Arsip sebagai Simpul Pemersatu Bangsa
I. Pengatar
Arsip selama ini sering hanya diartikan sebagai selembar atau seonggok kertas usang
yang tidak mempunyai arti dan makna. Ia hanya diartikan sebagai bagian masa lampau yang
tidak ada kaitannya sama sekali dengan masa kini dan masa mendatang. Terkadang ia hanya
diartikan sebagai tembusan surat keluar, yang posisinya sangat tidak terhormat, karena ia
hanya ditempatkan pada urutan terbawah. Padahal arsip adalah rekaman kegiatan atau
peristiwa dalam berbagai bentuk dan media, yang sangat penting dalam pelaksanaan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sebagaimana diamanatkan oleh
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, yang merupakan pengganti dari
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kearsipan. Arsip
yang menjandi simpul pemersatu bangsa, bisa arsip dinamis dan bisa pula arsip statis. Adalah
suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa arsip merupakan tulang punggung
manajemen pemerintahan dan pembangunan, merupakan bukti akuntabilitas kinerja
organisasi dan aparaturya, alat bukti sah di pengadilan, yang pada gilirannya akan menjadi memori kolektif dan jati diri bangsa serta warisan nasional. Pentingnya arsip bisa dilihat
seperti penyataan di bawah ini:
"Dari semua aset negara yang ada, arsip adalah aset yang paling berharga. Ia
merupakan warisan nasional dari generasi ke generasi yang perlu dipelihara dan
dilestarikan. Tingkat keberadaban suatu bangsa dapat dilihat dari pemeliharaan dan
pelestarian terhadap arsipnya." (Daugty, 1924).
“Pemerintah tanpa arsip ibarat tentara tanpa senjata, dokter tanpa obat, petani tanpa
benih, tukang tanpa alat … Arsip merupakan saksi bisu, tak terpisahkan, handal dan abadi,
yang memberikan kesaksian terhadap keberhasilan, kegagalan, pertumbuhan dan kejayaan
bangsa.” (Alfaro, 1937).
“Apabila dokumen-dokumen Negara terserak pada berbagai tempat tanpa adanya suatu
mekanisme yang wajar, yang dapat menunjukkan adanya dokumen-dokumen tersebut,
apabila berbagai dokumen Negara hilang atau dimusnahkan semata-mata karena tidak
disadari nilai-nilai dokumen-dokumen tersebut oleh sementara pejabat, maka pemerintah
tentu akan menanggung akibat dari pada hilangnya informasi, yang dapat menyulitkan
pemerintah dalam usaha-usahanya memberi pelayanan kepada rakyat.” (Soeharto, 1969).
“Tanpa arsip, suatu bangsa akan mengalami sindrom amnesia kolektif dan akan
terperangkap dalam kekinian yang penuh dengan ketidakpastian. Oleh karena itu, tidaklah
akan terlalu keliru jika dikatakan bahwa kondisi kearsipan nasional suatu bangsa dapat
dijadikan indikasi dari kekukuhan semangat kebangsaannya.” (Moerdiono, 1996).
Arsip ada, tetapi keberadaannya tidak diada-adakan. Ia adalah rekaman kegiatan atau
peristiwa, ia sering disebut naskah atau informasi tetapi bukan sembarang informasi. Ia
merupakan informasi yang direkam/terekam yang otentisitas, kredibilitas, legalitas dan
integritasnya bisa dihandalkan. Oleh karenanya ia harus dijaga dari pengrusakan (tampering),
pengubahan (alteration), pemalsuan (falsification), dan penghapusan
(deletion). Ia mempunyai struktur (structure), isi (content), dan konteks (context). Konteks
inilah yang sangat penting tetapi sering dilupakan oleh banyak pihak, bahkan oleh sebagian
arsiparis. Padahal dalam definisi arsip (Pasal 1 nomor 2 Undang-Undang Nomor 43 Tahun
2009) dikatakan bahwa arsip dibuat dan diterima “dalam pelaksanaan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.” Tujuh kata inilah merupakan “konteks” yang
tidak boleh diabaikan. Sudah barang tentu istilah “konteks” dalam bidang kearsipan
mempunyai arti yang jauh lebih luas dari pada “konteks” di sini. Dengan struktur, isi, dan
konteks, sebagaimana diamanahkan dalam dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor
43 Tahun 2009, suatu arsip baru berarti dan bermakna, serta mempunyai syarat “recordness”.
Sehubungan dengan itu, untuk menunjukkan “konteks” tersebut, ada baiknya apabila
definisi arsip menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1971 disampaikan di sini. Arsip adalah rekaman kegiatan atau peristiwa dalam
berbagai bentuk dan media sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi yang dibuat dan diterima oleh lembaga Negara, pemerintahan daerah, lembaga
pendidikan, perusahaan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan perseorangan
dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 2009 Pasal 1 angka 2). Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1971 arsip adalah naskah-naskah yang dibuat dan diterima oleh lembaga-lembaga
negara dan badan-badan pemerintahan, badan-badan swasta, dan perorangan dalam bentuk
corak apapun dalam keadaan tunggal maupun berkelompok dalam rangka pelaksanaan
kegiatan pemerintahan dan kehidupan kebangsaan.
Sedangkan yang dimaksud dengan bangsa di sini adalah Bangsa Indonesia yang telah
diikrarkan sejak Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 dan terus dikembangkan sesuai
dengan kebutuhan dalam rangka mempertahankan NKRI. Bangsa Indonesia terdiri atas
berbagai suku yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Oleh Anderson (2001) bangsa
diartikan sebagai komunitas yang terbayang (Imagined community). Pengertian bangsa,
termasuk Bangsa Indonesia sudah barang tentu sangat kompleks dan tidak sesederhana
sebagai yang disampaikan di atas.
Tulisan ini berusaha membahas arsip sebagai Simpul Pemersatu Bangsa dan Perekat
Bangsa Indonesia. Hal ini sejalan dengan Visi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI)
atau Visi Kearsipan Nasional yaitu Arsip Sebagai Simpul Pemersatu Bangsa. Tulisan ini
diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam merajut kembali persatuan anak bangsa
ketika ditengarai terjadinya penurunan atau kelunturan persatuan nasional. Masih adanya
gejala disintegrasi bangsa dan terjadinya konflik soasial. Simbol kenegaraan dan/atau
identitas nasional seperti Garuda Pancasila, Bendera Sang Merah Putih, Lagu Kebangsaan
Indonesia Raya seolah tanpa arti dan tanpa makna. Penggunaan Bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan dan bahasa negara kurang dihayati maknanya lagi. Bahkan pembacaan
Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada setiap upacara seolah tanpa
makna dan hanya merupakan kelengkapan upacara belaka, padahal semuanya itu merupakan
jati diri bangsa yang kita lestarikan bersama. Lambang Negara Garuda Pancasila yang
dipasang di tengah fofo Presiden dan Wakil Presiden seolah tidak mempunyai arti dan makna
dan hanya merupakan pajangan belaka. Dalam rangka “nation dan character building”,
menumbuhkan ikatan emosional anak bangsa terhadap bangsa dan negaranya Indonesia tercinta, serta memberikan memberikan makna akan lambang dan identitas nasional yang
tidak lain adalah arsip, maka untuk mewujudkan visinya “Menjadikan Arsip sebagai Simpul
Pemersatu Bangsa”, ANRI membangun Diorama Sejarah Perjalanan Bangsa (diresmikan oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 31 Agustus 2009). Dalam acara
peresmian tersebut Presiden juga melaunching “Program Arsip Masuk Desa” dan sekaligus
memberikan bantuan laptop kepada 33 Kepala Desa dari 33 Provinsi di Indonesia, yang
secara simbolis diwakili oleh 5 Kepala Desa yang berasal dari Provinsi Aceh, Provinsi Papua,
Provinsi Maluku, Provinsi Sulawesi Selatan, dn Provinsi Jawa-Tengah.
Tulisan ini terdiri atas
- Sumpah Pemuda,
- Lagu Kebangsaan Indonesia Raya,
- Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
- Pancasila,
- Undang Undang Dasar 1945 yang meliputi:
- Rancangan Pembukaan UUD 1945 Alinea ketiga,
- Rancangan Pembukaan UUD 1945 Alinea keempat,
- Rancangan Pasal 6 ayat (1) UUD 1945,
- Wilayah NKRI,
- Bendera Negara Sang Merah Putih,
- Bahasa Negara Bahasa Indonesia, dan diakhiri dengan
- Lambang Negara Garuda Pancasila.
Seperti telah disampaikan di atas bahwa arsip yang menjadi simpul pemersatu bangsa
bisa arsip dinamis dan bisa arsip statis. Arsip atau naskah Sumpah Pemuda yang asli adalah
arsip statis. Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang asli, baik yang ditulis tangan oleh
Bung Karno maupun yang diketik oleh Sayuti Melik adalah arsip statis. Undang-Undang
Dasar 1945 yang asli, termasuk amandemennya yang berisi dan mengatur Pancasila, NKRI,
Bendera Negara Sang Merah Putih, Bahasa Indonesia, dan Lambang Negara Garuda
Pancasila adalah arsip dinamis. Demikian juga Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009
tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan yang asli, yang
sekarang masih disimpan di Sekretariat Negara adalah arsip, arsip tersebut arsip dinamis.
Bahkan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur bendera, bahasa, lambang Negara,
serta lagu kebangsaan yang asli yang masih berlaku dan tidak bertentangan dan/atau belum
diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, Nomor
66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1958
tentang Bendera Kebangsaan, Peraturan Pemerintah Nomor 43 tentang Penggunaan Lambang
Negara, dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1958 tentang Lagu Kebangsaan
Indonesia Raya yang sudah disimpan dan dilestarikan di ANRI adalah arsip dinamis.
II. ARSIP SEBAGAI SIMPUL PEMERSATU BANGSA
“…..Kita tetap melestarikan jati diri bangsa kita, yang tercermin dalam empat pilar,
yaitu: Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhinneka Tunggal Ika. Apapun yang terjadi kita harus berpegang teguh pada keempat
pilar itu, sebagai landasan utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.” (Pidato
Kenegaraan Presiden Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, tanggal 15 Agustus, 2008).
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara keaneragaman atau kebhinnekaan
memerlukan suatu perekat agar suatu bangsa dapat bersatu guna memelihara keutuhan bangsa
dan negaranya. Salah satu perekat tersebut adalah arsip.
Sebagaimana telah disebut di atas, bahasan ini akan dimulai dengan Sumpah Pemuda,
seperti tertulis di bawah ini:
1. Sumpah Pemuda
POETOESAN CONGRES
PEMOEDA–PEMOEDA INDONESIA
Kerapatan poemoeda-poemeda Indonesia jang diadakan oleh perkoempoelanperkoempoelan
pemoeda Indonesia yang berdasarkan kebangsaan, dengan namanja:
Jong Java, Jong Soematera (Poemoeda Soematera), Poemuda Indonesia, Sekar
Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Batakbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem
Betawi dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia:
Memboeka rapat pada tanggal 27-28 october tahoen 1928 di negeri Djakarta;
Sesoedahnja mendengar pidato-pidato dan pembitjaraan jang diadakan dalam
kerapatan tadi;
sesoedahnja menimbang segala isi-isi pidato-pidato dan pembitjaraan ini;
kerapatan laloe mengambil poetoesan:
Pertama:
KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA
MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
Kedua:
KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE,
BANGSA INDONESIA
Ketiga:
KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJOENJOENG BAHASA
PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA
Batavia, 28 Oktober 1928
Sumpah Pemuda tersebut dikumandangkan pada tanggal 28 Oktober 1928 dalam
Kongres Pemuda ke-2 di Jakarta (dulu Batavia). Yang menarik dari Kongres Pemuda ke-2 ini
6
adalah digunakannya bahasa Indonesia bukan Bahasa Belanda yang merupakan bahasa resmi
pada waktu itu, demikian juga tidak digunakannya bahasa Jawa karena dinilai berstrata
sehingga tidak bisa digunakan sebagai bahasa persatuan. Padahal ketika itu penguasaan
bahasa Indonesia oleh para peserta kongres masih terbatas. Sumpah Pemuda inilah yang
mempersatukan anak bangsa yang berasal dari berbagai etnis dan daerah dari Bumi Persada
Nusantara. Perlu kiranya disampaikan di sini bahwa Sumpah yang ketiga tentang bahasa,
yaitu bukan “berbahasa satu, bahasa Indonesia” melainkan “menjunjung bahasa persatuan
Bahasa Indonesia”.
Dengan rumusan tersebut para pemuda ketika itu sudah berfikir sangat
strategis dan mendalam karena memberikan tempat “bahasa daerah” untuk tetap
dipertahankan dan dikembangkan. Saat ini bahasa daerah menjadi bagian muatan lokal (local
content) di daerahnya, yang penting harus disertai dengan kearifan lokal (local wisdom).
Tentang penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara kemudian diatur dalam
Undang Undang-Dasar 1945 Pasal 35, yang disyahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh
PPKI. Sumpah Pemuda dan UUD 1945 tersebut menjadi simpul dan perekat bangsa.
Keduanya terekam dalam arsip, dengan demikian arsip menjadi simpul dan perekat bangsa.
2. Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
Setelah Sumpah Pemuda diikrarkan, Wage Rudolf Supratman, seorang wartawan Sin Po
memperkenalkan lagu ciptaanya Indonesia Raya, dengan memainkan biola yang berupa
instrumentalia dan diiringi piano oleh Dolly Salim, putri Haji Agus Salim.
Adapun lirik Lagu Kebangsaan Indonesia Raya versi asli dengan tiga stanza, yang
merupakan Lampiran Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 adalah seperti tersebut di
bawah ini:
Stanza 1 :
Indonesia Tanah Airkoe Tanah Toempah Darahkoe
Di sanalah Akoe Berdiri Djadi Pandoe Iboekoe.
Indonesia Kebangsaankoe Bangsa dan Tanah Airkoe
Marilah Kita Berseroe Indonesia Bersatoe
Hidoeplah Tanahkoe
Hidoeplah Negrikoe
Bangsakoe Rak’jatkoe Sem’wanja
Bangoenlah Djiwanja
Bangoenlah badannja
Oentoek Indonesia Raja
(Reff: diulang 2 kali)
Stanza 2 :
Indonesia Tanah Jang Moelia Tanah Kita Jang Kaja
Di Sanalah Akoe Berdiri Oentoek Slama-Lamanja
Indonesia Tanah Poesaka P’saka Kita Semoeanja
Marilah Kita Mendo’a Indonesia Bahagia
Soeboerlah Tanahja Soeboerlah Djiwanja
Bangsanja Rakjatnja Sem’wanja
Sadarlah Hatinja
Sadarlah Boedinja
Oentoek Indonesia Raja
(Reff: Diulang 2 kali)
Indonesia Raja Merdeka Merdeka Tanahkoe Negrikoe Jang Koetjinta
Indonesia Raja Merdeka Hidoeplah Indonesia Raja
Stanza 3 :
Indonesia Tanah Jang Soetji Tanah Kita Jang Sakti
Disanalah Akoe Berdiri
‘Ndjaga Iboe Sedjati
Indonesia Tanah Berseri Tanah Jang Akoe Sajangi
Marilah Kita Berdjandji Indonesia Abadi
S’lamatlah ra’jatnja S’lamatlah
Poetranja
Poelaoenja Laoetnja Sem’wanja
Majoelah Negrinja Majoelah Pandoenja
Oentoek Indonesia Raja
(Reff : Diulang 2 X)
Indonesia Raja Merdeka Merdeka Tanahkoe Negrekoe Jang Koetjinta
Indonesia Raja Merdeka Merdeka Hidoeplah Indonesia Raja
Lagu Indonesia ini juga berperan memberikan dorongan dan spirit anak bangsa untuk
bersatu. Dengan demikian maka naskah/arsip
Lagu Indonesia Raya ini juga menjadi simpul
dan perekat bangsa.
Lagu Indonesia Raya seperti yang kita nyanyikan sekarang diatur oleh Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 1958 (copy naskah dapat dilihat di bawah). Lagu Indonesia
Raya dapat dinyanyikan 3 (tiga) stanza atau 1 (satu) stanza. Perlu kiranya ditegaskan bahwa
Peraturan Pemerintah yang asli yang ditandatangani Presiden sejatinya adalah arsip.
Lagu Kebangsaan Indonesia Raya ini baru dimasukkan ke dalam konstitusi atau
Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 18 Agustus 2000 pada amandemen kedua, yaitu
8
dalam Pasal 36 B. Amandemen UUD 1945 tentang Lambang Negara (Pasal 36 A) dan Lagu
Kebangsaan (Pasal 36 B) selanjutnya dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Amandemen
Undang-Undang Dasar 1945 yang asli sejatinya adalah arsip. Dengan demikian naskah/arsip
amandemen ini sebagai simpul dan perekat bangsa. Perlu disampaikan di sini bahwa naskah
asli amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen pertama disahkan tanggal 19
Oktober 1999, amandemen kedua disahkan tanggal 18 Agustus 2000, amandemen ketiga
disahkan tanggal 10 November 2001, dan amandemen keempat disahkan 10 Agustus 2002),
yang masih merupakan arsip dinamis telah disimpan dan dilestarikan di ANRI. Naskah
tersebut diserahkan oleh Ketua MPR Dr. Hidayat Nurwahid kepada ANRI pada tanggal 7
September 2009. Copy naskah amandemen UUD 1945 tersebut juga telah ditempatkan dalam
salah satu ruangan “Diorama Sejarah Perjalanan Bangsa”.
Gambar 1. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1958
3. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Gambar 2. Teks Proklamasi
Naskah Proklamasi tulisan tangan Bung Karno diserahkan kepada Negara pada tahun
1992 oleh BM Diah dan Tjokro Pranolo, kemudian disimpan di Arsip Nasional Republik
Indonesia (ANRI). Sedangkan naskah Proklamasi yang diketik Sayuti Melik diserahkan
kepada Negara pada tahun 1960 oleh Soejati Surowidjojo binti Prodjohandoko. Naskah
tersebut disimpan di Istana Negara Jakarta. Naskah tersebut sebelumnya disimpan oleh
suaminya, Juliarso Surowidjojo. Perlu kiranya disampaikan di sini bahwa Naskah asli teks
Proklamasi 17 Agustus 1945 pada tahun 1994 dienkapsulasi oleh 4 (empat) orang pegawai
ANRI, yaitu : 1) Retno, 2) Kamal Kamaluddin, 3) Enco Bastaman, dan 4) Djoko Utomo.
Dari dua naskah Proklamasi tersebut di atas dapat dilihat dinamika perumusannya.
Adapun prosesi pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia secara singkat dapat
dilihat sebagai berikut.
Pada pukul 10.00 Pagi di depan rumahnya, Pegangsaan Timur 56, Ir. Soekarno yang
didampingi Drs. Mohammad Hatta menyampaikan sambutan sebagai berikut:
“Saya telah minta Saudara-saudara hadir di sini untuk menyaksikan suatu peristiwa maha
penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang
untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun.
Gelombang aksi untuk mencapai kemerdekaan itu ada naiknya ada turunnya, tetapi jiwa
kita menuju ke arah cita-cita
Juga di dalam zaman Jepang usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak
berhenti-henti. Di dalam zaman Jepang kita tampaknya saja menyandarkan diri kepada
mereka.
Tetapi pada hakekatnya, tetap menyusun tenaga kita sendiri, tetap kita percaya kepada
kekuatan sendiri. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan
tanah air di dalam tangan kita sendiri.
Hanya bangsa yang berani mengambil nasib tangan sendiri akan dapat berdiri dengan
kuatnya.
Maka kami tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka Indonesia
dari seluruh Indonesia. Permusyawaratan itu seia sekata berpendapat, bahwa
sekaranglah datang saat untuk menyatakan kemerdekaan kita.
Saudara-saudara. Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu.
Dengarkanlah proklamasi kami: (Ir. Soekarno kemudian membaca Teks Proklamasi yang
diketik oleh Sayuti Melik).
“PROKLAMASI
Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan d.l.l., diselenggarakan dengan cara saksama
dan dalam tempo yang sesingkat singkatnya. Jakarta, hari 17 bulan 8 tahun 05. Atas nama
bangsa Indonesia, Soekarno/Hatta.” (Ejaan yang disempurnakan).
(Perlu disampaikan di sini bahwa suara Bung Karno seperti yang kita dengar di berbagai
statisun televisi bukanlah suara Bung Karno pada tanggal 17 Agustus 1945 melainkan suara
Bung Karno yang direkam oleh Jusuf Ronodiopuro pada tahun 1950).
Demikianlah Saudara-saudara.
“Kita sekarang telah merdeka”. “Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air
kita dan bangsa kita”.
Mulai saat ini kita menyusun negara kita: Negara Merdeka. Negara Republik Indonesia.
Merdeka Kekal dan Abadi.
Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu.”
(Risalah Sidang PPKI, dengan ejaan yang disempurnakan)
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 merupakan tonggak sejarah,
puncak perjuangan anak bangsa dalam merebut kemerdekaan. Ini merupakan proses panjang
yang telah dirintis sejak tahun 1908 dan mulai mengkristal pada 28 Oktober 1928 dengan
dikumandangkannya Sumpah Pemuda.
Satu hari setelah Proklamasi Kemerdekaan, tepatnya pada tanggal 18 Agustus 1945
PPKI mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan menetapkan Ir.
Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil
Presiden Republik Indonesia.
Adapun naskah Pengesahan Undang Undang Dasar 1945 dan Penetapan Presiden dan
Wakil Presiden Republik Indonesia dapat dilihat di bawah ini:
Gambar 3. Naskah Pengesahan Undang Undang Dasar 1945 dan Penetapan Presiden
dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Kedua naskah tersebut telah disimpan dan dilestarikan di ANRI. Naskah Pengesahan
Undang Undang Dasar Republik Indonesia (1945) dan Penetapan Presiden dan Wakil
Presiden Republik Indonesia yang memberikan legitimasi berlakunya UUD 1945 dan
memberikan legitimasi kepada Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Presiden dan
Wakil Presiden Republik Indonesia. Naskah tersebut juga menjadi perekat dan pemersatu
bangsa.
4. Pancasila
Salah satu pilar dari empat pilar yang harus dipertahankan sebagaimana disebut dalam
pidato kenegaraan Presiden SBY pada tanggal 15 Agustus 2008, seperti yang telah
dikemukakan di atas adalah Pancasila.
Istilah Pancasila muncul pertama kali pada tanggal 1 Juni 1945 ketika Ir. Soekarno
menyampaikan pidato pada Masa Sidang Pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia yang membahas tentang Dasar Negara Indonesia. Adapun cuplikan
dari pidato tersebut adalah sebagai berikut:
“Saudara-saudara.
Dasar Negara telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca
Dharma? Bukan. Nama Panca Dharma tidak tepat disini. Dharma berarti kewajiban,
sedangkan kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka
pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca
Indra. Apa lagi yang lima bilangannya? (Seorang yang hadir bilang Pendawa Lima).
Kebangsaan, Internasionalisme, Mufakat, kesejahteraan, dan Ketuhanan.
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang
teman kita ahli bahasa, namanya ialah Panca Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan
diatas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.”
(Risalah Sidang BPUPKI, dengan ejaan yang disempurnakan ).
Pancasila yang disampaikan oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 tersebut,
urutannya adalah sebagai berikut:
- Kebangsaan
- Internasionalisme
- Mufakat
- Kesejahteraan
- Ketuhanan
Hal yang sangat menarik untuk dikemukakan adalah mengenai “Ketuhanan” yang
merupakan bagian dari Pancasila. Dinamika pembahasan “Ketuhanan” dari sejak
disampaikan pada tanggal 1 Juni 1945, kemudian dirumuskan dalam Rancangan Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 oleh Panitia Sembilan pada tanggal 22 Juni 1945 (Piagam
Djakarta atau Djakarta Charter) sampai dengan disyahkannya Undang-Undang Dasar 1945
pada tanggal 18 Agustus 1945.
Pancasila (1 Juni 1945) yang disampaikan oleh Bung Karno, “Ketuhanan” disebut
sebagai “Sila Kelima dari Pancasila”. Yang menarik dari pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 tentang “Ketuhanan” tersebut adalah diharapkannya “Ketuhanan yang
berkebudayaan” dan “Ketuhanan yang berkeadaban”. Adapun cuplikan dari pidato yang
menyangkut Ketuhanan tersebut adalah sebagai berikut:
“Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah
Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara
Kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia
satu Negara yang berTuhan. Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam,
maupun Kristen dengan cara berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah
hormat menghormati satu lain. Nabi Muhammad SAW telah memberi bukti yang cukup
tentang verdraagzaamheiud, tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isapun
telah menunjukkan verdraagzaamheid itu. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka
yang kita susun ini, sesuai dengan itu menyatakan bahwa prinsip kelima dari negara
kita ialah Ke Tuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang
luhur, Ketuhanan yang hormat menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya
jikalau Saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan keTuhanan
Yang Maha Esa.” (Risalah Sidang BPUPKI, dengan ejaan yang
disempurnakan).
Perlu kiranya disampaikan di sini tentang “rumusan Pancasila” dalam Alinea keempat
Mukadimah atau Pembukaan Rancangan Undang-Undang Dasar 1945 yang dibuat oleh
Panitia Sembilan pada tanggal 22 Juni 1945, yangt kemudian dikenal dengan Piagam
Djakarta atau Djakarta Charter.
Adapun Panitia Sembilan tersebut adalah : 1. Ir. Soekarno, 2. Drs. Mohammad Hatta, 3.
Mr. A.A. Maramis, 4. Abikoesno Tjokrosoejoso, 5. Abdoelkahar Moezakir, 6. H.A. Salim, 7.
Mr. Achmad Saoebardjo, 8. Wachid Hasjim, 9. Mr. Muhammad Yamin.
Adapun rumusan Pancasila dalam Alinea ke-4 Piagam Djakarta (Djakarta Charter)
tersebut adalah sebagai berikut :
“Kemudian dari pada itu ... maka disusunlah Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh
kebijaksanaan/ perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Inonesia.”
Rumusan tersebut di atas pada Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
tanggal 18 Agustus 1945 diubah atas usul Wakil Ketua PPKI Drs. Mohammad Hatta. Usulan perubahan tersebut adalah dengan menghilangkan anak kalimat (7 kata) di belakang kata keTuhanan
dan menggantinya dengan “Yang Maha Esa”. Adapun anak kalimat (7 kata)
tersebut adalah “dengan menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya”. Dengan
perubahan tersebut maka rumusannya menjadi:
“Kemudian dari pada itu … maka disusunlah Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan Yang Maha Esa, menurut
dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat dalam kebijaksanaan dalam poermusyawaratan/ perwakilan serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Dengan dihilangkannya kata-kata “dengan menjalankan syariat Islam bagi para
pemeluknya” di belakang kata “Ketuhanan”, maka akan mempersatukan anak-anak bangsa
yang berbeda agama. Dengan dihilangkannya 7 (tujuh) kata tersebut bukan saja menunjukan
kearifan dan kebesaran jiwa para pendiri republik yang mayoritas beragama Islam tetapi juga
niscaya dengan penghilangan 7 (tujuh) kata tersebut tidak bertentangan dengan ajaran agama
Islam. Hal terakhir ini bisa dilihat dari pernyataan Muhammad Natsir (1954) sebagai berikut:
“Perumusan Pancasila adalah hasil musyawarah para pemimpin pada saat taraf perjuangan
kemerdekaan memuncak 1945. Saya percaya bahwa di dalam keadaan demikian, para
pemimpin yang berkumpul itu, yang sebagian besarnya adalah beragama Islam, pastilah
tidak akan membenarkan sesuatu perumusan yang menurut pandangan mereka nyata
bertentangan dengan asas dan ajaran Islam.“
Pancasila yang disyahkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945, susunannya adalah
sebagai berikut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Dengan disepakatinya penghilangan anak kalimat tersebut menunjukkan betapa para
pendiri republik ini sangat arif dan bijaksana. Ketika itu tidak diadakan voting. Dari sini
dapat dilihat betapa besar toleransi orang Islam terhadap penganut agama lain. Dengan
penghilangan anak kalimat tersebut, Hatta kemudian mengatakan “Inilah perobahan yang
maha penting menyatukan segala bangsa.”
Rumusan Pancasila yang disyahkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945 tersebut betul
betul merupakan perekat bangsa, merupakan pemersatu bangsa. Lebih-lebih dengan sila ketiga “Persatuan Indonesia”. Pancasila yang merupakan jati diri bangsa dan merupakan
salah satu pilar dalam kehidupan berbangsa senantiasa harus kita lestarikan. Yang penting
adalah bagaimana mengamalkan Pancasila tersebut. Dengan demikian naskah Pancasila
merupakan pemersatu atau perekat bangsa.
5. Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Dasar 1945 adalah salah satu pilar dari empat pilar yang harus
dipertahankan sebagaimana disebut dalam pidato kenegaraan Presiden SBY pada tanggal 15
Agustus 2008, seperti yang telah dikemukakan di atas.
Undang-Undang Dasar 1945 terdiri atas Pembukaan dan Batang Tubuh. Seperti kita
ketahui bahwa Undang-Undang Dasar 1945 telah diamandemen sebanyak 4 (empat) kali,
ketika Majelis Permusyawaratan Rakyat di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Amien Rais, MA.
Telah disepakati bahwa di dalam amandemen UUD 1945 hanya dilakukan terhadap batang
tubuh saja dan bukan terhadap Pembukaan. Amandemen pertama ditetapkan oleh MPR
tanggal 19 Oktober 1999, Amandemen kedua ditetapkan oileh MPR tanggal 18 Agustus
2000, Amandemen ketiga ditetapkan oleh MPR tanggal 9 Nopember 2001, dan Amandemen
keempat ditetapkan oleh tanggal 10 Agustus 2002.
Adalah sangat menarik untuk disampaikan tentang dinamika pembahasan Rancangan
Undang-Undang Dasar 1945 yang disusun oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sampai dengan disyahkannya Undang-Undang Dasar
1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945,
khususnya yang menyangkut persatuan bangsa. Penting juga untuk disampaikan UUD 1945
termasuk amandemennya mengenai pasal-pasal persatuan.
Seperti dieketahui bahwa Rancangan Pembukaan UUD 1945 dibuat oleh Panitia
sembilan yang diketuai oleh Bung Karno, yang kemudian dikenal dengan Piagam Djakarta
atau Djakarta Charter (dibuat tanggal 22 Juni 1945) dan disyahkan oleh PPKI pada tanggal 18
Agutus 1945.
a. Alinea ketiga Rancangan Pembukaan UUD 1945
Adapun alinea ketiga Rancangan UUD 1945 tersebut adalah sebagai berrikut:
“Atas berkat rachmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia
dengan ini menyatakan kemerdekaannya.” (Risalah Sidang PPKI, dengan ejaan yang
disempurnakan).
Pada waktu pembahasan Rancangan UUD tersebut pada Sidang Pertama PPKI pada
tanggal 18 Agustus 1945 yang dipimpin oleh Ir. Soekarno, ada usulan dari seorang anggota
PPKI yang bernama I Gusti Ktut Pudja yang berasal dari Bali meminta agar kata “Allah”
diganti dengan kata “Tuhan”, sehingga rumusan alenea ketiga berbunyi :
“Atas berkat rachmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia
dengan ini menyatakan kemerdekaannya.” (Risalah sidang PPKI, dengan ejaan yang
disempurnakan).
Usulan tersebut diterima secara bulat oleh para anggota PPKI dan kemudian disyahkan.
Dengan diubahnya kata “Allah” dengan kata “Tuhan” tersebut maka naskah Pembukaan
UUD 45 tersebut menjadi pemersatu dan perekat bangsa. Karena agama yang mempunyai
“Allah” hanyalah Islam dan Kristen (Katolik dan Protestan). Sedangkan agama lain yaitu
Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu tidak mempunyai “Allah” tetapi mempunyai “Tuhan”. Kata
“Tuhan” berlaku untuk semua agama termasuk Islam dan Kristen.
b. Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk
kesejateraan umum, mencerdaskan kehidupan Bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar Negara
Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan Yang Maha Esa, menurut
dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat dalam kebijaksanaan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang di dalamnya
juga memuat rumusan Pancasila sungguh luar biasa. Begitu cerdasnya para pendiri republik
merumuskan formula alat pemersatu dan perekat bangsa. Untuk itu Pancasila dan Pembukaan
UUD 1945 harus dipertahankan sepanjang masa. Karena merupakan jati diri Bangsa
Indonesia. Oleh karena itu persyaratan organisasi kemasyarakatan yang harus menggunakan
asas Pancasila sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985
sangatlah tepat. Yang lebih penting lagi adalah implementasi Pancasila dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara dalam berbagai aspek harus betul-betul dijalankan dengan baik oleh
semua pihak.
c. Pasal 6 ayat (1) Rancangan Undang-Undang Dasar 1945
Adapun bunyi Pasal 6 ayat (1) Rancangan UUD 1945 tersebut adalah sebagai berikut:
“Presiden ialah orang Indonesia aseli yang beragama Islam.”
Rumusan ini adalah usulan Ir. Soekarno pada Sidang BPUPKI tanggal 16 Juli 1945. Hal
ini dapat dilihat dari Risalah Sidang BPUPKI yang dipimpin ketuanya Dr. K.R.T. Radjiman
Wedyodiningrat tanggal 16 Juli 1945, sebagai berikut:
“Yang saya usulkan ialah: “…Presiden Republik Indonesia haruslah orang Indonesia
aseli yang beragama Islam.” Saya mengetahui buat sebagian pihak kaum kebangsaan
ini berarti sesuatu hal yang berarti pengorbanan mengenai keyakinan. Tetapi apa boleh
buat. Karena bagaimanapun kita sekalian yang hadir disini, dikatakan 100% telah
yakin, bahwa justru olkeh karena penduduk Indonesia terdiri dari pada 90% atau 95%
orang-orang yang beragama Islam, bagaimanapun, tidak boleh tidak, nanti yang
menjadi Presiden Indonesia tentulah orang yang beragama Islam. … Saya minta,
supaya apa yang saya usulkan itu diterima dengan bulat oleh anggota sekalian,
walaupun saya mengetahui bahwa ini berarti pengorbanan yang sehebat hebatnya,
terutama sekali dari pihak Saudara-saudara kaum patriot Latuharhary dan Maramis
yang tidak beragama Islam. Saya minta dengan rasa menangis, rasa menangis, supaya
sukalah Saudara-saudara menjalankan offer ini kepada tanah air dan bangsa kita,
pengorbanan untuk keinginan kita, supaya kita bisa lekas menyelesaikan supaya
Indonesia Merdeka bisa lekas damai. Demikianlah Paduka Tuan Ketua yang mulia suka
mengusahakan supaya sedapat mungkin dengan lekas, mendapat kebulatan dan
persetujuan yang sebulat-bulatnya dari segenap sidang untuk apa yang saya usulkan
tadi itu.” (Risalah Sidang BPUPKI, dengan ejaan yang disempurnakan).
Usulan Bung Karno “Presiden ialah orang Indonesia aseli yang beragama Islam” ini
ketika itu disetujui sidang BPUPKI tanggal 16 Juli 1945. Namun dalam sidang PPKI tanggal
18 Agustus 1945 Bung Hatta mengusulkan agar kata-kata “yang beragama Islam”
dihilangkan, sehingga rumusannya menjadi “Presiden ialah orang Indonesia aseli”.
Mengenai usulan Bung Hatta tersebut adalah sebagai berikut:
“Oleh karena hasrat kita semua ialah menyatakan bangsa Indonesia seluruhnya, supaya
dalam masa yang genting ini mewujudkan persatuan yang bulat maka pasal-pasal yang
bertentangan dikeluarkan dari U&ndang-Undang Dasar. Oleh karena itu maka dapat
disetujui, misalnya pasal 6 alinea 1 menjadi “Presiden ialah orang Indonesia Aseli”.
“Yang beragama Islam” dicoret, oleh karena penetapan yang kedua, Presiden Republik
orang Islam, agak menyinggung perasaan dan pun tidak berguna. Oleh karena mungkin dengan adanya orang Islam 95% jumlahnya di Indonesia ini dengan sendirinya
barangkali orang Idslam yang akan menjadi Presiden, sedangkan dengan membuang ini
maka seluruh Hukum Undang-Undang Dasar dapat diterima oleh daerah-daerah
Indonesia yang tidak beragama Islam umpamanya yang pada waktu sekarang diperintah
Kaigun. Persetujuan dalam hal ini juga sudah didapat antara berbagai golongan,
sehingga memudahkan pekerjaan kita pada waktu sekarang ini.”
(Risalah Sidang PPKI, dengan ejaan yang disempurnakan).
Usulan Bung Hatta ini disetujui sidang PPKI, sehingga rumusan pasal 6 ayat (1) adalah
“Presiden ialah orang Indonesia aseli”. Rumusan baru, usulan Bung Hatta ini menjadi
pemersatu dan perekat bangsa.
d. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
Salah satu pilar dari empat pilar yang harus dipertahankan sebagaimana disebut dalam
pidato kenegaraan Presiden SBY pada tanggal 15 Agustus 2008, seperti yang telah
dikemukakan di atas adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pasal 25A UUD 45 “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan
yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan
undang-undang.”
Pasal ini merupakan hasil amandemen kedua UUD 1945 yang ditetapkan oleh MPR
tanggal 18 Agustus 2000. Adalah penting untuk disampaikan di sini bahwa ada suatu
Konvensi Internasional yang menyangkut dengan wilayah negara, khususnya wilayah negara
yang ditinggalkan oleh negara pendahulu. Konvensi Internasional tersebut adalah “Vienna
Convention 1983 on State Succession, in respect of State Property ….”, yang esensinya
adalah Wilayah Negara yang ditinggalkan oleh Negara pendahulu (predecessor state)
menjadi wilayah negara penerusnya (successor state). Dalam konteks Indonesia berarti
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah wilayah yang sebelumnya
dikuasai oleh Belanda. Dengan demikian sangatlah jelas bahwa dari Sabang sampai Merauke
(dari barat sampai ke timur) dan dari Pulau Miangas sampai Pulau Roti (dari utara ke selatan)
adalah wilayah NKRI, sebagaimana sering disebut oleh Presiden SBY. Perlu kiranya
disampaikan di sini bahwa Pulau Miangas pada tahun 1928 telah diputuskan/ditetapkan oleh
Arbritrase Internasional sebagai milik Belanda ketika terjadi sengketa antara Belanda dan
USA tentang Pulau Miangas tersebut. Lain halnya dengan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
yang pada tanggal 17 Desember 2002 oleh International Court of Justice (ICJ) diputuskan
menjadi milik Malaysia ketika sebelumnya disengketakan antara Pemerintah Republik
Indonesia dengan Pemerintah Malaysia. Kekalahan Indonesia atas Pulau Sipadan & Pulau Ligitan, masih adanya pulau-pulau terdepan (pulau terluar) yang rawan sengketa dengan
Negara tetangga, serta permasalahan lain yang berkenaan dengan kependudukan,
kewilayahan, kepulauan, perbatasan, perjanjian internasional, kontrak karya, dan lain lain
mendorong ANRI dan DPR RI dalam menyusun Undang-Undang Kearsipan untuk
merumuskan pasal-pasal yang bisa membantu memecahkan permasalahan tersebut di atas.
Secara singkat bisa disampaikan bahwa salah satu pemecahan masalah tersebut adalah
dengan menciptakan istilah baru, yang hanya ada di Indonesia, yaitu “Arsip Terjaga”
(Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 : Pasal 1 angka 8, Pasal 34 ayat (2), Pasal 42 ayat
(2), ayat (3), ayat (4), Pasal 43 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 83, dan
Pasal 84 (Untuk ulasan arsip terjaga lihat artikel Djoko Utomo “Arsip Terjaga : Penjaga
Keutuhan dan Kedaulatan NKRI” dalam Jurnal Kearsipan ANRI Vol 6, No. 1, Desember
2011). Namun demikian, kiranya ada baiknya disampaikan kembali secara singkat (apa yang
dimaksud dengan Arsip Terjaga). Arsip terjaga adalah arsip Negara yang berkaitan dengan
kependudukan, kewilayahan, kepulauan, perbatasan, perjanjian internasional, kontrak karya,
dan permasalahan pemerintahan yang strategis yang berkaitan dengan keberadaan dan
kelangsungan hidup bangsa dan Negara yang harus dijaga keutuhan, keamanan, dan
keselamatannya. Namun sangat disayangkan bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan,
Arsip Terjaga tidak dijabarkan melainkan “direduksi” atau “dikebiri”. Dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2012 ini, Arsip Terjaga diatur dalam Pasal 40 ayat (2) dan Pasal
51. Perlu dicatat bahwa dalam Ketentuan Umum Pasal 1, istilah Arsip Terjaga juga
dihilangkan. Ini sungguh menyedihkan karena masalah yang sangat penting yang dihadapi
oleh bangsa dan negara saat ini, seperti masalah perbatasan, kepulauan, perjanjian
internasional, kontrak karya, dan sebagainya justru dihilangkan. (Lihat misalnya,
Kementerian Pertahanan RI yang menjadikan Pulau Nipa, Kepuluan Riau yang merupakan
pulau terdepan (pulau terluar) yang berbatasan dengan Singapore dijadikan percontohan
pengamanan pulau terluar (Media Indonesia, 11 Oktober 2012). Padahal dalam UndangUndang
Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, seperti telah disampaikan sebelumnya,
Arsip Terjaga diatur dalam 3 pasal, yaitu : 1) Pasal 1 angka 8 (definisi Arsip Terjaga), 2)
Pasal 34 ayat (2), dan Pasal 43 ayat (1). Sungguh sangat disayangkan bahwa Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2012 ternyata tidak menjabarkan arsip terjaga ke dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2012.
Sudah barang tentu wilayah NKRI sekarang ini disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan
Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia yang berlaku. Misalnya, Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957, yang kemudian dikukuhkan menjadi Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia, yang
menetapkan batas perairan laut Indonesia adalah 12 (duabelas) mil. Perpu Nomor 4 Tahun
1960 ini merupakan pengganti dari Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939,
yang menetapkan batas perairan laut adalah 3 (tiga) mil. Deklarasi Djuanda merupakan awal
digulirkannya Konsep Wawasan Nusantara. Perpu Nomor 4 Tahun 1960 ini kemudian
disempurnakan menjadi/diganti dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang
Perairan Indonesia. Undang-Undang ini dengan tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah
Negara Kepulauan (Archipelago State). Di dalam konsep Negara Kepulauan, laut dan selat
adalah pemersatu, bukan pemisah. Oleh karena itu lagu “dari Sabang sampai Merauke”,
berjajar pulau-pulau, sambung menyambung menjadi satu, itulah Indonesia” adalah selaras
dan sejalan dengan konsep negara kepulauan. Perlu juga disampaikan di sini bahwa Konsep
Archipelago State diakui secara internasional oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam
bentuk konvensi hukum laut yang disebut United Nation Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS) pada tahun 1982. Konvensi ini pada tanggal 31 Desember 1985 diratifikasi oleh
Pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan
UNCLOS. Dalam konteks ini perlu juga disebut 2 (dua) Peraturan Pemerintah, yaitu 1)
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titk
Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, dan 2) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Terluar.
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang membentang dari Sabang sampai
Merauke, dan dari Pulau Miangas sampai Pulau Rote. Wilayah Negara Indonesia ini bisa
dilihat dari Peta NKRI yang dikeluarkan oleh BAKOSURTANAL (sekarang Badan
Informasi Geospasial). Peta adalah arsip. Arsip peta di dalam kearsipan disebut arsip
kartografik. Peta NKRI tersebut juga merupakan alat pemersatu dan perekat bangsa. Perlu
kiranya diingatkan kembali bahwa arsip adalah naskah. Hal ini berarti pula bahwa Naskah
Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan sebagainya adalah
arsip, dan arsip-arsip yang disebut di atas adalah merupakan simpul-simpul pemersatu
bangsa.
Gambar 4. Peta Negara Kesatuan Republik Indonesia
Indonesia terdiri atas 18.108 pulau besar dan kecil, 33 provinsi, 399 kabupaten dan 98 kota.
Gambar 5. Lambang/logo 33 Provinsi di Indonesia
Dari 33 (tiga puluh tiga) provinsi di Indonesia tidak ada satupun logo yang sama. Hal ini
menunjukan bahwa setiap daerah mempunyai karakteristik dan kekhususan yang berbeda satu
dengan yang lain. Demikian juga dari 497 kabupaten/kota tidak ada satupun logo yang sama.
Logo juga merupakan jatidiri dan identitas daerah yang senantiasa perlu dipelihara.
Perbedaan logo ini juga menunjukan kebhinnekaan dalam NKRI. Perbedaan logo ini
menambah indah dan eloknya Indonesia.
e. Bendera Negara Indonesia
Gambar 6. Bendera Negara Indonesia
Bendera Negara Indonesia diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 35 sebagai
berikut: Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih. Peraturan Pelaksanaan dari Pasal
35 UUD 1945 tentang Bendera Negara ini adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009
tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Adapun Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1958 tentang Bendera Kebangsaan masih berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 (lihat Pasal 72 atau Pasal
Peralihan).
Gambar 7. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1958
Dengan ditetapkannya Bendera Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara maka di
wilayah NKRI tidak boleh dikibarkan bendera lain selain Bendera Sang Merah Putih, kecuali
di Kedutaan-kedutaan Besar Negara sahabat di Indonesia dan apabila ada kunjungan resmi
yang mewakili suatu negara ke Indonesia. Dengan demikian Bendera Sang Merah Putih
sebagai Bendera Negara juga merupakan perekat dan pemersatu bangsa. Demikian juga naskah mengenai pengaturan bendera tersebut merupakan perekat dan simpul pemersatu
bangsa.
f. Bahasa Negara
Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.
Bahasa Negara ini diatur dalam Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 36. Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan, yang telah diikrarkan oleh
para pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 dalam Kongres Pemuda Kedua. Ikrar Pemuda
yang kemudian disebut sebagai Sumpah Pemuda menyatakan “Menjunjung Bahasa
Persatuan, Bahasa Indonesia. Padahal ketika itu bahasa resmi yang digunakan adalah bahasa
Belanda, dan mayoritas pemuda adalah berbahasa Jawa. Yang perlu dicatat adalah
kecerdasan dan kearifan para pemuda waktu itu dengan tidak memilih bahasa Belanda atau
bahasa Jawa.
Bahasa Indonesia ini kemudian dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban
bangsa. Bahasa Indonesia berfungsi sebagai jatidiri bangsa, kebanggaan nasional, sarana
komunikasi anatar daerah dan antar budaya, serta pemersatu berbagai suku bangsa di
Indonesia (lihat Pasal 25 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2009). Dengan kata lain bahwa Bahasa
Indonesia merupakan pemersatu dan perekat bangsa. Dengan ditetapkannya Bahasa Indonesia
sebagai Bahasa Negara tidak berati bahasa daerah tidak boleh digunakan. Bahkan bahasa
daerah yang masih ada perlu dilestarikan dan dikembangkan dengan kearifan yang tinggi.
Bahasa daerah perlu dipelajari dan diajarkan di sekolah-sekolah karena ini akan memperkaya
khasanah bahasa.
Penetapan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara di dalam Undang Undang Dasar
1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 (yang asli) sejatinya adalah arsip yang
merupakan perekat dan simpul pemersatu bangsa.
g. Lambang Negara
Garuda Pancasila dengan Semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Gambar 8. Garuda Pancasila
Bhinneka Tunggal Ika adalah merupakan salah satu pilar dari empat pilar Jatidiri
Indonesia yang harus dilestarikan (SBY, 2008). Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan
yang melekat pada lambang negara Garuda Pancasila.
Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan Semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Lambang Negara ini diatur dalam Pasal 36 A Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen
kedua). Lambang Negara Garuda Pancasila selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2009. Sebelumnya hanya diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951
tentang Lambang Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1958 tentang
Penggunaan Lambang Negara. Lambang Negara Garuda Pancasila dengan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika yang dipasang di antara foto Presiden dan Wakil Presiden seolah tanpa
arti dan tanpa makna. Seolah ia hanyalah pajangan belaka. Padahal sejatinya ia sangat berarti.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika berasal dari Empu Tantular dalam Kakawin Sutasoma. Di
dalam kakawin tersebut terdapat semboyan “Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma
Mangrawa”, yang artinya walaupun berbeda-beda tetapi satu, tiada satu kewajiban pun untuk
mendua. Ini adalah suatu konsep pluralisme yang cocok untuk diterapkan Negara Kesatuan
Republik Indonesia kapanpun. Di dalam Lambang Garuda Pancasila hanya dicantumkan
kata-kata Bhinneka Tunggal Ika tanpa kata-kata Tan Hana Dharma Mangrawa. Semboyan
Bhinneka Tunggal Ika dalam Lambang Negara Garuda Pancasila tersebut yang artinya
walaupun kita berbeda beda (beda suku, beda agama, beda kebudayaan, beda adat-istiadat,
beda bahasa daerah, dan sebagainya) tetapi kita tetap satu adalah salah semboyan penting
yang mempersatukan anak bangsa yang sangat beragam. Barangkali Indonesia adalah Negara
yang memiliki kebhinnekaan atau keberagaman terbesar di dunia, dengan agama 6 agama
(Islam, Kristen Katholik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, dan Konghuchu) ratusan
kepercayaan terhadap Tuhan, budaya, adat istiadat, bahasa daerah (sekitar), suku (lebih dari
726 suku), pulau (18.108) dan sebagainya. Menjadi Indonesia adalah suatu proses sejarah
yang panjang.
Banyak orang asing, termasuk Garet Evans (mantan Perdana Menteri Australia) yang
kagum atau mungkin heran mengapa ribuan pulau, ratusan ethnic, dan sebagainya bisa rekat
menjadi Indonesia. Ternyata Presiden Obama juga sangat kagum terehadap Bhinneka
Tunggal Ika. Hal ini bisa dilihat dari pernyataannya saat memberikan kuliah umum di
Universitas Indonesia pada tanggal 10 Nopember 2010, sebagai beikut: “…Bhinneka Tunggal
Ika - Unity in Diversity. This is the foundation Indonesia’s example to the woreld, and this is
why Indonesia will play such an important role in the 21st century.”
Kebhinekaan atau keberagaman ini merupakan berkah yang senantiasa harus dipelihara,
bahkan harus dipupuk dan dikembangkan dalam koridor Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Sejalan dengan ini Sulastomo dalam artikelnya di Harian Kompas tanggal
20 Oktober 2012 menyatakan sebagai berikut “Indonesia ditakdirkan sebagai bangsa yang beragam: agama, etnisitas, dan budaya. Namun, kita juga yakin bahwa keberagaman itu
merupakan potensi yang luar biasa kalau kita bisa menghimpunnya melalui Bhinneka
Tunggal Ika.”
Salah satu wahana untuk memelihara, memupuk, dan mengembangkan persatuan dan
kesatuan anak bangsa dalam bingkai NKRI adalah arsip. Kebhinnekaan atau keberagaman
itulah keindahan Indonesia, seperti indahnya pelangi di langit. Kekhususan atau kekhasan
daerah perlu dikembangkan sebagai muatan lokal (local content) dengan kearifan lokal (local
wisdom).
Gambar 9. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951
Gambar 10. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1958
III. PENUTUP
Tulisan ini berusaha untuk melihat arsip dalam konteks kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Dari paparan di atas juga dapat disimpulkan betapa pentingnya
arsip, baik arsip dinamis maupun arsip statis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Arsip sungguh merupakan perekat dan simpul pemersatu bangsa. Ini suatu
kenyataan yang tidak dapat dipuyngkiri dan ini juga sejalan dengan Visi ANRI yaitu
“Menjadikan Arsip sebagai Simpul Pemersatu Bangsa.” Semoga paparan ini bisa menumbuh
kembangkan dan memupuk rasa cinta tanah air, memupuk persatuan di antara anak bangsa,
dan merajut kembali rasa persaudaraan sebangsa dan setanah air yang mulai luntur di era
globalisasi ini.
DAFTAR PUSTAKA
- Anderson, Benedict R.O’G. 1991. Imagined Communities: Reflection on the Origin and Spread of Natioinalism. London: Verso.
- Cribb, Robert and Michael Ford. 2009. Indonesia beyond the Water’s Edge: Managing an Archipelagic State. Singapore: ISEAS.
- Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus Af (ed). 2006. Menjadi Indonesia. Jakarta: Mizan.
- Nguyen, Thang D. and Frank-Jurgen Richter. 2003. Indonesian Matters: Diversity, Unity, and Stability in Freagile Times. Singapore: Times Editions.
- Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara.
- Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1958 tentang Bendera Kebangsaan.
- Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1958 tentang Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.
- Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Terluar.
- Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2012 tentang Kearsipan.
- Sekretariat Negara. 1995. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Pewrsiapan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta : Sekretariat Negara.
- Simbolon, Parakitri T. 2006. Menjadi Indonesia. Jakarta: Penerbit KOMPAS.
- Tilaar, H.A.R.. 2007. Mengindonesia: Etnisitas dan Identitas Bangsa Bangsa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
- Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kearsipan. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS.
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
- Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Indonesia.
- Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
- Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan.
- Vienna Convention on State Succession in Respect of State Proprrty, Archives, and Debts.
Abstract
This paper tried to see archives in the context of life of a society, country, and nation.
Based on the discussion, it can be concluded that archives play important roles in societies,
countries, and nations. In fact, archives bind and tie the unity of the nation. It is a reality that
cannot be denied. Truly, it is apposite with ANRI vision “functioning archives to bond the
unity of the nation”. The purpose of this paper is to grow and bring up the passion toward
our motherland, to raise unity among youngsters, and to put up the excitement that we are all
brothers and sisters in one nation which nowadays that kind of feeling is getting lessen owing
to the influence of the globalization.
Keyword: archives, unity, bind the nation.