TELAAH PUSTAKA
2.1 Akuntansi Sektor Publik
Akuntansi sektor publik berkaitan erat dengan penerapan dan perlakuan akuntansi pada domain publik. Domain publik sendiri memiliki wilayah yang relatif luas dan kompleks dibandingkan dengan sektor swasta/bisnis (Haryanto, 2007). Peranan akuntansi sektor publik ditujukan untuk memberikan pelayanan publik dalam rangka memenuhi kebutuhan publik. Akuntansi Sektor Publik merupakan bidang akuntansi yang mempunyai ruang lingkup lembaga-lembaga tinggi negara dan departemen-departemen di bawahnya, pemerintah daerah, perusahaan milik negara dan daerah, yayasan, partai politik, perguruan tinggi dan organisasi-organisasi non profit lainnya (Bastian, Indra, 2006).
Jika dilihat dari variabel lingkungan, sektor publik tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti politik, sosial, budaya, dan historis, yang menimbulkan perbedaan dalam pengertian, cara pandang, dan definisi. Dari sudut pandang ilmu ekonomi, sektor publik dapat dipahami sebagai entitas yang aktivitasnya menghasilkan barang dan layanan publik dalam memenuhi kebutuhan dan hak publik (bppk, depkeu). American Accounting Association (1970) dalam Glynn (1993) menyatakan bahwa tujuan akuntansi pada organisasi sektor publik adalah memberikan informasi yang diperlukan agar dapat mengelola suatu operasi dan alokasi sumber daya yang dipercayakan kepada organisasi secara tepat, efisien, dan ekonomis, serta memberikan informasi untuk melaporkan pertanggung-jawaban pelaksanaan pengelolaan tersebut serta melaporkan hasil operasi dan penggunaan dana publik. Dengan demikian, akuntansi sektor publik terkait dengan penyediaan informasi untuk pengendalian manajemen dan akuntabilitas.
Pada dasarnya, akuntabilitas adalah pemberian informasi dan pengungkapan (disclosure) atas aktivitas dan kinerja finansial kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Schiavo-Campo and Tomasi, 1999). Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus dapat menjadi subyek pemberi informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik yaitu hak untuk tahu, hak untuk diberi informasi, dan hak untuk didengar aspirasinya. Akuntabilitas publik terdiri dari dua macam, yaitu akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horisontal. Akuntabilitas vertikal adalah akuntabilitas kepada otoritas yang lebih tinggi, misalnya akuntabilitas kepala dinas kepada bupati/walikota. Akuntabilitas horisontal adalah akuntabilitas kepada publik secara luas atau kepada sesama lembaga lainnya yang tidak memiliki hubungan atasan, bawahan.
Dimensi akuntabilitas publik meliputi akuntabilitas hukum dan kejujuran, akuntabilitas manajerial, akuntabilitas program, akuntabilitas kebijakan, dan akuntabilitas finansial. Akuntabilitas manajerial merupakan bagian terpenting untuk menciptakan kredibilitas manajemen organisasi sektor publik. Tidak dipenuhinya prinsip pertanggungjawaban dapat menimbulkan implikasi yang luas. Jika masyarakat menilai sektor publik tidak accountable, masyarakat dapat menuntut pergantian kebijakan, penggantian pejabat, dan sebagainya. Rendahnya tingkat akuntabilitas juga meningkatkan risiko berinvestasi dan mengurangi kemampuan untuk berkompetisi serta melakukan efisiensi.
2.1.1 Konsep New Public Management
Dalam perkembangannya, kelemahan dan ketertinggalan sektor publik dari sektor swasta memicu munculnya reformasi pengelolaan sektor publik dengan meninggalkan administrasi tradisional dan beralih ke New Public Management (NPM), yang memberi perhatian lebih besar terhadap pencapaian kinerja dan akuntabilitas, dengan mengadopsi teknik pengelolaan sektor swasta ke dalam sektor publik. Konsep New Public Management adalah salah satu reformasi manajemen sektor publik untuk menjawab anggapan yang menyatakan bahwa organisasi sektor publik tidak produktif, tidak efisien, selalu rugi, rendah kualitas, miskin inovasi dan kreatifitas, dan berbagai kritikan lainnya (Mahmudi, 2007). New Public Management beranggapan bahwa praktik manajemen sektor swasta lebih baik dibandingkan dengan praktik manajemen sektor publik. Oleh karena itu untuk memperbaiki kinerja sektor publik perlu diadopsi beberapa praktik dan teknik manajemen yang diterapkan di sektor swasta ke dalam sektor publik, seperti pengadopsian mekanisme pasar, kompetisi tender, dan privatisasi perusahaan-perusahaan publik.
Penerapan NPM dipandang sebagai suatu bentuk reformasi manajemen, depolitisasi kekuasaan, atau desentralisasi wewenang yang mendorong demokrasi (Pecar, 2002). Perubahan dimulai dari proses rethinking government dan dilanjutkan dengan reinventing government (termasuk didalamnya reinventing local government) yang mengubah peran pemerintah, terutama dalam hal hubungan pemerintah dengan masyarakat (Mardiasmo, 2002b; Ho, 2002; Osborne and Gaebler, 1993; dan Hughes, 1998). Perubahan teoritis, misalnya dari administrasi publik ke arah manajemen publik, pemangkasan birokrasi pemerintah, dan penggunaan sistem kontrak telah meluas di seluruh dunia meskipun secara rinci reformasinya bervariasi. Tren di hampir setiap negara mengarah pada penggunaan anggaran berbasis kinerja, manajemen berbasis outcome (hasil), dan pengunaan akuntansi accrual meskipun tidak terjadi dalam waktu bersamaan (Hoque, 2002; Heinrich, 2002). Polidano (1999) dan Wallis dan Dollery (2001) menyatakan bahwa NPM merupakan fenomena global, akan tetapi penerapannya dapat berbeda-beda tergantung faktor localized contingencies.
Walaupun penerapan NPM bervariasi, namun mempunyai tujuan yang sama yaitu memperbaiki efisiensi dan efektivitas, meningkatkan responsivitas, dan memperbaiki akuntabilitas manajerial. Pemilihan kebijakannya pun hampir sama, antara lain desentralisasi (devolved management), pergeseran dari pengendalian input menjadi pengukuran output dan outcome, spesifikasi kinerja yang lebih ketat, public service ethic, pemberian reward and punishment, dan meluasnya penggunaan mekanisme contracting-out (Hood, 1991; Boston et al.,1996 dalam Hughes and O’Neill, 2002; Mulgan, 1997).
Menurut Christopher Hood, New Public Management memiliki tujuh karakteristik atau komponen utama, yaitu:
- Manajemen profesional di sektor publik
- Adanya standar kinerja dan ukuran kinerja
- Penekanan yang lebih besar terhadap pengendalian output dan outcome
- Pemecahan unit-unit kerja di sektor publik
- Menciptakan persaingan di sektor publik
- Pengadopsian gaya manajemen di sektor bisnis ke dalam sektor publik
- Penekanan pada disiplin dan penghematan yang lebih besar dalam menggunakan sumber daya
NPM memberikan kontribusi positif dalam perbaikan kinerja melalui mekanisme pengukuran yang diorientasikan pada pengukuran ekonomi, efisiensi, dan efektivitas meskipun penerapannya tidak bebas dari kendala dan masalah. Masalah tersebut terutama berakar dari mental birokrat tradisional, pengetahuan dan ketrampilan yang tidak memadai, dan peraturan perundang-undangan yang tidak memberikan cukup peluang fleksibilitas pembuatan keputusan (Pecar, 2002).
2.1.2 Sistem Pengendalian Manajemen dalam Organisasi Sektor Publik
Anthony (2005) menyatakan bahwa suatu sistem merupakan suatu cara tertentu dan bersifat repetitif untuk melaksanakan suatu atau sekelompok aktivitas. Sistem memiliki karakteristik berupa rangkaian langkah-langkah yang berirama, terkoordinasi, dan berulang, yang dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Pengendalian telah mengalami perkembangan definisi dari masa ke masa, yang cukup popular adalah pendapat Usury dan Hammer (1994:5) yang berpendapat bahwa “Controlling is management’s systematic efforts to achieve objectives by comparing performances to plan and taking appropriate action to correct important differences” yang artinya pengendalian adalah sebuah usaha sistematik dari manajemen untuk mencapai tujuan dengan membandingkan kinerja dengan rencana awal kemudian melakukan langkah perbaikan terhadap perbedaan-perbedaan penting dari keduanya. Namun secara sederhana pengendalian dapat diartikan sebagai proses penyesuaian pergerakan organisasi dengan tujuannya.
Pengendalian manajemen merupakan proses dimana para manajer mempengaruhi anggota organisasi lainnya untuk mengimplementasikan strategi organisasi (Anthony & Govindarajan, 2005: 8). Istilah pengendalian manajemen merupakan istilah yang dapat dipertukarkan dengan pengendalian intern. Standards for Internal Control in the Federal Government yang dikeluarkan oleh General Accouting Office (GAO) November 1999 menyatakan bahwa: “In short, internal control, which is synonymous with management control, helps government program managers achieve desired results through effective stewarship of public resources”. Robert Anthony (dalam Mahmudi 2007) mengartikan sistem pengendalian manajemen sebagai suatu proses untuk memastikan bahwa sumber daya diperoleh dan digunakan secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan organisasi. Untuk memahami suatu sistem pengendalian manajemen dibutuhkan suatu pengetahuan tentang lingkungan pengendalian manajemen dalam suatu organisasi dan proses pengendalian manajemen.
Menurut Anthony dan Govindarajan (2005: 17-18), lingkungan pengendalian menggambarkan tentang lingkungan dan pengendalian manajemen tersebut berlangsung atau lingkungan dimana sistem itu berada, yaitu meliputi karakteristik organisasi yang mempengaruhi proses pengendalian manajemen, dengan fokus utama pada perilaku individu dalam organisasi dan penugasan tanggung jawab keuangan kepada sub unit organisasi yang berbeda (pusat pertanggungjawaban). Karakteristik organisasi dapat berupa struktur organisasi atau keselarasan tujuan (goal congruence). Pentingnya sistem pengendalian manajemen dilaksanakan oleh organisasi karena sistem pengendalian manajemen mempengaruhi perilaku manusia. Sistem pengendalian yang baik berpengaruh pada cara manapun tujuannya; artinya tindakan-tindakan individu untuk meraih tujuan-tujuan pribadinya juga akan membantu dalam pencapaian tujuan-tujuan organisasi (Anthony & govindarajan, 2002: 55).
Dengan adanya suatu sistem itu pula berbagai ragam aktivitas dapat terkoordinir dan terarah menuju satu tujuan bersama. Proses pengendalian manajemen merupakan tahap-tahap yang harus dilalui untuk mewujudkan tujuan organisasi yang hendak dicapai.
Proses pengendalian manajemen terdiri dari beberapa tahap, yaitu (Mahmudi, 2007):
1. Perumusan Strategi
Tahap perumusan strategi sangat penting, karena kesalahan dalam merumuskan strategi akan berakibat kesalahan arah organisasi. Penentuan arah dan tujuan dasar organisasi merupakan bentuk perumusan strategi yang kemudian diwujudkan dalam visi, misi, tujuan dan nilai dasar organisasi. Perwujudan visi, misi, tujuan dan nilai dasar sebaiknya melibatkan semua anggota organisasi dari level atas sampai level bawah.
2. Perencanaan Srategik
Perencanaan strategik merupakan aktivitas untuk melahirkan programprogram baru yang dapat berupa rencana strategik, sasaran strategik, inisiatif strategik dan target. Rencana strategik merupakan hasil penerjemahan visi, misi, tujuan, nilai dasar dan strategi ke dalam rencana organisasi. Sasaran strategik merupakan hasil penerjemahan strategi ke dalam sasaran-sasaran yang hendak dicapai organisasi dalam rangka mewujudkan visi, misi, dan tujuan organisasi. Target merupakan tonggaktonggak yang digunakan untuk mengetahui tingkat pencapaian strategi.
3. Pembuatan Program
Tahap pembuatan program merupakan tahap yang dilakukan setelah perencanaan strategik. Rencana-rencana strategik, sasaran-sasaran strategik, dan inisiatif strategik merupakan rerangka konseptual yang harus dijabarkan dalam bentuk program-program. Program merupakan rencana kegiatan dan aktivitas yang dipilih untuk mewujudkan sasaran strategik tertentu beserta sumber daya yang dibutuhkan untuk melaksanakannya.
4. Penganggaran
Program-program yang telah ditetapkan harus dikaitkan dengan biaya. Biaya program tersebut merupakan gabungan dari biaya aktifitas untuk melaksanakan program. Secara agregatif biaya seluruh program tersebut akan diringkas dalam bentuk anggaran. Selain anggaran biaya, dibuat juga anggaran pendapatan dan anggaran investasi (modal) untuk melaksanakan program.
5. Implementasi
Setelah anggaran ditetapkan, tahap selanjutnya adalah implementasi anggaran. Selama tahap implementasi, manajer bertanggungjawab untuk memonitor pelaksanaan kegiatan dan bagian akuntansi melakukan pencatatan atas penggunaan anggaran (input) dan output-nya dalam sistem akuntansi keuangan. Pencatatan penggunaan sumber daya penting digunakan sebagai dasar dalam penentuan program tahun yang akan datang.
6. Pelaporan Kinerja
Pada tahap implementasi bagian akuntansi melakukan proses pencatatan, penganalisaan, pengklasifikasian, peringkasan dan pelaporan transaksi atau kejadian ekonomi yang berkaitan dengan keuangan. Informasi akuntansi tesebut akan disajikan dalam bentuk laporan keuangan. Laporan keuangan tersebut merupakan salah satu bentuk pelaporan kinerja sektor publik, terutama kinerja finansial. Pelaporan kinerja keuangan yang dihasilkan dalam sistem informasi akuntansi harus dilengkapi dengan informasi mengenai kinerja non-keuangan.
7. Evaluasi Kinerja
Evaluasi kinerja harus memiliki manfaat utama bagi pihak internal dan eksternal. Laporan kinerja bagi pihak internal digunakan sebagai alat pengendalian manajemen untuk menilai kinerja manajemen dan staf. Sedangkan untuk pihak eksternal, laporan kinerja berfungsi sebagai alat pertanggungjawaban organisasi.
Evaluasi kinerja dalam sistem pengendalian manajemen meliputi:
- Evaluasi Kinerja Organisasi Evaluasi kinerja organisasi merupakan penilaian kinerja organisasi secara keseluruhan. Penilaian ini dimaksudkan untuk menilai kinerja manajer pusat pertanggungjawaban. Penilaian kinerja organisasional berdampak pada pemberian penghargaan, kritik membangun, kenaikan pangkat, penugasan kembali, atau pemberhentian dan pemecatan kepada manajer pusat pertanggungjawaban.
- Evaluasi Program Laporan kinerja dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan evaluasi program. Pelaksanaan program yang tidak optimal memerlukan revisi anggaran program. Jika evaluasi program menunjukkan bahwa program yang dilaksanakan tidak efektif, maka manajer perlu mengkaji ulang terhadap strategi untuk mencapai tujuan.
8. Umpan Balik
Tahap akhir setelah dilakukan evaluasi kinerja adalah pemberian umpan balik. Tahap ini dilakukan sebagai sarana untuk melakukan tindak lanjut atas prestasi yang dicapai.
Pemerintah sebagai organisasi sektor publik juga melaksanakan pengendalian manajemen untuk memastikan bahwa tujuan-tujuan organisasi dapat tercapai, semua sumber daya yang dimiliki organisasi digunakan untuk menghasilkan outcome. Dengan diberlakukannya konsep manajemen kinerja, maka berlaku pula pengendalian manajemen, karena didalam manajemen kinerja terdapat pengukuran kinerja dan evaluasi. Jadi, ketika tingkat ketercapaian tujuan dan sasaran organisasi riil dengan yang dikonsepkan berbeda, maka organisasi akan melakukan evaluasi.
2.1.3 Kinerja
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002, p.570), kinerja adalah sesuatu yang dicapai, prestasi yang diperlihatkan, kemampuan kerja. Sedangkan menurut Wirawan (2009), kinerja adalah keluaran yang dihasilkan oleh fungsifungsi atau indikator-indikator suatu pekerjaan atau suatu profesi dalam waktu tertentu. Kinerja merujuk pada pencapaian karyawan atas tugas yang diberikan (Cascio, 1992 dalam Marifah, 2004). Kinerja pada hakekatnya adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka mencapai tujuan organisasi (Prawisosentono, 1992 dalam Marifah, 2004).
Kinerja pegawai merupakan hasil sinergi dari sejumlah faktor. Faktorfaktor tersebut adalah faktor lingkungan internal organisasi, faktor lingkungan eksternal, dan faktor internal karyawan atau pegawai (Wirawan, 2009).
- Faktor internal pegawai, yaitu faktor-faktor dari dalam diri pegawai yang merupakan faktor bawaan dari lahir dan faktor yang diperoleh ketika ia berkembang. Faktor-faktor bawaan, misalnya bakat, sifat pribadi, serta keadaan fisik dan kejiwaan. Sementara itu, faktor-faktor yang diperoleh, misalnya pengetahuan, keterampilan, etos kerja, pengalaman kerja, dan motivasi kerja. Setelah dipengaruhi oleh lingkungan internal organisasi dan
- Faktor-faktor lingkungan internal organisasi. Dalam melaksanakan tugasnya, pegawai memerlukan dukungan organisasi tempat ia bekerja. Dukungan tersebut sangat memengaruhi tinggi rendahnya pegawai. Sebaliknya, jika sistem kompensasi dan iklim kerja organisasi buruk, kinerja karyawan akan menurun. Faktor internal organisasi lainnya misalnya strategi organisasi, dukungan sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan, serta sistem manajemen dan kompensasi. Oleh karena itu, manajemen organisasi harus menciptakan lingkungan internal organisasi yang kondusif sehingga dapat mendukung dan meningkatkan produktivitas karyawan.
- Faktor lingkungan eksternal organisasi. Faktor-faktor lingkungan eksternal organisasi adalah keadaan, kejadian, atau situasi yang terjadi di lingkungan eksternal organisasi yang memengaruhi kinerja karyawan.
2.1.4 Praktek Manajemen Kinerja Dalam Organisasi Sektor Publik
Heinrich, Ittner dan Larcker, Otley, Kravchuck dan Shack, dan Brickley et al (dalam Verbeeten 2008) menyebutkan bahwa manajemen kinerja dapat digambarkan sebagai proses menentukan tujuan, pemilihan strategi untuk mencapai tujuan tersebut, mengalokasikan hak keputusan, dan mengukur serta mengevaluasi kinerja. Fokus pada penelitian ini adalah pada praktek manajemen kinerja yang melayani tujuan manajerial. Menurut Verbeeten (2008) tujuan manajerial itu sendiri terdiri dari empat hal, yaitu tujuan komunikasi, tujuan transparansi dan akuntanbilitas, tujuan pembelajaran, dan tujuan penilaian.
Keempat tujuan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut (Verbeeten, 2008):
- Definisi misi yang jelas, tujuan dan target akan membantu masing-masing pekerja untuk memahami apa keinginan organisasi dan menyediakan fokus pada kegiatan operasi organisasi (tujuan komunikasi).
- Dengan pengukuran kinerja dengan memperhatikan tujuan dan target, manajer organisasi sektor publik seharusnya mampu untuk memberitahu publik mengenai tujuan penggunaan uang (tujuan transparansi dan akuntabilitas).
- Organisasi sektor publik mungkin akan menggunakan pengukuran kinerja untuk mempelajari dan meningkatkan kinerja (tujuan pembelajaran). Transparansi yang akan tercipta pengukuran kinerja mengindikasikan dimana letak kebaikan organisasi, dan mana yang membutuhkan peningkatan.
- Sistem pengukuran kinerja mungkin memberikan dasar kompensansi dari pengurus pemerintahan publik (tujuan penilaian).
Manajemen berbasis kinerja dapat didefinisikan sebagai suatu proses penetapan tujuan, memilih strategi untuk mencapai tujuan tersebut, mengalokasikan wewenang keputusan, dan mengukur serta menghargai kinerja (Kravchuk dan Shack, 1996 dalam Betsy, 2010). Manajemen berbasis kinerja berkaitan dengan usaha, kegiatan atau program yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh pimpinan organisasi (perusahaan) untuk merencanakan, mengarahkan dan mengendalikan prestasi karyawan (Ruky, 2002).
Karena program ini mencantumkan kata management, seluruh kegiatan yang dilakukan dalam sebuah “proses manajemen” harus terjadi dimulai dengan menetapkan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, kemudian tahap pembuatan rencana, pengorganisasian, penggerakan/pengarahan dan akhirnya evaluasi atas hasilnya. Secara teknis program ini memang harus dimulai dengan menetapkan tujuan dan sasaran yaitu “kinerja dalam bentuk apa dan yang seperti bagaimana” yang ingin dicapai. Karena yang menjadi obyek adalah kinerja manusia, maka bentuk yang paling umum tentunya adalah kinerja dalam bentuk kinerja produktivitas sumber daya manusia.
Menurut Cascio (dikutip dari Ruky, 2002), sebuah program manajemen kinerja yang efektif hendaknya memenuhi syarat-syarat berikut:
- Relevance: hal-hal atau faktor-faktor yang dikukur adalah yang relevan (terkait) dengan pekerjaannya, apakah itu output-nya, prosesnya atau input-nya.
- Sensitivity: sistem yang digunakan harus cukup peka untuk membedakan antara karyawan yang berperstasi dan tidak berprestasi.
- Reliability: sistem yang digunakan harus dapat diandalkan, dipercaya bahwa menggunakan tolak ukur yang objektif, sahih, akurat, konsisten dan stabil.
- Acceptability: sistem yang digunakan harus dapat dimengerti dan diterima oleh karyawan yang menjadi penilai maupun yang dinilai dan menfasilitasi komunikasi aktif dan konstruktif antara keduanya.
- Practicalit: semua instrumen, misalnya formulir yang digunakan, harus mudah digunakan oleh kedua pihak, tidak rumit, dan berbelit-belit.
2.1.5 Teori Motivasi Kinerja
Mangkunegara (2001) dalam Utami (2010) mendefenisikan motivasi sebagai suatu dorongan kebutuhan dalam diri pegawai atau karyawan yang perlu dipenuhi agar pegawai tersebut dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai seorang pegawai dalam bekerja. Sedangkan menurut Riyadi (1998) dalam Wijayanti dan Solichatun (2005:184), motivasi didefinisikan sebagai derajat sampai dimana seorang individu (manajer/atasan) ingin berusaha dan untuk melaksanakan suatu tugas atau pekerjaan dengan baik. Partisipasi penyusunan anggaran mungkin akan efektif dalam kondisi karyawan yang mempunyai motivasi yang tinggi, begitu pula sebaliknya.
Motivasi seringkali dikatakan menjadi kunci kinerja kerja. Kinerja dapat ditingkatkan dengan motivasi kerja yang tinggi, pengetahuan dan keahlian dalam melakukan tugas dan persepsi peran positif yang dimiliki seseorang. Oleh karena itu memotivasi Sumber Daya Manusia yang terlingkup dalam suatu organisasi lebih banyak berhubungan dengan pemeliharaan kultur organisasi untuk mendorong prestasi kerja. Ada beberapa teori motivasi yang dapat memberikan penjelasan mengenai motivasi kerja para anggota organisasi.
Ada tiga teori motivasi kerja yaitu (Fuad Mas’ud, 2002:75) dalam Ratnawati (2009):
a. Teori Hirarki Kebutuhan Maslow
Ada lima hirarki kebutuhan manusia adalah sebagai berikut:
- Kebutuhan psikologi, yaitu kebutuhan fisik seperti rasa lapar, haus, perumahan, pakaian, dan lain sebagainya.
- Kebutuhan keamanan, yaitu kebutuhan akan keselamatan dan perlindungan dari bahaya, ancaman, perampasan, atau pemecatan.
- Kebutuhan sosial, yaitu kebutuhan akan rasa cinta dan kepuasan akan menjalin hubungan dengan orang lain, kepuasan dan perasaan memiliki serta diterima dalam suatu kelompok, rasa kecurangan, persahabatan, dan kasih sayang.
- Kebutuhan penghargaan, yaitu kebutuhan akan status atau kedudukan, kehormatan diri, reputasi dan prestasi.
- Kebutuhan aktualisasi diri, yaitu kebutuhan pemenuhan diri, untuk mempergunakan potensi diri, untuk mengembangkan diri semaksimal mungkin, ekspresi diri dan melakukan apa yang paling cocok dengan dirinya.
b. Teori Dua Faktor
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh kelompok yang dipimpin Herzberg, mereka mengambil kesimpulan bahwa ada dua kelompok faktor yang mempengaruhi motivasi kerja seseorang dalam perusahaan atau institusi yaitu pemuas kerja (job satisfiers) yang berkaitan dengan isi pekerjaan yang disebut motivators (meliputi prestasi kerja, pengakuan penghargaan, pekerjaan itu sendiri, tanggungjawab, promosi); dan penyebab ketidakpuasan kerja (job dissatisfiers) yang berkaitan dengan kondisi pekerjaan yang disebut faktor-faktor higienis, yang meliputi kebijakan dan administrasi pekerjaan, pengawasan teknis, gaji, hubungan antar pribadi dengan rekan dan atasan, dan kondisi kerja.
c. Teori Kebutuhan dari David Mc Clelland
Ada tiga kebutuhan penting yang mendorong orang untuk berbuat atau bertindak, yaitu:
- Kebutuhan prestasi, tercemin pada keinginan seseorang mengambil tugas yang dia dapat bertanggung jawab secara pribadi, keinginan untuk mencapai tujuan dengan memperhitungkan resikonya, dan berusaha melakukan sesuatu secara kreatif dan inovatif.
- Kebutuhan afiliasi, tercemin pada keinginan seseorang untuk menjalin hubungan dengan orang lain, bersahabat, dimana dia lebih mementingkan aspek hubungan pada pekerjaan, senang bergaul, berusaha mendapatkan persetujuan dari orang lain.
- Kebutuhan kekuasaan, tercemin pada keinginan seseorang untuk mempunyai pengaruh atas orang lain, dia berusaha menguasai orang lain, mengarahkan dan mengatur dengan cara membuat orang lain terkesan kepadanya, serta selalu menjaga reputasinya agar dia tetap bisa berpengaruh.
Motivasi merupakan keputusan mengenai berapa banyak usaha yang akan digunakan dalam situasi tugas tertentu untuk mencapai tujuan organisasi, dimana hal ini dilakukan untuk memenuhi keperluan individu (Vroom, 1964). Menurut Slamet (2007) motivasi meliputi dua dimensi, yaitu motivasi ekstrinsik dan motivasi instrinsik.
1. Motivasi Ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik hakekatnya adalah sumber ketidakpuasan yang berasal dari luar pekerjaannya, yang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang terhadap pekerjaaannya. Jika tidak terpenuhi, maka pekerja tidak akan puas. Jika besaran unsur ini memadai untuk memenuhi kebutuhan tersebut, pekerja tidak akan kecewa, meskipun belum terpuaskan. Terpenuhinya unsur ini akan lebih berperan dalam mengeliminasi ketidakpuasan kerja dan mencegah lingkungan kerja yang kurang menguntungkan bagi suatu institusi. Sumber ketidakpuasan kerja berasal dari tingkat kesejahteraan atau gaji, tingkat supervise teknis, tingkat hubungan antar pribadi atau rekan kerja, tingkat kebijakan administrasi, tingkat kondisi kerja, dan tingkat status.
Unsur ekstrinsik, terbagi menjadi tiga, yaitu:
a. Tingkat Kesejahteraan atau Gaji
Kesejahteraan adalah balas jasa pelengkap baik material maupun non material yang diberikan berdasarkan kebijaksanaan, bertujuan untuk mempertahankan dan memperbaiki kondisi fisik dan mental pekerja agar produktivitasnya meningkat. Sedangkan gaji merupakan hak bagi pegawai dan kewajiban bagi institusi untuk membayarnya. Kesejahteraan dan gaji adalah penghasilan seseorang sebagai sarana pemenuhan pokok hidup dalam bentuk uang, barang, dan atau fasilitas lain yang diterimanya akibat suatu tugas pekerjaan yang akan dilakukan atau telah dilakukan sebagai prasyarat agar lebih bersemangat dan lebih produktif. Apabila kebutuhan ini terpenuhi, maka kepuasan pribadi yang bersangkutan akan terpenuhi. Sehingga akan menimbulkan kepuasan kerja dan menurunkan motivasi kerja dan semangat kerja.
b. Hubungan antar Pribadi atau Rekan Kerja
Hubungan antar pekerja dengan rekan sekerja sangatlah penting artinya dalam meningkatkan produktivitas kerja. Dukungan rekan sekerja atau kelompok kerja dapat menimbulkan kepuasan kerja bagi pekerja, karena mereka merasa diterima dan dibantu dalam mempelancar penyelesaian tugasnya.
Tingkat kepuasan kerja pekerja akan menentukan hubungan antar pribadi atau rekan kerja yang ditinjau dari:
- Adanya kompetisi yang sehat dilingkungan kerja,
- Sejauh mana pekerjaan lain yang bekerja sama akan memberikan dukungan yang cukup,
- Kondisi kerja yang baik akan membuat rasa nyaman dalam bekerja,
- Semua saling bekerja sama dalam menyelesaikan pekerjaannya,
- Pekerja dapat bekerja sama dengan orang yang bertanggungjawab.
c. Mutu Supervisi
Situasi suatu organisasi selalu berubah, tuntutan pelayanan kesehatan untuk menjadi lebih baik semakin meningkat. Untuk itu suatu organisasi akan selalu berupaya memiliki sumber daya manusia yang berkualitas. Kemampuan supervisor dalam hal ini kepala yang bertindak sebagai seorang pengawas dalam memberikan bantuan teknis dan dukungan perilaku, pada pekerjaan mereka, demikian pula iklim partisipatif yang diciptakan oleh atasan dapat memberikan pengaruh yang substansial terhadap kepuasan kerja pekerja. Supervisor secara langsung mempengaruhi kepuasan kerja dan prestasi melalui kecermatan dalam mendisiplinkan dan menerapkan peraturan-peraturan.
2. Motivasi Intrinsik
Motivasi intrinsik adalah kondisi dalam pekerjaan sebagai sumber kepuasan kerja yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Bila unsur tersebut terpenuhi, maka dapat meningkatkan motivasi kerja seseorang, dan apabila unsur tersebut tidak terpenuhi, maka hak tersebut akan menurukan motivasi kerja seseorang, kepuasan kerja yang rendah dan dapat menimbulkan rasa ketidakpuasan kerja yang tinggi.
Unsur intrinsik terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Karakteristik pekerjaan
Pekerjaan merupakan bagian hidup setiap orang. Pekerjaan adalah rumpun tugas yang dilaksanakan oleh pekerja untuk mencapai beberapa tujuan organisasi. Untuk itu, kemampuan, pengetahuan, ketrampilan dan sikap harus sesuai dengan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karakteristik pekerjaan berhubungan dengan rancangan yang akan diberikan kepada pekerja apakah pekerjaan tersebut banyak atau sedikit menyediakan kesempatan bagi tenaga kerja untuk memuaskan kebutuhan mereka yang berhubungan dengan pekerjaan. Pekerjaan yang sesuai dan menyediakan otonomi akan memberikan kepuasan dan langkahlangkah kerja yang berlebihan.
b. Peluang untuk berkembang atau promosi
Dalam melakukan pekerjaan, pekerja mempunyai keinginan untuk berkarir dengan jalan mendapatkan promosi jabatan. Kesempatan promosi jabatan memiliki efek terhadap kepuasan kerja. Hal demikian dikarenakan promosi menggunakan beraneka cara dan memiliki penghargaan yang beragam, misalnya tingkat senioritas, dedikasi, pertimbangan kinerja, dan lain-lain. Kebijakan promosi yang adil dan transparan terhadap semua pegawai dapat memberi dampak pada mereka yang memperoleh kesempatandipromosikan seperti perasaan senang, bahagia, dan memperoleh kepuasan atas kerjanya.
2.1.6 Teori Penetapan
Tujuan Teori Penetapan Tujuan atau Goal Setting Theory merupakan bagian dari teori motivasi yang dikemukakan oleh Edwin Locke pada tahun 1978. Goal Setting Theory menegaskan bahwa individu dengan tujuan yang lebih spesifik dan menantang kinerjanya akan lebih baik dibandingkan dengan tujuan yang tidak jelas, seperti “melakukan apa yang terbaik dari diri kita”, tujuan mudah yang spesifik atau tidak ada tujuan sama sekali. Locke (dalam Locke dan Latham, 1990) mengungkapkan bahwa terdapat 2 kategori tindakan yang diarahkan oleh tujuan (goal-directed action) yaitu:
- No-consciously goal directed dan
- Consciously goal directed atau purposeful actions.
Premis yang mendasari goal setting theory adalah kategori yang kedua yaitu conscious goal (Latham, 2004 dalam Verbeeten, 2008), dimana dalam conscious goal, ide-ide berguna untuk mendorong individu untuk bertindak. Dengan demikian, goal setting theory mengamsumsikan bahwa ada suatu hubungan langsung antara definisi dari tujuan yang spesifik dan terukur dengan kinerja: jika manajer tahu apa yang sebenarnya tujuan yang ingin dicapai oleh mereka, maka mereka akan lebih termotivasi untuk mengerahkan usaha yang dapat meningkatkan kinerja mereka (Locke dan Latham, 2002, 1990). Tujuan yang memiliki tantangan biasanya diimplementasikan dalam output dengan level yang spesifik yang harus dicapai (Locke dan Latham, 1990).
2.1.7 Teori Agensi
Hubungan agensi terjadi ketika satu atau beberapa pihak (principal) mempekerjakan pihak lain (agent) dengan tujuan mendelegasikan tanggung jawab kepada agent. Hak dan tanggung jawab principal dan agent tertuang dalam sebuah perjanjian (kontrak) yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Agency theory berasumsi bahwa manusia adalah makhluk yang rasional dan berusaha untuk memanfaatkan utilitasnya (Bonner dan Sprinkle, 2002). Selanjutnya, Baiman (dalam Verbeeten 2008) mengungkapkan bahwa individu termotivasi untuk mendapatkan sesuatu untuk kepentingan pribadinya.
Sifat tersebut dapat digambarkan dalam fungsi utilitas yang terdiri dari dua faktor, yaitu meningkatkan kesejahteraan melalui insentif moneter maupun non moneter dan meningkatkan waktu luang (mengurangi kerja/usaha). Agency theory menyatakan bahwa individu akan melalaikan pekerjaannya apabila dia tidak mendapatkan insentif yang menambah manfaat ekonomi bagi mereka. Agency theory menjelaskan bahwa insentif memiliki peran penting dalam memotivasi dan mengontrol kinerja individu karena individu memiliki kepentingan untuk meningkatkan kesejahteraannya (Bonner dan Sprinkle, 2002).
Lebih lanjut, teori agensi menyatakan bahwa agen diasumsikan memiliki sifat work averse dan risk averse. Pemberian insentif untuk risk averse agent cenderung dengan sistem gaji tetap (fixed wage), sedangkan work averse agent cenderung dengan insentif berupa bonus tetap (fixed fee) (Bonner dan Sprinkle, 2002). Insentif dapat didefenisikan sebagai motivator ekstrinsik yang menghubungkan pembayaran bonus atau perspektif karir dengan kinerja (Bonner et al, 2000). Individu dianggap memiliki preferensi untuk meningkatkan kesejahteraan dan meningkatkan waktu libur atau waktu luangnya. Teori ini berpendapat bahwa individu akan menjadi malas (atau tidak mengerahkan usaha) pada tugas yang menjadi tanggung jawabnya kecuali tugas tersebut memiliki kontribusi pada kesejahteraan ekonomi mereka sendiri (Bonner dan Sprinkle, 2002). Rencana insentif dapat didasarkan pada kinerja dalam tahun berjalan (jangka pendek) dan pencapaian jangka panjang.
Jenis-jenis insentif secara ringkas dalam Anthony dan Govindarajan (2005) adalah sebagai berikut:
1. Penghargaan Keuangan
- Kenaikan gaji
- Bonus
- Manfaat
- Fasilitas
2. Penghargaan Psikologis dan Sosial
- Kemungkinan promosi
- Peningkatan tanggung jawab
- Peningkatan otonomi
- Kondisi geografis yang baik
- Pengakuan
Insentif yang telah dijelaskan diatas adalah insentif yang diberikan pada sektor swasta. Pada kenyataannya sektor publik mempunyai beberap karakteristik spesifik yang membuat desain skema insentif sangat kompleks (Pollit, 2006; Anthony dan Young, 2003 dalam verbeeten 2008; Burgess dan Ratto, 2003; Tirole, 1994).
Pertama, organisasi sektor publik secara umum mempunyai banyak stakeholder (principal) dengan tujuan yang banyak juga. Pemberian insentif menjadi kompleks pada situasi ini.
Kedua, beberapa dimensi kinerja sulit untuk diukur. Artinya hanya pada dimensi yang mudah diukur dimasukkan dalam skema insentif, hal ini dapat memberi efek yang tidak diharapkan pada kinerja secara keseluruhan. Burgess dan Ratto (2003) mengatakan bahwa organisasi sektor publik tidak memiliki tujuan yang jelas yang menyulitkan di dalam membuat desain pemberian insentif yang tepat. Kesalahan di dalam membuat desain pemberian insentif akan berakibat pada tidak termotivasinya karyawan terhadap insentif yang ditawarkan dan sama sekali tidak mendorong peningkatan kinerja. Hal yang hampir sama juga dikatakan Tirole (1994) yaitu bahwa pada organisasi sektor publik ada banyak tujuan yang ingin dicapai, namun tidak semua tujuan dapat diukur hasilnya. Akibatnya pemberian insentif menjadi tidak memiliki pengaruh terhadap peningkatan kinerja.
Ketiga, agency theory mengasumsikan bahwa agen mendapatkan manfaat semata-mata dari insentif, dan kerugian dari usaha yang dilakukan untuk kepentingan prinsipal. Hal ini diperkuat oleh pernyataan De Bruijn (2002) bahwa pemberian insentif membuat karyawan lebih fokus pada pencapaian efisiensi untuk meningkatkan insentif yang diterima sehingga mengurangi keinginan untuk berinovasi. Hal ini dikarenakan inovasi dapat menambah biaya yang dapat mengurangi pendapatan yang diperoleh (insentif yang diperoleh juga menjadi rendah). Akhirnya, sifat profesional dapat memotivasi agen di organisasi sektor publik. Sebagai hasilnya, organisasi dapat menggunakan “low-powered incentives” (insentif tidak berdasarkan kinerja) jika tujuan pekerja disesuaikan dengan tujuan organisasi (Dixit, 2002 dalam Verbeeten, 2008).
2.1.8 Desentralisasi
Adanya otonomi daerah di Indonesia merupakan salah satu bentuk desntralisasi dimana pemerintah pusat memberikan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah untuk mengelola daerahnya. Pemerintah daerah dalam melaksanakan tugasnya juga melimpahkan sebagian kewenangannya kepada satuan-satuan kerja dibawahnya baik berupa pengambilan keputusan, pengelolaan keuangan maupun pelaksanaan program-program untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dikarenakan satuan-satuan kerja lebih mengetahui kebutuhan masyarakat dan lebih peka terhadap perubahan-perubahan yang ada. PP 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah mengatur desentralisasi dari kepala daerah kepada pejabat dibawahnya untuk mengelola keuangan dan melaksanakan program-program sesuai dengan tujuan dan sasaran masing-masing satuan kerja. Pelimpahan wewenang tentunya disertai dengan pelimpahan tanggung jawab sehingga tiap-tiap satuan kerja wajib mempertanggungjawabkan anggaran dan pencapaian realisasi dari target yang telah ditetapkan.
Dengan adanya desentralisasi, tiap-tiap satuan kerja dapat meningkatkan kinerjanya karena mereka mengetahui kondisi masyarakat dan dapat menetapkan program-program yang tepat sasaran (Chenhall; Mukhi et.al; Davis dan Newstrom dalam Indudewi, 2009). Pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dari kepala daerah kepada pejabat dibawahnya berupa kewenangan dalam menyusun anggaran tersebut mencerminkan pelaksanaan tupoksi tiap-tiap unit kerja. Kewenangan penyusunan anggaran tersebut meliputi kewenangan dalam masalah keuangan, operasional kantor, peningkatan mutu pegawai, pergeseran dana maupun perputaran pegawai.
2.1.9 Pengukuran Kinerja
Kravchuk dan Shack (1996) memberikan beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam merumuskan ukuran kinerja:
- Memformulasikan tujuan, strategi dan misi yang koheren dan jelas
- Mengembangkan strategi pengukuran yang eksplisit
- Melibatkan pengguna-pengguna kunci dan konsumen pada fase perancangan dan pengembangan sistem pengukuran kinerja
- Merasionalisasi struktur rencana sebagai awal dari pengukuran kinerja
- Mengembangkan beberapa ukuran untuk pengguna yang beragam sesuai dengan yang dibutuhkan
- Mempertimbangkan konsumen selama proses penyusunan program dan sistem
- Menyediakan pengguna sebuah gambaran jelas dari kinerja
- Adanya review dan revisi terhadap sistem pengukuran secara periodik
- Take accounts of upstream, downstream, and lateral complexities
- Menghindari aggregasi informasi yang berlebihan.
Konsep pengukuran kinerja di sektor publik mengacu pada konsep value for money (VFM). Konsep value for money terdiri dari tiga elemen utama yaitu:
1. Ekonomi
Ekonomi terkait dengan pengkonversian input primer berupa sumber daya keuangan (Uang/kas) menjadi input sekunder berupa tenaga kerja, bahan, infrakstruktur dan barang modal yang dikonsumsi untuk kegiatan operasi organisasi. Organisasi harus memastikan bahwa dalam perolehan sumber daya input tidak terjadi pemborosan.
2.Efisiensi
Efisiensi terkait dengan hubungan antara output berupa barang atau pelayanan yang dihasilkan dengan sumber daya yang digunakan untuk menghasilkan output.
3. Efektivitas
Efektivitas terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya tercapai. Efektivitas merupakan hubungan antara output dengan tujuan. Semakin besar kontribusi output terhadap pencapaian tujuan, maka semakin efektif organisasi, program, atau kegiatan.
Konsep VFM menekankan pada hasil atau pelayanan terhadap publik. Organisasi tidak hanya berfokus pada pendapatan saja, tetapi bagaimana meningkatkan pelayanan terhadap publik. Untuk mengukur tingkat ekonomi, efisiensi dan efektifitas diperlukan pengembangan indikator kinerja dalam desain sistem pengukuran kinerja organisasi (Greiling, 2005)
2.1.10 Tujuan Pengukuran/ penilaian kinerja Sektor Publik
Pengukuran/ penilaian kinerja merupakan bagian penting dari proses pengendalian manajemen, baik sektor publik maupun swasta. Menurut De Bruijn (2002) dan Mahmudi (2005), tujuan pengukuran/penilaian kinerja dalam sektor publik antara lain sebagai berikut:
1. Mengetahui tingkat ketercapaian tujuan organisasi
Pengukuran kinerja pada organisasi sektor publik digunakan untuk mengetahui ketercapaian tujuan organisasi. Ditinjau dari perspektif pengendalian internal, sistem pengukuran kinerja didesain untuk memonitor implementasi rencana-rencana organisasi, menentukan kapan rencana tersebut berhasil dan bagaimana cara memperbaikinya. Sistem pengukuran kinerja untuk memfokuskan perhatian pada pencapaian tujuan organisasi, mengukur dan melaporkan kinerja, serta untuk memahami bagaimana proses kinerja mempengaruhi pembelajaran organisasi.
2. Menyediakan sarana pembelajaran organisasi
Sistem pengukuran kinerja bertujuan untuk memperbaiki hasil dari usaha yang dilakukan oleh pegawai tentang bagaimana seharusnya mereka bertindak dan memberikan dasar dalam perubahan perilaku, sikap, skill, atau pengetahuan kerja yang harus dimiliki pegawai untuk mencapai hasil kerja terbaik.
3. Memperbaiki kinerja periode-periode berikutnya
Penerapan sistem pengukuran kinerja dalam jangka panjang bertujuan untuk membentuk budaya berprestasi di dalam organisasi. Budaya kinerja atau budaya berprestasi dapat diciptakan apabila sistem pengukuran kinerja mampu menciptakan atmosfir organisasi sehingga setiap orang dalam organisasi dituntut untuk berprestasi . Atmosfir tersebut dapat terwujud dengan perbaikan kinerja yang dilakukan secara terus menerus. Kinerja saat ini harus lebih baik dari kinerja sebelumnya, dan kinerja yang akan datang harus lebih baik daripada sekarang.
4. Memberikan pertimbangan yang sistematik dalam pembuatan keputusan pemberian reward dan punishment.
Pengukuran kinerja bertujuan memberikan dasar sistematik bagi manajer untuk memberikan reward (kenaikan gaji, tunjangan , promosi) atau punishment (pemutusan kerja, penundaan promosi, teguran). Sistem manajemen kinerja modern diperlukan untuk mendukung system gaji berbasis kinerja. Organisasi yang berkinerja tinggi berusaha menciptakan reward, insentif dan gaji yang memiliki hubungan yang jelas dengan knowledge, skill, dan kontribusi individu terhadap kinerja organisasi.
5. Memotivasi pegawai
Dengan adanya pengukuran kinerja yang dihubungkan dengan manajemen kompensasi, maka pegawai yang berkinerja tinggi akan memperoleh reward. Reward tersebut memberikan motivasi pegawai untuk berkinerja lebih tinggi dengan harapan kinerja yang tinggi akan memperoleh kompensasi yang tinggi.
6. Menciptakan akuntabilitas publik
Pengukuran kinerja menunjukkan seberapa besar kinerja manajerial dicapai, seberapa bagus kinerja financial organisasi, dan kinerja lainnya.
2.2 Penelitian Terdahulu
Frank H. M. Verbeeten dalam penelitiannya yang berjudul “Performance Management Practices in Public Sector Organisation, impact on performance” meneliti pengaruh tujuan yang jelas dan terukur, insentif, desentralisasi, pengukuran kinerja, sektor dan ukuran organisasi terhadap kinerja sektor publik. Disimpulkan bahwa tujuan yang jelas dan terukur dapat meningfkatkan kinerja baik secara kualitas maupun secara kuantitas. Sedangkan insentif dapat meningkatkan kuantitas kinerja, namun tidak berpengaruh terhadapa kinerja secara kualitatif.
Penelitian yang dilakukan oleh Dian Indudewi yang berjudul Pengaruh Sasaran Jelas dan Terukur, Insentif, Desentralisasi, dan Pengukuran Kinerja terhadap Kinerja Organisasi (Studi Empiris pada SKPD dan BUMD Kota Semarang) meneliti tentang faktor sasaran yang jelas dan terukur, insentif, desentralisasi, dan pengukuran kinerja terhadap kinerja organisasi. Hasil dari penelitian tersebut, sasaran yang jelas dan terukur, insentif, serta pengukuran kinerja mempengaruhi kinerja organisasi. Sedangkan desentralisasi tidak berpengaruh terhadap kinerja.
Penelitian oleh Josephine Betsy berjudul “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Organisasi Sektor Publik (Studi pada Pemerintah Daerah Kabupaten Demak) mendapatkan hasil tujuan yang jelas dan terukur berpengaruh terhadap kinerja pemerintah daerah kabupaten Demak. Insentif tidak berpengaruh terhadap kinerja karena insentif pada pemerintah daerah kabupaten Demak masih dihitung berdasarkan absensi bukan terhadap kinerjanya. Motivasi kerja juga tidak berpengaruh karena minimnya kesempatan untuk naik jabatan ke jenjang lebih tinggi.
Tabel PENELITIAN TERDAHULU
2.3 Kerangka Pemikiran
Penerapan manajemen berbasis kinerja di organisasi sektor publik diharapkan mampu meningkatkan kinerja pegawai Kantor Pelayanan Pajak di dalamnya. Penelitian ini mencoba mencari kejelasan tentang pengaruh tujuan yang jelas dan terukur, insentif dan motivasi kerja terhadap kinerja individu pada organisasi sektor publik dalam hal ini adalah Kantor Pelayanan Pajak Pratama Semarang Tengah Satu, dengan menggunakan variabel kontrol desentralisasi, sistem pengukuran kinerja. Kebijakan remunerasi juga ditambahkan sebagai faktor yang akan diteliti kejelasannya terhadap kinerja.
Hubungan antar-antar varibel yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Teoritis penelitian ini, disajikan sebagai berikut:
Gambar BAGAN KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja:
2.4 Pengembangan Hipotesis
2.4.1 Tujuan yang Jelas dan Terukur
Goal setting theory adalah bagian dari teori motivasi yang dikemukakan oleh Edwin Locke pada tahun 1978. Teori ini didasarkan pada bukti yang beramsumsi bahwa tujuan (keadaan yang diinginkan di masa depan) memainkan peran penting dalam bertindak. Premis yang mendasari teori ini adalah ide-ide dan keinginan mendorong individu untuk bertindak, dengan kata lain tujuan akan mempengaruhi apa yang dicapai. Teori penetapan tujuan menuntut karyawan dengan tujuan tertentu yang ditetapkan secara spesifik dan jelas serta menantang untuk bekerja dengan lebih baik daripada mereka yang bekerja dengan tujuan yang tidak jelas. Teori penetapan tujuan menyatakan bahwa seseorang yang telah memiliki tujuan yang spesifik dan menantang akan bertindak lebih baik daripada mereka yang bekerja dengan tujuan yang tidak jelas, seperti pepatah “lakukan yang terbaik”.
Menurut Siegel dan Marconi (1989) tujuan organisasi sangat dipengaruhi oleh tujuan anggota organisasi yang dominan. Tujuan dipandang sebagai kompromi yang kompleks yang mereflesikan kebutuhan individu yang berbedabeda dan tujuan personal organisasi yang dominan. Tujuan organisasi ditentukan melalui negosiasi. Proses tawar-menawar dan saling pengaruh dibatasi oleh beragamnya partisipan dan lingkungan internal maupun eksternal. Jika tujuan organisasi dipersepsikan sebagai cara untuk mencapai tujuan personal atau memuaskan kebutuhan personal, maka hal ini akan memotivasi karyawan untuk menjalankan tindakan yang diperlukan.
Premis yang mendasari teori penetapan tujuan adalah tujuan akan mempengaruhi apa yang dicapai (Latham, 2004). Teori penetapan tujuan menyatakan bahwa seseorang yang telah memiliki tujuan yang spesifik dan menantang akan bertindak lebih baik daripada mereka yang bekerja dengan tujuan yang tidak jelas. Dengan demikian, teori penetapan tujuan menganggap bahwa adanya hubungan antara definisi tujuan yang jelas dan terukur dengan kinerja pegawai, jika manajer tahu apa yang menjadi tujuan mereka akan termotivasi untuk berusaha lebih baik, hal ini kemudian akan meningkatkan kinerja pegawai dari manajer tersebut (Locke dan Latham, 2002). Tujuan yang menantang biasanya diterapkan untuk mencapai hasil kerja atau output tertentu yang sudah ditetapkan (Locke dan Latham, 1990). Menurut Locke dan Latham (2002) dan Rodgers dan Hunter (1991) menyatakan bahwa ada hubungan positif antara tujuan yang jelas dan terukur dengan kinerja pegawai. Locke dan Latham mengetahui bahwa tingkat kesulitan pekerjaan (yang dihubungkan dengan sulitnya mengukur sasaran) akan mengurangi pengaruh tujuan yang jelas dan terukur dengan kinerja pegawai. Berdasarkan kerangka pemikiran diatas maka disusun hipotesis sebagai berikut: H1 : tujuan yang jelas dan terukur berpengaruh terhadap kinerja
2.4.2 Insentif
Hubungan teori agensi muncul ketika satu atau lebih individu (yang disebut kepala) menyewa orang lain (yang disebut agen) sebagai wakil mereka. Hak dan juga kewajiban kepala dan agen ditentukan dalam hubungan jabatan mutual yang sudah disetujui bersama, teori agensi menjelaskan hubungan tersebut dengan perumpamaan kontrak. Teori agensi menganggap bahwa suatu individu sepenuhnya rasional dan memiliki pilihan serta kepercayaan yang cocok dengan aksioma teori manfaat yang diharapkan (Bonner and Sprinkle, 2002). Lebih lanjutnya, masing-masing individu dianggap termotivasi oleh kepentingan pribadi (Baiman, 1990). Kepentingan pribadi dapat dijelaskan dengan fungsi kegunaan yang mengandung dua alasan yaitu kekayaan (insentif moneter dan insentif non moneter) dan kesenangan.
Insentif dapat didefinisikan sebagai motivator luar dimana gaji, honor, atau perspektif karir dihubungkan kepada kinerja pegawai (Bonner et al, 2000). Individu dianggap memiliki pilihan untuk meningkatkan kekayaan dan juga menambah waktu luangnya. Teori agensi menyatakan bahwa individu akan menyusut (tidak memiliki usaha) dalam sebuah pekerjaan, kecuali hal itu memiliki kontribusi dalam kesehatan ekonomi mereka sendiri (Bonner and Sprinkle, 2002). Insentif yang tidak bergantung pada kinerja pegawai secara umum tidak dapat memenuhi kriteria ini, dengan demikian teori agensi menyatakan insentif memiliki peran fundamental dalam memotivasi dan mengontrol kinerja pegawai karena memiliki keinginan untuk meningkatkan kekayaan.
Sektor publik memiliki karakteristik yang membuat bagan rencana insentif terlihat rumit (Pollitt, 2006). Pertama-tama, organisasi sektor publik secara umum memiliki banyak pemegang saham (utama) dengan tujuan yang bermacam-macam juga. Pemberian insentif sangat rumit dalam kondisi seperti ini, masing-masing orang akan menawarkan koefisien positif terhadap bagian atau bidang yang dia sukai dan akan memberikan koefisien negatif pada bidang lainnya (Dixit, 1997). Kumpulan koefisien insentif marjinal untuk masing-masing hasil yang dicapai akan menurun apabila jumlah pemegang saham menurun (Burgess and Ratto, 2003); sebagai hasil, insentifnya menjadi sedikit (Dixit, 1997).
Kedua, beberapa bidang kinerja pegawai sulit untuk diukur. Hal ini mungkin akan berdampak pada kenyataan bahwa hanya bidang kinerja pegawai yang mudahn diukur yang dimasukkan dalam bagan insentif, yang mungkin akan menimbulkan efek yang tidak diinginkan terhadap keseluruhan kinerja pegawai (Burgess and Ratto, 2003; Tirole,1994). Ketiga, teori agensi mengganggap bahwa agen memperoleh keuntungan terpisah dari insentif, dan juga kerugian dalam usaha yang dilakukan oleh kepala. Pada kenyataan, agen sektor publik mungkin termotivasi oleh tujuan etis atau idealis agensi tersebut (motivasi dari dalam), yang mungkin akan menimbulkan persaingan antara pekerja dengan organisasi sektor publik. Persaingan pekerja dengan organisasi sektor publik mungkin akan mengakibatkan penolakan pekerja terhadap organisasi sektor publik yang sudah dipilihnya.
Pada akhirnya, profesionalisme mungkin akan memotivasi agensi dalam sektor publik. Sebagai hasilnya, organisasi dapat menggunakan apa yang disebut “insentif berkekuatan lemah” (misalnya insentif yang tidak dihitung berdasarkan kinerja pegawai) jika tujuan pekerja disamakan dengan tujuan organisasinya (Dixit, 2002). Pada sisi lain, organisasi akan menanggung biaya marjinal atas usaha yang lebih tinggi apabila tujuan antara pekerja dan organisasi dibedakan. Sebagai tambahan, pelaku sektor publik yang profesional mungkin akan memisahkan informasi PM dengan pekerjaan harian mereka (misalnya tidak menggunakan informasi kinerja pegawai untuk tujuan manajerial maupun evaluasi).
Bukti empiris mengenai keefektifan insentif pada organisasi sektor publik memberikan hasil campuran. Bevan dan Hood (2006) meneliti penggunaan manajemen kinerja pegawai pada pelayanan umum di Inggris. Mereka menemukan bahwa manajer pelayanan kesehatan memegang risiko dipecat yang sangat tinggi apabila menggunakan indeks terukur (termasuk indikator rating bintang) dan apabila rumah sakit swasta “dipermalukan”. Meskipun terdapat peningkatan dramatis pada kinerja pegawai di bidang pelayanan kesehatan di Inggris, Bevan dan Hood (2006) berpendapat bahwa tidak mungkin untuk menentukan apakah perkembangan tersebut benar-benar asli atau kebetulan atau ada penurunan di bidang kinerja pegawai tidak terukur.
Newberrt dan Pallot (2006) meneliti konsekuensi dari sistem pengelolaan keuangan sektor publik di New Zealand terhadap departemen pemerintah pusat New Zealand. Hasil mereka mengindikasikan bahwa saat insentif pengelolaan keuangan berdasarkan akuntansi berdampak pada peningkatan efisiensi, mereka mungkin tidak meningkatkan keefektifan jangka panjang. Newberry dan Pallot (2004) mengindikasikan bahwa departemen pemerintah pernah mengalami erosi sumber daya, yang mengakibatkan hilangnya kemampuan untuk melayani dalam jangka panjang, yang akhirnya menyebabkan hilangnya moral dan juga sulitnya menarik dan memperkerjakan staf. Begitu pula dengan Gray dan Jenskin (1993, hal 65) yang menyatakan bahwa Inisiatif Pengelolaan Keuangan di sektor publik Inggris telah meningkatkan kesadaraan biaya tingkat lanjut yang juga menyebabkan pergeseran perhatian dari “kepentingan jangka panjang terhadap penyampaian kebijakan untuk memenuhi target jangka pendek”. Berdasarkan kerangka pemikiran diatas maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut:
H2 : insentif berpengaruh terhadap kinerja pegawai
2.4.3 Pengaruh Motivasi Kerja terhadap
Kinerja Pegawai Kinerja pegawai dapat ditingkatkan dengan berbagai macam cara. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah meningkatkan motivasi kerja pada pegawai tersebut. Peningkatan motivasi intrinsik merupakan salah satu cara usaha yang dapat dilakukan instansi atau perusahaan untuk meningkatkan kinerja pegawai.
Motivasi intrinsik sendiri terbentuk karena adanya berbagai keinginan dan harapan yang ada di dalam diri personal seseorang (Juliani, 2007). Kekuatan yang berupa keinginan maupun harapan tersebut yang pada akhirnya menuntun sesesorang untuk berkinerja secara maksimal. Beberapa faktor internal yang dapat membentuk motivasi tersebut antara lain adanya pencapaian, pemberian tanggung jawab, dan adanya kesempatan untuk berkembang. Hal ini sejalan dengan teori yang diungkapkan oleh Herzberg. Herzberg menyatakan bahwa seseorang akan mempunyai kinerja yang lebih baik apabila faktor-faktor motivasi (motivational factor) terdapat dalam pekerjaan. Faktor motivasi tersebut antara lain dorongan untuk berprestasi, pengakuan, tanggung jawab, kesempatan untuk maju, dan kepuasan kerja (Mangkunegara, 2002 dikutip oleh Juliani, 2007). Faktor-faktor tersebut merupakan faktor yang membentuk motivasi intrinsik.
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut:
H3 : Motivasi kerja berpengaruh positif pada kinerja pegawai.
2.4.4 Pengaruh Remunerasi terhadap
Kinerja Pegawai Pengertian resmi menurut kamus Bahasa Indonesia adalah pembelian hadiah (penghargaan atas jasa, dsb); imbalan. Remunerasi berasal dari bahasa Inggris yaitu Remuneration. Wikipedia memberikan penjelasan mengenai hal ini. Remuneration is pay or salary, typically a monetary payment for services rendered, as in an employment. Usage of the word is considered formal.
Remunerasi adalah merupakan imbalan atau balas jasa yang diberikan kepada tenaga kerja sebagai akibat dari prestasi yang telah diberikannya dalam rangka mencapai tujuan organisasi (Sofa, 2008). Pengertian ini mengisyaratkan bahwa keberadaannya di dalam suatu organisasi tidak dapat diabaikan begitu saja. Sebab, akan terkait langsung dengan pencapaian tujuan. Remunerasi yang rendah tidak dapat dipertanggungjawabkan, baik dilihat dari sisi kemanusiaan maupun dari sisi kelangsungan hidup organisasi.
Secara teoritis dapat dibedakan dua sistem remunerasi, yaitu yang mengacu kepada teori Karl Mark dan yang mengacu kepada teori Neo-klasik (Sofa. 2008) Kedua teori tersebut masing-masing memiliki kelemahan. Oleh karena itu, sistem pengupahan yang berlaku dewasa ini selalu berada diantara dua sistem tersebut. Berarti bahwa tidak ada satupun pola yang dapat berlaku umum. Yang perlu dipahami bahwa pola manapun yang akan dipergunakan seyogianya disesuaikan dengan kebijakan remunerasi masing-masing perusahaan dan mengacu kepada rasa keadilan bagi kedua belah pihak (perusahaan dan karyawan).
Besarnya tingkat remunerasi untuk masing-masing perusahaan adalah berbeda. Perbedaan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhinya diantaranya, yaitu permintaan dan penawaran tenaga kerja, kemampuan perusahaan, kemampuan dan keterampilan tenaga kerja, peranan perusahaan, serikat buruh, besar kecilnya resiko pekerjaan, campur tangan pemerintah, dan biaya hidup.
Dilihat dari sistemnya pembelian remunerasi dapat dibedakan atas prestasi kerja, lama kerja, senioritas atau lama dinas, kebutuhan, dan premi atau upah borongan
Di Indonesia, dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik yang baik, pada 2010 mendatang pemerintah merencanakan memberikan remunerasi pada beberapa kementerian/lembaga yang telah dan sedang melakukan reformasi birokrasi. Diharapkan pada tahun 2011 nanti, seluruh proses reformasi birokrasi akan tuntas dilaksanakan pada semua kementerian/lembaga (Susilo Bambang Yudhoyono, 2010, dalam Asaborneo, 2010).
Berikut besaran tunjangan jabatan struktural PNS dan tunjangan umum:
Tabel Tunjangan Jabatan Struktural, PNS Berdasarkan PERPERS RI No.26 Tahun 2007
Sumber: Tabel Gaji PNS 2010 by Anto’98 at semarang one.xls
Tabel Tunjangan Umum Berdasarkan Peraturan Presiden RI No. 12 Tahun 2006
Sumber: Tabel Gaji PNS 2010 by Anto’98 at semarang one.xls
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut:
H4 : Remunerasi berpengaruh positif pada kinerja pegawai.
2.4.5 Desentralisasi
Pada tahun 2000, di Indonesia, telah diterapkan sistem otonomi dimana pemerintah pusat memberikan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah untuk mengelola daerahnya baik berupa pengambilan keputusan, pengelolaam keuangan maupun pelaksanaan program-program untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Langkah ini diterapkan dengan alasan bahwa satuan-satuan kerja lebih mengetahui kebutuhan masyarakat dan lebih peka terhadap perubahan-perubahan yang ada.
PP 58 tahun 2005 mengatakan bahwa pengelolaan keuangan daerah yang mengatur desentralisasi dari kepala daerah kepada pejabat di bawahnya untuk mengelola keuangan dan melaksanakan program-program sesuai dengan tujuan masing-masing satuan kerja.
Desentralisasi dimaksudkan agar setiap satuan kerja dapat meningkatkan kinerja karena mereka mngetahui kondisi masyarakat dan dapat menetapkan program-program yang tepat sasaran. Berdasarkan kerangka pemikiran diatas maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut:
H5 : Desentralisasi berpengaruh positif pada kinerja pegawai.
2.4.6 Sistem pengukuran Kinerja
Di dalam manajemen kinerja terdapat penetapan sasaran-sasaran strategik sebagai awal dari proses pengendalian manajemen. Dengan adanya penetapan sasaran-sasaran strategik ini maka dapat dilakukan pengukuran kinerja untuk menilai sejauh mana kinerja sektor publik. pengukuran kinerja ini adalah salah satu elemen dalam sistem pengendalian manajemen dan manajemen kinerja. Pengukuran kinerja diartikan sebagai suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya, termasuk di dalamnya informasi atas efisiensi penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang dan jasa; kualitas barang dan jasa; hasil kegiatan dibandingkan dengan maksud yang diinginkan dan; efektivitas tindakan dalam mencapai suatu tujuan (Robertson, 2002).
Dwiyanto (dalam Indudewi, 2009) mengemukakan 3 konsep yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk mengukur kinerja organisasi publik, yakni responsivitas (responsiveness), responsibilitas (responsibility), dan akuntabilitas (accountability). Responsivitas mengacu kepada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan yang diberikan oleh organisasi publik dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat yang diprogramkan dan dijalankan oleh organisasi publik, Jika keselarasan itu terjadi maka kinerja organisasi itu dinilai baik. Sementara responsibilitas menjelaskan sejauh mana pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip baik yang implisit maupun yang eksplisit. Semakin kegiatan organisasi publik itu dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi, peraturan dan kebijakan organisasi maka kinerja dinilai semakin baik.
Sedangkan akuntabilitas mengacu kepada seberapa besar pejabat publik dan kegiatan organisasi publik tunduk kepada pejabat politik yang dipilih rakyat, oleh karena itu kinerja pada dasarnya merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai tanggungjawab yang diberikan kepadanya. Dalam hal ini pegawai dapat belajar seberapa besar kinerja yang mereka lakukan secara informal, seperti komentator yang baik dari mitra kerja.
Namun demikian, penilaian kinerja mengacu kepada suatu sistem formal dan terstruktur yang mengukur, menilai, dan mempengaruhi sifat-sifat yang berkaitan dengan pekerjaan, perilaku dan hasil, termasuk tingkat kehadiran. Fokus penilaian kinerja adalah untuk mengetahui seberapa produktif seorang karyawan apakah ia bisa berkinerja sama atau lebih efektif pada masa yang akan datang. Di KPP Pratama sendiri memiliki sistem pengukuran kinerja yaitu Indikator Kinerja Utama (IKU) (dapat dilihat pada lembar lampiran tabel). Berdasarkan kerangka pemikiran diatas maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut: H6 : Sistem Pengukuran Kinerja berpengaruh positif pada kinerja pegawai.
KLIK DISINI :
BAB III
BAB I
KLIK DISINI :
BAB III
BAB I