2000; Herman et al, 1992). Implikasi untuk strategi pembelajaran dan evaluasi adalah menyediakan kesempatan kepada siswa untuk kerja kelompok, menerapkan teknik-teknik belajar kooperatif, menyediakan peluang bagi siswa untuk melakukan peran tersendiri dan bervariasi, evaluasi menyertakan upaya-upaya kelompok dan individual.

Asesmen (penilaian) Kinerja. Belajar menurut pandangan konstruktivistik memerlukan asesmen yang dapat mengases secara komprehensif bagaimana para siswa mengorganisasi, menstrukturisasi, dan menggunakan informasi yang dipelajari dalam konteks memecahkan masalah kompleks tentang belajar mereka di kelas atau di dunia nyata. Asesmen yang dimaksud harus terpadu dengan proses belajar dan pembelajaran. Asesmen hendaknya menguji proses dan juga hasil belajar. Asesmen tidak menyediakan hanya “satu jawaban benar”, tetapi menantang siswa untuk mengeksplorasi jawaban secara terbuka, memecahkan masalah kompleks, dan melukiskan kesimpulan sendiri. Untuk maksud tersebud, Herman et al (1992) menyebutkan enam karakteristik asesmen, yaitu: (1) menanyakan siswa untuk menampilkan, menciptakan, menghasilkan, atau mengerjakan sesuatu, (2) merangsang berpikir tingkat tinggi dan keterampilan-keterampilan pemecahan masalah, (3) menggunakan tugas-tugas yang mewakili aktivitas-aktivitas pembelajaran bermakna, (4) meminta penerapan-penerapan dunia nyata, (5) membuat penskoran dengan penggunaan pertimbangan secara manusiawi, (6) memerlukan pembelajaran dan peran asesmen baru untuk para guru.

Apabila para siswa mengkonstruksi informasi dalam belajar mereka dan menerapkan informasi tersebut dalam setting kelas, maka asesmen hendaknya menyediakan peluang kepada para siswa untuk mengkonstruksi respon-respon dan menerapkan belajar mereka dalam memecahkan masalah dan berpikir secara kompleks yang mencerminkan aktivitas-aktivitas kelas dalam cara-cara yang otentik (Santyasa, 2003(c)). Dengan kata lain, asesmen otentik sangat diperlukan dalam pembelajaran yang menerapkan kaedah-kaedah konstruktivisme. Asesmen otentik sangat relevan dan bermakna untuk para siswa, kontektual, penekanan pada keterampilan-keterampilan kompleks, menyediakan tidak hanya satu jawaban benar, memiliki standar umum, dan fleksibel. 

Asesmen kinerja merupakan salah satu contoh asesmen otentik. Asesmen kinerja sangat tepat digunakan dalam pembelajaran agar para siswa dapat “menunjukkan kemampuannya secara langsung, yaitu dengan menciptakan beberapa produk atau terlibat dalam beberapa aktivitas”. Asesmen kinerja berfokus pada kemamuan siswa untuk menerapkan pengetauan dalam kehidupan dunia nyata, sehingga menuntut kemampuan untuk membuat keputusan. Terdapat lima atribut kunci untuk asesmen kinerja, yaitu: (1) asesmen kinerja berfokus pada kegiatan belajar yang kompleks, (2) melibatkan keterampilan-keterampilan pemecahan masalah dan tatanan berpikir lebih tinggi, (3) memotivasi sejumlah respon aktif, (4) melibatkan tugas-tugas menantang yang memerlukan banyak langkah, dan (5) memerlukan pertimbangan waktu dan upaya yang harus dimiliki siswa.

Asesmen (penilaian) Portofolio. Pembelajaran holistik menuntut aktivitas-aktivitas kelas berpusat pada siswa, bermakna, dan otentik. Pembelajaran holistik menggunakan pengetahuan awal, pengalaman, dan minat siswa dalam pembelajaran dan mendukung pengkonstruksian pengetahuan secara aktif. Pembelajaran holistik juga menyediakan makna dan tujuan belajar dan melibatkan para siswa dalam interaksi sosial untuk mengembangkan pengetahuan (Santyasa, 2003(a).

Pembelajaran holistik menghendaki pergeseran peran siswa dari pengamat informasi secara fasif menjadi pebelajar aktif, sebagai pebelajar dan evaluator yang mandiri, sebagai pemikir kritis dan kreatif dalam menganalisis dan mengaplikasikan fakta-fakta, konsep-konsep, dan prinsip-prinsip yang dipelajari. Kemandirian, kemampuan berpikir kritis dan kreatif, dapat ditunjukkan oleh siswa melalui portofolio. Asesmen portofolio yang merupakan asesmen otentik adalah asesmen yang menitik beratkan pada upaya mengases aktivitas berpusat pada siswa, yang berarti bahwa siswa memiliki input tidak hanya ditujukan pada portofolio, tetapi juga pada bagaimana isi tersebut dievaluasi. Di samping itu, siswa juga memiliki peranan mengases kemajuan yang dialami sendiri. Dalam asesmen portofolio, guru dan siswa menjadi partner dalam perundingan isi portofolio dan interpretasinya hingga mencapai konsensus.

Satu aspek yang paling bermanfaat mengenai asesmen portofolio adalah bahwa dia mengaitkan asesmen dengan pembelajaran (Santyasa, 2003(c)). Kinerja siswa dievaluasi dalam hubungannya dengan sasaran pembelajaran, tujuan pembelajaran, dan aktivitas-aktivitas kelas. Isi portofolio hendaknya mewakili apakah siswa bekerja dalam kelas dan merefleksikan kemajuannya terhadap sasaran pembelajaran. Dalam hal ini, portofolio dapat dikatakan memiliki validitas isi, yaitu isi merefleksikan aktivitas-aktivitas otentik mengenai apa yang dipelajari siswa di kelas. Portofolio dapat meningkatkan kualitas pembelajaran dan berkontribusi terhadap perkembangan kognitif para siswa.

Asesmen portofolio menyediakan suatu perspektif multidimensi mengenai pertumbuhan para siswa selama waktu tertentu dan memberikan mereka kapasitas untuk memdemonstrasikan perbaikan dalam kinerja. Penggunaan portofolio dapat mendorong para siswa merefleksikan pekerjaan mereka sendiri, menganalisis kemajuan mereka, dan menata perbaikan. Portofolio dapat berupa contoh pekerjaan siswa, misalnya, benda-benda hasil karya lab, laporan praktikum lab, solusi masalah-masalah pelajaran, hasil karya elektronik, hasil karya sound system, dan lain-lain. Isi portofolio bergantung kepada pilihan siswa atau guru, tujuan portofolio, sasaran pembelajaran, yang semuanya dirancang sebagai bahan refleksi.

Portofolio sangat strategis dan dengan akurat dapat mencapai tujuan-tujuan pembelajaran secara efektif. Portofolio sangat tepat untuk mencapai tujuan-tujuan pembelajaran yang otentik. Dengan portofolio, para siswa dapat memahami dan dapat menerapkan konsep-konsep yang dipelajari, membuat hubungan antar konsep tersebut dengan pengalaman mereka sendiri di luar kelas, dan mendemonstrasikan pemahaman mereka dalam suatu format tertentu.

Kriteria Penilaian (Rubrik). Asesmen otentik tidak menggunakan kunci jawaban yang menentukan suatu kinerja benar atau salah. Asesmen otentik melakukan penilaian dengan menggunakan penilaian subyektif yang menyangkut mutu kinerja atau hasil kerja yang ditunjukkan oleh siswa. Untuk menghindari faktor subyektivitas yang terlalu besar, dan agar menjamin reliabilitas, keadilan, dan kebenaran penilaian, maka kriteria penilaian atau rubrik sangat dipandang perlu untuk dikembangkan dalam asesmen otentik. Rubrik digunakan sebagai pedoman penilaian kinerja siswa. Rubrik dapat membantu guru dalam menentukan tingkat ketercapaian kinerja yang diharapkan. Penyusunan rubrik hendaknya dilakukan bersama-sama para siswa, atau paling tidak rubrik hendaknya dikomunikasikan dengan para siswa. Tujuannya adalah, agar para siswa secara jelas dapat memahami dasar penilaian yang akan digunakan untuk mengukur kinerja mereka. Dengan rubrik, baik guru maupun siswa akan memiliki pedoman bersama yang cukup jelas tentang tuntutan kinerja yang diharapkan. Rubrik diharapkan pula dapat menjadi pendorong bagi siswa dalam proses pembelajaran.

Rubrik terdiri dari senarai, yaitu daftar kriteria yang diwujudkan dengan dimensi-dimensi kinerja, aspek-aspek atau konsep-konsep yang akan dinilai, dan gradasi mutu. Mutu yang ditata secara gradasi tersebut disusun mulai dari tingkat yang paling sempurna sampai dengan tingkat yang paling buruk. Rubrik dikenal pula sebagai penskoran rubrik yang terdiri dari beberapa komponen. Setiap komponen mengandung beberapa dimensi. Setiap dimensi hendaknya didefinisikan dan diberi contoh atau ilustrasi sehingga menjadi lebih jelas. Dimensi-dimensi kinerja tersebut selanjutnya ditentukan mutunya atau diberi peringkat (rating). Untuk mempermudah dalam pemberian peringkat, maka setiap kategori mutu sebaiknya diberi contoh-contoh kinerja. Unsur-unsur penskoran rubrik terdiri dari: (1) dimensi, yang akan dijadikan dasar menilai kinerja siswa, (2) definisi dan contoh, yang merupakan penjelasan setiap dimensi, (3) skala yang akan digunakan untuk menilai dimensi, dan (4) standar untuk setiap kategori kinerja.

5. Refleksi dan Peluang Implementasi
Konsep kompetensi dan kecakapan hidup sesungguhnya merupakan dua konsep yang terkait dan dapat dijadikan pedoman bagi setiap orang untuk menjadi masyarakat belajar sekaligus belajar sepanjang hayat. Ini merupakan tujuan pendidikan yang ideal. Tujuan pendidikan ideal bermuara pada upaya memanusiakan manusia. Persoalannya, adalah apakah kemasan KBK dan PKH sudah menyediakan wadah untuk tujuan tersebut ? Jawabnya mungkin ya, mungkin juga tidak. Jika implementasi KBK dan PKH masih menggunakan pola instruksi, jawaban terhadap pertanyaan tersebut cenderung tidak. Tetapi apabila ada komitmen menuju arah baru yaitu konstruksi, jawabnya ya.

Memilih satu di antara dua instruksi atau konstruksi sangatlah mudah, tetapi kita tidak bisa menutup mata, bahwa kita dihadapkan pada realitas yang masih cukup menyulitkan. Realitas tersebut, adalah kelas klasik, sumber daya yang belum memadai, komitmen bangsa memajukan pendidikan masih berada pada tataran wacana, insentif terhadap praktisi dan teoretisi pendidikan masih jauh dari memadai, kemungkinan sistem kapitalisme libral mencampuri urusan pendidikan secara tidak proporsional yang cenderung mematikan tujuan mulia pendidikan yang populis humanis, dan yang paling parah adalah pemanfaatan kalangan praktisi pendidikan hanya sebagai objek. Hal ini dalam jangka panjang menghambat KBK dan PKH untuk terimplementasikan secara optimal.

Katakanlah dalam jangka pendek KBK dan PKH dapat dilaksanakan, walaupun instruksi dan konstruksi mesti diramu. Inipun masih akan memunculkan berbagai persoalan yang akhirnya berdampak tidak mulusnya perjalanan pembelajaran di sekolah. Persoalan tersebut dapat diatasi apabila sekolah dan jajarannya memiliki komitmen dan pengakuan yang utuh terhadap praktisi dan teoretisi pendidikan sebagai manusia yang berintensional dan bereksistensional. Caranya adalah mensosialisasikan secara detail dan memberikan fasilitas kepada mereka untuk meningkatkan kualifikasi sumber dayanya, misalnya melalui pelatihan yang intensif dan komprehensif, dengan catatan praktisi dan teoretisi pendidikan bekerja secara bersinergi menjadi objek sekaligus subjek. Inilah yang dimaksudkan sebagai peluang implementasi. Sepanjang praktisi dan teoretisi pendidikan diperlakukan hanya sebagai objek dalam mewacanakan KBK dan PKH, lebih-lebih pelibatan praktisi yang justru berada di ujung tombak hanya menyentuh pada tataran sampling yang amat sangat terbatas, rasa pisimis dari berbagai kalangan terhadap kemungkinan keberhasilan pelaksanan KBK dan PKH tampaknya akan menjadi kenyataan. 

Upaya dan kemampuan melakukan diversifikasi terhadap KBK dan PKH memungkinkan kurikulum tersebut akan menjadi fleksibel (Kompas, 30/4, 2002). Hal ini merupakan peluang pula untuk terimplementasikannya KBK dan PKH secara luas. Diversifikasi tersebut meliputi akomodasi terhadap keberagaman, penciptaan lingkungan belajar yang menyenangkan, pengurangan substansi kurikulum, akomodasi kebebasan daerah dan sekolah untuk menentukan metode dan strategi pembelajaran, pemberdayaan sekolah dan masyarakat. Tampak bahwa, sumber daya di bidang pembelajaran memiliki porsi paling banyak dalam melakukan diversifikasi kurikulum. Hal inilah yang menjadikan peluang tersebut sekaligus menjadi hambatan dalam implementasi KBK dan PKH.

6. Penutup
Pendidikan memiliki tujuan memanusiakan manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut, pembelajaran seyogyanya diarahkan untuk mengembangkan potensi, kompetensi, dan kecakapan hidup seseorang, sehinga dia siap memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan di dunia nyata.

Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH) memiliki peluang sekaligus hambatan dalam implementasinya di sekolah. Peluangnya, bahwa konsep KBK dan PKH sesungguhnya telah mengakar dalam budaya Indonesia. Di samping itu, secara kuantitatif sumber daya pendukung telah memenuhi syarat. KBK dan PKH yang kemungkinan dapat dikemas menjadi fleksibel juga merupakan peluang untuk mengimplementasikannya dalam sistem pendidikan Indonesia.

Hambatannya, bahwa komitmen bangsa untuk memajukan pendidikan masih berada pada tataran wacana, dukungan moral dan finansial pemerintah terhadap pendidikan relatif rendah, pengakuan akademis terhadap teoretisi dan praktisi pendidikan belum memadai. Hambatan yang paling dominan adalah rendahnya kualitas sumber daya praktisi pendidikan dalam mengemas pembelajaran dan penilaian proses dan hasil belajar yang sesuai dengan tuntutan KBK dan PKH.

DAFTAR PUSTAKA
Amstrong, M. 1999. The art of HRD: Managing people, Volume 4. London: Kogan Page.
Arends, R. I., Wenitzky, N. E., & Tannenboum, M. D. 2001. Exploring teaching: An introduction to education. New York: McGraw-Hill Companies.
Brooks, J.G. & Martin G. Brooks. 1993. In search of understanding: The case for constructivist classrooms. Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development.
Burke, J. 1995. Competency based education and training. London: The Falmer Press.
Costa, A. L., (Ed.). 1999. Teaching for intelligence. Arlington Heights, Illinois: Skylight Training and Publishing, Inc.
Degeng, I Nyoman Sudana. 2000. Bagaimana merancang, menyajikan, dan menilai hasil belajar afektif. Makalah. Disajikan dalam seminar pembelajaran afektif di Perguruan Tinggi, 8 Februari 2000, P3AI. LP3. Universias Brawijaya Malang.
Depdiknas. 2002. Pola induk pengembangan silabus berbasis kemampuan dasar SMU. Pedoman umum. Jakarta: Depdiknas. Ditjen Dikdasmen. Direktorak Pendidikan Menengah Umum.
Depdiknas. 2002. Konnsep pendidikan berorientasi kecakapan hidup (life skill) melalui pendekatan pendidikan berbasis luas (broad-based education-BBE). Tim Broad-Based Education. Depdiknas.
Dick, W., & Carey, L. 1990. The systematic design of instruction, 3rd. Iilinois: Harper Collins Publisher.
Duit, R. 1996. Preconception and misconception. Corte, E.D., & Weinert, F. (eds.): International Encyclopedia of Developmental and Instructional Psychology. New York: Pergamon
Fogarty, R. 1997. Problem-based learning and other curriculum models for the multiple intelligences classroom. Arlington Heights, Illinois: Skylight Training and Publishing, Inc.
Herman, J. L., Aschbacher, P. R., & Winters, L. 1992. A practical guide to alternative assessment. New York: Association for Supervision and Curriculum Development.
Johnson, E. B. 2002. Contextual teaching and learning. Thousand Oaks, California: Corwin Press, Inc.
Kompas. 15 September 2001. Pendidikan harus bisa membekali lulusannya menghadapi hidup. Halaman 9.
Kompas. 17 September 2001. Perlu pendidikan keahlian. Halaman 9.
Kompas. 30 April 2002. Kurikulum dan program life skills. Halaman 33.
Marzano, R., Pickering, D., & McTighe, J. 1993. Assessing student outcome: Performance assessment using the dimensions of learning model. Alexandria, Va.: Associatiomn for supervision in curriculum development.
Reigeluth, C. M. (Ed.). 1999. Instructional-design theories and models: A new paradigm of instructional theory, volume II. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publisher.
Santyasa, I W. 2002. Miskonsepsi dan model pembelajaran perubahan konseptual. Makalah. Disajikan dalam Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran: “Peningkatan Kualitas dan Produktivitas SDM dengan Penerapan Teknologi Pembelajaran”, 18-19 Juli 2002, Hotel Indonesia, Jakarta.
Santyasa, I W. 2003(a). Pendidikan, pembelajaran, dan penilaian berbasis kompetensi. Makalah. Disajikan dalam seminar Jurusan Pendidikan Fisika IKIP Negeri Singaraja, 27 Februari 2003, di Singaraja.
Santyasa, I W. 2003(b). Pengaruh model pembelajaran perubahan konseptual dan belajar kooperatif terhadap remidiasi miskonsepsi dan hasil belajar fisika siswa kelas I di SMU. Proposal disertasi. Disajikan dalam ujian kualifikasi lisan Program Doktor Teknologi Pembelajaran Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang, 26 Maret 2003, di Malang.
Santyasa, I Wayan. 2003(c). Asesmen dan kriteria penilaian hasil belajar fisika berbasis kompetensi. Makalah. Disajikan dalam seminar dan lokakarya bidang peningkatan relevansi program DUE-LIKE Jurusan Pendidikan Fisika IKIP Negeri Singaraja, 15-16 Agustus 2003, di Singaraja
Spencer, L.M., & Spencer, S.M. 1993. Competencce work: Models for superior performance. New York: John Wiley & Sons, Inc.
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson