Berbagai Pengertian Tentang Kekuasaan Tertinggi
1. Konsep Kedaulatan Negara
Konsep kedaulatan negara mencakup dua konteks pengertian, yaitu pengertian internal dan eksternal. Dalam arti internal, kedaulatan sebagai konsep kekuasaan tertinggi yang dikenal selama ini dalam dunia filsafat hukum dan politik mencakup ajaran tentang Kedaulatan Tuhan (Theocracy), Kedaulatan Rakyat (Democracy), Kedaulatan Hukum (Nomocracy), dan Kedaulatan Raja (Monarchy). Dalam perspektif kekuasaan negara secara internal ini bahkan nanti akan dijelaskan pula mengenai adanya ajaran Kedaulatan Lingkungan yang dapat kita perkenalkan dengan istilah ‘Ecocracy’. Sedangkan dalam perspektif yang bersifat eksternal, konsep kedaulatan itu biasa dipahami dalam konteks hubungan antar negara. Dalam hubungan Internasional, orang biasa berbicara mengenai status suatu negara merdeka yang berdaulat keluar dan ke dalam. Karena, dalam praktik hubungan antar negara mutlak diperlukan adanya pengakuan Internasional terhadap status suatu negara yang dianggap merdeka dan berdaulat itu. Tanpa adanya pengakuan, negara yang mengklaim dirinya sendiri secara sepihak sebagai negara akan sulit ikut serta dalam pergaulan internasional.
Menyadari hal itu, para perancang dan perumus undang-undang dasar negara kita pada tahun 1945 juga mendeklarasikan dengan tegas adanya prinsip kedaulatan negara Indonesia itu, baik dalam Pembukaan maupun dalam pasal-pasal UUD 1945. Alinea I Pembukaan menyatakan, “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan”.
Alinea II Pembukaan UUD 1945 tersebut menyatakan pula, “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan negara, diatur pula tugas konstitusional yang dibebankan kepada Tentara Nasionjal Indonesia (TNI) dalam Pasal 30 ayat (3) UUD 1945. Pasal 30 ayat (3) tersebut menentukan, “Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara”. Dari kutipan-kutipan di atas jelas tergambar bahwa UUD 1945 juga menganut ajaran kedaulatan negara itu dalam konteks hubungan antar negara yang bersifat eksternal.
Di samping ide kedaulatan dalam konteks pengertian yang bersifat eksternal dalam hubungan antar negara, UUD 1945 juga dapat dikatakan menganut beberapa ajaran tentang kedaulatan dalam pengertian internal, terutama dalam hubungan antara negara dan warga negara dan antara sesama warga negara. Dari keempat konsep kekuasaan tertinggi atau kedaulatan, yaitu Kedaulatan Tuhan (Theocracy), Kedaulatan Raja/Ratu (Monarchy), Kedaulatan Rakyat (Democracy), dan ide Kedaulatan Hukum (Nomocracy), setidaknya UUD 1945 menganut 2 ajaran secara eksplisit, yaitu kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum yang berkaitan dengan ide demokrasi dan negara hukum. Bahkan, dalam pengertian yang berbeda dari konsepsi klasik tentang teokrasi, UUD 1945 juga mengakui adanya prinsip kekuasaan tertinggi yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Kuasa, di samping adanya praktik sistem kerajaan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang statusnya diakui dan dihormati menurut Pasal 18B ayat (1) UUD 1945.
Sementara itu, dalam Pembukaan UUD 1945 pada Alinea III, dinyatakan, “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Ide Kemahakuasaan Tuhan dalam Pembukaan UUD 1945 ini jelas merupakan pengakuan bahwa Yang Maha Berkuasa dalam Kehidupan bernegara pun pertama-tama adalah Tuhan, yaitu Allah Yang Maha Kuasa. Selanjutnya, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”. Sedangkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Negara Indonesia adalah negara hukum”, yang tidak lain menegaskan dianutnya prinsip kedaulatan hukum. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengandung dan menganut hampir semua ajaran kedaulatan, yaitu mulai dari prinsip Kedaulatan Negara secara eksternal dan semua ajaran kedaulatan secara internal, yaitu prinsip Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Rakyat, Kedaulatan Hukum, Kedaulatan Raja, dan bahkan Kedaulatan Lingkungan yang telah saya uraikan dalam buku “Green Constitution: Nuansa Hijau UUD 1945” dan juga akan diuraikan lebih lanjut dalam tulisan ini.
2. Kedaulatan Tuhan
Dalam ide Kedaulatan Tuhan, kekuasaan tertinggi dianggap ada di tangan Tuhan. Tuhanlah yang dipandang sebagai sumber dari segala sumber kekuasaan manusia di dunia. Manusia hanya lah pelaksana belaka dari kehendak Tuhan. Dapat dikatakan bahwa pengertian demikian ini dikenal ada dalam datau oleh semua agama besar dunia dalam sejarah. Agama Hindu, agama Yahudi, Kristen, maupun Islam mempunyai pengalaman yang sama dalam berhubungan dengan ide-ide tentang kekuasaan bernegara. Tuhan lah yang pertama-tama dipandang sebagai sumber dari segala kekuasaan manusia, termasuk dalam urusan bernegara.
Namun demikian, dalam perwujudan konkritnya, dimanakah kekuasaan Tuhan itu tampil atau menampilkan diri dalam praktik kegiatan bernegara? Dalam kenyataan praktiknya, sejak dari zaman pra-sejarah, kekuasaan tuhan itu selalu dipahami melekat dalam diri para pemimpin yang bersifat turun-temurun. Karena itu, di antara berbagai agama, muncul konsep Raja-Dewa dalam sejarah umat Hindu, Raja-Pendeta dalam sejarah Kristen, dan Raja-Khalifah dalam sejarah umat Islam.
Di zaman Plato dan Aristoteles di Yunani kuno ketika masyarakatnya yang sedang bergairah dengan pemikiran filsafat, berkembang pula konsep “The Philosopher’s King” atau Raja-Filosof, yang kurang lebih sama saja dengan Raja-Dewa tersebut di atas. Para raja tersebut diharapkan mempunyai kepribadian yang ideal dan dapat dijadikan panutan sesuai dengan idealitas yang diajarkan oleh agama yang mereka anut. Demikian pula pandangan Plato tentang “The Philosopher’s King”. Pemimpin negara di zaman Plato tidak lain adalah Raja, tetapi Raja yang diidealkan oleh Plato itu hendaklah memahami masalah-masalah kenegaraan secara mendalam seperti para filosof.
Jikalau Plato memadukan idealitas kepemimpinan negara antara Filosof dan Raja, maka dalam paham-paham keagamaan klasik, yang diintegrasikan adalah ide tentang kepemimpinan agama dengan Raja. Dari pengertian demikian inilah kemudian muncul doktrin ‘theocracy’ dalam sejarah, yaitu bahwa kekuasaan bernegara pada prinsipnya berasal dari Tuhan yang diwujudkan dalam pribadi raja atau ratu secara turun temurun. Di beberapa negara, hanya laki-laki yang diperbolehkan menjadi pemimpin negara, tetapi di beberapa negara lainnya, tidak mempersoalkan jenis kelamin, sehingga dapat menerima raja atau ratu sebagai kepala negara. Dalam paham teokrasi itu, siapa saja yang diangkat menjadi raja atau ratu, dialah yang juga menjadi pemimpin agama yang dianut warga atau rakyatnya.
Dalam perkembangannya, praktik teokrasi ini tentu banyak sekali menghadapi persoalan. Agama dan Tuhan seringkali dengan sangat mudah dijadikan alat legitimisasi kekuasaan. Bahkan agama dan Tuhan dengan mudah diperalat dalam rangka keserakahan nafsu manusia akan kekuasaan, akan kekayaan, dan pelampiasan nafsu seks secara tanpa kendali. Jika sang Raja atau Ratu bertindak sewenang-wenang, maka kesewenang-wenangannya itu tidak dapat diganggu-gugat oleh siapapun juga, karena titah Raja atau Ratu dianggap identik dengan titah Tuhan yang Maha Kuasa.
Itu sebabnya di zaman sekarang, doktrin kedaulatan tuhan dan konsep Negara Teokrasi itu dianggap sudah ketinggalan zaman dan tidak relevan lagi dan bahkan sangat berbahaya untuk diterapkan. Ide teokrasi juga selalu dilihat dari segi negatifnya karena sifatnya yang sewenang-wenang. Setiap kali orang membicarakan negara agama, sering timbul salah paham seolah hal itu pasti terkait dengan pengertian yang negatif itu. Bahkan, lebih ekstrim lagi, membicarakan agama dalam konteks kehidupan bernegara seringkali dikaitkan dengan pengertian teokrasi yang negatif itu. Menurut pendapat saya, ide teokrasi (theocracy) menjadi negatif karena perwujudannya terkait dengan kerajaan atau monarki, sehingga pemahaman mengenai Tuhan Yang Maha Kuasa diwujudkan dalam Kekuasaan Raja yang dapat bertindak apa saja atas nama Tuhan.
Para Raja atau Ratu itu sekaligus bertindak sebagai Kepala Agama, sehingga kekuasaannya sangat luas dan termasuk urusan-urusan pribadi warganya. Karena itu, bangsa-bangsa Eropah yang pada umumnya beragama Kristen, dalam waktu yang cukup lama, dipimpin oleh para Raja atau Ratu yang juga sekaligus merupakan Kepala Gereja. Dalam status ganda itu, kekuasaan Raja-Pendeta terus berkembang ke tingkat yang sangat ekstrim, sehingga pada akhirnya mendorong munculnya gerakan perlawanan dari rakyat yang kemudian dikenal sebagai gerakan sekularisme. Gerakan sekularisme ini pada pokoknuya berusaha memisahkan negara dari agama dalam wilayah kekuasaannya masing-masing.
Kecuali di Inggeris yang sampai sekarang -- meskipun hanya secara simbolis – masih memertahankan kedudukan Raja atau Ratu sebagai Kepala Gereja Anglikan, kebanyakan negara-negara Eropah memang telah berhasil memisahkan negara dari agama. Bahkan, banyak juga negara yang atas desakan rakyatnya berhasil diubah dari bentuk kerajaan menjadi republik, seperti Perancis, Jerman, Austria, Italia, Portugal, Russia, Hongaria, Polandia, dan lain-lain sebagainya.
Sesudah itu ajaran kedaulatan tuhan ini dapat dikatakan mulai ditinggalkan orang, karena kelemahan-kelemahan inheren yang terdapat di dalamnya. Namun demikian, sekali lagi, patut diperhatikan oleh para ahli bahwa doktrin mengenai kedaulatan tuhan atau ‘theocracy’ itu, sebenarnya, ditolak dalam sejarah karena kelemahannya yang mewujudkan diri dalam gagasan kedaulatan raja. Kedaulatan Tuhan atau teokrasi itu, apabila diwujudkan dalam sistem kerajaan, terbukti telah menyebabkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan kewenang-wenangan. Oleh karena itu, sistem yang demikian ini dapat dipandang tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan, meskipun masih tetap banyak juga negara yang menerapkannya sampai sekarang.
Namun demikian, apabila konsep teokrasi atau prinsip Kedaulatan Tuhan itu tidak diwujudkan dalam sistem kerajaan, tentu tetap dapat dipertimbangkan relevansinya di zaman modern sekarang ini. Misalnya, paham Kedaulatan Tuhan itu dapat diwujudkan dalam paham Kedaulatan Rakyat, atau dapat pula diimplementasikan melalui paham Kedaulatan Hukum. Kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa tetap diakui, tetapi perwujudannya dalam praktik dipandang menjelma dalam keyakinan setiap rakyat yang berdaulat. Keyakinan akan ke-Maha-Kuasaan Tuhan itu, menurut saya, justru menimbulkan sikap kesetaraan di antara sesama manusia yang sama-sama berdaulat. Setiap manusia hanya tunduk kepada Tuhan, dan bukan kepada manusia. Jikalau seorang manusia harus tunduk kepada manusia lain yang menduduki status sebagai pemimpin, maka ketundukan itu hanya dapat diterima sepanjang sang pemimpin dapat dijadikan teladan dalam sikap taat kepada aturan hukum yang berlaku, termasuk ketentuan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dalam pengertian yang terakhir ini, saya berpendapat bahwa paham teokrasi itu masih relevan asalkan perwujudannya dikaitkan dengan gagasan kedaulatan rakyat dan/atau kedaulatan hukum, bukan dengan gagasan kedaulatan raja seperti dalam sistem monarki. UUD 1945, menurut saya, juga dapat dikatakan menganut paham Kedaulatan Tuhan atau Teokrasi itu, yaitu Kedaulatan Tuhan Yang Maha Esa yang perwujudannya dikaitkan dengan gagasan Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum. Kedaulatan Tuhan Yang Maha Esa dalam rumusan Pancasila dan UUD 1945, mempunyai ciri yang berbeda dari konsep Teokrasi (Theocracy) yang dianggap negatif seperti dalam pengertiannya di Eropah di zaman dahulu dimana Kedaulatan Tuhan atau Teokrasi itu diwujudkan dalam Sistem Kerajaan (Monarchy).
3 Kedaulatan Raja
Konsep Kedaulatan Raja sama tuanya dengan gagasan Kedaulatan Tuhan. Bahkan sampai abad ke-6, semua negara yang tercatat dalam sejarah selalu dipimpin oleh penguasa yang bersifat tuturn temurun, yang biasa disebut sebagai Raja atau Ratu. Negara pertama yang tercatat melakukan suksesi kepemimpinan tidak melalui hubungan darah hanya di zaman sepeninggal nabi Muhammad saw yang kemudian digantikan oleh Khalifah Abubakar Shiddiq, dilanjutkan oleh Umar ibn Khattab, Usman ibn ‘Affan, dan terakhir Ali ibn Abi Thalib sebelum akhirnya kembali lagi ke sistem kerajaan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa negara Madinah selam periode keempat khalifah inilah yang disebut sebagai negara yang berbentuk republik yang murni sebagaimana yang diidealkan oleh Plato di zamannya.
Sesudah itu, negara Madinah dipimpin oleh Raja-Khalifah dari Dinasti Ummayah, dan seterusnya. Karena itu, hampir dapat dikatakan bahwa sejarah kekuasaan di antara umat manusia adalah sejarah tentang kerajaan. Orang baru mengenal bentuk republik seperti yang dipraktikkan dewasa ini paling-paling baru 3 abad terakhir, terutama setelah Amerika Serikat memerdekakan diri dan menjadi negara republik konstitusional yang pertama.
Dalam konsep kedaulatan raja ini, Raja lah yang dipandang mempunyai kekuasaan tertinggi atas apa saja. Karena besarnya kekuasaan para raja itu, berkembang pula pengertian mengenai imperium yang dibedakan dari dominion. Seperti dikatakan oleh Montesquieu, ‘imperium’ merupakan konsep ‘rule over individuals by the prince’, sedangkan dominium atau ‘dominion’ merupakan ‘rule over things by the individuals’. Namun, jika kedua pengertian itu berhimpun jadi satu, maka sang Raja sudah dipastikan menjadi tiran yang tidak dapat dikendali oleh apapun dan siapapun.
Semua sumber-sumber ekonomi dalam wilayah kerajaan dianggap sebagai hak milik raja, demikian pula semua warganya dipandang tidak lebih daripada budak-budak dan hamba sahaya bagi para raja dan keluarganya. Raja menguasai semua orang dan semua benda di tangan genggamannya sendiri. Karena itu, setiap warga di sepanjang hidupnya diwajibkan membayar upeti dan pajak wajib kepada Raja agar dapat terus diperlakukan sebagai rakyat dan hamba sahaya.
Tentu, di zaman sekarang, pengertian yang demikian ekstrim sudah banyak ditinggalkan orang. Meskipun demikian, negara-negara yang berbentuk kerajaan masih cukup banyak di dunia sekarang ini. Akan tetapi, semua kerajaan-kerajaan yang masih ada itu, pada umumnya, sudah mengalami perubahan mendasar dalam cara bekerjanya sehari-hari. Di zaman sekarang, konsep kedaulatan rakyat tidak lagi dikaitkan dengan kedaulatan Tuhan, melainkan diintegrasikan dengan konsep kedaulatan rakyat, sehingga negara-negara kerajaan dewasa ini berhasil membedakan dan memisahkan antara fungsi kepala negara dengan kepala pemerintahan.
Dalam praktik sehari-hari, Kedaulatan Raja diwujudkan dalam kedudukan Kepala Negara, sedangkan sistem pemerintahan dikaitkan dengan konsep Kedaulatan Rakyat yang tercermin dalam kedudukan Kepala Pemerintahan. Karena itu, kerajaan-kerajaan seperti Inggeris, Belanda, Belgia, Jepang, Malaysia biasa disebut sebagai negara demokrasi, dimana pemerintahannya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Dari segi yang lain, prinsip kedaulatan raja itu juga diwujudkan dalam gagasan kedaulatan hukum, dimana hukum juga dianggap sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam kerajaan. Karena itu, muncullah konsep monarki konstitusional (constitutional monarchy) dalam praktik. Negaranya adalah kerajaan, tetapi hukum tertinggi yang berlaku adalah konstitusi.
Dengan demikian, dewasa ini, tidak ada masalah dengan pengertian umum mengenai kerajaan yang menganut paham kedaulatan raja, karena pada saat yang sama kerajaan-kerajaan itu dapat mengadopsi gagasan-gasan kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum sekaligus. Karena itu, seperti kemukakan di atas, konsep teokrasi juga dapat dipandang positif apabila tidak dikaitkan atau diwujudkan dalam paham kedaulatan raja atau kerajaan. Seperti halnya sistem kerajaan dapat diintegrasikan dengan kedaulatan rakyat atau sistem demokrasi dan paham kedaulatan hukum atau nomokrasi (the rule of law atau pun rechtsstaat), maka teokrasi atau paham Kedaulatan Tuhan juga dapat diwujudkan dalam paham Kedaulatan Rakyat dan paham Kedaulatan Hukum. Dengan demikian, jika sistem kerajaan masih dapat dipandang relevan, sistem teokrasi juga dapat diterima asalkan bukan dalam pengertian yang berkembang pada abad pertengahan.
4. Kedaulatan Rakyat
Yang paling menarik di atas ajaran-ajaran kedaulatan tersebut di atas adalah ajaran kedaulatan rakyat dan ajaran kedaulatan hukum. Meskipun belum dipraktikkan sebagaimana mestinya, keduanya telah digagaskan sejak dari zaman Yunani kuno dan Rumawi kuno. Mengenai yang pertama, yaitu ajaran kedaulatan rakyat, pada pokoknya terkait dengan konsep yang dikenal sebagai demokrasi. Demokrasi berasal dari perkataan ‘demos’ yang berarti rakyat dan ‘kratien’ atau ‘cratie’ yang berasti kekuasaan. Dengan demikian demokrasi berarti kekuasaan rakyat, yaitu sebagai suatu konsep tentang pemerintahan oleh rakyat atau ‘rule by the people’.
Cakupan pengertian yang sering dipopulerkan sehubungan dengan konsep demokrasi itu mencakup prinsip dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Bahkan saya sering menambahkan satu prinsip lagi yaitu prinsip bersama rakyat. Jadi, demokrasi itu tidak lain adalah prinsip dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, dan bersama rakyat. Itulah demokrasi atau kedaulatan rakyat, yaitu satu ajaran yang memandang kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, berasal dari rakyat, untuk kepentingan rakyat, dan diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat pula.
Istilah demokrasi (demos + cratos) dalam sejarah Yunani kuno sebetulnya tidaklah dipandang ideal. Di zaman Plato, yang dianggap ideal adalah republik impian (ideal state) yang dipimpin oleh Raja-Filosof atau “the Philosopher’s King”. Baru setelah Plato wafat, dengan mengambil inspirasi dari buku Plato sendiri yang dihimpun oleh murid-muridnya dari tulisan-tulisan yang berserak menjadi sebuah buku tebal yang diberi judul oleh Plato sendiri dengan judul “Nomoi”. Kata ‘nomoi’ yang secara harfiah berarti norma itu lah yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris menjadi “The Laws”. Oleh karena itu, yang diidealkan kemudian adalah prinsip nomokrasi sebagai konsep awal negara hukum modern, bukan konsep demokrasi yang justru dipandang negatif di zaman Plato.
Karena itu, tradisi demokrasi atau kedaulatan rakyat ini oleh para ahli lebih dinisbatkan sebagai kelanjutan tradisi Romawi dari pada dengan tradisi Yunani. Ide demokrasi lebih pesat tumbuhnya di Romawi daripada di Yunani yang lebih akrab dengan ide negara hukum sejak zaman Plato dan Aristoteles. Konsep demokrasi atau kedaulatan rakyat dinilai oleh orang Yunani dengan kacamata negatif karena mengandaikan bahwa suatu pemerintahan dikendalikan oleh massa rakyat dan bahkan mobokrasi yang tidak menjamin ketertiban.
Perkataan demokrasi baru mendapatkan pamaknaan yang positif di abad-abad modern, terutama setelah muncul praktik-praktik yang dipandang baik di abad pertengahan, yaitu di dunia Arab pada abad ke-7. Praktik-praktik penulisan formal kontrak-kontrak sosial seperti Piagam Madinah, sistem pemilihan kepala negara tanpa melalui prinsip hubungan darah, mekanisme permusyawaratan dan perwakilan untuk pengambilan keputusan atas masalah-masalah bersama, yang diterapkan di masa nabi Muhammad saw dan empat khalifah pertama sesudah nabi Muhammad wafat atau biasa disebut periode Khulafau al-Rasyidin, di kemudian hari – ternyata memberikan inspirasi yang penting bagi penamaan sistem yang baik itu sebagai demokrasi. Sesudah periode ini, konsep ‘kekhalifahan’ terjebak perwujudannya dalam sistem kerajaan (monarki).
Kemudian, sesudah periode itu, praktik-praktik yang dianggap baik dalam penyelenggaraan kekuasaan negara dinisbatkan dengan istilah yang pernah dianggap negatif di masa Yunani kuno, yaitu demokrasi. Sampai pertengahan abad ke-20, menurut Amos J. Peslee, lebih dari 90% negara di dunia mengaku menganut paham demokrasi atau kedaulatan rakyat ini. Artinya, wacana tentang demokrasi itu sudah demikian luas diterima di seluruh penjuru dunia, terlepas dari apa yang dipraktekkan di lapangan. Sebab nyatanya, spektrum praktik demokrasi yang diterapkan oleh semua negara yang mengaku demokrasi itu sangat beraneka-ragam mulai dari Amerika Serikat sampai ke Uni Soviet yang sekarang sudah tiada, Kuba, dan negara-negara komunis lainnya yang mempunyai penafsiran berbeda satu sama lain.
Dewasa ini, memang ada usaha untuk membatasi pengertian demokrasi itu hanya untuk negara-negara tertentu saja. Misalnya, Indonesia – di masa Orde Lama dan Orde – dipandang tidak demokratis dan baru sesudah masa reformasi Indonesia dianggap sebagai negara demokrasi. Dari segi jumlah penduduknya, Indonesia bahkan sering disebut sebagai ‘the third largest democracy in the world’ sesudah India dan Amerika Serikat. Republik Federasi Russia yang sekarang dibandingkan dengan Uni Soviet yang ada sebelumnya, juga dinilai merupakan hasil perubahan dari komunisme ke demokrasi. Russia sekarang, dari segi jumlah penduduknya, merupakan ‘the fourth largest democracy in the world’. Semua negara bekas komunis di Eropah Timur biasa disebut sebagai ‘new democracies’ atau negara-negara demokrasi baru.
Negara-negara komunis Eropah Timur, seperti Uni Soviet, Hongaria, Polandia, Cekoslovakia, dan lain-lain, setelah berubah meninggalkan paham komunisme, semuanya disebut sebagai negara demokrasi. Tentu, konsep demokrasi yang dimaksudkan disini identik dengan pengertian kedaulatan rakyat atau ‘the rule by the people’ (the people’s sovereignty). Artinya, selama era komunisme Uni Soviet masih berjaya, Russia dan negara-negara Eropah Timur lainnya tersebut tidak dianggap sebagai negara demokrasi. Padahal, konstitusi negara-negara komunis itu masing-masing mengaku atau mengklaim menganut prinsip kedaulatan rakyat. Artinya, demokrasi itu dalam arti normatif dan formalistik, memang harus dibedakan dari pengertiannya yang aktual dalam kenyataan.
Dalam rangka pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat itu di lapangan, diperlukan mekanisme yang secara substansial menjamin penyaluran aspirasi, pendapat, kehendak rakyat yang berdaulat itu. Karena itu, orang menciptakan lembaga perwakilan rakyat dan lembaga partai politik sebagai penyalurnya. Bahkan, kepala pemerintahan eksekutif juga dipilih langsung ataupun tidak langsung oleh rakyat, sehingga – baik pejabat yang menjalankan fungsi legislatif maupun eksekutif – merupakan wujud dari rakyat yang berdaulat. Malah, di negara demokrasi, para hakim agung juga dipilih melalui mekanisme di parlemen, sehingga dapat dikatakan bahwa para pejabat di lingkungan cabang kekuasaan judikatif juga mencerminkan prinsip kedaulatan rakyat itu, meskipun hanya secara tidak langsung.
5. Kedaulatan Hukum
Konsep terakhir ialah kedaulatan hukum yang mengandaikan bahwa pemimpin tertinggi di suatu negara bukanlah figur atau tokoh, tetapi sistem aturan. Manusia hanyalah wayang dari skenario yang telah disusun dan disepakati bersama dengan menampilkan para wayang itu sebagai pemeran. Karena itu, teori kedaulatan hukum itu menurut tradisi Anglo-Amerika diistilahkan dengan ‘the rule nof law, not of man’, pemerintahan oleh hukum, bukan oleh orang; kepemimpinan oleh sistem, bukan oleh tokoh atau oleh orang per orang.
Istilah-istilah terkait dengan itu yang tidak boleh dikacaukan penggunaannya satu sama lain adalah ‘the rule by law’, ‘the rule of man by using law’, ‘the rule of dictatorship’. Istilah yang benar untuk menunjuk kepada pengertian kedaulatan hukum atau negara hukum dalam bahasa Inggeris adalah rule of law, bukan rule by law yang menggunakan hukum sebagai sebagai alat kekuasaan. Pengertian ‘rule by law’ identik dengan pengertian ‘rule of dictatorship’, bukan negara hukum yang disebut ‘rechtsstaat’ menurut tradisi Jerman dan Belanda. Meskipun unsur-unsur pengertian ‘rule of law’ menurut tradisi Inggeris sangat berbeda dari unsur-unsur pengertian ‘rechtsstaat’ menurut tradisi Eropah Kontinental, kedua konsep ini dapat kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan kata ‘negara hukum’.
Dengan cara berpikir yang demikian itulah kita menyebut adanya prinsip negara hukum. Dalam negara hukum, hukumlah yang dijadikan panglima, bukan ekonomi dan apalagi kekuasaan politik semata (machtsstaat). Menurut tradisi Anglo Amerika, unsur-unsur pengertian negara hukum yang disebut dengan istilah ‘the rule of law’ tersebut mengandung tiga prinsip, yaitu:
(i) supremasi hukum (supremacy of law);
(ii) persamaan dalam hukum (equality before the law); dan
(iii) proses pemerintahan atau penyelenggaraan kekuasaan berdasarkan undang-undang (due process of law).
Ketiga prinsip inilah yang membentuk pengertian tentang negara hukum menurut versi Anglo-Amerika. Sedangkan menurut tradisi Eropah Kontinental, khususnya Jerman dan Belanda, pengertian klassik tentang ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat prinsip, yaitu:
(i) pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia;
(ii) pembatasan kekuasaan;
(iii) pemerintahan berdasarkan undang-undang; dan
(iv) adanya peradilan administrasi negara.
Dalam pengertian modern sekarang, menurut pendapat saya, formula unsur-unsur ‘rechtsstaat’ tersebut dapat pula dikemas dengan cara baru, yaitu (i) adanya perlindungan hak-hak asasi manusia, baik sebagai hak konstitusional maupun dalam tindakan-tindakan nyata dalam praktik kenegaraan, (ii) adanya pembatasan kekuasaan negara menurut sistem ‘checks and balances’ antar fungsi kekuasaan, (iii) pelaksanaan pemerintahan didasarkan atas undang-undang yang telah ditetapkan lebih dulu, dan (iv) tersedianya mekanisme atau upaya hukum melalui proses peradilan yang dapat dipakai untuk maksud melawan, menggugat atau menguji keputusan-keputusan negara (beschikking), peraturan-peraturan resmi negara (regelingen), ataupun putusan-putusan pengadilan negara (vonnis). Jika keempat hal ini ada, maka negara yang bersangkutan dapat disebut sebagai ‘rechtsstaat’ atau negara hukum.
Pendek kata, dalam aneka kegiatan bernegara, hukum lah yang menjadi penentu segalanya. Hukum merupakan panglima. Hukum merupakan sistem aturan. Yang memimpin kita adalah sistem aturan itu, bukan orang per orang yang kebetulan menduduki jabatan. Orang yang memegang jabatan-jabatan publik datang dan pergi secara dinamis, tetapi sistem aturan bersifat ajeg dan relatif tetap. Karena itu, pergantian orang tidak boleh secara serta merta berakibat pada pergantian sistem aturan. Semua orang yang menduduki jabatan dan secara hukum diberi kewenangan untuk bertindak atas nama negara, wajib ditaati oleh semua subjek hukum yang bersangkutan atau yang terkait sepanjang pejabat tersebut menjalankan peraturan perundang-undangan sebagaimana mestinya dan dapat dijadikan teladan (role model) dalam sikapnya yang taat kepada aturan-aturan hukum itu.