Penerapan Good G0vernance Dalam Pengadaan Barang/Jasa Dan Pengelolaan Aset
LATAR BELAKANG
Good governance dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah saat ini merupakan suatu tuntutan dan sekaligus menjadi dasar dalam pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah yang telah digulirkan oleh pemerintah sejak tahun 2001 membawa perubahan dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah. Salah satu perubahan itu adalah pemberian wewenang yang lebih luas dalam penyelenggaraan beberapa bidang pemerintahan. Seiring dengan bertambah luasnya kewenangan ini, maka aparat birokrasi pemerintahan di daerah dapat mengelola dan menyelenggaraan pelayanan publik dengan lebih baik sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya dengan mengelola potensi pendapatan yang ada dan memanfaatkannya untuk peningkatan kapasitas pemerintah daerah.
Secara sosiologis pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dapat dipandang sebagai suatu strategi yang memiliki tujuan ganda. Pertama, pemberian otonomi daerah merupakan strategi untuk merespon tuntutan masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing of power, distribution of income, dan kemandirian sistem manajemen di daerah. Kedua, otonomi daerah dimaksudkan sebagai strategi untuk memperkuat perekonomian daerah dalam rangka memperkokoh perekonomian nasional untuk menghadapi era perdagangan bebas (Mardiasmo, 2002).
Agar pelayanan publik berkualitas, sudah sepatutnya proses penyelenggaraan pemerintahan daerah berorientasi pada pencapaian kinerja pemerintahan yang baik. Untuk melakukan capaian kinerja tersebut, maka pengelolaan pelayanan publik yang semula berorientasi pemerintah sebagai penyedia menjadi pelayanan yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat sebagai pengguna. Di era otonomi daerah saat ini, seharusnya pelayanan publik menjadi lebih responsif terhadap kepentingan publik, di mana paradigma pelayanan publik beralih dari pelayanan yang sifatnya sentralistik ke pelayanan yang lebih memberikan fokus pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan pelanggan (customer-driven government).
Prinsip good governance dalam proses penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan sebuah tuntutan bagi pemerintah daerah dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang demokratis, transparan, bersih, bertanggung jawab, efektif dan efisien. Kebutuhan untuk mewujudkan prinsip good governance, juga didasari oleh realitas peran birokrasi pemerintah daerah yang belum secara optimal memberikan penyediaan pelayanan publik secara memuaskan kepada masyarakat, bahkan citra birokrasi pemda secara belum banyak mengami perubahan.
Padahal idealnya, dimensi reformasi pemerintahan di daerah tidak saja sekedar perubahan struktur organisasi pemerintahan daerah, akan tetapi mencakup berbagai instrumen yang diperlukan untuk mendukung berjalannya lembaga-lembaga daerah secara ekonomis, efisien, efektif, transparan, dan akuntabel, salah satunya dalam penataan mengenai pengelolaan kekayaan/aset daerah sebagai output dari proses pengadaan barang/jasa yang dilakukan oleh aparatur pemerintah.
Aset/barang milik daerah adalah semua kekayaan daerah baik yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah maupun yang berasal dari perolehan lain yang sah baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak beserta bagian-bagiannya atau pun yang merupakan satuan tertentu yang dapat dinilai, dihitung, diukur, atau ditimbang termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan kecuali uang dan surat-surat berharga lainnya (Chabib Soleh dan Heru Rochmansjah, 2010).Oleh karena itu, mengkaji tentang pengelolaan aset daerah maka akan sangat berhubungan dengan proses pengadaan barang/jasa pemerintah dan sebaliknya. Oleh karena itu, sebagai sebuah sebab-akibat, kajian juga harus dilakukan terhadap keduanya.
Menurut Permendagri 17 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah, aset daerah dapat diperoleh dari dua sumber, yakni dari APBD dan dari luar APBD. Aset yang bersumber dari pelaksanaan APBD merupakan output/outcome dari terealisasinya belanja modal dalam satu tahun anggaran. Sedangkan aset yang bersumber dari luar pelaksanaan APBD dalam hal ini pemerolehan aset tidak dikarenakan adanya realisasi anggaran daerah, baik anggaran belanja modal maupun belanja pegawai serta belanja barang & jasa namun Pemda menerima aset tersebut dari pihak lain, seperti lembaga donor dan atau masyarakat.
laporan Badan Pemeriksa Keuangan terhadap APBD selama tiga tahun terakhir (2010 s.d 2012) masih menunjukkan adanya isu dalam pengelolaan aset dan pengadaan barang/jasa selain pencatatan aset. Meskipun pada tahun 2011 dan 2012 telah berhasil mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) terhadap hasil pemeriksaan laporan keuangannya, aspek pengelolaan aset juga masih menjadi catatan dan menimbulkan masalah.
Sejalan dengan hasil studi Ari Subowo (2009) di Provnsi Jawa Tengah, isu tersebut juga masih ditemui di dengan pola yang sama. Kedua isu tersebut adalah, pertama, perencanaan dan penganggaran pada prakteknya masih sering dianggarkan sesuatu yang sebenarnya tidak dibutuhkan, sedangkan yang dibutuhkan justru tidak dianggarkan. Hal ini bisa terjadi karena adanya kepentingan-kepentingan tertentu, seperti rente yang diterima oleh aparatur daerah sebelum pengadaan barang dilaksanakan. Kedua, pada pengadaan barang/aset. Tahapan ini paling sulit karena selain rawan dengan praktik korupsi, “ancaman” menjadi tersangka (lalu menjadi terpidana) juga cukup besar. Oleh karena itu, masalah yang paling sering muncul adalah mekanisme pengadaannya penunjukan langsung, pemilihan langsung, atau tender bebas (pelelangan umum). Oleh karena itu, persoalan pengelolaan aset maupun pengadaan barang/jasa sebenarnya merupakan persoalan banyak daerah dan oleh karena itu maka hal ini seharusnya tidak dibiarkan oleh pemerintah pusat. Atas dasar pemikiran tersebut maka perlu dilakukan upaya mendekati, mengidentifikasi, mengurai, dan mengupayakan pemecahan persoalan penegakan good governance di khususnya pada aspek pengadaan barang/jasa serta pengelolaan aset daerah tersebut.
METODOLOGI
Penelitian kajian kebijakan pemerintah daerah yang baik di ini dilakukan dengan pendekatan penelitian kebijakan (policy research). Penelitian kebijakan menekankan pada pemecahan masalah melalui pengumpulan,analisis, dan interpretasi data yang terencana dan sistematis. Penelitian ini juga dikategorikan pada penelitian terapan (applied/practical research yaitu penelitian yang menekankan pada penelaahan secara terus-menerus dan sistematis terhadap suatu masalah yang digunakan dengan segera untuk keperluan tertentu (Danin, 1977, Nazir, 1985, Majchrzak, 1984).
Sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian, penelitian ini difokuskan pada pengelolaan aset daerah dan pengadaan barang/jasa pemerintah. Pengumpulan data menggunakan teknik wawancara mendalam (in depth interview), serta dokumentasi (official and personal documentation). Metode wawancara dan dokumentasi dipergunakan dengan penekanan pada tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aktor. Pencatatan data dilakukan dengan memanfaatkan bentuk catatan lapangan, catatan wawancara, copy dari dokumentasi dan sapping.
Setelah beberapa tahapan dalam penelitian ini dilalui, maka pada tahap akhir penelitian ini dilakukan analisis data. Analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, tanpa menggunakan angka-angka dan segala sesuatu yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. Dengan kata lain penelitian tidak hanya mengungkapkan kebenaran belaka, tetapi memahami kebenaran tersebut (Soemitro, 1990). Untuk memperoleh tingkat kepercayaan hasil penelitian dilakukan kredibilitas data (internal validiti) transferbalititas (exsternal validity), dependebilitas (realibility) dan konfirmabilitas (objectivity) (Maleong, 1990).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebagai dasar analisis, Transparansi International menguraikan secara detail mengenai indikator pengadaan barang dan jasa pemerintah sebagai berikut: (1) integritas; (2) transparansi; (3) akuntabilitas; (4) keadilan, ekonomis, dan efisiensi. Integritas berarti proses pengadaan barang dan jasa berjalan secara jujur dan memenuhi hukum-hukum yang berlaku, dasar pemilihan panitia tender adalah staf terbaik, memiliki kemampuan teknis dan tidak diskriminatif, tender dilakukan secara jujur dan terbuka, mendorong persaingan usaha yang sehat sehingga kualitas pekerjaan dan harga yang tepat, serta hasilnya bermanfaat dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan seluruh pihak.
Transparansi memiliki makna bahwa undang-undang, peraturan, lembaga-lembaga yang terlibat, proses, rencana dan keputusan yang dibuat dapat diakses oleh masyarakat atau paling tidak perwakilan masyarakat. Sehingga seluruh proses dan keputusan dapat dipantau, dibahas, dan mendapat masukan dari para pihak (multi stakeholder), serta pembuat kebijakan juga dapat dimintai pertanggungjawabannya. Dalam konteks ini, transparansi tak akan tercapai bila adanya keengganan memberi akses terhadap sebuah dokumen kepada orang tertentu. Transparansi mensyaratkan pemerintah atau pengelola proyek (dalam Perpres 70 Tahun 2012 disebut dengan Pejabat/Panitia Pengadaan, Pejabat Pembuat Komitmen, serta Pengguna Anggaran) secara sukarela dan aktif menyediakan informasi lengkap kepada publik melalui media cetak dan elektronik. Terutama mengenai pemilihan kebutuhan, rencana, rancangan dan program pengadaan. Transparansi juga berarti bahwa semua pihak yang terlibat dalam penanaman modal harus memberi informasi dan berkonsultasi tentang segala aspek proyek yang sedang berjalan.
Instrumen lain yang mendorong transparansi adalah penggunaan internet. Meskipun belum terbukti sepenuhnya karena kewajiban mengumumkan lewat internet baru diwajibkan dalam Perpres Nomor 54 tahun 2010 yang dipertegas dengan Perpres 70 tahun 2012, informasi pengadaan barang dan jasa melalui internet dinilai tidak akan mengurangi kualitas dari proses tersebut, meski menginformasikan usaha yang bersifat rahasia. Menerapkan pengadaan barang dan jasa melalui media internet termasuk infromasi pengadaan, dokumen penawaran, hukum dan prosedur yang terkait, dan hasil tender dan dapat diakses secara gratis oleh pihak manapun yang membutuhkan informasi tersebut. Upaya ini mungkin akan berhasil menekan manipulasi dan telah mendapat dukungan kuat dari seluruh pihak.
Akuntabilitas diartikan bahwa pemerintah, lembaga atau perusahaan publik dan pejabat publik di satu sisi serta sektor swasta, perusahaan dan pihak-pihak yang berperan dalam perusahaan pada sisi lainnya, harus dapat mempertanggung-gugatkan pekerjaan dan tugas, serta semua keputusan yang menjadi tanggungjawabnya. Prosedur akntabilitas penuh harus sistematis dan dapat diterapkan. Dokumentasi tentang penjelasan dan alasan pembuatan keputusan harus dibangun dan dikelola. Ketika terjadi penyimpangan hukum atau pernyimpangan kontrak, pelakunya harus dijatuhi hukuman seperti sanksi kedisiplinan, pembatalan kontrak, sangsi perdata atau sanksi pidana yang sesuai. Kelalaian dalam menjalankan akuntabilitas akan mengurangi nilai integritas. Pihak-pihak yang terlibat dalam hal ini adalah pemerintah, lembaga publik dan pejabat publik, lembaga keuangan nasional atau internasional, kontraktor dalam pengartian luas (perusahaan swasta atau perseorangan, badan usaha milik negara yang berperan sebagai kontraktor yang menawarkan penyediaan barang, mengikuti tender, jasa konsultasi atau jasa lainnya), stakeholders dan organisasi masyarakat sipil.
Keadilan, Ekonomis dan Efisiensi berarti keputusan pemenang lelang harus adil dan tidak memihak. Dana publik tidak boleh digunakan untuk menguntungkan beberapa orang atau perusahaan tertentu; standarisasi dan spesifikasi tidak boleh diskriminatif; penyedia dan kontraktor harus dipilih berdasarkan kualifikasi dan kemampuan mereka; harus adanya perlakuan yang sama mengenai batas waktu, kerahasiaan, dan sebagainya menyangkut seluruh aspek dalam pengadaan. Pengadaan barang dan jasa juga harus ekonomis dan menghasilkan barang dan jasa yang berkualitas sesuai dengan harga yang dibayar atau harga yang murah agar dapat diterima masyarakat, Kualitas barang dan jasa yang telah ditetapkan; tidak mesti hanya barang dengan harga termurah saja yang dipilih; dan tidak mesti bahwa barang dengan kualitas terbaik juga saja yang tersedia, namun justru gabungan keduanya akan dapat memenuhi kebutuhan serta tidak melupakan mengumumkan kepada publik tentang spesifikasi barang atau jasa yang sudah ditentukan. Proses pengadaan barang dan jasa harus efisien.
Sesuai dengan Pasal 5 Perpres Nomor 54 tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, pengadaan barang/jasa pemerintah wajib menerapkan prinsip-prinsip: (1) Efisien, berarti pengadaan barang/jasa pemerintah harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang minimum untuk mencapai kualitas dan sasaran dalam waktu yang ditetapkan atau menggunakan dana yang telah ditetapkan untuk mencapai hasil dan sasaran dengan kualitas yang maksimum; (2) Efektif berarti pengadaan barang/jasa pemerintah harus sesuai dengan kebutuhan yang telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya; (3) Transparan berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa bersifat jelas dan dapat diketahui secara luas oleh penyedia barang/jasa yang berminat serta bagi masyarakat pada umumnya; (4) Terbuka berarti pengadaan barang/jasa pemerintah dapat diikuti oleh semua penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas; (5) Bersaing berarti pengadaan barang/jasa harus dilakukan melalui persaingan yang sehat di antara penyedia sebanyak mungkin penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi persyaratan sehingga dapat diperoleh barang/jasa yang ditawarkan secara kompetitif dan tidak ada intervensi yang mengganggu terciptanya mekanisme pasar dalam pengadaan barang/jasa; (6) Adil/tidak diskriminatif berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu dengan dan atau alasan apapun; (7) Akuntabel berarti harus sesuai aturan dan ketentuan yang terkait dengan pengadaan barang/jasa sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
Di dalam Pasal 6 Perpres Nomor 54 tahun 2010 disebutkan bahwa panitia pengadaan barang/jasa wajib memperhatikan etika pengadaan barang/jasa yang meliputi: (a) melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab untuk mencapai sasaran, kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan Pengadaan Barang/Jasa; (b) bekerja secara profesional dan mandiri, serta menjaga kerahasiaan Dokumen Pengadaan Barang/Jasa yang menurut sifatnya harus dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam Pengadaan Barang/Jasa; (c) tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung yang berakibat terjadinya persaingan tidak sehat; (d) menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis para pihak; (e) menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses Pengadaan Barang/Jasa; (f) menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam Pengadaan Barang/Jasa; (g) menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara; dan (h) tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat dan berupa apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa.
Secara normatif, instansi pemerintah di sebagai pihak penyelenggara pengadaan barang/jasa maupun pengguna barang/jasa termasuk penyedia barang/jasa harus berkomitmen harus selalu mendukung pemerintahan yang bersih (clean government) melalui penandatanganan pakta integritas secara bersama. Dalam Pasal 1 Perpres No. 54 Tahun 2010 mengenai pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah disebutkan bahwa yang dimaksud Pakta Integritas adalah surat pernyataan yang ditandatangani oleh pengguna barang/jasa/panitia, pengadaan/pejabat pengadaan/penyedia barang/jasa yang berisi ikrar untuk mencegah dan tidak melakukan KKN dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa.
Pakta Integritas merupakan suatu bentuk kesepakatan tertulis mengenai transparansi dan pemberantasan korupsi dalam pengadaan barang/jasa barang publik melalui dokumen-dokumen yang terkait, yang ditandatangani kedua belah pihak, baik sektor publik maupun penawar dari pihak swasta. Pelaksanaan dari Pakta Integritas tersebut dipantau dan diawasi baik oleh organisasi masyarakat madani maupun oleh suatu badan independen dari pemerintah atau swasta yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tersebut atau yang memang sudah ada dan tidak terkait dalam proses pengadaan barang/jasa itu.
Komponen penting lainnya dalam pakta integritas ini adalah mekanisme resolusi konflik melalui arbitrasi dan sejumlah sanksi yang sebelumnya telah diumumkan atas pelanggaran terhadap peraturan yang telah disepakati yang berlaku bagi kedua belah pihak dalam sebuah dokumen kontrak kerja sama. Oleh karena itu, penerapan prinsip tata kepemerintahan yang baik dalam pengadaan barang /jasa pemerintah merupakan prioritas yang harus dilakukan mengingat proses pengadaan barang/jasa pemerintah berpeluang mengakibatkan kerugiaan pada keuangan negara. Selain itu dampak negatif lainnya dari sistem pengadaan barang/jasa yang buruk adalah kualitas barang dan jasa yang rendah. Proses ini juga menghambat munculnya minat usaha dan merusak sistem insentif untuk mendorong efisiensi keuangan nasional dan daerah.
Selain itu, dengan mengacu pada prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik (good governance) studi ini menghasilkan beberapa temuan. Sesuai dengan prinsip transparansi, pemerintah baik sebagai pengguna barang/jasa atau panitia/pejabat pengadaan barang/jasa wajib secara sukarela dan aktif menyediakan informasi lengkap kepada publik melalui media cetak dan elektronik terutama mengenai rencana pengadaan, maupun pengumumam pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Berdasarkan hasil studi dapat dikatakan bahwa proses pengadaan barang dan jasa pada secara legal formal telah dilaksanakan dengan mengacu pada Perpres 54 Tahun 2010 dan kemudian Perpres 70 Tahun 2012 sejak bulan Agustus 2012. Proses pengadaan juga sudah dapat dipantau, dibahas, dan diiikuti oleh semua pihak, termasuk penyedia barang/jasa yang berdomisili di luar , karena sampai akhir tahun 2012, hampir seluruh pengadaan barang dan jasa (selain pengadaan langsung dan pemilihan/seleksi langsung) sudah diumumkan melalui Surat Kabar Harian Radar maupun Surat Kabar Harian Nasional (Media Indonesia dan Koran Tempo) sebagai koran resmi pelaksanaan pengumuman pengadaan barang/jasa sebelum ketentuan dalam Perpres 54 Tahun 2010 mulai diterapkan maupunm melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) pada Pemerintah.
Di samping itu pemerintah sebenarnya telah membangun jaringan layanan internet untuk pengadaan barang dan jasa pemerintah sesuai Surat Edaran Kepala Bappenas 243/p.03/09/2007 perihal pengumuman pusat layanan E-procurement Provinsi, fasilitas ini juga sudah dapat dimanfaatkan untuk pengadaan barang/jasa di. Meskipun demikian, sampai akhir tahun 2012 beberapa pengumuman masih dilakukan melalui mekanisme semi e-procurement (online dalam pengumuman, tetapi belum dalam pemasukan dokumen penawaran dan evaluasi penawaran). Hal ini juga didukung oleh telah adanya Rencana Umum Pengadaan (RUP) sebagai informasi awal tahun anggaran yang berisi seluruh paket pengadaan yang akan dilaksanakan selama satu tahun baik dengan melalui pengadaan langsung, pelelengan/seleksi sederhana, maupun pelelangan/seleksi umum.
Meskipun belum mulai dijalankan secara utuh dan optimal. dalam konteks transparansi, dalam Pasal 107 sampai dengan Pasal 111 Perpres 54 tahun 2010 telah terdapat upaya sangat signifikan untuk meningkatkan good governance dengan istilah e-tendering, e-purchasing, dan layanan pengadaan secara elektronik. Pengadaan barang/jasa pemerintah yang dilakukan secara elektronik tersebut bertujuan untuk (a) meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, (b) meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha yang sehat, (c) memperbaiki tingkat efisiensi proses pengadaan, (d) mendukung proses monitoring dan audit, dan (e) memenuhi kebutuhan akses informasi yang real time.
Dari sisi akuntabilitas, pemerintah, lembaga atau perusahaan publik dan pejabat publik di satu sisi serta sektor swasta, perusahaan dan pihak-pihak yang berperan dalam perusahaan pada sisi lainnya, harus dapat mempertanggung-gugatkan pekerjaan dan tugas, serta semua keputusan yang menjadi tanggung jawabnya. Prosedur akuntabilitas penuh harus disusun secara sistematis dan dapat diterapkan. Berdasarkan hasil penelitian dapat dikatakan bahwa akuntabilitas pengadaan barang dan jasa pada Pemerintah belum maksimal, seperti kurang lengkapnya dokumentasi tentang proses pengadaan barang dan jasa pemerintah yang dapat diakses oleh publik dan baru akan dikeluarkan ketika ada sanggahan atau sanggahan banding dari calon penyedia barang/jasa yang kalah, dan juga dokumentasi laporan realisasi fisik dan administrasi keuangan kegiatan pengadaan barang/jasa yang belum dapat diakses secara luas. Memang di beberapa dinas seperti Dinas Bina Marga, Dinas Pengairan dan Permukiman hal tersebut berjalan lebih baik, namun mekanisme untuk mengakses berbagai informasi tersebut masih sangat sulit.
Sesuai dengan prinsip partisipasi, Pasal 48 Ayat 5 Keppres Nomor 80 tahun 2003 menjelaskan bahwa masyarakat memiliki hak untuk melakukan pengawasan dalam Proses Pengadaan Barang dan Jasa dan Unit Pengawasan intern Pemerintah harus dapat menindaklanjuti setiap pengaduan mayarakat berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Namun, dalam Perpres 54/2010, ketentuan dalam konteks peningkatan partisipasi masyarakat tersebut justru ditiadakan. Berdasarkan hasil wawancara, penghilangan aspek partisipasi ini dikarenakan adanya fakta bahwa peluang tersebut selama ini justru dipakai oleh masyarakat yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan fitnah. Berdasarkan hasil penelitian dapat dikatakan bahwa kurangnya partisipasi masyarakat dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah, berdasarkan rekapitulasi laporan tahunan Inspektorat , diketahui bahwa hanya sedikit laporan masyarakat yang masuk yang mengeluhkan tentang proses pengadaan barang/jasa. Seharusnya penting bagi Pemerintah untuk membangun mekanisme pengawasan idealnya dilakukan baik secara internal maupun eksternal, termasuk pengawasan oleh masyarakat sipil sebagai upaya meminimalisir korupsi pengadaan pemerintah. Kondisi ini juga diperparah dengan masih banyaknya ‘surat kaleng’ yang masuk yang menganggap telah terjadi penyalahgunaan dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Jika mekanisme pengaduan masyarakat terhadap pelaksanaan barang/jasa secara legal disediakan oleh pemerintah, maka adanya surat kaleng yang belum tentu kebenarannya ini dapat diminimalkan. Dengan mengacu pada prinsip Keadilan, Ekonomis dan Efisiensi, diperoleh informasi bahwa secara umum pemberlakuan lelang secara elektronik pada Pemerintah telah menghasilkan efisiensi sebesar 17% dibandingkan dengan pagu anggaran yang diturunkan ke dalam Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Hal ini berarti telah terjadi efisiensi. Secara nasional, pengadaan barang/jasa pemerintah dengan sistem pengadaan secara elektronik selama Januari-Mei 2011 berhasil mengefisienkan penggunaan anggaran hingga Rp2 triliun atau 13 persen (Laporan LKPP).
Penyelenggaraan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah secara elektronik diatur dalam Peraturan Presiden nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dan sebagaimana ketentuan dalam pasal 131 ayat (1) bahwa pada tahun 2012 K/L/D/I wajib melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa secara elektronik untuk sebagian/seluruh paket-paket pekerjaan. Selain itu dalam Perpres 54 Tahun 2010 juga mengatur mengenai Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) sebagai unit kerja K/L/D/I untuk menyelenggarakan sistem pelayanan Pengadaan Barang/Jasa secara elektronik yang ketentuan teknis operasionalnya diatur oleh Peraturan Kepala LKPP No. 2 Tahun 2010 tentang Layanan Pengadaan Secara Elektronik. LPSE dalam dalam enyelenggarakan sistem pelayanan Pengadaan Barang/Jasa secara elektronik wajibmemenuhi ketentuan sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-undang Nomor 11 ahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Proses Pengadaan Barang/Jasa pemerintah secara elektronik yang telah dilaksanakan oleh Pemrintah juga lebih meningkatkan dan menjamin terjadinya efisiensi, efektifitas, transparansi, dan akuntabilitas dalam pembelanjaan uang negara. Selain itu, proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah secara elektronik ini juga dapat lebih menjamin tersedianya informasi, kesempatan usaha, serta mendorong terjadinya persaingan yang sehat dan terwujudnya keadilan (non discriminative) bagi seluruh pelaku usaha yang bergerak di bidang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Berdasarkan temuan-temuan di atas, maka secara rinci berbagai persoalan yang menjadi latar belakang (pertimbangan operasional) perlunya regulasi/kebijakan/ program peningkatan kapasitas bagi pemerintah daerah dalam peningkatan transparansi pengadaan barang/jasa adalah sebagai berikut: (1) Perpres 54 Tahun 2010 sebagai pedoman pengadaan barang/jasa pemerintah tidak mengatur secara jelas dan pasti tentang bagaimana mekanisme akuntabilitas, transparansi dan partisipasi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah; (2) Belum dibentuknya lembaga yang secara khusus menangani pengembangan kebijakan, pembinaan dan pengendalian pengadaan barang/jasa pemerintah di selain Unit Layanan pengadaan yang memang harus dibentuk; (3) Kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia belum memenuhi kapasitas yang memadai untuk dapat melaksanakan pengadaan barang/jasa dengan baik. Persentase PNS Pemerintah yang telah lulus ujian sertifikasi barang /jasa tingkat ahli pada awal tahun 2011 jumlahnya hanya 784 orang atau 9.33% dari total PNS yaitu 8.399 PNS; (4) Sarana dan Prasarana Informasi dan Teknologi pada Pemerintah belum dapat menunjang untuk pengadaan barang dan jasa melalui layanan Internet, sehingga aplikasi E-Procurement yang disediakan oleh Pemerintah belum dapat dilakukan, hal ini menjadi kendala penyebaran informasi pengadaan barang/jasa.
Secara umum, sejalan dengan hasil penelitian Ari Subowo (2009), dalam aspek pengelolaan aset masih terdapat persoalan utama yakni keberadaan dan kepemilikan aset yang belum diamankan baik secara fisik, administrasi dan hukum serta masih terdapat aset yang tidak digunakan sesuai tupoksi lembaga (instansi) dan juga mengabaikan potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak yang mungkin dihasilkan. Oleh karena itu, perubahan yang diperlukan dalam mengimplementasikan manajemen aset sekaligus upaya mewujudkan tata pemerintahan dalam aspek pengelolaan asset adalah terkait dengan pihak pengelola barang, pengguna barang dan pihak ketiga yang akan memanfaatkan/ memindahtangankan aset dengan cara memperkuat partisipasi publik (diwakili oleh masyarakat), privat (diwakili pihak ketiga/swasta) dan komunitas (Pengelola dan Pengguna Barang) dengan menciptakan accountability (akuntabilitas), transparency (transparan) dan rule of law (ketaatan peraturan) yang konsisten, opennes (terbuka/fokus kepada stakeholder) sehingga stakeholders dapat menilai kinerja masing-masing pihak yang terlibat dalam manajemen aset, fairness (perlakuan yang adil) yang dapat meyakinkan berbagai pihak, terutama pihak swasta, bahwa tidak ada korupsi, kolusi dan nepotisme dalam pemanfaatan atau pemindahtanganan aset.
Di Pemerintah, aspek-aspek tersebut juga dirasakan masih sangat lemah, padahal manajemen aset sangat diperlukan dalam pengelolaan barang tidak bergerak milik pemerintah daerah, karena sistem administrasi dan surat bukti aset selama ini belum tertib. Hal tersebut dibuktikan dengan opini disclaimer dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pada tahun 2010 dan meskipun sudah meningkat menjadi opini WTP, namun manajemen aset masih BPK banyak menemukan aset yang terancam hilang, baik berupa tanah, gedung, kendaraan maupun hewan ternak yang berpotensi merugikan keuangan daerah. Padahal seluruh aset bergerak maupun tidak bergerak tersebut merupakan hasil proses pengadaan barang dan jasa. Oleh karena itu, beberapa persoalan dalam pengelolaan aset daerah di berdasarkan temuan dalam studi ini adalah (a) -aset daerah belum tersusun dalam sistem pengelolaan administrasi yang terkelola dengan baik, (b) masyarakat tidak memiliki akses yang cukup kuat untuk mengontrol asset daerah, dan (c) DPRD juga tidak optimal dalam mengontrol Aset daerah karena keterbatasan Informasi
KESIMPULAN
Berdasarkan pada empat pilar utama good governance dalam pengadaan barang/jasa yaitu transparansi, akuntabilitas, serta keadilan, ekonomis dan efisiensi secara umum di masih menghadapi kendala yang serius. Tata cara pengadaan barang/jasa pemerintah seringkali hanya dijalankan untuk memenuhi persyaratan formal tanpa memahami latar belakang, essensi, maksud dan tujuan dari suatu peraturan. Karena itu hasilnya juga masih menunjukkan bahwa hasil dari proses pengadaan barang/jasa pemerintah masih mendapatkan harga yang lebih tinggi dari harga pasar dan sering dengan kualitas yang kurang memadai serta dengan lingkup kerja yang kurang dari yang dipersyaratkan sehingga aset yang dihasilkan melalui proses pengadaan tersebut juga belum maksimal.
Hakekatnya esensi, tujuan dan maksud pengadaan barang/jasa pemerintah tersebut dapat dilaksanakan sebaik-baiknya maka kedua belah pihak yaitu pihak pengguna dan pihak penyedia harus selalu berpedoman kepada filosofi dasar pengadaan barang/jasa pemerintah, tunduk kepada etika dan norma pengadaan barang/jasa pemerintah yang berlaku, mengikuti dan memahami prinsip-prinsip dasar pengadaan barang/jasa pemerintah, serta menjalankan metoda dan proses pengadaan barang/jasa pemerintah yang berlaku. Namun pada sisi lain upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah (panitia/pejabat pengadaan) untuk tidak melakukan persekongkolan tersebut justru bergeser. Isu persekongkolan yang dahulu sering ditemukan antara panitia dan penyedia barang/jasa saat ini cenderung bergeser menjadi persekongkolan antar penyedia barang/jasa. Hal tersebut ditemui dari adanya IP address yang sama yang digunakan oleh penyedia barang/jasa yang berbeda dalam memasukkan penawaran, kemiripan jaminan penawaran, format penulisan surat penawaran yang seragam, serta nilai harga penawaran yang cenderung terpola. Dalam aspek ini, upaya membangun good governance oleh pemerintah justru terdiderai oleh perusahaan (penyedia barang/jasa) yang tidak menjalankan good corporate governance.
Pada sisi yang lain, banyak anggota panitia/pejabat pengadaan yang enggan menjadi panitia karena adanya tekanan dari penyedia maupun dari atasan untuk memenangkan atau tidak memenangkan perusahaan (penyedia barang/jasa) tertentu. Akibatnya, persentase jumlah PNS pada Pemerintah yang telah lulus ujian sertifikasi barang /jasa tingkat ahli pada awal tahun 2011 jumlahnya hanya 784 orang atau 9.33% dari total PNS yaitu 8.399 PNS.
Berdasarkan berbagai persoalan yang ada dalam implementasi good coorporate governance dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah di , maka arah kebijakan (regulasi) yang direkomendasikan untuk mewujudkan pengadaan barang/jasa yang mengimplementasikan ber-good coorporate governance adalah sebagai berikut: (1) Menyusun Perda tentang Partisipasi, Transparansi dan Mekanisme Akuntabilitas dalam Pengadaan Barang/Jasa termasuk upaya penerapan good corporate governance; (2) Mengoptimalkan peran dan fungsi Unit Layanan Pengadaan (ULP) pada tingkat provinsi serta unit pengembangan kebijakan pengadaan barang/jasa; (3) Pelatihan Ahli Pengadaan dan E-Procurement; (4) Pengembangan sistem pengembangan karir ahli pengadaan di; (5) Implementasi E-Procurement, E-Tendering dan E-Purchasing secara penuh.
Sedangkan dalam aspek pengelolaan aset, berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka beberapa rekomendasi yang diharapkan mampu menjawab permasalah tersebut di atas yaitu: (1) Mengoptimalkan sistem pengelolaan aset daerah; (2) Membuat regulasi/perda tentang pengelolaan aset daerah; (3) Secara aktif membuka akses informasi tentang aset daerah kepada masyarakat dan DPRD tanpa harus diminta
DAFTAR PUSTAKA
- Chabib Soleh dan Heru Rochmansjah, 2010, Pengelolaan Keuangan Dan Aset Daerah, Sebuah Pendekatan Struktural Manuju Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik, Bandung: Fokusmedia.
- Danim, Sudarwan. 1997. Pengantar Studi Penelitian Kebijakan. Bumi Aksara. Jakarta.
- Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (LKPP). 2011. Laporan Tahunan.
- Mardiasmo, 2002, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta: Penerbit Andi.
- Majchrzak, Ann. 1987. Methods for Policy Research. London: Sage Publications Becerly Hills London New Delhi.
- Moeleong, Lexy J. 1990. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
- Soemitro, Ronny Hanitijo, 1990, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia.