Revitalisasi Administrasi Publik dalam Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan

Revitalisasi Administrasi Publik dalam Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan 
Pembangunan berkelanjutan tampil sebagai konsep atau pendekatan baru, sebagai koreksi atas kebijakan-kebijakan atau strategi pembangunan yang dianut pasca sampai dasawarsa 1980-an yang dinilai gagal mencapai tujuan, yaitu menciptakan kesejahteraan rakyat bagi masyarakat masa kini maupun umat manusia di masa yang akan datang. Konsep ini dilahirkan oleh bangkitnya kesadaran bahwa pembangunan ekonomi telah melampaui daya dukung lingkungan alam, sehingga keberlanjutan ini dipertanyakan. 

Berbicara mengenai “lingkungan” dalam konsep pembangunan yang berkelanjutan, pengertiannya bukan hanya terbatas pada lingkungan alam tetapi juga lingkungan sosial-ekonomi. Ada keterkaitan yang erat dan pengaruh timbale balik antara keduanya. Oleh karena itu, maka dalam paham pembangunan yang ingin dikembangkan, pembangunan tidak boleh hanya mengejar pertumbuhan, meskipun pertumbuhan itu penting dan tidak dapat tidak harus ada untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Tetapi, bagaimana pertumbuhan itu dihasilkan dan bagaimana pendistribusiannya, tidak kalah pentingnya dari pertumbuhan itu sendiri. 

Bagaimana pembangunan berkelanjutan itu dijalankan, menjadi tugas dari administrasi publik. Administrasi publik selama ini cenderung masih berorientasi pada konsep-konsep pembangunan lama, sehingga untuk menghadapi tantangan-tantangan baru perlu penyegaran dan pembaharuan atau singkatnya revitalisasi. 

Bukankah Undang-Undang Dasar kita sendiri mengingatkan bahwa “yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara ialah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan?” Apabila peran penyelenggara negara (untuk sementara kita kaitkan dengan administrasi publik) demikian pentingnya, maka amat penting mengadakan revitalisasi administrasi publik dalam mewujudkan pembangunan yang berkesinambungan. 

Dengan pengertian itu, kita akan membahas berbagai pokok pikiran tentang pembangunan berkelanjutan dan peran administrasi publik dalam upaya mewujudkannya. 

A. Pembangunan Berkelanjutan 
1. Kesinambungan Lingkungan Alam 
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan pendekatan proses “soda-ecological,” artinya suatu proses pembangunan yang bercirikan pemenuhan kebutuhan umat manusia seraya memperhatikan dan memelihara kualitas lingkungan hidup. Paradigma pembangunan berkelanjutan muncul pertama kali pada tahun 1980 ketika the Union for the Conservation of Nature, menerbitkan strategi pelestarian dunia dengan judul “The World Conservation Strategy”. Dalam laporan itulah untuk pertama kalinya tampil istilah “sustainable development”. Selanjutnya, konsep tersebut menjadi istilah yang dipakai di seluruh dunia, terutama setelah diterbitkannya laporan dari the World Commission on Environment and Development (UN, 1987), yang dibentuk oleh PBB. Menurut komisi ini yang dikenal juga sebagai Komisi Brundtland, pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai “Development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs.” 

Keadaan dikatakan tidak berkelanjutan manakala “natural capital”, atau sumber daya alam yang ada, dimanfaatkan atau bahkan dirusak dengan kecepatan yang sangat besar dibandingkan dengan kecepatan pemulihannya. Kerusakan karena keserakahan manusia tidak hanya dirasakan oleh masyarakat setempat, tetapi akan mengancam kehidupan umat manusia secara global, dan yang lebih fatal lagi adalah dampaknya bagi kehidupan manusia di masa yang akan datang. 

Pengurasan kawasan hutan, terutama hutan tropis seperti yang ada di Indonesia, bersamaan dengan meningkatnya emisi CO2 oleh industri, alat transpor dan rumah tangga telah membuat terjadinya peningkatan suhu di permukaan bumi (global warming) dan perubahan iklim (climate change). Kerusakan ekosistem juga menyebabkan bencana yang kronis di tanah air kita, seperti banjir dan tanah longsor pada musim hujan, dan kekeringan yang menyebabkan kebakaran hutan dan rusaknya tanaman pada musim kemarau. Kebutuhan industri dan pemukiman telah mengurangi areal hutan dan sawah serta membuat kering sungai-sungai dan danau-danau. Situ-situ di Jawa Barat misalnya, yang bukan hanya membuat provinsi itu subur tetapi juga telah menjadi sumber budaya serta inspirasi di tatar Sunda, kebanyakan telah kering dan berubah fungsi. 

Pola pembangunan seperti ini jelas tidak bisa berlanjut. Kalaupun ada pertumbuhan atau peningkatan kesejahteraan yang dihasilkannya, tidak optimal dan tidak berkelanjutan. Bahkan yang terjadi bukan kemajuan tetapi kemunduran dalam taraf hidup dan peradaban manakala daya dukung alam telah sungguhsungguh menjadi defisit dan dunia telah tidak dapat lagi menunjang kehidupan dan kebutuhan manusia. Dengan demikian, pola pembangunan serupa itu tidak adil, karena hanya dinikmati sesaat oleh generasi sekarang tetapi menimbulkan bencana bagi generasi mendatang. 

Pola pembangunan berkelanjutan yang harus dilakukan adalah yang akan menjamin biaya sosial yang nIh, nt iJi m.u 1fI1 I yang maksimal dan berkelanjutan, serta menjamin estafet pembangunan, secara terus menerus. Ada dua persyaratan yang secara umum harus diperhatikan, yaitu 
(1) kesesuaian sosial budaya dan sosial ekonomi, dan 
(2) kesesuaian ekologi alam. 

Pembangunan yang sesuai dengan kondisi sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya akan memberi manfaat yang maksimal bagi masyarakat, dan dengan demikian masyarakat akan mampu memeliharanya. Pola pembangunan yang sesuai dengan kondisi ekologis akan mengikuti kecenderungan siklus alamiah dan akan mendapat hambatan minimum secara alamiah, sehingga mudah dan murah memeliharanya serta dapat meningkatkan kemampuan ekosistem untuk mengadopsinya sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Pengalaman memberikan pelajaran bahwa sesungguhnya ekosistem itu mampu memelihara dirinya sendiri asal tidak dirusak oleh manusia. 

2. Pembangunan Yang Berkelanjutan = Pembangunan Yang Berkeadilan Pembangunan nasional yang dinilai berhasil pada hakikatnya adalah yang dilakukan oleh dan untuk seluruh rakyat. Dengan demikian, dalam upaya mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang dituju harus melibatkan dan pada gilirannya dapat dinikmati oleh segenap lapisan masyarakat. Tuntutan ini sesungguhnya bertepatan atau sesuai dengan konsep pembangunan yang berkesinambungan (sustainable development). Suatu pembangunan dapat berkesinambungan apabila dilaksanakan oleh dan hasilnya dirasakan secara meluas dan merata. Dengan basis perekonomian yang Iebih luas tidak terpusat pada perorangan, sekelompok orang atau perusahaan, atau daerah tertentu ketahanan perekonomian nasiona terhadap goncangan-goncangan ekonomi eksternal dan internal menjadi lebih kukuh. Inti dan semua itu adalah pentingnya mengembangkan ekonomi rakyat sekaligus mengamankan keberlangsungan pembangunan nasional. 

Arah perkembangan ekonomi seperti itu tidak dapat terjadi dengan sendirinya. Artinya, kemajuan yang diukur melalui membesarnya produksi nasional tidak otomatis menjamin bahwa pertumbuhan mencerminkan peningkatan kesejahteraan secara merata. Bahkan pengalaman empiris menunjukkan bahwa dengan hanya pendekatan pertumbuhan yang terjadi justru adalah sebaliknya, yaitu makin melebarnya kesenjangan sosial ekonomi; yang kaya makin kaya, yang miskin tetap miskin atau bahkan makin miskin. Masalah utamanya adalah ketidakseimbangan dalam kemampuan dan kesempatan untuk memanfaatkan peluang yang terbuka dalam proses pembangunan. Salah satu upaya mengatasi tantangan itu adalah melalui strategi pemberdayaan masyarakat. 

Dasar pandangannya adalah bahwa upaya yang dilakukan harus diarahkan langsung pada akar persoalannya, yaitu meningkatkan kemampuan rakyat. Bagian yang tertinggal dalam masyarakat harus ditingkatkan kemampuannya dengan mengembangkan dan mendinamisasikan potensinya atau dengan kata lain memberdayakan. Pemberdayaan. masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “peoplecentered, participatory, empowering and sustainable” (Chambers, 1995). 

Secara praktis upaya yang merupakan pengerahan sumberdaya untuk mengembangkan potensi ekonomi rakyat ini akan meningkatkan produktivitas rakyat sehingga baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam di sekitar keberadaan rakyat dapat ditingkatkan produktivitasnya. Dengan demikian, rakyat dan Iingkungannya mampu secara partisipatif menghasilkan dan menumbuhkan nilai tambah ekonomis. Rakyat miskin atau yang berada pada posisi belum termanfaatkan secara penuh potensinya akan meningkat bukan hanya ekonominya, tetapi juga harkat, martabat, rasa percaya din, dan harga dirinya. 

Dengan demikian, dapatlah diartikan bahwa pemberdayaan tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomis, tetapi juga nilai tambah sosial dan nilai tambah budaya. 

Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern —sepenti kerja keras, disiplin, taat azas, taat waktu, hemat, keterbukaan, kebertanggungjawaban—adalah bagian pokok dan upaya pemberdayaan ini. Peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya merupakan unsur yang sungguh penting. 

Dengan dasar pandang demikian, maka pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan, dan pengamalan demokrasi. Kesemuanya itu merupakan tantangan yang dihadapkan kepada negara, yang berkewajiban untuk melindungi, mencerdaskan dan mensejahterakan rakyatnya. 

Dengan sendirinya aparat negara atau administrasi publik-lah yang memegang tanggung jawab utama mewujudkan berbagal citacita dan keinginan membangun kehidupan yang lebih baik. 

B. Paradigma Adminstras Publik 
Mampukah administrasi publik mengemban amanat tersebut dan bagaimana perkembangannya. 

1. Administrasi Publik Lama 
Administrasi publik merupakan ilmu sosial yang dinamis, setiap saat senantiasa mengalami perubahan sejalan dengan perubahan zaman, peradaban dan teknologi. Berbagai aspek administrasi sebenarnya telah ada dan dijalankan semenjak peradaban manusia mulai terstruktur. Kekaisaran Romawi kuno, berbagai dinasti di China, bahkan kerajaan-kerajaan di Nusantara pun, misalnya, sebenarnya telah mempraktekan adminstrasi. 

Awal pemikiran atau embrio dan konseptualisasi administrasi publik modern tidak terlepas dari peran para pemikir mengenai politik dan pemerintahan, seperti Plato, Aristotle dan Machiavelli. Machiavelli misalnya pada tahun 1532 menulis buku berjudul “The Prince” yang menjelaskan beberapa petunjuk bagi para penguasa dalam menjalankan kekuasaannya di daratan Eropa pada masa itu. 

Banyak ahli sependapat bahwa dasar-dasar pemikiran administrasi publik modern diletakkan oleh seorang profesor ilmu politik yang kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson. Pemikiran Wilson dituangkan di dalam tulisannya yang diberi judul “The Study of Administration” yang diterbitkan pada tahun 1873. Konsep dari Wilson yang terkenal adalah pemisahan antara politik dan adminstrasi publik. Sejak itu, selama satu abad lebih administrasi publik, baik sebagai bidang studi maupun sebagai profesi terus berkembang. 

Proses industrialisasi yang berlangsung pesat di Amerika dan Eropa pada awal abad 20, mendorong berkembangnya konsep-konsep manajemen, seperti manajemen ilmiah dari Taylor (1912) yang diperkuat antara lain oleh Fayol (1916) dan Gulick (1937), dan konsep-konsep organisasi, seperti model organisasi yang disebut birokrasi dari Weber (1922). Banyak pemikiran baru lahir pada sekitar pertengahan abad ke 20, antara lain yang besar sekali dampaknya pada perkembangan ilmu administrasi, adalah Simon (1947) seorang ahli ekonomi, yang kemudian memperoleh hadiah Nobel. Ia mengetengahkan pandangan yang terus melekat dalam perkembangan ilmu ini selanjutnya, yaitu bahwa pada intinya administrasi adalah pengambilan keputusan. 

2. Administrasi Publik Baru 
Pemikiran dalam administrasi yang berkembang selanjutnya sangat dipengaruhi oleh paham-paham demokrasi, seperti administrasi yang partisipatif, yang menempatkan administrasi di tengah-tengah masyarakatnya dan tidak di atas atau terisolasi darinya (Montgomery, 1988). Pemikiran ni selain ingin menempatkan administrasi sebagai instrumen demokrasi, juga mencoba menggunakan administrasi sebagai alat untuk menyalurkan aspirasi masyarakat bawah. Implikasi lain dari pemikiran tersebut adalah bahwa sistem administrasi memiliki dimensi ruang dan daerah yang penyelenggaraannya juga dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik, dan ekonomi. Kesemua itu menuntut reorientasi peranan administrasi publik. 

Dalam upaya merevitalisasi ilmu administrasi, Waldo memprakarsai pertemuan sejumlah pakar muda ilmu administrasi, untuk mempelajari masalahmasalah konseptual yang dihadapi ilmu administrasi, dan berusaha memecahkannya. Perkembangan itu melahirkan dorongan untuk meningkatkan desentralisasi dan makin mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini menandakan bergulirnya gerakan administrasi publik baru (new public administration). 

Pada dasarnya administrasi publik baru itu ingin mengetengahkan bahwa administrasi tidak boleh bebas nilai dan harus menghayati, memperhatikan, serta mengatasi masalah-masalah sosial yang mencerminkan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Frederickson (1971), seorang pelopor gerakan ini lebih tegas lagi menyatakan bahwa administrasi publik harus memasukkan aspek pemerataan dan keadilan sosial (social equity) ke dalam konsep administrasi. Ia bahkan menegaskan bahwa administrasi tidak dapat netral. Dengan begitu, administrasi publik haru mengubah pola pikir yang selama ni menghambat terciptanya keadilan sosial. Kehadiran gagasan-gagasan baru itu menggambarkan lahirnya paradigma baru dalam ilmu administrasi. 

Drucker (1989) menegaskan bahwa apa yang dapat dilakukan lebih baik atau sama baiknya oleh masyarakat, hendaknya jangan dilakukan oleh pemerintah. Itu tidak berarti bahwa pemenintah harus besar atau kecil, tetapi pekerjaannya harus efisien dan efektif. Seperti juga dikemukakan oleh Wilson (1989), birokrasi tetap diperlukan tetapi harus tidak birokratis. Osborne dan Gaebler (1993) mencoba “menemukan kembali pemerintah,” dengan mengetengahkan konse.pentrepreneurial government. 

Memasuki dasawarsa 80-an tampil manajemen publik (public management) sebagai bidang studi yang makin penting dalam administrasi negara. Manajemen publik yang di masa lalu lebih banyak memberi perhatian pada masalah anggaran dan personil telah berkembang bersama teknologi informasi. Manajemen publik kini juga mencakup manajemen dalam sistem pengambilan keputusan, sistem perencanaan, sistem pengendalian dan pengawasan, serta berbagai aspek lainnya. 

Bersamaan dengan menguatnya pengaruh managerialism dalam administrasi publik di lnggris dan beberapa negara lainnya, dan kemudian juga di Amerika Serikat muncul pemikiran baru dengan konsep “New Public Management” (NPM), pemikiran ini digagas oleh Patrick Dunleavy (1991) beserta rekan-rekannya. Konsep ini memfokuskan pada pemisahan birokrasi pada unit yang Iebih kecil, kompetisi antara pemerintah dan swasta dalam penyediaan jasa publik, dan perubahan motivasi dan sekedar pelayan publik menjadi motif ekonomi, dengan memberikan insentif pada pelayanan publik seperti yang diberikan dalam usaha swasta. NPM menekankan performance sebagai kriteria utama, dengan menerapkan teknologi manajemen yang digunakan di Iingkungan swasta ke Iingkungan publik. Dan yang cukup mendasar pula adalah didorongnya swasta melakukan kegiatan yang sebelumnya merupakan wilayah kerja birokrasi dalam pemerintah. 

Konsekwensi dari penerapan konsep tersebut adalah perlunya reformasi birokrasi secara kelembagaan. Dari uraian di atas tampak bahwa administrasi publik modern, baik sebagai ilmu maupun dalam praktik, terus berkembang, baik di negara berkembang (sebagai administrasi pembangunan) maupun di negara maju dengan berbagai gerakan pembaharuan. Demikian juga terlihat bahwa ada konvergensi dan pemikiran-pemikiran yang melahirkan berbagal konsep pembangunan dengan pandangan-pandangan dalam ilmu administrasi yang mengarah pada makin terpusatnya perhatian pada aspek manusia serta nilai-nilai kemanusiaan yang tercermin dalam berbagai pendekatan yang sedang berkembang, termasuk konsep pembangunan yang berkelanjutan. 

Perkembangan paradigma dalam ekonomi pembangunan berjaan sejalan dengan paradigma administrasi publik yang berkembang sejak dekade 1990-an hingga dekade 2000-an, yaitu telah bergeser dari paradigma pengembangan administrasi semata (empowering the administration) kepada paradigma pemberdayan masyarakat sebagal mitra dalam administrasi publik (empowering the people to become partners in public administration). Paradigma perkembangan administrasi publik yang mengarah kepada demokratisasi administrasi publik merupakan perwujudan dan pergeseran paradigma government kepada paradigma governance. 

Selain itu, pesatnya perkembangan teknologi informasi telah menjadikan penyelenggaraan administrasi pemerintahan menjadi serba elektronik. lstilah egovernment dan e-governance merupakan cerminan dan penerapan teknologi informasi dalam administrasi publik. Dengan berkembang pesatnya teknologi informasi maka dapat diprediksi bahwa di masa datang akan terjadi gelombang perubahan yang besar lagi dalam paradigma administrasi publik. 

3. Patologi Birokrasi 
Tantangan yang besar yang dihadapi administrasi publik di hampir semua negara, adalah prevalensi dan patologi birokrasi, yaitu kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri (self-serving), mempertahankan status-quo dan resisten terhadap perubahan, cenderung terpusat (centralized), dan dengan kewenangannya yang besar, sening kali memanfaatkan kewenangan itu untuk kepentingan sendiri. 

Khususnya di negara berkembang, Heady (1995) menunjukkan ada lima ciri administrasi publik yang umum ditemukan, yaitu: 
Pertama, pola dasar atau (basic pattern) administrasi publik di negara berkembang, bersifat elitis, otoriter, menjauh atau jauh dari masyarakat dan lingkungannya, serta paternalistik. 

Kedua, birokrasi di negara berkembang kekurangan (deficient) sumber daya manusia untuk menyelenggarakan pembangunan. Kekurangan ini bukan dalam arti jurnlah tetapi kualitas. Dalam jumlah justru sebaliknya, birokrasi di negara berkembang mengerjakan orang lebih dan yang diperlukan (overstaffed). Yang justru kurang adalah administrator yang terlatih, dengan kapasitas manajemen (management capacity) yang memadai, memiliki keterampilan-keterampilan pembangunan (development skills), dan penguasaan teknis (technical competence). 

Ketiga, birokrasi lebih berorientasi kepada hal-hal lain daripada mengarah kepada yang benar-benar rnenghasilkan (performance oriented). Riggs (1964) menyatakannya sebagai preferensi birokrat atas kemanfaatan pribadi (personal expediency) ketimbang kepentingan masyarakat (public-principled interest). Dan sifat seperti ini melahirkan nepotisme, penyalahgunaan kewenangan, korupsi, dan berbagai penyakit birokrasi, yang menyebabkan aparat birokrasi di negara berkembang pada umumnya memiliki kredibilitas yang rendah, dan dianggap tidak rnengenal etika. 

Keempat, adanya kesenjangan yang lebar antara apa yang dinyatakan atau yang hendak ditampilkan dengan kenyataan (discrepency between form and reality). Riggs (1964) menyebutkan fenomena umum ini sebagai formalisme, yaitu gejala yang lebih berpegang kepada wujud-wujud dan ekspresi-ekspresi formal dibanding yang sesungguhnya terjadi. Hal ini tercermin dalam penetapan perundang-undangan yang tidak mungkin atau tidak pernah dilaksanakan, peraturan-peraturan yang dilanggar sendiri oleh yang menetapkan, memusatkan kekuasaan meskipun resminya ada desentralisasi dan pendelegasian kewenangan, melaporkan hal yang balk-balk dan tidak mengetengahkan keadaan yang tidak baik atau masalah yang sesungguhnya dihadapi. 

Kelima, binokrasi di negara berkembang acap kali bersifat “otonom”, artinya lepas dari proses politik dan pengawasan publik. Administrasi publik di negara berkembang umumnya belum terbiasa bekerja dalam lingkungan publik yang demokratis. 

Terhadap analisis dari Heady ini dapat ditambahkan dua karakteristik hasil pengamatan Wahlis (1989). Pertama, di banyak negara berkembang birokrasi sangat dan makin bertambah birokratik. Departemen-departemen, badan-badan, dan lembaga-lembaga birokrasi berkembang terus. Juga berkembang dan berperan besar badan-badan para-statal yakni badan-badan usaha negara, yang umumnya bekerja tidak efisien dan menjadi sumber dana pohitik. Kedua, unsur-unsur nonbirokratik sangat berpengaruh terhadap birokrasi. Misalnya, hubungan keluarga dan hubungan-hubungan primordial lain, seperti suku dan agama, dan keterkaitan politik (political connections). Reformasi dan revitalisasi publik adalah pekerjaan menghilangkan atau mengurangi kadar kelemahan-kelemahan patologis birokrasi tersebut di atas. 

4. Revitalisasi Administrasi Publik 
Pembangunan yang berkelanjutan menuntut administrasi publik yang tanggap terhadap masalah-masalah yang dihadapi lingkungan masyarakat, baik itu lingkungan fisik-alam, maupun hingkungan sosial. Dalam hal lingkungan alam, administrasi publik dituntut untuk mampu mengatur tata ruang dan menjaga pelaksanaannya (enforcement), disamping mengatasi masalah-masalah yang sudah ada sekarang seperti pengendalian emisi CO2 dan pengelolaan limbah. 

Meningkatnya berbagai permasalahan baik sosial, ekonomi, maupun fisik berkaitan dengan pertumbuhan yang pesat dari wilayah metropolitan, bersamaan dengan kondisi kemiskinan di perdesaan. Hal itu mendorong konsep pembangunan dengan pendekatan baru, yaitu dengan penataan ruang, seperti mengarahkan industri berlokasi di kawasan yang diperuntukkan bagi industri, mengamankan kawasan-kawasan sawah produktif dan atau beririgasi teknis, mengamankan kawasan-kawasan berfungsi lindung, sehingga terwujud struktur ruang yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang sesuai dan berkelanjutan (Rondinelhi, 1976). 

Tata ruang mengandung arti penataan segala sesuatu yang berada di dalam ruang sebagai wadah penyelenggara kehidupan. Konsep tata ruang menurut Foley (1964), tidak hanya menyangkut wawasan spasial, tetapi menyangkut pula aspekaspek nonspasial atau spasial. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa struktur fisik sangat ditentukan dan dipengaruhi pula oleh faktor-faktor nonfisik seperti organisasi fungsional, pola sosial budaya, dan nilai kehidupan komunitas (Wheaton, 1974 dan Porteous, 1977). Juga, tata ruang bukan hanya mengakomodasi kegiatan ekonomi yang akan menghasilkan pertumbuhan, tetapi juga harus mengembangkan sistem alokasi ruang yang memberdayakan rakyat kecil (Kartasasmita, 1996). Namun pembangunan berkelanjutan seperti digarisbawahi di atas bukan hanya masalah lingkungan alam tetapi juga hingkungan sosial. Untuk itu, diperlukan reformasi administrasi publik yang menyeluruh dari pusat sampai daerah. 

Dari pengalaman empiris selama ni diketahui betapa tidak mudahnya melaksanakan pembaharuan birokrasi. Sebabnya, mungkin adalah pendekatan yang seringkali bersifat formal-struktural, yaitu kepada penataan organisasi dan fungsi-fungsi. Yang sesungguhnya amat penting, tetapi lebih sulit untuk diIakukan adalah pembaharuan pada sisi nilai-nilai yang membentuk manusiamanusia birokrat. Dengan demikian, pembangunan budaya birokrasi adalah lebih utama dibanding pembaharuan yang hanya bersifat struktural (Kartasasmita, 1997). Internalisasi nilai-nilai (Riggs, 1966) merupakan kunci terhadap peningkatan kinerja birokrasi. Terutama yang perlu menjadi perhatian adalah memperbaiki sikap birokrasi dalam hubungan dengan masyarakatnya. Di dalamnya terkandung berbagai unsur, antara lain sebagai berikut (Kartasasmita, 1997). 

Pertama, birokrasi harus mengembangkan keterbukaan (transparency). Yang acapkali membuat birokrasi jauh dari masyarakat atau masyarakat yang harus dilayaninya jauh dari birokrasi adalah ketertutupan. Sebagai akibat ketertutupan, masalah-masalah dan pikiran-pikiran pembaharuan tidak mudah diterima. Juga ada kecemburuan terhadap jabatan yang dipegang dan rasa keenggangan untuk berbagi pengalaman dan kewenangan. Ketertutupan juga adalah untuk menyembunyikan ketidakmampuan dan menggambarkan keengganan menerima kritik. Mengembangkan sikap keterbukaan dengan demikian amat penting dalam upaya menyempurnakan birokrasi. Keterbukaan akan merangsang perbaikan melalui saling-siIang gagasan (cross-fertilization). 

Kedua, berkaitan dengan keterbukaan adalah pertanggung gugatan (accountability). Ketertutupan menyebabkan birokrasi menjadi sulit dimintai pertanggung jawaban. Padahal birokrasi bukan kekuasaan yang berdiri sendiri, melainkan alat untuk mencapal tujuan yang lebih besar sehingga tindak tanduknya harus selalu dapat diawasi dan dipertanggungjawabkan. Pertanggung jawaban itu dalam konsep birokrasi yang bersifat hirarkis dari bawah ke atas, dalam struktur organisasi. Dalam kehidupan masyarakat demokratis yang makin canggih dan terbuka, masyarakat menuntut agar setiap pejabat siap menjelaskan dan dapat mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada publik. 

Kesemua itu membutuhkan perubahan sikap dari birokrasi yang sifatnya mendasar. Pembaharuan sikap yang demikian akan menghasilkan birokrasi yang makin tanggap dalam menghadapi tantangan dan lebih tangkas dalam memanfaatkan peluang dan mengatasi masalah, juga makin peka terhadap kebutuhan, tuntutan, dan dinamika masyarakat. 

Ketiga, birokrasi harus membangun partisipasi. Pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa untuk berhasilnya pembangunan, partisipasi masyarakat amat diperlukan. Partisipasi harus dilandasi oleh kesadaran, bukan karena paksaan. Pantisipasi pada lapisan bawah (grassroots) yang efektif adalah apabila diselenggarakan secara bersama dalam lingkup kelompok-kelompok masyarakat (local communities), dengan memanfaatkan kearifan lokal (local wisdom) dan kekhasan lokal (local specifics). Bentuk dan cara partisipasi seperti itu akan menghasilkan sinergi dan manfaat ekonomi yang dapat dinikmati oleh semua orang yang ikut serta di dalamnya. Merupakan tugas birokrasi untuk merangsang terjadinya partisipasi dan kegiatan kelompok masyarakat serupa itu dalam rangka membangun masyarakat secara berkesinambungan. 

Keempat, peran birokrasi harus bergeser dari mengendalikan menjadi mengarahkan, dan dari memberi menjadi memberdayakan (empowering). Ini merupakan konsep yang amat mendasar, dan untuk negara dimana hubungan birokrasi dengan rakyat secara historis dan tradisional bersifat patenal (patronizing) memerlukan penyesuaian budaya birokrasi yang cukup hakiki. Pandangan ini ditopang oleh konsep Reinventing Government dari Osborn dan Gaebler (1992) serta pandangan-pandangan dari New Public Management yang menuntut adanya ukuran terhadap performance (kinerja) dan bukan hanya terhadap proses. Administrasi publik harus result-oriented dan bukan hanya effort-oriented. Dr. Fadel Muhammad (2007) telah mempraktikan paradigma baru ini sebagai Gubernur di Provinsi Gorontalo. 

Kelima, birokrasi hendaknya tidak berorientasi kepada yang kuat, tetapi harus lebih kepada yang lemah dan kurang berdaya (the underprivileged). Sikap keberpihakan (affirmative) ini hanya akan ada kalau ada pemahaman dan kepedulian akan masalah yang dihadapi oleh rakyat di lapisan bawah. Untuk tu, hambatan psikologis harus diatasi karena birokrasi (terutama di lapisan atas yang justru menentukan) pada awalnya timbul dari kelompok elite, yang tidak selalu tanggap dan mudah menyesuaikan atau mengasosiasikan diri dengan rakyat kecil. 

Keenam, membangun etika birokrasi. Di bidang administrasi publik, masalah etika dalam birokrasi menjadi keprihatinan yang sangat besar, karena prilaku birokrasi mempengaruhi bukan hanya dirinya, tetapi masyarakat banyak. Selain itu, birokrasi juga bekerja atas dasar kepercayaan, karena seorang birokrat bekerja untuk negara dan berati juga untuk rakyat. Berkaitan dengan itu, belakangan ini banyak kepustakaan etika administrasi yang membahas dan mengkaji etika kebajikan (ethics of virtue). Etika ini berbicara mengenai karakter yang dikehendaki dari seorang administrator. Konsep ini merupakan koreksi terhadap paradigma yang berlaku sebelumnya dalam administrasi, yaitu etika sebagai aturan (ethics as rule), yang dicerminkan dalam struktur organisasi dan fungsi-fungsi serta prosedur termasuk sistem insentif dan disinsentif senta sanksi-sanksi berdasarkan aturan. 

Ketujuh, menegakkan pninsip-pninsip desentralisasi dan otonomi daerah, merupakan langkah yang amat penting dan telah menjadi keharusan, dalam rangka meningkatkan pelayanan dan pantisipasi publik. Pendelegasian wewenang ke daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota, harus disertai dengan upaya penataan kembali birokrasi. Sesungguhnya dengan desentralisasi dan otonomi terjawab hanyak sekali persoalan. Salah satu diantaranya adalah rentang kendali manjemen publik. Dengan desentralisasi dan otonomi, rentang kendali tersebut dapat lebih dipersingkat. Namun, konsekuensinya pada sistem birokrasi harus diperhitungkan. Kewenangan-kewenangan yang lebih besar yang diberikan kepada daerah harus diikuti dengan peningkatan kemampuan baik SDM maupun institusi di daerah untuk melaksanakan pekerjaan yang selama ini menjadi urusan pusat.
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson