Model Konseptual Analisis Perbaikan Kinerja Industri Gula
1. PENDAHULUAN
Industri gula Indonesia merupakan
industri manufaktur yang berkembang
pertama kali di Indonesia. Ditinjau dari
aktivitas ekonomi, industri gula merupakan
industri yang memberikan dampak ganda
cukup signifikan secara nasional terhadap
penciptaan output, pendapatan, nilai tambah
dan tenaga kerja mengingat gula merupakan
suatu komoditi pangan yang
penggunaannya sangat luas. Berdasarkan
analisis keterkaitan antara industri melalui
analisis input-output menunjukkan bahwa
secara nasional industri gula memiliki
keterkaitan langsung dengan sektor-sektor
dibelakangnya sebanyak 53 sektor (dari 172
sektor) dan keterkaitan langsung ke depan
dengan 30 sektor.
Hal ini menunjukkan
bahwa gula selain untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi akhir, juga diperlukan
untuk mendorong peningkatan produksi
industri-industri yang menggunakan gula
sebagai bahan bakunya.
Pada masa kejayaannya (tahun 1930-
an) Indonesia pernah menjadi negara
eksportir gula ke dua di dunia setelah Kuba.
Namun, sejak tahun 1967 Indonesia
menjadi negara pengimpor gula untuk
memenuhi kebutuhannya. Ketergantungan ketersediaan pangan terhadap impor
merupakan salah satu indikator yang
digunakan untuk mengukur ketahanan
pangan.
Dengan pertimbangan utama untuk
memperkuat ketahanan pangan, Indonesia
berupaya meningkatkan produksi gula
dalam negeri, termasuk mencanangkan
target swasembada gula, yang sampai
sekarang belum tercapai.
Permasalahan yang dihadapi industri
gula nasional ditandai dengan
ketidakmampuannya untuk memenuhi
kebutuhan gula yang dikonsumsi
masyarakat maupun bahan baku industri.
Kondisi lima tahun terakhir menunjukkan
bahwa rerata ketergantungan Indonesia
terhadap impor gula untuk memenuhi
kebutuhannya mendekati 50%.
Kajian lebih
lanjut mengenai permasalahan yang
dihadapi menunjukkan rendahnya
produktivitas dan efisiensi pabrik gula
(Stakeholder’s Pergulaan Nasional 2006;
P3GI 2008; Effendi 2009) sebagai
penyebabnya.
Sink dan Thomas (1989)
menyebutkan bahwa produktivitas dan
efisiensi merupakan dua aspek penting
dalam kinerja. Rendahnya produktivitas dan
efisiensi pabrik gula saat ini dibandingkan
pencapaian di tahun 1930-an menunjukkan
bahwa produktivitas dan efisiensi pabrik
gula berada di bawah potensi yang bisa
dicapai. Oleh karena itu, perbaikan kinerja industri gula merupakan hal yang potensial
dilakukan.
Perbaikan kinerja dapat dilakukan
dengan berbagai cara, namun pada
umumnya terdapat lima tahap (Swanson
1996) yaitu
- Tahap analisis,
- Tahap desain,
- Tahap pengembangan,
- Tahap implementasi, dan
- Tahap evaluasi.
Selanjutnya, Swanson (1996) menyebutkan
bahwa tahap analisis merupakan tahap
paling penting. Tujuan dari tahap analisis
adalah untuk menentukan kinerja, target
kinerja, dan prioritas perbaikan kinerja.
Beberapa penelitian yang telah
dilakukan pada pabrik gula di Indonesia
menunjukkan bahwa penelitian yang
berhubungan dengan analisis perbaikan
kinerja (sebagai proses yang digunakan
secara sistematis untuk mengidentifikasi
kinerja, menentukan target kinerja yang
diinginkan, dan untuk menentukan prioritas
perbaikan) belum pernah dilakukan.
Penelitian ini bertujuan untuk
menghasilkan model konseptual yang dapat
digunakan untuk melakukan analisis
perbaikan kinerja industri gula. Model yang
dihasilkan merupakan model yang
terintegrasi untuk mencapai tujuan dari
tahap analisis perbaikan kinerja.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penentuan Kinerja
Untuk menentukan kinerja perlu
dilakukan pengukuran kinerja. Pengukuran
kinerja merupakan sub sistem dari
manajemen kinerja (Cokins 2004;
Halachmi 2005; Stiffler 2006; Baxter dan
MacLeod 2008). Pengukuran kinerja
didefinisikan sebagai proses untuk
mengkuantifikasi efisiensi dan efektivitas
dari suatu tindakan (Tangen 2004; Olsen et
al. 2007; Cocca dan Alberti 2010).
Dikaitkan dengan manajemen
operasional, Radnor dan Barnes (2007)
mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai
proses mengkuantifikasi input, output, dan
tingkat aktivitas dari suatu proses.
Wibisono (1999) menyebutkan bahwa
pengukuran kinerja di perusahaan
manufaktur pada level manajemen operasi
dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu:
- Pengukuran kinerja taktis (competitive priorities),
- Pengukuran kinerja operasional (manufacturing task), dan
- Pengukuran kinerja strategis (resource availability).
Hal yang sama juga
dikemukakan oleh Craig dan Grant (2002)
bahwa keunggulan bersaing suatu
organisasi didukung oleh kemampuan
sumber daya dan aktivitas rutin organisasi.
Terdapat tiga aspek formal dari
pengukuran kinerja (Spitzer 2007) yaitu
- Ukuran-ukuran (variabel yang diukur),
- Proses pengukuran (tahapan yang menunjukkan bagaimana cara melakukan pengukuran), dan
- Infrastruktur teknis (berupa hardware dan software komputer yang digunakan untuk mendukung proses pengukuran).
Tiga kriteria yang dapat
digunakan untuk menilai keefektifan dari
sistem pengukuran kinerja (Olsen et al.
2007) yaitu:
- Keterkaitan,
- Perbaikan terus-menerus, dan
- Pengawasan proses.
Terkait dengan ukuran-ukuran
(variabel) yang diukur, Medori dan Steeple
(2000) menyatakan bahwa pada semua
framework pengukuran kinerja yang telah
dihasikan, pada umumnya memiliki
kelemahan dalam hal memberikan panduan
terhadap pemilihan variabel kinerja yang
akan diukur. Denton (2005) menyatakan
bahwa meskipun banyak hal yang dapat
diukur tetapi lebih penting untuk mengukur
hal yang spesifik dan relevan.
Berdasarkan pengalaman implementasi
pada beberapa perusahaan di Indonesia
ditinjau dari aspek kepraktisan dan nilai
tambah yang diberikan, Wibisono (2006)
menyatakan bahwa pendekatan yang sesuai
untuk diterapkan di Indonesia dalam
menentukan variabel kinerja yang akan
diukur adalah dengan melakukan
identifikasi variabel kinerja dari tiga
perspektif yaitu
- Keluaran organisasi (business results),
- Proses internal (internal business processes), dan
- Kemampuan atau ketersediaan sumber daya (resources availability).
Radnor dan Barnes (2007)
menyebutkan bahwa terdapat tiga
kecenderungan umum dalam pengukuran
kinerja yaitu
- Keluasan dari unit analisis (level individu, stasiun kerja, lini produksi, unit bisnis, perusahaan),
- Kedalaman ukuran kinerja (keterkaitan variabel kinerja),
- Peningkatan range ukuran kinerja (misalnya dari efisiensi menjadi efisiensi dan efektivitas).
Dalam hal range
ukuran kinerja, beberapa penelitian
terdahulu menunjukkan adanya
keterbatasan dalam model pengukuran
kinerja pabrik gula karena hanya dilakukan
dengan menggunakan range ukuran kinerja
yang sempit yaitu
- Produktivitas (Yusnitati (1994) dan Manalu (2009) terkait dengan kinerja output per input,
- Efisiensi produksi (Siagian, 1999) terkait dengan kinerja proses, dan
- Efisiensi teknis (LPPM IPB, 2002) terkait dengan kinerja proses.
Berdasarkan kedalaman ukuran
kinerja, pada penelitian terdahulu tidak
memperhatikan keterkaitan ukuran kinerja.
Hal ini dapat menyebabkan upaya
perbaikan yang dilakukan tidak
menghasilkan perbaikan kinerja yang
signifikan. Selain itu, jika merujuk pada
pernyataan Olsen et al. (2007) dapat
menyebabkan berkurangnya keefektifan
sistem pengukuran kinerja.
Kerangka kerja proses pengukuran
kinerja perlu diperbaiki secara kontinu
dengan mempertimbangkan berbagai model
pengukuran kinerja yang sesuai dengan
permasalahan yang dihadapi (Nenadal
2008). Beheshti dan Lollar (2008)
menyebutkan bahwa pengukuran kinerja
merupakan keputusan penting yang sering
menggunakan informasi subyektif.
Perbedaan satuan pada setiap ukuran
kinerja yang digunakan menyebabkan
proses aggregasi ukuran kinerja menjadi
rumit. Oleh karena itu model keputusan
yang memanfaatkan logika fuzzy dapat
memberikan solusi yang logis. Chan et al.
(2002) mengusulkan penggunaan logika
fuzzy dalam evaluasi kinerja dan
Unahabhokha et al. (2007) menggunakan
pendekatan fuzzy expert system untuk
memprediksi nilai kinerja.
Terkait dengan infrastruktur yang
digunakan dalam pengukuran kinerja,
Santos et al. (2007) menunjukkan adanya
variasi infrastruktur yaitu secara manual
dan pemanfaatan sistem informasi.
Marchand dan Raymond (2008)
menunjukkan pergeseran dalam
pemanfaatan sistem informasi untuk
pengukuran kinerja, yaitu dari sistem
informasi eksekutif (1980-1999) ke Sistem
Intelijen ( 2000-saat ini). Selain itu, Denton
(2010) menyebutkan bahwa intranet dan
internet dapat digunakan untuk
meningkatkan pengelolaan dan pengukuran
kinerja.
2.2 Penentuan Target Kinerja
Sistem pengukuran kinerja
merupakan kunci untuk memandu dan
menguji hasil dari proses perbaikan, tetapi
tidak mengindikasikan bagaimana suatu
proses harus diperbaiki. Salah satu
pendekatan yang dapat membantu
melengkapi hal tersebut adalah
benchmarking. Dattakumar (2003)
menyimpulkan bahwa pendekatan
benchmarking dapat digunakan untuk
perbaikan terus menerus. Hasil review
Grunberg (2003) terhadap metoda-metoda
yang digunakan untuk perbaikan kinerja
aktivitas operasional pada perusahaan
manufaktur menunjukkan bahwa
pendekatan benchmarking juga
memungkinkan untuk digunakan.
Aplikasi benchmarking dalam
perbaikan kinerja telah banyak dilakukan.
Dimulai pada akhir 1970 oleh Xerox
Corporation yang memutuskan untuk
membandingkan operasional perusahaan
dengan L.L. Bean yang memiliki produk
yang berbeda namun memiliki karakteristik
fisik yang sama (Tucker et al. 1987 dalam
Elmuti dan Yunus 1997). Oleh karena itu,
pengelompokan organisasi yang memiliki
karakteristik yang serupa perlu dilakukan
sebelum proses benchmarking.
Pengelompokan organisasi yang
memiliki karakteristik yang serupa dapat
dilakukan dengan menggunakan metode
clustering. Xu & Wunsch (2009)
menyatakan bahwa pengelompokan
(clustering) obyek kedalam beberapa
kelompok (cluster) yang mempunyai sifat
yang homogen atau dengan variasi sekecil
mungkin diperlukan untuk memudahkan
analisis data.
Terdapat dua tahapan yang harus
dilakukan dalam analisis cluster yaitu
- Memutuskan apakah jumlah cluster ditentukan atau tidak dan
- Menentukan algoritma yang akan digunakan dalam clustering.
Untuk memutuskan berapa
jumlah cluster yang akan dibentuk, Sadaaki
et al. (2008) menyebutkan bahwa terdapat
dua pendekatan yang dapat digunakan yaitu
supervised (jika jumlah cluster ditentukan)
dan unsupervised (jika jumlah cluster tidak
ditentukan/alami).
Gan et al. (2007) menyatakan bahwa
dalam melakukan analisis clustering dapat
memilih satu diantara 2 pendekatan yaitu
- Hard Clustering atau
- Soft Clustering (dikenal juga sebagai fuzzy clustering).
Pemilihan pendekatan yang digunakan
tergantung jenis data yang akan
dikelompokkan. Hard Clustering
digunakan apabila data berbentuk Crips
sedangkan soft clustering digunakan
apabila data berbentuk fuzzy.
Metode yang dapat digunakan pada
pendekatan Hard Clustering (Gan et al.
2007) yaitu
- Non-Hierarchical clustering (Partisional Clustering) dan
- Hierarchical Clustering.
Pada metode NonHierarchical
clustering, terdapat 3 cara
untuk mengelompokkan data dalam satu
cluster yaitu
- Sequential threshold,
- Parallel threshold, dan
- Optimization.
Sedangkan dalam metode Hierarchical
Clustering, Xu dan Wunsch (2009)
menyatakan bahwa terdapat dua tipe dasar
yaitu
- Penyebaran (divisive), dan
- Pemusatan (agglomerative).
Tipe divisive
memulai pengelompokkan dari cluster yang
besar (terdiri dari semua data) kemudian
data yang paling tinggi ketidaksesuaiannya
dipisahkan dan seterusnya. Sedangkan tipe
agglomerative memulai pengelompokkan
dengan menganggap setiap data sebagai
cluster kemudian dua cluster yang
mempunyai kesesuaian digabungkan
menjadi satu cluster dan seterusnya.
Terdapat lima cara untuk
menggabungkan antar cluster yaitu
- Single linkage (berdasarkan jarak terkecil),
- Complete linkage (berdasarkan jarak terjauh),
- Centroid method (berdasarkan jarak centroid),
- Average linkage (berdasarkan berdasarkan rata-rata jarak), dan
- Ward’s method (berdasarkan total sum of square dua cluster).
Pemilihan
pendekatan ditentukan berdasarkan
kesesuaian dengan permasalahan yang
dihadapi.
Hasil yang dicapai melalui penerapan
praktek terbaik dari L.L. Bean adalah
peningkatan efisiensi dan produktivitas
(Tucker et al. 1987 dalam Yasin 2002).
Selain itu, menurut Dragolea dan Cotirlea
(2009) manfaat benchmarking antara lain
yaitu
- Perbaikan terus menerus untuk mencapai kinerja yang lebih baik menjadi budaya organisasi,
- Meningkatkan pengetahuan terhadap kinerja produk dan jasa, dan
- Membantu dalam memfokuskan sumberdaya untuk mencapai target.
Pierre dan Delisle (2006)
mengusulkan sistem diagnosa berbasis
pengetahuan pakar untuk melakukan
benchmarking kinerja. Organisasi atau
perusahaan yang berbeda memiliki metoda
benchmarking sendiri, namun apapun
metode yang digunakan, langkah-langkah
utamanya adalah sebagai berikut :
- Pengukuran kinerja dari varibel-variabel kinerja terbaik pada kelompoknya relatif terhadap kinerja kritikal;
- Penentuan bagaimana tingkat-tingkat kinerja dicapai; dan
- Penggunaan informasi untuk pengembangan dan implementasi dari rencana peningkatan (Omachonu dan Ross 1994 dalam Elmuti dan Yunus 1997).
Hal
tersebut sejalan dengan tujuan dari analisis
perbaikan kinerja.
Sebelum melakukan identifikasi
bagaimana tingkat kinerja dicapai (praktek
terbaik), perlu dilakukan pemilihan kinerja
terbaik dalam kelompoknya. Proses
pemilihan alternatif terbaik dari beberapa
alternatif secara sistematis untuk
ditindaklanjuti sebagai suatu cara
pemecahan masalah dikenal sebagai
pengambilan keputusan.
Berdasarkan jumlah kriteria yang
digunakan, maka persoalan keputusan dapat
dibedakan menjadi dua kategori, yaitu
persoalan keputusan dengan kriteria tunggal
dan kriteria majemuk (multikriteria).
Pengambilan Keputusan Multikriteria
(MCDM) didefinisikan Kusumadewi et al.
(2006) sebagai suatu metode pengambilan
keputusan untuk menetapkan alternatif
terbaik dari sejumlah alternatif berdasarkan
beberapa kriteria tertentu.
Yoon (1981) dalam Kusumadewi
et.al.(2006) menyatakan bahwa masalah
MCDM tidak selalu memberikan suatu solusi unik, perbedaan tipe bisa jadi akan
memberikan perbedaan solusi.
Adapun
jenis-jenis solusi pada masalah MCDM
(Kusumadewi et al. 2006) yaitu :
- Solusi ideal,
- Solusi non-dominated (solusi Pareto-optimal),
- Solusi yang lebih disukai , dan
- Solusi yang memuaskan.
Pada solusi ideal, kriteria atau atribut dapat
dibagi menjadi dua kategori, yaitu kriteria
yang nilainya akan dimaksimumkan
(kategori kriteria keuntungan), dan kriteria
yang nilainya akan diminimumkan
(kategori kriteria biaya). Solusi ideal akan
memaksimumkan semua kriteria
keuntungan dan meminimumkan semua
kriteria biaya (Daellenbach dan McNickle
2005). Solusi feasible MCDM dikatakan
non-dominated jika tidak ada solusi feasible
yang lain yang akan menghasilkan
perbaikan terhadap suatu atribut tanpa
menyebabkan degenerasi pada atribut
lainnya.
Solusi yang memuaskan adalah
himpunan bagian dari solusi-solusi feasible
dimana setiap alternatif melampaui semua
kriteria yang diharapkan.
Zimmermann (1991) dalam
Kusumadewi et al. (2006) menyatakan
bahwa berdasarkan tujuannya, MCDM
dapat dibedakan menjadi dua yaitu : Multi
Attribute Decision Making (MADM) dan
Multi Objective Decision Making
(MODM). MADM digunakan untuk
menyelesaikan masalah-masalah dalam
ruang diskret, sedangkan MODM
digunakan untuk menyelesaikan masalahmasalah
pada ruang kontinyu. Secara
umum dapat dikatakan bahwa MADM
menyeleksi alternatif terbaik dari sejumlah
alternatif, sedangkan MODM merancang
alternatif terbaik.
Terdapat beberapa metode yang
dapat digunakan untuk menyelesaikan
masalah MADM, antara lain yaitu :
- Simple Additive Weighting Method (SAW),
- Weighted Product (WP),
- ELimination Et Coix Traduisant la realitE (ELECTRE),
- Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS), dan
- Analytic Hierarchy Process (AHP).
Untuk melakukan pemilihan terhadap
organisasi yang berkinerja terbaik (menjadi
best in class), Laise (2004) berpendapat
bahwa pendekatan tradisional yang
digunakan untuk menentukan organisasi
yang menjadi best in class yaitu pendekatan
ranking memiliki kelemahan. Pada
pendekatan tradisional (Laise, 2004),
permasalahan benchmarking dengan
banyak kriteria diselesaikan dengan
mengkonstruksi suatu indikator dengan
merata-ratakan semua score yang diperoleh
suatu organisasi atas ukuran-ukuran yang
berbeda.
Rata-rata merupakan suatu ukuran
kecenderungan terpusat dari suatu
kelompok data dan cukup mewakili jika
data mempunyai suatu variabilitas yang
rendah, tetapi jika dilakukan pengamatan
dengan variabilitas tinggi, rata-rata bukan
ukuran yang baik. Menggunakan rata-rata
dapat menghilangkan informasi yang pantas
dipertimbangkan dan oleh karena itu tidak
cocok digunakan untuk membuat
perbandingan.
Selanjutnya, Laise (2004)
mengusulkan penggunaan metode yang
merupakan pengembangan dari konsep
outranking yaitu ELECTRE. Metode
ELECTRE merupakan kelompok dari
algoritma yang dikembangkan dalam
Operational Research (Roy 1985; Vincke
1992; Roy dan Bouyssou 1993; Pamerol
dan Barba-Romero 2000).
ELECTRE menurut Kusumadewi
et.al.(2006) didasarkan pada konsep
perankingan melalui perbandingan
berpasangan antar alternatif pada kriteria
yang sesuai. Suatu alternatif dikatakan
mendominasi alternatif yang lainnya jika
satu atau lebih kriterianya melebihi
(dibandingkan dengan kriteria dari
alternatif yang lain) dan sama dengan
kriteria lain yang tersisa.
Jafari et al. (2007) mengusulkan
kerangka kerja untuk memilih metode
penilaian kinerja terbaik menggunakan
SAW. Konsep dasar metode SAW adalah
mencari penjumlahan terbobot dari rating
kinerja pada setiap alternatif pada semua
atribut (Kusumadewi et.al., 2006).
Kelemahan pada metode SAW yaitu
memerlukan proses normalisasi matriks
keputusan ke suatu skala yang dapat
diperbandingkan dengan semua rating
alternatif yang ada.
Metode lain yang dapat digunakan
dalam melakukan identifikasi terhadap organisasi yang menjadi best in class dan
memperoleh solusi ideal adalah
PROMETHEE. PROMETHEE (Preference
Ranking Organization Method For
Enrichment Evaluation) termasuk dalam
keluarga metode outranking yang
dikembangkan oleh B. Roy (1985).
Metodologi Multicriteria outranking
merupakan pengembangan dari pendekatan
tradisional dalam menentukan perusahaan
yang memiliki kinerja terbaik. Metoda
tersebut dapat menghindari kekurangan dari
metoda tradisional yang hanya berdasarkan
pada agregasi kumpulan mono kriteria.
PROMETHEE merupakan salah satu
metode yang digunakan untuk menentukan
urutan atau prioritas dari beberapa alternatif
dalam permasalahan yang menggunakan
multi kriteria.
PROMETHEE mempunyai
kemampuan untuk menangani banyak
perbandingan dan memudahkan pengguna
dengan menggunakan data secara langsung
dalam bentuk tabel multikriteria sederhana.
Pengambil keputusan hanya mendefinisikan
skala ukurannya sendiri tanpa batasan,
untuk mengindikasi prioritasnya dan
preferensi untuk setiap kriteria dengan
memusatkan pada nilai (value), tanpa
memikirkan metoda perhitungannya.
2.3 Penentuan Prioritas Perbaikan
Langkah kedua dalam proses
benchmarking adalah penentuan bagaimana
tingkat-tingkat kinerja dicapai. Oleh karena
itu, praktek terbaik perlu diidentifikasi
sebagai masukan untuk perbaikan kinerja.
Asrofah et al. (2010) menyimpulkan bahwa
hasil identifikasi praktek terbaik
berkontribusi pada efektivitas
benchmarking di perusahaan manufaktur
Indonesia. Reddy dan McCarthy (2006)
menegaskan bahwa praktek terbaik perlu
dipromosikan setidak-tidaknya dengan
memanfaatkan database yang dapat diakses
oleh pihak yang memerlukan.
Faktor yang
harus diperhatikan dalam mengidentifikasi
praktek terbaik (Ungan, 2007) yaitu
kodifikasi, kompleksitas, dan kesesuaian.
Praktek terbaik dapat didefinisikan
dalam tiga level (Jaffar dan Zairi, 2000)
yaitu
- Ide yang baik (unproven);
- Praktek yang baik; dan
- Praktek terbaik (proven).
Ide yang baik – belum dibuktikan
secara empiris dan perlu dilakukan analsis
untuk memastikan ide tersebut akan
berdampak positif pada kinerja organisasi.
Praktek yang baik – berupa teknik,
metodologi, prosedur, atau proses yang
telah diimplementasikan dan telah
meningkatkan kinerja organisasi. Praktek
terbaik – praktek yang baik yang telah
ditetapkan sebagai pendekatan terbaik bagi
banyak organisasi berdasarkan hasil analisis
data kinerja.
Maire et al. (2005) mengembangkan
model untuk mengidentifikasi praktek
terbaik didasarkan pada prinsip yang serupa
dengan Quality Function Deployment
(QFD). Namun, model yang dirancang
hanya dapat digunakan pada proses dan
bukan pada produk jadi. Southard dan
Parente (2007) mengembangkan metoda
baru yang digunakan untuk proses evaluasi
dalam perbaikan kinerja berdasarkan pada
pengetahuan internal yang dimiliki.
Pendekatan lain yang dapat
digunakan untuk mengidentifikasi praktek
terbaik adalah Root Cause Analysis (RCA).
RCA merupakan pendekatan terstruktur
untuk mengidentifikasi faktor-faktor
berpengaruh pada satu atau lebih kejadiankejadian
yang lalu agar dapat digunakan
untuk meningkatkan kinerja (Corcoran,
2004). Selain itu, pemanfaatan RCA dalam
analisis perbaikan kinerja menurut Latino
dan Kenneth (2006) dapat memudahkan
pelacakan terhadap faktor yang
mempengaruhi kinerja. Root Cause(s)
adalah bagian dari beberapa faktor
(kejadian, kondisi, faktor organisasional)
yang memberikan kontribusi, atau
menimbulkan kemungkinan penyebab dan
diikuti oleh akibat yang tidak diharapkan.
Terdapat berbagai metode evaluasi
terstruktur untuk mengidentifikasi akar
penyebab (root cause) suatu kejadiaan yang
tidak diharapkan (undesired outcome). Jing
(2008) menjelaskan lima metode yang
populer untuk mengidentifikasi akar
penyebab (root cause) suatu kejadiaan yang
tidak diharapkan (undesired outcome) dari
yang sederhana sampai dengan komplek
yaitu :
- Is/Is not comparative analysis,
- 5 Why methods,
- Fishbone diagram,
- Cause and effect matrix, dan
- Root Cause Tree.
Is/Is not comparative analysis
merupakan metoda komparatif yang
digunakan untuk permasalahan sederhana,
dapat memberikan gambaran detil apa yang
terjadi dan telah sering digunakan untuk
menginvestigasi akar masalah. 5 Why
methods merupakan alat analisis sederhana
yang memungkinkan untuk menginvestigasi
suatu masalah secara mendalam. Fishbone
diagram merupakan alat analisis yang
populer, yang sangat baik untuk
menginvestigasi penyebab dalam jumlah
besar. Kelemahan utamanya adalah
hubungan antar penyebab tidak langsung
terlihat, dan interaksi antar komponen tidak
dapat teridentifikasi.
Cause and effect
matrix merupakan matriks sebab akibat
yang dituliskan dalam bentuk tabel dan
memberikan bobot pada setiap faktor
penyebab masalah. Root Cause Tree
merupakan alat analisis sebab-akibat yang
paling sesuai untuk permasalahan yang
kompleks. Manfaat utama dari alat analisis
tersebut yaitu memungkinkan untuk
mengidentifikasi hubungan diantara
penyebab masalah.
Chandler (2004) dalam Ramadhani
et.al (2007) menyebutkan bahwa dalam
memanfaatkan RCA terdapat empat
langkah yang harus dilakukan yaitu :
- Mengidentifikasi dan memperjelas definisi undesired outcome (suatu kejadiaan yang tidak diharapkan),
- Mengumpulkan data,
- Menempatkan kejadian-kejadian dan kondisi-kondisi pada event and causal factor table, dan
- Lanjutkan pertanyaan “mengapa” untuk mengidentifikasi root causes yang paling kritis.
Selanjutnya, langkah ketiga dari
benchmarking adalah penggunaan
informasi untuk pengembangan dan
implementasi dari rencana peningkatan.
Oleh karena itu, perlu dilakukan penentuan
prioritas perbaikan. Hal ini diperlukan
untuk mengetahui perbaikan yang perlu
memperoleh prioritas, kemudian saran
berdasarkan hasil analisis praktek terbaik
diberikan.
Laugen et al. (2005) menyebutkan
bahwa praktek terbaik yang menyebabkan
kinerja terbaik seringkali sulit untuk
diidentifikasi. Davies (2000) mengusulkan
pendekatan terstruktur (diagnostic) untuk
memilih praktek terbaik berdasarkan pada
kekuatan hubungan dengan tujuan yang
ingin dicapai.
3. METODOLOGI PENELITIAN
Untuk menghasilkan model konseptual
analisis perbaikan kinerja industri gula
dilakukan tahapan sebagai berikut :
- Melakukan kajian terhadap berbagai buku referensi, jurnal-jurnal, laporan penelitian terdahulu, pendapat para pakar serta sumber lain yang dipandang akurat dan relevan.
- Identifikasi sub model berdasarkan tujuan tahap analisis perbaikan kinerja.
- Identifikasi keterkaitan antar sub model.
- Identifikasi pendekatan yang digunakan untuk setiap sub model.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Model konseptual analisis perbaikan
kinerja pabrik gula (PG) yang dirancang
bangun terdiri dari 5 (lima) submodel yaitu:
- Sub model pengelompokan;
- Sub model pengukuran kinerja;
- Sub model pemilihan kinerja terbaik;
- Sub model analisis praktek terbaik; dan
- Sub model penentuan prioritas perbaikan.
Adapun
secara ringkas model konseptual
ditunjukkan pada Gambar .
Gambar 1. Model Konseptual Analisis Perbaikan Kinerja Industri Gula
4.1 Model Pengelompokan
Model pengelompokan bertujuan
untuk mengelompokkan pabrik gula yang
memiliki karakteristik yang serupa.
Pengelompokan pabrik gula (PG)
diperlukan untuk menyetarakan pabrik gula
sehingga layak untuk diperbandingkan.
Untuk mengelompokkan PG yang memiliki
karakteristik serupa dapat dilakukan dengan
mengelompokkan PG berdasarkan
karakteristik pembeda pabrik gula. Adapun
karakteristik yang membedakan antar
pabdik gula yaitu metode yang digunakan
dalam proses pemurnian dan skala pabrik
gula.
Input model berupa basis data yang
diperlukan untuk pengelompokan pabrik
gula. Output dari model pengelompokkan
PG berupa alternatif kelompok PG sesuai
dengan karakteristik pembeda pabrik gula
beserta anggota kelompoknya.
Pendekatan yang digunakan untuk
mengelompokkan PG Merujuk pada Gan et
al. (2007), Sadaaki et al. (2008), dan Xu
dan Wunsch (2009) yaitu supervised
clustering (jumlah kelompok ditentukan)
khususnya Partitional clustering, cara
untuk mengelompokkan data dalam satu
cluster disesuaikan dengan skala penilaian
yang digunakan.
4.2 Model Pengukuran Kinerja
Kinerja yang akan diukur merujuk
pada hasil penelitian Wibisono (1999,
2006), Radnor dan Barnes (2007), serta
Cocca dan Albeti (2010) yaitu kinerja
strategis (kemampuan sumber daya),
kinerja operasional (tugas-tugas
manufaktur), dan kinerja taktis (prioritas
kompetisi).
Ukuran kinerja yang akan digunakan
diidentifikasi dari range yang lebih luas
yaitu produktivitas dan efisiensi. Hal
tersebut juga sesuai dengan permasalahan
yang dihadapi oleh pabrik gula.
Sedangkan
untuk keterkaitan ukuran kinerja,
identifikasi ukuran kinerja akan dilakukan
dengan penyelarasan secara vertikal (terkait
dengan visi, misi, dan strategi industri gula)
dan penyelarasan secara horisontal
(keterkaitan antar ukuran kinerja dengan
pendekatan input-proses-output).
Dalam hal jumlah ukuran kinerja
yang akan digunakan, model pengukuran
kinerja memperhatikan berbagai
pendekatan pada penelitian terdahulu
(Medori dan Steeple, 2000; Denton, 2005;
Shahin dan Mahbod, 2007; Saunders et al.,
2007; Parmenter, 2010). Selain itu,
penelitian Gleich et al. (2008) dan Martin
(2008) pada proses manufaktur menjadi
masukan dalam mengidentifikasi ukuran
kinerja.
Kerangka kerja proses pengukuran
kinerja dapat memanfaatkan logika fuzzy
seperti yang diusulkan dalam penelitian
Chan et al. (2002) dan Beheshti dan Lollar
(2008). Hal ini dilakukan mengingat adanya
perbedaan satuan yang digunakan pada
setiap ukuran kinerja. Adapun infrastruktur yang akan digunakan merujuk pada hasil
penelitian Unahabhokha et al. (2007).
Model pengukuran kinerja bertujuan
untuk menentukan nilai kinerja setiap
pabrik gula.
Pengukuran kinerja yang
dilakukan adalah untuk kinerja input,
kinerja proses, dan kinerja output yang
dinamakan kinerja strategis, kinerja
operasional, dan kinerja taktis. Pengukuran
kinerja dilakukan terhadap seluruh pabrik
gula yang menjadi anggota untuk setiap
alternatif kelompok pabrik gula. Oleh
karena itu, alternatif keputusan pada model
pengukuran kinerja pabrik gula adalah
seluruh pabrik gula yang menjadi objek
kajian yang telah dikelompokkan
berdasarkan karakteristik pembeda pabrik
gula (merupakan output dari model
pengelompokan pabrik gula).
Input model berupa basis data yang
diperlukan untuk pengukuran kinerja.
Output dari model pengukuran kinerja
berupa nilai kinerja untuk setiap jenis
kinerja pada seluruh anggota kelompok PG.
Pendekatan yang digunakan dalam proses
pengukuran kinerja pada model pengukuran
kinerja adalah Fuzzy Expert System (FES).
4.3 Model Pemilihan Kinerja Terbaik
Merujuk pada hasil penelitian
Dattakumar (2003), Grundberg (2003),
Pierre dan Delisle (2006), Gleich et al.
(2008) serta hasil penelitian Tucker (1987)
yang membuktikan bahwa pendekatan
benchmarking dapat meningkatkan efisiensi
dan produktivitas perusahaan maka dalam
penentuan target kinerja akan digunakan
pendekatan benchmarking. Target kinerja
ditentukan berdasarkan kinerja terbaik
dalam kelompok (Tucker et. al. 1987).
Model Pemilihan Kinerja Terbaik
bertujuan untuk menentukan pabrik gula
berkinerja terbaik secara keseluruhan
maupun untuk setiap jenis kinerja (kinerja
strategis, kinerja operasional, kinerja taktis)
pada setiap kelompok pabrik gula. Hasil
pemilihan pada setiap kelompok pabrik
gula akan digunakan sebagai standar kinerja
pembanding bagi setiap pabrik gula pada
kelompok yang sama, baik untuk kinerja
keseluruhan maupun per jenis kinerja. Nilai
kinerja yang digunakan adalah nilai kinerja
yang dihasilkan dari model pengukuran
kinerja yaitu nilai kinerja strategis, nilai
kinerja operasional dan nilai kinerja taktis
untuk seluruh pabrik gula yang menjadi
anggota setiap alternatif kelompok.
4.3.1 Pemilihan Kinerja
Terbaik secara
keseluruhan
Input model berupa basis data yang
diperlukan untuk pemilihan kinerja terbaik
secara keseluruhan. Output dari model
berupa urutan (ranking/peringkat) pabrik
gula dalam kelompok. Pemilihan kinerja
terbaik secara keseluruhan dilakukan
dengan menggunakan pendekatan
PROMETHEE karena memiliki kesesuaian
dengan permasalahan yang dihadapi dan
sudah terbukti keunggulannya (seperti yang
dikemukakan oleh Amran dan Kiki (2005),
Prvlovic (2008), dan Triyanti dan Gadis
(2008)).
4.3.2 Pemilihan Kinerja Terbaik Per
Jenis Kinerja
Input model berupa basis data yang
diperlukan untuk pemilihan kinerja terbaik
per jenis kinerja. Output dari model berupa
urutan (ranking) pabrik gula per jenis
kinerja dalam kelompok. Pemilihan kinerja
terbaik per jenis kinerja dilakukan dengan
menggunakan pendekatan Sorting.
Pendekatan Sorting menentukan
urutan kinerja terbaik per jenis kinerja
dengan melakukan perbandingan antar nilai
kinerja per jenis kinerja untuk seluruh PG
pada setiap kelompok PG. Nilai kinerja per
jenis kinerja akan diurutkan dari yang
nilainya terbesar sampai yang terkecil pada
setiap kelompok.
4.4 Model Analisis Praktek
Terbaik
Prioritas perbaikan ditentukan
berdasarkan praktek terbaik. Merujuk pada
penelitian Jaffar dan Zairi (2000), maka
analisis praktek terbaik merupakan praktek
yang baik yang telah ditetapkan sebagai
pendekatan terbaik bagi banyak PG.
Pendekatan yang digunakan dalam
melakukan analisis praktek terbaik yang
diusulkan dalam penelitian Maire et al
(2005) dan Southard dan Parente (2007)
memiliki kelemahan mengingat praktek
terbaik yang dihasilkan masih terbatas pada
praktek yang baik (dilihat dari definisi praktek terbaik yang disimpulkan oleh
Jaffar dan Zairi 2000).
Model Analisis Praktek Terbaik
bertujuan untuk mengidentifikasi praktek
terbaik yang menghasilkan kinerja terbaik.
Input model berupa basis data yang
diperlukan untuk analisis praktek terbaik.
Output dari model berupa keterkaitan antar
ukuran kinerja yang digunakan dan faktor
penyebab yang cukup penting untuk
dipertimbangkan serta identifikasi praktek
terbaik yang bisa dilakukan pabrik gula.
Merujuk pada penelitian Corcoran
(2004) dan Latino dan Kenneth (2006)
maka pendekatan yang digunakan untuk
melakukan analisis praktek terbaik adalah
root cause analysis. Root cause analysis
dapat digunakan untuk mengidentifikasi
hubungan sebab akibat antar ukuran dan
faktor (ukuran lain) yang menentukan
kinerja.
4.5 Model Penentuan Prioritas
Perbaikan
Penentuan prioritas perbaikan
bertujuan untuk menentukan prioritas
perbaikan yang harus dilakukan oleh PG.
Input model berupa basis data yang
diperlukan untuk penentuan prioritas
perbaikan. Output dari model berupa
prioritas perbaikan yang harus dilakukan
oleh PG terkait dengan ukuran kinerja.
Penentuan prioritas perbaikan
menggunakan pendekatan yang menyerupai
framework yang dikembangkan oleh Davies
dan Kochar (2000) berupa diagnostik atau
penelusuran secara sistematis untuk
memilih praktek terbaik. Penelusuran
secara sistematis dilakukan pada setiap
kelompok pabrik gula. Untuk setiap pabrik
gula yang akan diperbaiki maka kinerja
keseluruhan, kinerja setiap jenis kinerja,
dan kinerja setiap ukuran kinerja akan
diperbandingkan dengan kinerja pabrik gula
lain dalam kelompoknya.
5. KESIMPULAN
Analisis perbaikan kinerja dapat
dilakukan dengan menggunakan model
analisis perbaikan kinerja yang terdiri dari 5
(lima) sub model yaitu pengelompokan,
pengukuran kinerja, pemilihan kinerja
terbaik, analisis praktek terbaik, dan
penentuan prioritas perbaikan. Ke lima sub
model dirancangbangun saling terkait
dimana output dari model pengelompokan
akan menjadi bagian dari input model
pengukuran kinerja, output model
pengukuran kinerja akan menjadi bagian
dari input model pemilihan kinerja terbaik
dan input model analisis praktek terbaik,
serta output dari model pemilihan kinerja
terbaik dan model analisis praktek terbaik
menjadi bagian dari input model penentuan
prioritas perbaikan. Oleh karena itu, model
analisis perbaikan kinerja yang
dirancangbangun merupakan model yang
terintegrasi untuk mencapai tujuan dari
analisis perbaikan kinerja yaitu penentuan
kinerja, penentuan target kinerja, dan
penentuan prioritas perbaikan.
DAFTAR PUSTAKA
- [1] Amran TG, Kiki S. 2005. Pemilihan Partner Potensial Bahan baku kimia produk Fatigon Kaplet berdasarkan metode AHP dan Promethee di PT. Dankos Laboratories TBK. Di dalam : Prosiding Seminar Nasional Manajemen Kualitas ke-5. ISSN: 1907-0101-9-771907-010119. Jakarta.
- [2] Asrofah T, Zailani S, Fernando Y. 2010. Best Practices for the Effectiveness of Benchmarking in the Indonesian Manufacturing Companies. Benchmarking : An International Journal 17 (1) : 115 – 143. [3] Baxter LF, MacLeod AM. 2008. Managing Performance Improvement. New York : Routledge.
- [4] Beheshti HM, Lollar JG. 2008. Fuzzy Logic and Performance Evaluation : Discussion and Application. International Journal of Productivity and Performance Management 57 (3): 237 – 246.
- [5] Chan DCK, Yung, Andrew WH. 2002. An application of fuzzy sets to process performance evaluation. Integrated Manufacturing System 13(4): 237-246.
- [6] Cocca P., Alberti M. 2010. A Framework to Assess Performance Measurement Systems in SMEs. International Journal of Productivity and Performance Management 59 (2): 186-200. [7] Cokins G. 2004. Performance Management : Finding the Missing Pieces (to Close the Intelligence Gap). New Jersey : John Wiley & Sons.
- [8] Daellenbach HG, McNickle DC. 2005. Management Science : Decision Making Through System Thinking. New York : Palgrave Macmillan.
- [9] Dattakumar R, Jagadeesh R. 2003. A Review of literature on Benchmarking. Benchmarking: An International Journal 10 (3): 176-209.
- [10] Davies AJ, Kochhar AK. 2000. A Framework for the Selection of Best Practices. International Journal of Operations & Production Management 20 (10): 1203-1217.
- [11] Denton DK. 2010. Performance Measurement and Intranets : A Natural Partnership. International Journal of Productivity and Performance Management 59 (7): 701-706.
- [12] Denton DK. 2005. Measuring Relevant Things. International Journal of Productivity and Performance Management 54 (4):278 - 287.
- [13] Dragolea L, Cotirlea D. 2009. Benchmarking-A Valid Strategy for the Long Term?. Annales Universitatis Apulensis Series Oeconomica 11 (2) : 813 – 826.
- [14] Effendi A. 2009. Teknologi Gula. Jakarta : Penerbit BeeMarketer Institute.
- [15] Elmuti D, Yunus K. 1997. An Overview of Benchmarking Process : A Tool for Continuous Improvement and Competitive Advantage. Benchmarking for Quality Management & Technology 4 ( 4): 229-243.
- [16] Gan G, Chaoqun M, Wu J. 2007. Data Clustering. United States of America : The America Statistic Association. [17] Gleich R, Motwani J, dan Wald A. 2008. Process Benchmarking : A New Tool to Improve The Performance of Overhead Areas. Benchmarking : An International Journal 15 (3): 242-256.
- [18] Grundberg T. 2003. A Review of Improvement Methods in Manufacturing Operations. International Journal of Productivity and Performance Management 52 (2) : 89-93.
- [19] Halachmi A. 2005. Performance Measurement is Only One Way of Managing Performance. International Journal of Productivity and Performance Management 54 (7): 502- 516.
- [20] Jafari M, Bourouni A, Amiri RH. 2009. A New Framework for Selection of the Best Performance Appraisal Method. European Journal of Social Sciences 7 (3): 92-100. [21] Jaffar YF, Zairi M. 2000. Internal Transfer of Best Practice for Performance Excellence : A Global Survey. Benchmarking : An International Journal 7 (4): 239-246.
- [22] Jing GG. 2008. Diging for the Root Cause. ASQ Six Sigma Forum Magazine 7 (3): 19-24.
- [23] Kusumadewi S, Hartati S, Harjoko S, Wardoyo R. 2006. Fuzzy Multiattribute Decision Making. Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu.
- [24] Laise D. 2004. Benchmarking and learning organizations : ranking methods to identify “best in class”. Benchmarking : An International Journal 11 (6): 621-630.
- [25] Latino RJ, Kenneth CL. 2006. Root Cause Analysis : Improving Performance for Bottom – Line Results. Florida : CRC Press. [26] Laugen BT, Acur N, Boer H. 2005. Best Manufacturing Practices : What do the Best-Performing Companies Do?. International Journal of Operations & Production Management 25 (2): 131-150.
- [27] [LPPM-IPB] Lembaga Penelitian IPB. 2002. Studi Pengembangan Agribisnis Pergulaan Nasional. [28] [LPPM-IPB] Lembaga Penelitian IPB. 2002. Studi Pengembangan Sistem Industri Pergulaan Nasional.
- [29] Maire JL, Vincent B, Maurice P. 2005 A Typology of “Best Practices” for a Benchmarking Process. Benchmarking : An International Journal 12 (1): 45-60.
- [30] Manalu LP. 2009. Analisis Kinerja Pabrik Gula Dengan Metoda DEA (Data Envelopment Analysis). Jurnal
ABSTRACT
Research related to the analysis of performance improvement (as used in a systematic
process to identify performance, determine the desired performance targets, and to determine
the priority of improvement at the sugar industry in Indonesia has not been done. This research
aims to produce a conceptual model that can be used to analyze the sugar industry performance
improvement. The model produced an integrated model to achieve the objectives of the analysis
phase of performance improvement. The resulting model consists of five sub-models : 1)
grouping, 2) performance measurement, 3) selection of the best performance, 4) analysis of best
practices, and 5) determination of priorities for improvement.
Keywords : conceptual model, analysis of performance improvement, sugar industry