Strategi Media Dalam Membangun Masyarakat Multikultur : Para pendiri bangsa telah berhasil membangun bangsa (nation building) namun untuk membangun karakter bangsa nampaknya butuh waktu yang lebih panjang dengan kesabaran dan konsistensi. Upaya membangun karakter bangsa tersebut nampaknya mengalami pasang surut sejalan dengan pergulatan bangsa dalam menentukan arah perjuangan dan juga arah pembangunan.
Sebagai negara baru, pada era pasca-kemerdekaan Indonesia diwarnai oleh pergulatan politik, terutama menyangkut persoalan ideologi negara, sesuatu hal yang mendasar yang akan menentukan wujud dan jatidiri bangsa kedepan. Proses bottom-up melalui mekanisme Konstituante mengalami jalan buntu, yang kemudian ditindaklanjuti oleh keputusan top-down: Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD’ 45 dan ideologi Pancasila. Semenjak itu, terlebih pada era Orde Baru, secara politik formal, semangat untuk membangun kultur dan jatidiri berbasis Pancasila semakin menguat. Namun dalam perjalanannya, pembangunan yang terlampau berorientasi pada materi telah menumbuhkan kultur yang tidak sejalan dengan kultur yang ingin dikembangkan, yaitu kultur Pancasila. Keberhasilan pembangunan ekonomi yang kurang diimbangi dengan pembangunan karakter bangsa telah mengakibatkan goncangan dan krisis budaya, yang kemudian berujung pada lemahnya ketahanan budaya.
Lemahnya ketahanan budaya tersebut tercermin antara lain dari lemahnya kemampuan dalam menyikapi dinamika perubahan sebagai akibat dari tuntutan jaman yang secara kental diwarnai oleh derasnya serbuan budaya global. Kebudayaan nasional yang diharapkan mampu sebagai katalisator dalam mengadopsi nilai-nilai universal yang luhur dan sekaligus sebagai filter terhadap masuknya budaya global yang bersifat negatif ternyata belum mampu berfungsi sebagaimana mestinya. Tanpa adanya sikap adaptif-kritis, maka adopsi budaya negatif – antara lain: sikap konsumtif, individualis-hedonis, akan lebih cepat prosesnya dibandingkan dengan adopsi budaya positif-produktif.
Lemahnya ketahanan budaya juga ditunjukkan oleh terjadinya gejala Krisis Identitas sebagai akibat semakin melemahnya norma-norma lama dan belum terkonsolidasinya norma baru, yang telah mengakibatkan terjadinya sikap ambivalensi dan disorientasi tata nilai. Disorientasi tata nilai, ditambah dengan tumbuh suburnya semangat kebebasan, telah menyuburkan tumbuhnya pandangan yang serba boleh (permisif) yang telah mengakibatkan menguatnya berbagai macam divergensi dalam berbagai tata kehidupan masyarakat, yang apabila hal tersebut berkembang secara berlebihan, selain akan menyulitkan upaya untuk memadukan gerak langkah pembangunan, juga cenderung memicu konflik diberbagai tataran kehidupan.
Krisis multidimensi yang berkepanjangan telah memberikan kontribusi terhadap semakin melemahnya rasa kepercayaan diri dan kebanggaan sebagai suatu bangsa, dan menguatnya sikap ketergantungan, bahkan lebih jauh telah menyuburkan sikap inferioritas. Menipisnya semangat nasionalisme tersebut juga sebagai akibat dari lemahnya kemampuan bangsa dalam mengelola keragaman (pluralitas) yang menjadi ciri khas obyektif bangsa Indonesia. Hal tersebut tersebut tercermin dari menguatnya kohesifitas kelompok, etnik, dan agama, yang terkadang berujung pada konflik sosial dan bahkan disintegrasi bangsa.
1. Ide dan Cita Masyarakat Multikultur
Keanekaragaman masyarakat Indonesia merupakan realitas obyektif yang tidak dapat dipungkiri, sunatullah. Keanekaragaman masyarakat dan budaya Indonesia tercermin dengan adanya keragaman agama, etnik, bahasa dan budaya, muncul karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu wilayah geografis, latar belakang historis, dan psikologis.
Keanekaragaman ini di satu sisi akan memberi warna positif pada sistem nilai budaya bangsa apabila terwujud dalam bentuk interaksi yang saling melengkapi, tetapi di sisi lain dapat menjadi sumber konflik apabila tidak dipahami dengan baik, apalagi menjadikannya sebagai suatu kesatuan/unit dalam berkompetisi untuk memperebutkan sumberdaya ekonomi dan politik.
Dengan demikian, kemajemukan masyarakat Indonesia tidak mungkin dinegasikan. Konsepsi Bhinneka Tunggal Ika adalah reprensentasi normatif yang menjadi acuan dalam mengelola kemajemukan sehingga kemajemukan tersebut menjadi kekuatan bangsa.
Di samping itu, cita-cita bersama untuk mewujudkan demokrasi menuntut adanya apresiasi terhadap keragaman budaya sehingga perlu pengelolaan keragaman secara sinergis. Jika tidak dikelola dengan baik, bukan mustahil persinggungan antarbudaya, agama dan etnis akan mendatangkan masalah bagi konsolidasi demokrasi. Dalam beberapa tahun terakhir, kita kerap dihadapkan pada kenyataan banyaknya konflik dan ketegangan yang dipicu oleh sentimen primordial tersebut. Bahkan di negara Perancis, di mana konsepsi demokrasi egalitarian lahir, kemajemukan masyarakat masih menyisakan masalah berupa kerusuhan besar tahun 2005.
Saat ini muncul kesadaran masif bahwa diperlukan kepekaan terhadap kenyataan kemajemukan, pluralitas bangsa, baik dalam etnis, agama, budaya, hingga orientasi politik. Karena itu, publikasi, film, televisi, dan berbagai media komunikasi lainnya sepatutnya tidak mengekspos hal-hal yang bersifat anti, menghina atau melecehkan budaya lain atau ajaran suatu agama. Sikap respek terhadap budaya dan agama harus menjadi bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta dan menjadi budaya baru menuju masyarakat yang multikultur.
Ditilik dari teori sosial, penggunaan wacana multikulturalisme sebenarnya masih membingungkan. Namun, dari wacana yang berkembang di Indonesia, multikulturalisme rupanya hendak dijadikan paradigma baru dalam merajut kembali hubungan antarmanusia yang belakangan selalu hidup dalam suasana penuh konflik.
Konsepsi multikularisme diawali oleh perlawanan sebagian warga Kanada terhadap ambisi dominasi dan hegemoni kelompok anglo-saxon dan franco di pusat kekuasaan Kanada. (Foster, L. & D. Stockley, 1989). Pandangan ini diamini oleh penulis buku Rethinking Multiculturalism, Bhikhu Parekh (2001). Parekh mengatakan bahwa gerakan multikultural muncul pertama kali muncul di Kanada dan Australia sekitar tahun 1970-an, kemudian menyebar di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama.
Menurut Parekh (2001) konsep multikulturalisme merujuk kepada pluralitas kebudayaan, dan cara tertentu untuk merespons pluralitas itu. Oleh karena itu, multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatik melainkan sebagai cara pandang kehidupan manusia. Karena hampir semua negara di dunia tersusun dari anekaragam kebudayaan—artinya perbedaan menjadi asasnya—dan gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi semakin intensif, maka multikulturalisme itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan multikultural sebagai politik pengelolaan perbedaan kebudayaan warga negara. Namun, yang masih menjadi pertanyaan besar, model kebijakan multikultural seperti apa yang dapat dikembangkan oleh suatu negara seperti Indonesia?
Secara umum, ada 3 pendekatan dalam mengelola keragaman budaya dan etnik di dunia: Pertama, model yang mengedepankan nasionalitas, jus soli dan civic concept of citizenship. Nasionalitas adalah sosok baru yang dibangun bersama tanpa memperhatikan aneka ragam suku bangsa, agama, dan bahasa, dan nasionalitas bekerja sebagai perekat integrasi. Dalam kebijakan ini setiap orang—bukan kolektif—berhak untuk dilindungi negara sebagai warga negara. Model ini dipandang sebagai penghancur akar kebudayaan etnik yang menjadi dasar pembentukan negara dan menjadikannya sebagai masa lampau saja. Model kebijakan multikultural ini dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekuasaan otoritarian karena kekuasaan untuk menentukan unsur-unsur integrasi nasional berada di tangan suatu kelompok elite tertentu. Contoh model ini adalah Perancis, di mana warga Perancis sebagai individu -apapun latar belakang etnis dan budayanya- dapat menikmati hak sipil, budaya dan bahasa.
Kedua, model nasionalitas-etnik yang mengacu pada prinsip jus sanguinis, kebalikan dari jus soli. Nasionalitas-etnik berlandaskan pada kesadaran kolektif etnik yang kuat yang landasannya adalah hubungan darah dan kekerabatan dengan para pendiri bangsa (founders). Selain itu, kesatuan bahasa juga merupakan ciri nasional-etnik ini. Model ini dianggap sebagai model tertutup karena orang luar yang tidak memiliki sangkut paut hubungan darah dengan etnis pendiri bangsa akan tersingkir dan diperlakukan sebagai orang asing. Contoh model ini adalah Jerman, Jepang dan Singapura.
Ketiga, model multikultural-etnik yang mengakui eksistensi dan hak-hak warga etnik secara kolektif. Dalam model ini, keanekaragaman menjadi realitas yang harus diakui dan diakomodasi negara, dan identitas dan asal-usul warga negara diperhatikan. Isu-isu yang muncul karena penerapan kebijakan ini tidak hanya keanekaragaman kolektif dan etnik, tetapi juga isu mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan. Persoalannya menjadi lebih kompleks lagi karena ternyata mayoritas tidak selalu berarti dominan, karena berbagai kasus menunjukkan bahwa minoritas justru dominan dalam ekonomi. Jika kekuasaan negara lemah karena prioritas kekuasaan dilimpahkan ke aneka ragam kolektif sebagai konsekuensi pengakuan negara, negara mungkin diramaikan konflik- konflik internal berkepanjangan yang pada gilirannya akan melemahkan negara itu sendiri. Contoh model ini adalah Australia dan Kanada yang cenderung akomodatif terhadap masalah kewarganegaraan sehingga dengan mudah mampu mengadopsi kebijakan politik multiculturalism. Meskipun demikian, tidak semua kelompok di kedua negara tersebut menerima dengan legowo kebijakan multiculturalism.
Di dalam upaya mengembangkan masyarakat multikultur, United Nations for Education, Science and Culture Organization (UNESCO) menawarkan 6 (enam) program, yaitu: (1) mencegah terjadinya diskriminasi; (2) melakukan riset kebijakan mengenai pengelolaan masyarakat yang multibudaya dan multietnik; (3) melakukan pertemuan, pertukaran dan sirkulasi informasi sehingga tidak terjadi miskomunikasi; (4) menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pengembangan masyarakat multikultur; (5) melakukan pendidikan mengenai hak-hak azasi manusia dan mendorong saling pemahaman antarbudaya; (6) memperkuat kapasitas masyarakat lokal (endogenous people) sehingga mampu mandiri dan sejajar dengan yang lainnya.
2. Peran Media dalam Membangun Masyarakat Multikultur
Media massa dipandang punya kedudukan strategis dalam masyarakat. Ashadi Siregar (2004) memetakan tiga fungsi instrumental media massa, yaitu untuk memenuhi fungsi pragmatis bagi kepentingan pemilik media massa sendiri, bagi kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik dari pihak di luar media massa, atau untuk kepentingan warga masyarakat.
Secara konseptual, keberadaan media massa dan masyarakat perlu dilihat secara bertimbal balik. Untuk itu ada 2 pandangan yaitu apakah media massa membentuk (moulder) atau mempengaruhi masyarakat, ataukah sebaliknya sebagai cermin (mirror) atau dipengaruhi oleh realitas masyarakat. Dua landasan ini menjadi titik tolak dari bangunan epistemogis dalam kajian media massa, yang mencakup ranah pengetahuan mengenai hubungan antara masyarakat nyata (real) dengan media, antara media dengan masyarakat cyber, dan antara masyarakat real dengan masyarakat cyber secara bertimbal-balik.
Pandangan pertama, bahwa media membentuk masyarakat bertolak dari landasan bersifat pragmatis sosial dengan teori stimulus – respons dalam behaviorisme. Teori media dalam landasan positivisme ini pun tidak bersifat mutlak, konsep mengenai pengaruh media massa terdiri atas 3 varian, pertama: menimbulkan peniruan langsung (copy-cut), kedua: menyebabkan ketumpulan terhadap norma (desensitisation), dan ketiga: terbebas dari tekanan psikis (catharsis) bagi khalayak media massa.
Pandangan kedua menempatkan media sebagai teks yang merepresentasikan makna, baik makna yang berasal dari realitas empiris maupun yang diciptakan oleh media. Dengan demikian realitas media dipandang sebagai bentukan makna yang berasal dari masyarakat, baik karena bersifat imperatif dari faktor-faktor yang berasal dari masyarakat, maupun berasal dari orientasi kultural pelaku media. Dari sini media dilihat pada satu sisi sebagai instrumen dari kekuasaan (ekonomi dan/atau politik) dengan memproduksi kultur dominan untuk pengendalian (dominasi dan hegemoni) masyarakat, dan pada sisi lain dilihat sebagai institusi yang memiliki otonomi dan independensi dalam memproduksi budaya dalam masyarakat.
Secara teoretis, media massa memegang peranan penting sebagai katalisator dalam masyarakat (Lasswell, 1934), bahkan teoretisi Marxis melihat media massa sebagai piranti yang sangat kuat (a powerfull tool). Namun seiring dengan semakin beragamnya media dan semakin berkembangnya masyarakat, kebenaran teori-teori tersebut menjadi diragukan. Beberapa studi tentang media massa di Indonesia menunjukkan hasil yang sangat beragam.
Dikaitkan dengan pembangunan nasional, pemetaan dampak media massa yang cukup memadai dikemukakan oleh John T. McNelly (Zulkifli, 1996) yang dikenal dengan McNelly’s Four Position, yaitu: (1) sudut pandang nol (null position) yang menyatakan bahwa media massa memiliki sedikit peranan atau bahkan tidak memiliki peranan sama sekali dalam pembangunan nasional; (2) sudut pandang antusias yang melihat media massa memiliki peran yang besar terhadap pembangunan suatu negara; (3) cautions position yang menganggap media massa memiliki peranan dalam pembangunan negara namun bukan sebagai elemen utama dalam menentukan ada tidaknya perubahan; (4) sudut pandang pragmatik yang melihat bahwa berperan atau tidaknya media massa terhadap pembangunan negara haruslah ditempatkan secara kontekstual.
Berdasarkan peta di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam skala minimal sekalipun media massa memiliki peran. Model efek terbatas (limited effect model) yang dianggap paling minimal dan pesimis dalam melihat efek media massa menyatakan bahwa sekecil apapun media massa tetap memberikan efek. Apalagi jika dikaitkan dengan kenyataan dan kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang masih terbatas pendidikannya dan masih kuat budaya paternalistiknya. Kenyataan ini diperkuat dengan adanya realitas sosial politik di Indonesia, di mana peran lembaga otoritatif (trias politica), seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif belum melakukan perannya secara sempurna sehingga media massa sebagai the fourth estate akan mendapat tempat tersendiri.
Dengan demikian, di era global ini nampaknya keberadaan media massa dalam masyarakat merupakan suatu kebutuhan yang bertimbal balik, masyarakat membutuhkan media massa untuk memenuhi kebutuhannya dan media massa sebagai entitas bisnis juga membutuhkan masyarakat yang menjadi konsumennya untuk menjaga eksistensinya.
Sejalan dengan perubahan-perubahan politik besar yang terjadi sejak 1999, dan berjalannya konsolidasi demokrasi, maka media massa nasionalpun mengalami perubahan-perubahan besar. Mulai disadari benarnya filosofi dasar bahwa tanpa adanya media massa yang independen dan bebas campur tangan negara, maka tidak ada demokrasi. Oleh karena itulah, UU Pers No. 40 Tahun 1999 dan UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 kemudian ditetapkan untuk menjamin kebebasan dan independensi media massa. Walaupun masih banyak tanda tanya apakah kedua undang-undang ini sudah cukup mampu menjamin pers sebagai kekuatan keempat (fourth estate) dari demokrasi.
Media massa yang terjamin kebebasan dan independensinya pada gilirannya menguntungkan semuanya, baik negara maupun masyarakat. Walaupun seringkali dianggap merugikan kepentingan-kepentingan politik tertentu (vested interest), namun demikian precision journalism (berdasarkan investigative reporting), justru dapat menjadi semacam early warning system terhadap ancaman-ancaman laten terhadap negara dan masyarakat, termasuk praktek-praktek yang merongrong kekayaan rakyat seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Selanjutnya, sebagai proses kinerja pemaknaan sosial, budaya tidak berlangsung dalam ruang kosong. Artinya, apa yang disebut budaya berlangsung dalam kategori-kategori ruang waktu tertentu, memiliki perjalanan sejarah (historiositas), bukan proses yang hanya berlingkup individual, dan proses yang melibatkan kelompok. Kelompok itu bisa berupa etnik, ras, agama, bangsa dan kelompok usia.
Menurut Jan Romein, watak berkembang berdasarkan pengalaman (common fate) dalam sejarah bangsa. Hal yang sama juga diucapkan oleh Ernts Cassirer (1946), bahwa bangsa tidak dapat dilepaskan dari pengalaman kehidupan masyarakat bangsanya. Aktivitas masyarakat bangsa dalam perkembangan sejarahnya banyak berhubungan dengan pertumbuhan negara bangsa (nation state).
Clifford Gertz (1993) mengakui betapa sulitnya memahami manusia Indonesia yang super majemuk yang menghuni beribu pulau. Kesulitannya adalah bagaimana memahami manusia Indonesia lewat pemetaan panorama perjalanan sejarah yang penuh konflik, sejak zaman kerajaan sampai era krisis yang berkepanjangan.
J de Finance (1991) menyatakan bahwa etika dan moralitas berkaitan dengan watak. Watak seseorang membuat orang itu berkepribadian, dan watak bangsa membentuk kepribadian bangsa. Untuk itu diperlukan semacam solusi untuk menanamkan dan memekarkan segala sesuatu yang bernilai positif bagi perkembangan watak dan kepribadian bangsa. Aspek-aspek positif itu harus diagendakan dalam rangka menciptakan sebuah masyarakat masa depan Indonesia baru, masyarakat multikultur.
Watak masyarakat (social character) merupakan satu elemen dari suatu watak bangsa atau kepribadian bangsa. Danandjaja (1998) menyarankan penggabungan gagasan lama tentang sifat adaptasi pranata sosial terhadap kondisi lingkungan dengan modifikasi karakteriologi psiko-analitik. Teori Erich Fromm mengenai watak masyarakat mengakui asumsi transmisi kebudayaan dalam hal membentuk kepribadian tipikal atau kepribadian kolektif. Namun Fromm juga mencoba menjelaskan fungsi-fungsi sosio-historik dari tipe kepribadian tersebut yang menghubungkan kebudayaan tipikal dari suatu kebudayaan obyektif yang dihadapi suatu masyarakat. Untuk merumuskan hubungan tersebut secara efektif, suatu masyarakat perlu menerjemahkannya ke dalam unsur-unsur watak (traits) dari individu anggotanya agar mereka bersedia melaksanakan apa yang harus dilakukan.
Payung besar nasionalisme sebagai ideologi yang mencakup prinsip kebebasan, kesatuan, dan kepribadian selaku orientasi nilai kehidupan kolektif suatu kelompok dalam usahanya merealisasikan tujuan pada awal pergerakannya difokuskan pada masalah kesadaran identitas, pembentukan solidaritas lewat proses integrasi dan mobilisasi lewat organisasi (Hertz, 1945). Dalam konteks kekinian, lembaga yang mampu menjangkau khalayak luas tanpa hambatan (barier) ruang dan waktu adalah media massa. Televisi nasional, TVRI mampu menjangkau hampir sembilan puluh persen masyarakat Indonesia, demikian halnya RRI sudah menjangkau hampir seluruh wilayah Indonesia. Daya jangkau yang luar biasa dari kedua media publik menjadikannya sangat strategis dalam mengembangkan masyarakat multikultur yang toleran dan egaliter sehingga mampu memperkokoh persatuan dan kesatuan yang didasarkan kesamaan pandangan, senasib sepenanggungan.
3. Strategi Optimalisasi Media Massa dalam Membangun Masyarakat Multikultur
Media massa mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam membangun masyarakat multikultur karena perannya yang sangat potensial untuk mengangkat opini publik sekaligus sebagai wadah berdialog antarlapisan masyarakat.
Terkait dengan isu keragaman budaya (multikulturalisme), peran media massa seperti pisau bermata dua, berperan positif sekaligus juga berperan negatif. Peran positif media massa berupa: (1) kontribusi dalam menyebarluaskan dan memperkuat kesepahaman antarwarga; (2) pemahaman terhadap adanya kemajemukan sehingga melahirkan penghargaan terhadap budaya lain; (3) sebagai ajang publik dalam mengaktualisasikan aspirasi yang beragam; (4) sebagai alat kontrol publik masyarakat dalam mengendalikan seseorang, kelompok, golongan, atau lembaga dari perbutan sewenang-wenang, (5) meningkatkan kesadaran terhadap persoalan sosial, politik, dan lain-lain di lingkungannya.
Peran negatif media massa dapat berujud sebagai berikut: (1) media memiliki dan kekuatan ’penghakiman’ sehingga penyampaian yang stereotype, bias, dan cenderung imaging yang tidak sepenuhnya menggambarkan realitas bisa nampak seperti kebenaran yang terbantahkan; (2) media memiliki kekuatan untuk menganggap biasa suatu tindakan kekerasan. Program-program yang menampilkan kekerasan yang berbasiskan etnis, bahasa dan budaya dapat mendorong dan memperkuat kebencian etnis dan perilaku rasis; (3) media memiliki kekuatan untuk memprovokasi berkembangnya perasaan kebencian melalui penyebutan pelaku atau korban berdasarkan etnis atau kelompok budaya tertentu; (4) pemberitaan yang mereduksi fakta sehingga menghasilkan kenyataan semu (false reality), yang dapat berakibat menguntungkan kepentingan tertentu dan sekaligus merugikan kepentingan pihak lain
Selanjutnya, tidak dapat dipungkiri bahwa media massa memiliki hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi dengan masyarakatnya. Organisasi media massa yang relatif lebih modern dan mapan membuat posisi tawar media massa menjadi lebih dominan dalam mempengaruhi khalayak dibandingkan dengan sebaliknya.
Sehubungan dengan hal tersebut, ada beberapa catatan yang dapat dijadikan rekomendasi untuk mengoptimalkan peran media massa dalam mengembangkan masyarakat multikultur, yaitu melalui pengembangan paradigma civic journalism, atau public journalism, sebagaimana ditawarkan ahli komunikasi Jay Rosen (1998) atau di Indonesia mengemuka konsep jurnalisme makna.
Inti paradigma baru pemberitaan media massa adalah selalu mengedepankan kepentingan bersama dalam setiap liputannya, tanpa mengabaikan objektivitas pemberitaan itu sendiri. Berbagai cara yang bisa ditempuh: (1) orientasi pemberitaan media massa lebih ditujukan ke signifikansi peristiwa dibanding popularitas tokohnya; (2) media massa harus menggeser pola berita dari sensasionalitas drama ke utilitas (kemanfaatan) informasi; (3) media massa tidak boleh terpukau oleh 'peristiwa', tetapi harus memberi perhatian kepada 'kejadian'; (4) media massa harus mampu memperkuat visi sosialnya dengan memfasilitasi publik. Untuk kepentingan ini, media massa dituntut memberi akses kontrol intern, dengan melibatkan perlunya pengawasan publik media terhadap yang disajikan; (5) mendorong pandangan kritis terhadap media massa, yang memacu gerakan pemantauan media (media watch) di tengah masyarakat.
Selanjutnya, ditilik dari aspek substansi pesan (content), media massa diharapkan dapat berpartisipasi dalam membangun masyarakat multikultur dengan cara sebagai berikut: Pertama, memperkenalkan dan menanamkan nilai-nilai egaliterisme, toleransi dalam pluralisme kepada masyarakat. Mudahnya orang atau kelompok melakukan tindak kekerasan terhadap orang atau kelompok lain, sesungguhnya diawali ketidaksabaran dalam menerima perbedaan-perbedaan pandangan ataupun pendapat sosial politik. Demikian pula dengan masih kuatnya sikap-sikap diskriminatif dan rasialisme dalam masyarakat kita. Hal ini antara lain tidak dapat dilepaskan dari paradigma kehidupan sosial politik masa sebelum reformasi yang sering dianggap mencurigai perbedaan pendapat dalam masyarakat. Media massa dapat berperan dalam memberikan pemahaman terhadap pentingnya membangun proses kompromi dalam kehidupan masyarakat. Setiap sengketa dan perselisihan antara kelompok masyarakat dan negara, maupun antar kelompok-kelompok di dalam masyarakat diharapkan dapat diselesaikan di dalam kerangka proses hukum ataupun mediasi yang bersifat non-kekerasan.
Kedua, adanya keperluan menanamkan nilai-nilai solidaritas sosial dalam masyarakat. Perlu ditanamkan bahwa demokrasi bukan hanya soal kebebasan dan persamaan, melainkan juga solidaritas sosial. Demikian yang tercakup dalam semboyan awal demokrasi modern pasca revolusi Perancis (liberte, egalite, freternite). Kepedulian pada masyarakat miskin dan tersisihkan, misalnya merupakan satu bentuk solidaritas sosial yang mendukung demokrasi, karena ikut memberdayakan kekuatan masyarakat sipil. Media massa yang ideal sebaiknya tidak hanya menyediakan halaman ataupun program acara yang hanya berpusat pada aktualitas ataupun menyajikan realitas keseharian, apalagi hanya disajikan dengan kurang memperhatikan nilai-nilai estetika melalui pendekatan yang tidak jarang cenderung dilebih-lebihkan.
Ketiga, kemampuan “mengajak tanpa menghakimi” sehingga masyarakat semakin dewasa dan arif dalam menghadapi kemajemukan dalam masyarakat.
4. Alternatif Rencana Aksi
Di samping rekomendasi yang bersifat normatif, diperlukan juga rencana aksi yang praktis untuk mengoptimalkan keberadaan media massa melalui strategi media yang terencana, tepat dan terukur. Diharapkan melalui strategi media tersebut terjadi perubahan watak dan karakter masyarakat menuju masyarakat yang egalitarian, toleran, dan demokratis.
Strategi media yang dirumuskan dari hasil Studi Pengembangan Wajak Jati Diri Bangsa Melalui Media dapat diadaptasi untuk pengembangan masyarakat multikultur dengan cara mengoptimalkan kampanye media dan manajemen berita (news management).