PERANAN ORANG TUA DALAM MENGEMBANGKAN RELIGIUSITAS ANAK
A. Latar Belakang
Pendidikan agama merupakan pendidikan yang utama yang sangat
dibutuhkan bagi anak, dimana hal tersebut secara langsung berpengaruh terhadap
perilaku dan perkembangan anak. Pendidikan beragama pada anak merupakan
awal pembentukan kepribadian, baik atau buruk kepribadian anak tergantung pada
orang tua serta lingkungan yang mengasuhnya. Oleh karena itu sebagai orang tua
mempunyai kewajiban memberikan pendidikan dan bimbingan kepada anak.
Mengingat pentingnya pendidikan agama, maka orang tua harus mempunyai pengetahuan yang cukup dalam menegakan pilar-pilar pendidikan agama dalam
lingkungan anak entah itu dalam keluarga maupun bermasyarakat.
Dalam prespektif pendidikan, terdapat tiga lembaga utama yang sangat
berpengaruh dalam perkembangan kepribadian seorang anak yaitu lingkungan
keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat, yang selanjutnya
dikenal oleh Tripusat Pendidikan. Dalam GBHN (Tap. MPR No. IV/MPR/1978)
ditegaskan bahwa “pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan dalam
lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat”.
Selain itu perkembangan teknologi yang sekarang ini merajalela membuat
pengaruh besar pada masyarakat. Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa
pembangunan di segala bidang, manfaatnya semakin dirasakan oleh semua
kalangan. Revolusi informasi menyebabkan dunia terasa semakin kecil, semakin
mengglobal dan sebaliknya privacy seakan tidak ada lagi. Berkat revolusi
informasi.
Kini orang telah terbiasa berbicara tentang globalisasi dunia dengan
modernisasi sebagai ciri utamanya. Dengan teknologi informasi yang semakin
cangih, hampir semua yang terjadi di pelosok dunia segera diketahui dan
ketergantungan antar bangsa semakin besar.
Efek dari globalisasi itulah disamping mendatangkan kebahagiaan, juga
menimbulkan masalah etis dan kebijakan baru bagi manusia. Efek samping itu
ternyata berdampak sosiologis, psikologis dan bahkan teologis. Contoh dari efek
globalisasi adalah banyak anak yang menyalah gunakan teknologi, penggunaan
obat-obat terlarang karena pengaruh teman. Nilai-nilai kemasyarakatan yang
selama ini dianggap dapat dijadikan sarana penentu dalam berbagai aktivitas,
menjadi kehilangan fungsinya (Syahrin Harahap, 1999).
Untuk menyikapi fenomena global seperti itu, maka penanaman nilai-nilai
keagamaan dalam jiwa anak secara dini sangat dibutuhkan. Dalam hubungan itu,
keluarga diharapkan sebagai lembaga sosial yang paling dasar untuk mewujudkan
pembangunan kualitas manusia dalam lembaga ketahanan untuk mewujudkan
masyarakat yang bermoral dan berakhlak. Pranata keluarga merupakan titik awal
keberangkatan sekaligus sebagai modal awal perjalanan hidup mereka (Syahrin
Harahap, 1999).
Dalam hal ini pendidikan agama merupakan pendidikan dasar yang harus
diterapkan kepada anak sejak dini. Hal tersebut mengingat pribadi anak pada usia
dini mudah dibentuk karena anak masih banyak berada di bawah pengaruh
lingkungan keluarga. Mengingat arti strategis lembaga-lembaga tersebut, maka
pendidikan agama yang merupakan pendidikan dasar itu harus dari rumah tangga
atau orang tua.
Pendidikan agama termasuk bidang-bidang pendidikan yang harus
mendapat perhatian penuh oleh orang tua. Pendidikan agama ini berarti
membangkitkan kekuatan dan kesediaan spiritual yang bersifat naluri yang ada
pada anak. Demikian pula, memberikan bekal pengetahuan agama dan nilai-nilai
moral kepada anak yang sesuai dengan umurnya sehingga dapat menolongnya
kepada pengembangan sikap agama yang betul.
Inti pendidikan agama sesungguhnya adalah penanaman iman kedalam
jiwa anak, dan untuk pelaksanaan hal itu secara maksimal hanya dapat
dilaksanakan dalam lingkungan rumah tangga. Disinilah orang tua berperan dalam
membimbing dan mengarahkan anak-anak mereka untuk lebih mendalami makna
keimanan sesuai dengan agama yang dianutnya. Bagaimanapun sederhananya
pendidikan agama yang diberikan dirumah, itu akan berguna bagi anak.
Oleh karena itu, peranan pendidikan agama memainkan peranan pokok
yang sepatutnya dijalankan oleh setiap keluarga terhadap anggota-anggotanya.
Lembaga-lambaga seperti lembaga agama, lembaga sekolah, mungkin dapat
membantu orang tua dalam tindakan pendidikan, akan tetapi tidak berarti dapat
menggantikannya, kecuali dalam keadaan-keadaan luar biasa (Hasan Langgulung,
1995).
Bekal pendidikan agama yang diperoleh anak dari lingkungan keluarga
akan memberinya kemampuan untuk mengambil haluan di tengah-tengah
kemajuan yang demikian pesat. Keluarga yang mempunyai tanggung jawab yang
sangat besar dalam mendidik generasi-generasinya untuk mampu terhindar dari
berbagai bentuk tindakan yang menyimpang. Oleh sebab itu, perbaikan pola
pendidikan anak dalam keluarga merupakan sebuah keharusan dan membutuhkan
perhatian yang serius.
Dari fungsi keluarga yang terkemuka diatas maka dapat disimpulkan,
bahwa keluarga merupakan sumber dari segala perkembangan anak. Anak akan
menjadi apa nantinya kelak, keluargalah yang berpengaruh. Begitu juga dalam
memeluk keyakinan. Orang tua sangat berperan besar dalam membentuk sikap
kepribadian anak, terutama sikap anak dalam beragama. Orang tua mempunyai
peran besar dalam menanamkan sikap religi yang besar pada anak, sebab sangat
percuma bila anak beragama diluarnya saja tapi dalam hati anak tidak
menanamkan jiwa beragama. Jadi sikap religius sangat penting untuk ditanamkan
pada anak.
Dalam penanaman peranan orang tua yang diberikan terhadap anak, maka
orang tua juga harus berpedoman pada nilai-nilai budaya yang terdapat di dalam
masyarakat. Karena nilai budaya dalam masyrakat merupakan dasar segala norma
atau aturan yang berlaku dalam masyarakat. Sehingga adapt istiadat ini juga dapat
mengikat anak dalam berperilaku dalam masyarakat.
Dalam keluarga inilah, nilai budaya menuntun pasangan suami istri ke
dalam kehidupan keluarga yang harmonis. Pada kehidupan keluarga, orang tua
pada umunya mengharapkan supaya anaknya tumbuh dan berkembang menjadi
anak yang baik dan berbudi pekerti luhur. Anak diharapkan tidak terjerumus ke
dalam perbuatan-perbuatan yang buruk, yang dapat merugikan dirinya sendiri
maupun orang lain, seperti mabuk-mabukan, mencuri, berbuat asusila yang
kesemuanya merupakan tindakan amoral dan melanggar norma-norma yang
berlaku dimasyarakat, hal ini yang tidak diinginkan orang tua terjadi pada anakanak
mereka.
Salah satu tanggung jawab orang tua adalah menghindarkan anak-anaknya
agar tidak terjerumus dalam tindakan amoral. Maka dari itu pendidikan agama
sangat diperlukan anak dalam bersikap disamping sifat religi juga harus
ditanamkan agar apa yang diajarkan oleh agama yang mereka anut agar lebih
tertanam dalam hati mereka. Sering kali terlihat penerapan agama tanpa diiringi
dengan penanaman makna agama dalam hati diabaikan, sehingga cenderung
membuat anak sulit memahami makna agama yang ditanamkan oleh orang tua
mereka. Hal ini dikarenakan anak tidak merasa mempunyai beban moral bila
melakukan tindakan yang kurang terpuji. Untuk mengantisipasi hal tersebut orang
tua mempunyai andil yang besar dalam pembentukan karakter anak. Karena orang
tua bertanggung jawab penuh atas pendidikan anak-anaknya.
Maka dari itulah peran orang tua dalam satu keluarga yang merupakan
lingkungan primer bagi setiap individu dan memiliki kedudukan sangat
berpengaruh sebagai pelindung, pencakup kebutuhan ekonomi, dan pendidikan
dalam kehidupan keluarga sekaligus membekali anak-anaknya mengenai
keagamaan.
Pengaruh baik dan buruk tingkah laku dari lingkungan pergaulan
sekitarnya tergantung dari daya serap dan penilaian pribadi anak mengenai bentuk
tingkah laku yang dipandang kurang positif. Lebih jelasnya secara pribadi anak di
lingkungan juga akan memilah apakah hal-hal yang kurang positif seperti yang
dilakukan teman-temannya patut dicontoh atau tidak. Dan disinilah peran orang
tua di butuhkan. Orang tua dapat memberikan pengertian terhadap anak agar dapat
menjaga norma dan nilai-nilai yang berlaku dari pendidikan dasar keagamaan
yang kuat akan sedikit mempengaruhi pola pikir anak dalam menilai tingkah laku
di lingkungannya.
Menginjak usia sekolah, perkembangan anak sangat pesat. Dan hal ini
patut menjadi perhatian dari orang tuanya mengingat terbatasnya dan
ketidakmampuan memberikan seluruh fasilitas untuk mengembangkan fungsifungsi
anak terutama fungsi intelektual dalam mengejar kemajuan jaman, maka
anak memerlukan satu lingkungan sosial yang baru yang lebih luas, berupa
sekolah untuk mengembangkan semua potensi yang dimilikinya.
Selain itu budaya juga sangat berpengaruh, terlihat juga bahwa
kebudayaan dalam suatu masyarakat merupakan system nilai tertentu yang
dijadikan pedoman hidup oleh warga yang mendukung kebudayaan tersebut.
Karena dijadikan kerangka acuan dalam bertindak dan bertingkah laku maka
kebudayaan cenderung menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. Tradisi adalah
sesuatu yang sulit berubah, karena sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat
pendukungnya.
Banyak orang tua dalam menerapkan pendidikan beragama pada anak juga
mengacu pada kebudayaan yang mereka anut, karena secara garis besar tradisi
merupakan kerangka acuan norma dalam masyarakat yang disebut sebagai
pranata. Pranata ini yang bercorak rasional, terbuka dan umum, kompetitif dan konflik yang menekankan legalitas, seperti pranata politik, pranata pemerintahan,
ekonomi dan pasar, berbagai pranata hukum yang terkait sosial dalam masyarakat
yang bersangkutan.
Kerena norma-norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat
merupakan rangkaian dalam kebudayaan yang berkembang di masyarakat. Oleh
sebab itu kebudayaan yang ada dalam masyarakat tidak akan pernah punah. Setiap
keluarga selalu menerapkan kepada generasi-genersinya secara turun temurun,
termasuk kepada anak-anak mereka kelak. Terutama tradisi keagamaan yang
bersumber dari norma-norma yang termuat dalam kitab suci. Dengan demikian
tradisi keagamaan sulit berubah, karena selain didukung oleh masyarakat juga
memuat sejumlah unsur-unsur yang memiliki nilai-nilai luhur yang berkaitan
dengan keyakinan masyarakat. Tradisi keagamaan mengandung nilai-nilai yang
sangat penting yang berkaiatan erat dengan agama yang dianut masyarakat atau
pribadi pemeluk agama tersebut.
Kebudayaan yang muncul karena norma akan mengikat masyarakat untuk
lebih taat terhadap peraturan-peraturan yang telah ditetapkan masyarakat sebagai
adat istiadat. Hal ini berpengaruh juga pada lingkungan keluarga, untuk
menerapkan norma-norma yang berlaku dimasyarakat terhadap anak-anak
mereka. Terutama norma agama, sehingga anak dapat menempatkan diri
dimasyarakat, dengan penerapan yang diberikan orang tua maka anak akan
mengerti hal-hal yang melanggar norma dan adat istiadat yang telah ditetapkan
oleh masyarakat.
Sehingga dengan pembekalan norma-norma yang diberikan oleh orang tua
maka anak akan bertindak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh orang tua
mereka, jika orang tua mengajarkan hal yang tidak baik pada anak maka anak akan menirukan apa yang telah diajarkan oleh orang tua merka. Tetapi bila orang
tua mengajarkan hal yang baik pada anak sesuai dengan norma yang berlaku maka
anak akan bertingkah laku baik pula terhadap masyarakat.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti dan
mengakaji mangenai “Peranan Orang Tua Dalam Mengembangkan Religiositas
Anak Kedalam Kehidupan Bermasyarakat".
B. Perumusan Masalah
Dalam penelitian kualitatif perumusan masalah lebih ditekankan untuk
mengungkap aspek kualitatif dalam suatu masalah. Maka dari itu, dalam
penelitian ini penulis akan mengemukakan perumusan masalah atau batasan
masalah sebagai berikut :
“Bagaimanakah peran orang tua dalam mengembangkan religiusitas anak
dalam kehidupan bermasyarakat. Di Desa Bangunsari, Kecamatan Mejayan,
Kabupaten Madiun, Jawa Timur?”
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan diatas, penelitian ini
bertujuan sebagai berikut:
- Bagaimana pola perilaku orang tua dalam mendidik religiusitas anak?
- Nilai-nilai apa yang didapat anak dari religiusitas tersebut?
- Bagaimana tindakan anak dalam menerapkan religiusitas pada masyarakat?
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teknis
- Untuk mendukung teori-teori yang sudah ada sebelumnya sehubungan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian.
- Sebagai bahan perbandingan bagi penelitian berikutnya yang sejenis.
- Untuk memperkaya khasanah keilmuan terutama pengetahuan tentang bagaimana peranan orang tua dalam mendidik religiositas anak.
- Untuk mengetahui nilai-nilai apa saja yang didapat anak dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Manfaat Praktis
- Diharapkan dari hasil penelitian ini, dapat dimanfaatkan sebagai masukan dan sumbangan pemikiran mengenai pentingnya peran orang tua dalam menerapkan sikap bereligiusitas pada anak.
- Bagi peneliti diharapkan dapat menumbuhkan pengetahuan dan memperluas wawasan berdasarkan pengalaman dari apa yang ditemui di lapangan.
E. TINJAUAN PUSTAKA
I. Batasan Konseptual
1. Peranan
Peranan (role) merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (status).
Apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya
sesuai dengan kedudukannya, maka dia (lembaga) menjalankan suatu peranan. Keduanya tidak bisa dipisah-pisahkan, karena yang satu tergantung
yang lain dan sebaliknya. Peranan yang melekat pada diri seseorang harus
dibedakan dengan posisi dalam pergaulan masyarakat. Posisi seseorang
dalam masyarakat merupakan unsur statis yang menunjukan tempat individu
pada organisasi masyarakat.
Pentingnya peranan adalah bahwa hal itu mengatur perikelakuan
seseorang atau lembaga dan juga menyebabkan seseorang atau lembaga pada
batas-batas tertentu dapat meramalkan perbuatan-perbuatan orang lain,
sehingga orang atau lembaga yang bersangkutan akan dapat menyesuaikan
perikelakuan sendiri dengan perikelakuan orang-orang sekelompoknya.
Peranan tersebut diatur oleh norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Peranan lebih banyak menunjukan pada fungsi, penyesuaian diri dan
sebagai suatu proses. Jadi tepatnya adalah bahwa seseorang (lembaga)
menduduki suatu posisi atau tempat dalam masyarakat serta manjalankan
suatu peranan.
Suatu peranan mencakup tiga hal yaitu:
- Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti meliputi rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan.
- Peranan dalam konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
- Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur masyarakat (Soerjono Soekanto, 2000 : 269).
Pembahasan peranan-peranan tertentu yang melekat pada lembaga
dalam lembaga masyarakat penting bagi hal-hal sebagai berikut :
- Bahwa peranan-peranan tertentu harus dilaksanakan apabila struktur masyarakat hendak dipertahankan kelangsunganya.
- Peranan tersebut seyogyanya diletakan pada individu-individu yang oleh masyarakat dianggap mampu untuk melaksanakannya. Mereka harus terlebih dahulu terlatih dan mempunyai pendorong untuk melaksanakannya.
- Dalam masyarakat kadang-kadang dijumpai individu yang tak mampu melaksanakan perananya sebagaimana diharapkan oleh masyarakat, oleh karena mungkin pelaksananya memerlukan pengorbanan yang terlalu banyak dari kepentingan pribadinya.
- Apabila semua orang sanggup dan mampu melaksanakan peranannya, belum tentu masyarakat akan dapat memberikan peluang-peluang yang seimbang. Bahkan seringkali terlihat betapa masyarakat terpaksa membatasi peluang-peluang tersebut (Soerjono Soekanto, 2000: 272).
Peranan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peranan orang tua
yang merupakan suatu lembaga keluarga yang didalamnya berfungsi sebagai
pembimbing anak. Peranan orang tua lebih di artikan sebagai peranan
keluarga.
Parents role about child in the family be motivator, facilitator, and
mediator. As motivator parents always give motivation and propulsion
about child to good deed and leave interdiction god, included demand
knowledge. As facilitator, parents must give facility, family requirement
child example basic necessities, included education requirement.
.(http://educare .e-fkinpula.net)
"Peran orang tua terhadap anak di dalam keluarga adalah sebagai motivator,
fasilitator dan mediator. Sebagai motivator, orang tua harus senantiasa
memberikan motivasi/dorongan terhadap anaknya untuk berbuat kebajikan
dan meninggalkan larangan Tuhan. Ilmu pengetahuan sebagai fasilitator,
orang tua harus memberikan fasilitas, pemenuhan kebutuhan keluarga/anak
berupa sandang pangan dan papan, termasuk kebutuhan
pendidikan".(http://educare .e-fkinpula.net)
Pearanan keluarga di sini anatara lain : keluarga merupakan tempat
bimbingan yang pertama dan yang utama dari orang tuanya dalam hal
membentuk kepribadian anak. Anak-anak bukan saja memerlukan
pemenuhan kebutuhan material, tetapi juga kasih sayang, perhatian,
dorongan dan kehadiran orang tua di sisinya.
Selanjutnya menurut Hendro Puspito (1989:182) peranan adalah suatu
konsep fungsional yang menjelaskan fungsi seseorang (lembaga) dan dibuat
atas dasar tugas-tugas yang nyata dilakukan seseorang (lembaga). Peranan
sebagai konsep yang menunjukkan apa yang dilakukan oleh seseorang atau
lembaga.
Sehingga peranan orang tua disini berkaiatan dengan kekuasaan/
wewenang serta dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas sebagai orang tua
sebagaimana yang diharapkan untuk dilakukan karena kedudukannya dapat
memberi pengaruh / perbuatan.
2. Orang Tua
Menurut Thamrin Nasution dan Nurfalifah Nasution “Setiap orang
yang bertanggung jawab dalam keluarga atau rumah tangga yang dalam
kehidupan sehari-hari lazim disebut dengan Ibu-Bapak”.
Orang tua disini lebih condong kepada sebuah keluarga, dimana
kelurga adalah sebuah kelompok primer yang paling penting didalam
masyarakat. Keluarga merupakan sebuah group yang terbentuk dari
perhubungan laki-laki dan wanita, perhubungan dimana sedikit banyak
berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan anak-anak. Jadi
keluarga dalam bentuk yang murni merupakan satu kesatuan yang formal yang
terdiri dari suami, istri dan anak-anak yang belum dewasa (Ahmadi,
1999:239).
Sedangkan Khairuddin (1985) mendefinisikan keluarga sebagai suatu
kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan,
darah, atau adopsi, merupakan susunan rumah tangga sendiri, berinteraksi dan
berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi
suami-istri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan perempuan dan
merupakan pemelihara kebudayaan bersama (Khairuddin, 1985:14).
Menurut Khairuddin (1985) keluarga dibedakan menjadi dua yaitu
keluarga inti dan keluarga luas. Keluarga inti didefinisikan sebagai kelompok
yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum dewasa atau belum
kawin. Sedangkan keluarga luas adalah keluarga yang meliputi lebih dari satu
generasi dan suatu lingkungan kaum keluarga yang lebih luas daripada hanya
ayah, ibu dan anak-anaknya (Khairuddin, 1985 : 29)
Disamping itu, M.S. Goore mengatakan bahwa ada dan tidaknya
keluarga-keluarga besar tidak tampak hanya dari jumlah rumah-rumah tangga
sendiri, tetapi juga dapat dipandang dari sifat dan intensitas interaksi diantara
kaum keluarga di luar keluarga inti (Khairuddin, 1985: 92).
Jadi pengertian keluarga luas tidak selalu diartikan sebagai suatu keluarga
yang tinggal dalam satu rumah, tetapi intensitas hubungan dapat juga
merupakan kriteria dalam menentukan tipe keluarga luas.
Keluarga yang diperluas lebih banyak ditemukan di daerah pedesaan
dan bukan daerah industri, kerena bentuk keluarga yang diperluas dapat
memberikan layanan sosial yang biasanya terdapat pada masyarakat yang
tidak mempunyai badan dan organisasi khusus. Dengan kata lain, orang-orang
yang hidup dalam unit keluarga yang diperluas dapat meminta bantuan pada
banyak orang lain.
Dalam penelitaian ini lebih mengangakat pada fungsi keluarga sebagai
fungsi religius yaitu keluarga berfungsi untuk mengantarkan anggotanya ke
dalam kehidupan beragama, orang tua berkewajiban untuk
memperkenalkanya, mengajak serta menanamkan nilai-nilai agama kepada
anggota keluarga. Anak diberi kesempatan untuk mengembangkan rasa
keagamaannya dalam kehidupan sehari-hari (Ibid, hal 127-128)
Maka dapat disimpulkan bahwa, peranan merupakan fungsi sosial yang
dilakukan orang tua (Ibu-Bapak) dalam keluarga atau rumah tangga dengan
melakukan pengawasan dan bimbingan terhadap anak-anaknya.
3. Religiusitas
Salah satu definisi umum tentang religiusitas adalah sikap hati nurani,
batin dan pikiran manusia yang selalu diarahkan kepada perbuatan baik, kasih
sayang, kebenaran dan keadilan. Religiusitas setingkat lebih atas daripada
sekedar beragama. Religiusitas dapat diperoleh dari pengalaman hidup. Dari
pengalaman hidup itulah manusia akan lebih yakin dan lebih mendalami agama yang ia anut. Tidak itu saja manusia akan lebih menghayati bagaimana
hidup bermasyarakat dengan lebih baik.
Religiusitas ini merupakan intisari dari yaitu Tuhan dengan sifat dasar
Nya ("Maha Adil, Pengasih dan Penyayang") menjadi lebih penting daripada
agama itu sendiri, atau bahkan agama menjadi tidak dominan lagi (agama
bagaikan tempat pertama kali belajar mengenal Tuhan menurut versi agama
itu, dan kelak agama menjadi seperti almamater). Jadi, kalau seseorang itu
sudah beragama, bukan agamanya yang penting, melainkan religiusitasnya
yang amat sangat penting. Agar pengamalan dilingkungan masyarakat lebih
baik.
Dari sifat religiusitas yang dimiliki oleh seseorang akan muncul
dampak dilema dari religiusitas itu sendiri, di antaranya adalah:
1) Jika agama mau mempertahankan kemurnian aslinya (otentik) pendirinya
sepanjang zaman dari masa ke masa dalam pagar-pagar kepranataan yang
tak tertembus oleh pengaruh pemikiran baru maka karisma itu tak akan
tersentuh dan tak akan berkembang. Akibatnya agama itu sendiri akan
kehilangan daya tariknya.
2) Agama dihadapkan pula dengan pilihan yang sulit berkenaan dengan
masalah kekuasaan dan kepemimpinan, di dalam agama terdapat unsur
kekuasaan dan pimpinan pada tingkat universal dan tingkat sektoral
kerohanian. (Hendro Puspito, 1983: 129)
Agama adalah persoalan individu dan merupakan kebebasan untuk
memilih. Agama sebagai pengajaran adalah penting dan perlu diajarkan
(misalnya keanekaragaman agama beserta ciri mereka masing-masing).
Sebaiknya agama diberikan pada anak sejak usia masih dini. Kalau sejak kecil sudah dicuci otak dengan agama, maka anak akan lebih bijak dalam
menyikapi hidup dalam bermasyarakat.
Pendidikan agama adalah merupakan tanggung jawab orang tua. Budi
pekerti mengajarkan sopan-santun, taat hukum, menghargai alam dan isinya,
keadilan dan hidup bersosial secara baik, hal tersebut harus diterapkan oleh
anak pada usia sejak dini.
Selanjutya nilai yang didapat anak dari religiusitas ini adalah anak
lebih bisa memahami arti hidup setelah mereka menjalankan serangkaian
makna religiusitas yang diberikan orang tua mereka. Selain itu anak lebih bisa
mendekatkan diri pada Tuhan. sehingga secara langsung anak dapat
menerapkan religiusitas itu didalam lingkungan masyarakat.
4. Anak
Definisi anak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keturunan
kedua, yang menurut hukum mempunyai usia tertentu hingga hak dan
kewajibanya dianggap terbatas.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan anak disini adalah anggota dalam
suatu keluarga yang berasal dari keturunan orang tua mereka yang
keberadaanya merupakan bagian terpenting dalam memfokuskan dalam
pemberian bimbingan, arahan dan pemberian pendidikan serta tanggung jawab
orang tua lainnya.
Selanjutnya dalam hukum perubahan pasal 1(1) Undang-Undang
Pokok Perubahan (Undang-Undang No. 12 tahun 1948) mendefinisikan anak
adalah orang laki-laki atau perempuan berumur 14 tahun kebawah (Prints,
Darwan 2003:3).
Yang dimaksud dengan anak dalam konvensi PBB (pasal 1), adalah
orang yang berusia dibawah 18 tahun kecuali berdasarkan Undang-Undang
yang berlaku dalam bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih
awal. Negara-negara peserta konvensi akan menghormati dan menjamin hakhak
yang ditetapkan dalam konvensi, tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun.
Tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, harta
kekayaan, cacat, kelahiran atau status lain dari anak atau orang tua anak atau
walinya yang sah menurut hukum (Prinst, Darwan 2003:104).
Waktu memasuki dunia sekolah pada umur lima atau enam tahun, anak
sudah memiliki kepribadian yang dinamis yang tercermin dalam sikap,
kebiasaan dan ide-ide mengenai setiap aspek kehidupan. Sifat-sifat emosional
dan sosial ini mempengaruhi kemampuan belajarnya. Kalau anak telah
mengalami perlakuan yang penuh kasih sayang serta telah memperoleh
latihan-latihan yang diperlukan, akan bergairah sekali belajar, sifat
kebocahanya akan ditinggalkan, minatnya akan lebih tertuju pada orang lain
dan kesediaannya bekerjasama dengan guru pun akan semakin mantap.
Sebaliknya, apabila orang tua tidak berhasil memberikan kasih sayang yang
diperlukan, anak berkemungkinan tidak berhasil menjadi murid yang baik dan
berhasil, sekolah bahkan menjadi beban tambahan disamping beban keinginan
orang tua yang dipikulnya (Mahmud, 1990:144).
Ada tiga pokok yang terdapat pada kehidupan anak manusia menuju
ke dewasa:
1) Konsepsi/concepti dirinya, ada dalam kandungan ibunya, sebagai satu
wujud atau sebagai organisme yang tumbuh.
2) Kelahiranya di dunia, yang memberikan kejutan, ketakutan-kesakitan,
sehingga ia mengeluarkan jerit tangis melengking ketika harus
meninggalkan rahim ibunya.
3) Kemampuan realisasi diri, menjadi pribadi/person. Pada fase ketiga ini
setiap individu menghayati eksisitensinya sebagai pribadi yang berbeda
dengan orang lain (Kartini Kartono,1995:8)
Dengan demikian manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, fisik
maupun psikis. Walaupun dalam keadaan yang demikian ia telah memeiliki
kemampuan bawaan yang bersifat laten. Potensi bawaan ini memerlukan
pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan yang mantap lebih-lebih
pada usia dini.
According to the Imam Ghazali, the child was the message for the
person who still was holy like the jewel, child's good and bad points depended
on the management that was given by the person to them (Syamsul Yusuf,
2003:34)
"Menurut Imam Al Ghazali, anak merupakan amanah orang tua yang masih
suci laksana permata, baik buruknya anak tergantung pada pembinaan yang
diberikan orang tua kepada mereka" (Syamsul Yusuf, 2003:34).
Dalam menanamkan sifat religiositas pada anak ini diperlukan proses
pembentukan perilaku bereligios dapat dilaksanakn menurut masa-masa
sebagai berikut :
a) Tahap pembiasaan dapat dilaksanakan pada masa kanak-kanak
b) Tahap pembentukan pengertian, sikap, minat dapat dilaksanakan pada
masa remaja.
c) Tahap pembentukan kerohanian yang luhur dilaksanakan pada masa
dewasa.
Dalam menanamkan religiositas ini tidak semua usia anak dapat
menerimanya atau mengerti tentang religiositas, maka dari itu diperlukan
batasan umur yang sekiranya anak sudah mengerti tentang agama yang di
anutnya. Biasanya anak sudah mengerti pada usia saat mereka menginjak usia
13 sampai 17 tahun. Di usia tersebut anak akan lebih bisa menerima apa yang
diajarkan orang tua mereka, termasuk perilaku bereligiositas.
Karena batasan di usia tersebut anak sudah mengenal pendidikan yang
besifat multikultural, ada empat hal yang penting yang diajarkan kepada anak
usia dini untuk menanamkan watak multicultural diantaranya:
1) Pendidikan tentang “self” atau penghargaan tentang dirinya sendiri
2) Social skill atau penghargaan dan empati kepada orang lain
3) Emotion skill atau kemampuan positif menyikapi perbedaan
4) Kreatifitas ( Fatimah Husein, 2008: 7 )
II. Landasan Teori
Dari konsep yang telah tertera diatas maka penelitian ini menggunakan
teori interaksionisme simbolik yang dikemukakan oleh Herbert Mead, dasar
dari interaksionisme simbolik sebanarnya tak mudah menggolongkan
pemikiran ini kedalam teori dalam artian umum karena seperti dikatakan Paul
Rock, pemikiran ini sengaja di bangun secara samar dan merupakan resistensi
terhadap sistematisasi. Ada beberapa perbedaan signifikan dalam
interaksionisme simbolik.
Baberapa tokoh interaksionisme simbolik (Blumer,1969;Manis dan
Meltzer,1978;Rose,1962;Snow,2001) mengungkapkan prinsip dasar teori ini
yamg meliputi:
a. Tak seperti binatang, manusia dibekali kemampuan untuk berfikir.
b. Kemampuan berfikir dibentuk oleh interaksi sosial.
c. Dalam interaksi sosial manusia mempelajari arti dan simbol yang
memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berfikir mereka yang
khusus ini.
d. Makna dan simbol memungkinkan manusia melanjutkan tindakan khusus
dan berinteraksi.
e. Manusia mampu mengubah arti dan simbol yang mereka gunakan dalam
dalam tindakan dan interaksi berdasarkan penafsiran mereka terhadap
situasi.
f. Manusia mampu membuat kebijakan modifikasi dan perubahan, sebagian
karena kemampuan mereka berinteraksi dengan diri mereka sendiri, yang
memungkinkan mereka menguji serangkaian peluang tindakan, menilai
keuntungan dan kerugian reklatif mereka, dan kemudian memilih satu di
antara serangkaian peluang tindakan itu.
g. Pola tindakan dan interaksi yang saling berkaitan akan membentuk
kelompok dan masyarakat.(George Ritzer & Douglas J.Goodman,
2007:289)
Pembelajaran mengenai makna dan simbol Mead mengatakan,
teoritisi interaksionisme simbolik cenderung menyetujui pentingnya sebab
musabab interaksi sosial. Dengan demikian, makna bukan berasal dari proses
mental yang menyendiri, tetapi berasal dari interaksi. Tindakan dan interaksi manusia, bukan pada proses mental yang terisolasi, bukan bagaimana cara
mental manusia menciptakan arti dan simbol, tetapi bagaimana cara mereka
mempelajarinya selama interaksi pada umumnya dan selama proses sosialisasi
pada khususnya.
Simbol adalah objek sosial yang dipakai untuk mempresentasikan
(atau menggantikan) apa pun yang disetujui orang yang akan mereka
representasikan. Teoritisi interaksionisme simbolik membayangkan bahasa
sebagai sisitem simbol yang sangat luas (George Ritzer & Douglas
J.Goodman, 2007:292).
Simbol adalah aspek yang sangat penting yang memungkinkan orang
bertindak menurut cara-cara yang khas dilakukan manusia. Karena simbol,
manusia tidak memberikan respon secara pasif terhadap realitas yang
memaksakan dirinya sendiri, tetapi secara aktif menciptakan dan dan mencipta
ulang dunia tempat mareka berperan.
Disamping itu simbol pada umunya dan bahasa pada khususnya,
mempunyai sejumlah fungsi khusus yaitu:
- Simbol memungkinkan orang menghadapi dunia material dan dunia sosial dengan memungkinkan mereka untuk mengatakan, menggolongkan dan mengingat objek yang mereka jumpai di situ.
- Simbol meningkatkan kemampuan manusia untuk memahami lingkungan.
- Simbol meningkatkan kemampuan untuk berfikir.
- Simbol meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan berbagai masalah.
- Simbol juga memungkinkan aktor mendahului waktu, ruang, dan bahkan pribadi mereka sendiri. (George Ritzer & Douglas J.Goodman, 2007 : 292- 293).
F. KERANGKA BERFIKIR
Pada setiap jenis penelitian, selalu menggunakan kerangka berfikir
sebagai alur dalam menentukan arah penelitian, hal ini untuk menghindari
terjadinya perluasan pembahasan yang menjadikan penelitian tidak
terarah/ terfokus.
Dimulai dengan memahami judul tentang peranan orang tua dalam
mengembangkan religiositas anak, maka dimulai dari orang tua yang
merupakan bagian terpenting dari keluarga, orang tua diharapakan dapat
membimbing anak dalam melakukan sosialisasi dalam masyarakat.
Partisipasi orang tua yang dapat ditanamkan pada diri anak adalah
membentuk perilaku anak agar berperilaku beragama, hal ini dirasa
penting sebab di era sekarang ini yang serba maju banyak anak-anak yang bertingkah laku melewati batas koridor agama maupun norma yang
berlaku didalam masyarakat.
Dari sebab itulah maka pola didik yang harus diterapkan oleh
orang tua terhadap anak haruslah lebih ketat dan perlu diperhatikan dengan
seksama. Sebab bila orang tua lengah sedikit maka dapatlah
membahayakan masa depan anak.
Dari pola didik yang benar maka dapat menghasilkan nilai-nilai
serta tindakan atau tingkah laku yang berkualitas dalam diri anak untuk
bekal hidup dimasyarakat. Dari pola didik yang benar inilah maka dapat
dihasilkan generasi masa depan yang unggul dalam kehidupan
bermasyarakat.
G. METODE PENELITIAN
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Bangunsari, Kecamatan
Mejayan, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Alasan mengapa mengambil
lokasi di desa tersebut karena masyarakat desa tersebut menganut agama
yang beragam, tetapi satu dengan yang lainnya dapat saling menghargai
dan para orang tua sangat aktif memperhatikan pendidikan agama anakanak
mereka. Sehingga sikap religi pada anak-anak mereka dapat
tercermin dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini berbentuk deskriptif kualitatif. Dimana penelitian ini
berusaha untuk menjawab atas pertanyaan diatas yaitu bagaimana peran
orang tua dalam menanamkan sikap religius pada anak di desa Bangunsari,
Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun, Jawa Timur.
Penelitian kualitatif berakar pada latar belakang alamiah sebagai
suatu keutuhan, mengandalkan manusia sebagai alat penelitian,
memanfaatkan metode kualitatif, lebih mementingkan proses daripada
hasil, membatasi seperangkat kriteria untuk memberikan keabsahan dan
hasil penelitiannya disepakati oleh kedua belah pihak yaitu peneliti dengan
subyek yang diteliti (Lexy J. Moleong, 2001 : 4-6)
Bentuk penelitian ini akan mampu mengungkapkan berbagi
informasi kualitatif dengan deskriptif yang mampu memberikan gambaran
realitas sosial sebagaimana adanya dan relatif utuh.
Adapun ciri-ciri pokok dari metode deskriptif adalah :
- Memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang ada pada saat penelitian dilakukan (saat sekarang) atau masalah-masalah yang aktual.
- Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah-masalah yang diselidiki sebagimana adanya, diiringi interpretasi rasional.
Dalam penelitian ini peneliti berusaha mendeskripsikan peranana
orang tua dalam menanamkan sikap bereligiusitas pada anak berdasarkan
fakta-fakta yang nampak atau sebagaimana adanya.
3. Sumber data
Sumber data merupakan hal yang sangat penting bagi peneliti,
karena ketepatan dalam memilih dan menentukan jenis sumber data akan
menentukan kekayaan data dan ketepatan data atau informasi yang
diperoleh.
Adapun jenis sumber data secara menyeluruh dapat
dikelompokan sebagi berikut :
1. Responden
Jenis sumber data yang berupa manusia dalam penelitian pada
umumnya dikenal sebagai responden. Dalam penelitian ini adalah
anak, dan yang bertindak sebagi informan adalah orang tua.
2. Peristiwa atau aktivitas
Data atau informan yang dikumpulkan dari peristiwa, aktivitas atau
perilaku sebagai sumber data yang berkaitan dengan sasaran penelitian.
Dalam hal ini peneliti melakukan pengamatan terhadap aktivitas yang
dilakukan para informan dalam kehidupan mereka.
3. Tempat atau lokasi
Tempat atau lokasi yang berkaitan dengan sasaran atau permasalahan
peneliti juga dapat dijadikan sebagai sumber data yang dapat
dimanfaatkan oleh peneliti. Informan mengenai kondisi dari lokasi
peristiwa atau aktivitas yang dilakukan bisa digali lewat sumber
lokasinya baik yang merupakan tempat maupun lingkungannya. Dalam
ini keadaan lingkungan yang terdapat di desa Bangunsari, Kecamatan
Mejayan, Kabupaten Madiun, Jawa Timur.
4. Gambar
Beragam gambar yang ada dan berkaitan dengan aktivitas dan kondisi
yang ada di lokasi penelitian. Dalam hal ini gambar atau foto yang
berkaitan dengan kegiatan religi di daerah penelitian.
5. Dokumen dan arsip
Dokumen dan arsip merupakan bahan tertulis yang berkaitan dengan
suatu peristiwa atau aktivitas tertentu, diantaranya adalah deskripsi
lokasi desa Bangunsari.
Sedangkan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
a. Data primer
Yaitu data yang diperoleh secara langsung dari informan melalui
teknik wawancara atau interview serta secara langsung dari
sumbernya yang terdiri dari orang tua dan anak.
b. Data sekunder
Yaitu merupakan data primer yang telah diolah lanjut dan disajikan
baik oleh pengumpul data primer atau oleh pihak lain. Misalnya
dalam bentuk tabel atau diagram. Data sekunder dalam penelitian
ini mengunakan :
- Dokumentasi Yaitu proses pengambilan data dari dokumentasi yang ada di kantor Desa Bangunsari, Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun, Jawa Timur.
- Kepustakaan Sumber ini berupa jurnal-jurnal penelitian, buku-buku terbitan pemerintah, serta karya-karya ilmiah lainnya.
4. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik sampling yang digunakan penelitian adalah Teknik
Purposive sampling (sampling bertujuan). Teknik purposive sampling
adalah dimana peneliti cenderung memilih responden secara variatif
berdasarkan (alasan), sehingga dalam penelitian ini menggunakan
Maximum Variation Sampling. Namun demikian responden yang dipilih
dapat menunjuk responden lain yang lebih tahu, maka pilihan responden dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan penelitian
dalam pengambilan data penelitian (HB. Sutopo, 1992: 22).
Sehingga peneliti akan mendapatkan informasi sesuai dengan datadata
yang diinginkan, yang nantinya diperlukan dalam pembuatan laporan
penelitian.
Dalam penelitian ini sample yang akan digunakan adalah informan
dan responden dari berbagai pihak, yaitu:
- Orang tua selaku informan sejumlah 5 orang.
- Anak sebagai obyek penerapannya, yang berusia antara 13 tahun sampai 17 tahun berlaku sebagai responden sejumlah 5 orang.
5. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
antara lain:
a. Wawancara mendalam
Yaitu teknik pengumpulan data dengan cara memperoleh informasi
melalui kegiatan tanya jawab secara langsung pada responden.
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu
dilakukan oleh dua pihak, pihak pewawancara yang mengajukan
pertanyaan dan yang diwawancarai yang memberikan jawaban atas
pertanyaan itu (Moleong, 2004 : 135)
Tujuan utama melakukan wawancara adalah untuk menyajikan
kontruksi saat sekarang dalam suatu konteks mengenai para pribadi,
peristiwa, aktivitas, organisasi, perasaan, motivasi, tanggapan atau
persepsi, tingkat dan bentuk keterlibatan, dan sebagainya, untuk
merekontruksi beragam hal seperti itu sebagai bagian dari pengalaman masa lampau, dan memproyeksikan hal-hal itu dikaitkan dengan harapan
yang bisa terjadi di masa yang akan datang.
Teknik wawancara mendalam ini tidak dilakukan secara ketat dan
terstruktur, tertutup, dan formal, tetapi lebih menekankan pada suasana
akrab dengan mengajukan pertanyaan terbuka. Cara pelaksanaanya
wawancara yang lentur dan longgar ini mampu menggali dan menangkap
kejujuran informasi di dalam memberikan informasi yang sebenarnya. Hal
ini semakin bermanfaat bila informnasi yang diinginkan berkaitan dengan
pendapat, memperlancar jalannya wawancara digunakan petunjuk umum
wawancara berupa daftar pertanyaan yang telah disusun sebelum terjun ke
lapangan.
b. Observasi langsung
Yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan secara sistematis, yang
dilakukan dengan mengadakan suatu pengamatan secara terus-menerus.
Observasi dimaksudkan sebagai pengamatan dan pencatatan fenomena
yang diteliti. Observasi memungkinkan melihat dan mengamati sendiri
perilaku dan kejadian sebagaimana keadaan sebenarnya.
c. Dokumentasi
Yaitu suatu bentuk data yang diperoleh dari arsip-arsip yang telah ada
sebelumnya.
6. Validitas data
Dalam penelitian ini menggunakan teknik triangulasi dalam
mencapai validitas data. Teknik triangulasi adalah teknik penarikan
keabsahan data dengan memanfaatkan penggunaan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan penyelesaian atau sebagai pembanding
terhadap data yang suda ada.
Dimana dalam penelitian ini menggunakan triangulasi sumber.
Artinya membandingkan dan mengecek kembali derajat kepercayaan suatu
sumber informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda
dalam metode kualitatif.
Hal ini dapat dicapai dengan jalan :
- Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.
- Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi.
- Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu.
- Membandingkan keadaan dan prespektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang yang berpendidikan tinggi, orang yang berada dan orang yang berada dalam pemerintahan.
- Membandingkan hasil wawancara dengan suatu dokumen yang berkaitan (Moleong, 2002 : 78)
Dari kelima hal tersebut peneliti menggunakan metode
membandingkan data hasil penelitian dengan data wawancara.
7. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan bagian yang penting dalam penelitian
kualitatif. Pada bagian ini memerlukan pekerjaan yang sistematis,
komunikatif, dan koperehensif dalam merangkai dan merespon,
mengorganisasi data, menyusun data dan merakitnya ke dalam satu
kesatuan yang logis sehingga jelas kaitannya.
Untuk menganalisis data, data digunakan model analisis interaktif
(Interactive Model Analisys). Menurut HB.Sutopo bahwa dalam proses
analisis data ada tiga komponen pokok yang harus dimengerti dan
dipahami oleh setiap peneliti. Tiga komponen tersebut adalah reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (HB. Sutopo,
2002: 91-93). Adapun penjelasannya sebagai berikut :
a. Reduksi Data
Reduksi data merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyerderhanaan
dan abstraksi data kasar yang ada dalam field note. Proses ini
berlangsung sepanjang pelaksanaan penelitian, yang dimulai dari
bahkan sebelum pengumpulan data.
b. Penyajian Data
Penyajian data adalah suatu rakitan informasi yang memungkinkan
kesimpulan penelitian dilakukan. Pada bagian ini, data yang disajikan
telah disederhanakan dalam reduksi data dan harus ada gambaran
secara menyeluruh dari kesimpulan yang diambil. Susunan kajian data
yang baik adalah yang jelas sistematiknya, karena hal ini akan banyak
membantu dalam penarikan kesimpulan. Adapun sajian data dapat
berupa gambar, matriks, tabel maupun bagan.
c. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan adalah suatu proses penjelasan dari suatu
analisis (reduksi data).Ketiga proses analisis data tersebut adalah merupakan satu kesatuan
yang saling menjelaskan data berhubungan erat, sehingga dapat
digambarkan sebagai berikut :
Gambar Skema Model Analisis Interaktif
(HB. Sutopo, 2002 : 96)
Dari model analisis tersebut, menunjukan bahwa pengumpulan
data dibuat reduksi dan sajian data dengan maksud semua data yang
dikumpulkan dapat disajikan secara mendalam kemudian disusun secara
sistematis. Bila pengumpulan data sudah berakhir, maka dilakukan
penarikan kesimpulan berdasarkan pada semua hal yang terdapat dalam
reduksi data dan sajian data.