Ekonomi Islam: Kajian Konsep Dan Model Pendekatan
Persoalan yang dihadapi umat manusia sekarang adalah munculnya suatu pandangan yang menempatkan aspek material yang bebas dari dimensi nilai pada posisi yang dominan. Pandangan hidup yang berpijak pada ideologi materialisme inilah yang kemudian mendorong perilaku manusia menjadi pelaku ekonomi yang hedonistik, sekularistik dan materialistik. Dampak yang ditimbul dari cara pandang inilah yang kemudian membawa malapetaka dan bencana dalam kehidupan sosial masyarakat seperti eksploitasi dan perusakan lingkungan hidup, disparitas pendapatan dan kekayaan antar golongan dalam masyarakat dan antar negara di dunia, lunturnya sikap kebersamaan dan persaudaraan, timbulnya penyakit-penyakit sosial, timbulnya revolusi sosial yang anarkhis dan sebagainya.
Sistem ekonomi kapitalis telah gagal menyelesaikan persoalan kemanusiaan, sosial ekonomi. Memang kapitalis mampu mensejahterakan individu atau negara tertentu secara materi. Namun perlu diingat kesejahteraan dan kemakmuran tersebut dibangun diatas penderitaan orang atau negara lain. Kapitalis tidak mampu menyelesaikan ketimpangan dan kesenjangan sosial ekonomi bahkan sebaliknya ia menciptakan dan melanggengkan kesenjangan tersebut untuk mempertahankan eksisitensinya.
Disinilah Islam melontarkan kritik terhadap sistem ekonomi kapitalis yang bertanggung jawab terhadap perubahan arah, pola dan struktur perekonomian dunia sekarang ini. Perlu ada suatu kajian yang intensif dalam memberikan alternatif pandangan, rumusan dan strategi pembangunan ekonomi yang lebih humanistik dengan menggali inspirasi nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an, hadits dan sunnah, serta khasanah pemikiran para cendekiawan muslim.
Namun tulisan ini tidak bermaksud untuk menjawab permasalahan itu semua, melainkan hanya sedikit memberikan gambaran awal apa itu ekonomi Islam, paling tidak menurut para sarjana atau ekonom muslim. Tulisan ini juga diawali dengan sedikit memaparkan bagaimana pandangan Islam (al-Quran) mengenai ekonomi. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan apa yang dimaksud dengan ekonomi Islam dan sekaligus juga sejarah singkat munculnya ekonomi Islam.
Islam dan Konsep Ekonomi
Kehidupan orang-orang pra-Islam diwarnai dengan tajamnya stratafikasi sosial dengan berbagai implikasi psikologis yang menyertainya. Ada sejumlah kecil anggota masyarakat yang memiliki semua akses kekuatan, ekonomi, politik, intelektual dan juga religiokultural. Berbagai sisi kelebihan tersebut jalin-menjalin yang pada gilirannya menempatkan sekelompok kecil orang tersebut pada posisi yang sangat penting dengan semua hak istimewa yang dimilikinya.
Sedangkan sejumlah besar lainnya berada pada posisi yang sangat kontras. Mereka hampir tidak memiliki akses kekuatan apapun, termasuk kemerdekaan pribadinya sebagai manusia, serta hak-hak perdatanya yang sangat mendasar. Mereka adalah orang-orang miskin dan budak-budak belian yang secara turun-temurun mewarisi kodrat hidupnya tanpa menyadari hak-hak dasarnya sebagai manusia.
Nabi Muhammad lahir untuk melakukan berbagai perubahan radikal dan meyeluruh, untuk mereformasi secara total kehidupan manusia yang penuh dengan ketimpangan itu. Agama yang diajarkan membawa aspirasi dan ide tentang tauhid, demokrasi (politik) dan keadilan sosial (ekonomi). Sesuai dengan tingkat perkembangan pemikiran dan tahapan pertumbuhan sosial saat itu, Nabi memberikan petunjuk-petunjuk operasional dan teladan-teladan nyata melalui sunnah-nya.
Sebagai suatu cita (ideals) ajaran Islam telah sempurna disampaikan oleh Nabi kepada umatnya (QS.5:4). Namun dalam konteks aplikasinya lebih lanjut; pokok-pokok ajaran Islam tersebut memerlukan langkah-langkah sistematisasi dan interpretasiinterpretasi baru guna menyesuaikan dengan tingkat perkembangan kehidupan umat manusia dan aspirasi-aspirasinya yang kian meningkat, sesuai dengan perkembangan manusia itu sendiri.
Meminjam pernyataan Goldziher bahwa kebenaran Islam yang ada sekarang ini belumlah bulat. Kebulatannya masih menunggu karyakarya para generasi umat Islam lebih lanjut Teks-teks keagamaan (al-Nushush al-Syar’iyyah) memuat banyak sekali pesan yang berkaitan dengan bidang kehidupan perekonomian, baik secara eksplisit (sharih) maupun implisit (ghairu sharih). Hanya saja secara keseluruhan aksentuasi dari nash-nash tersebut lebih pada ajaran-ajaran atau pesan-pesan moral universalnya, sesuai dengan semangat dasar al-Qur’an itu sendiri yaitu semangat moral yang menekankan pada ide-ide keadilan sosial dan ekonomi.
Misalnya pandangan Islam tentang dunia kerja, prinsip kebebasan dan kejujuran dalam berusaha, produktifitas kerja, dan sebagainya. Serta pandangan dunia (weltanschaung) Islam yang secara keseluruhan berhubungan erat dengan konsep teologi dan eskatologi.
Diantara ajaran-ajaran pokok tersebut misalnya adalah bahwa posisi manusia di bumi ini adalah sebagai khalifah Tuhan (alBaqarah:30) dengan membawa amanat-Nya (al-Ahzab:72) untuk menciptakan kemakmuran dan kesajahteraan (Hud:61).
Manusia tidak boleh takut kepada alam. Karena alam ini justru diciptakan untuk “melayani” kepentingan mereka (al-Baqarah:29 ; alJatsiyah:13). Mereka tidak boleh duduk pasif, tetapi mereka harus aktif berusaha dan bekerja (al-Jum’ah: 10 ; al-Ra’du:13). Mereka harus mencari bagian rizki yang halal. Dalam berusaha mereka harus mengindahkan nilai kejujuran (al-A’raf:85); atas dasar suka rela tanpa paksaan (al-Nisa:29) dalam bidang-bidang yang dibolehkan syariat dan bukan yang bathil (al-Maidah:3).
Meskipun mereka bebas mendapatkan dan memiliki setiap hasil jerih-payahnya, namun mereka juga harus memperhatikan fungsi sosial harta hasil usahanya itu demi kebaikan orang-orang yang nasibnya kurang beruntung (al-Hasyr:7 ; al-Taubah:34 ; al-Rum:30).
Mereka juga harus hemat dan efesien dalam membelanjakan hartanya (al-Isra:26 ; al-Furqan:67) dan sebagainya. Terhadap pesan-pesan al-Qur’an tersebut dan juga yang ada dalam hadits atau sunnah rasul, perlu ada interpretasi dan konseptualisasi ke dalam bentuk ajaran yang sistematis sehingga akan lebih mudah untuk dipahami, dihayati, dan diamalkan oleh siapa saja.
Dengan demikian ajaran-ajaran luhur tersebut tidak lagi hanya merupakan himbauan moral tapi menjadi suatu sistem tatanan hidup yang dihayati sebagai way of life dan rule of game yang dipatuhi.
Dengan cara itulah ajaran agama akan benar-benar membawa dampak nyata bagi peningkatan kesejahteraan manusia, lahir dan bathin. Ekonomi Islam: Apa dan Sejarah Singkatnya Ekonomi Islam, menurut para pembangun dan pendukungnya, dibangun di atas, atau setidaknya diwarnai, oleh prinsip-prinsip relijius, berorientasi dunia dan akhirat. Dalam tataran paradigma seperti ini, para ekonom muslim masih dalam satu kata, atau setidaknya, tidak ada perbedaan yang berarti.
Mayoritas para ekonom Muslim sepakat mengenai dasar pilar atau fondasi filosofis sistem ekonomi Islam: Tauhid, Khilafah, Ibadah, dan Takaful, Khurshid Ahmad menambahkan: Rububiyyah dan Tazkiyah, serta Mas- uliyyah (accountability). Namun ketika dipertanyakan lebih lanjut: apa dan bagaimana ekonomi Islam itu? Di sinilah terjadi perbedaan, sehingga ada yang membagi mazhab ekonomi Islam itu menjadi tiga yaitu; mazhab Baqir al-Sadr, mazhab mainstream, dan mazhab alternatif-kritis. Namun sayang pengembangan pemikiran ketiga mazhab ini belum begitu gencar, kecuali mazhab mainstream, dan nampaknya masih menunggu pemikiran cerdas dan kreatif dari para pendukungnya untuk mengembangkan. Namun demikian Ekonomi Islam tidak lepas dari terpaan kritik yang dilakukan oleh sejumlah ekonom. Pada umumnya kritikan tersebut dikelompokkan oleh Arif, seperti yang dikutip oleh M.Husein Sawit, menjadi tiga kelompok besar. Pertama, aliran yang mengatakan Ekonomi Islam merupakan penyesuaian sistem kapitalis atau disebut "the Adjusted Capitalism School". Kedua, disebut dengan kelompok konvensional atau "the Conventional School. Ketiga adalah kelompok perbedaan paham atau "the Sectarian Diversity School".
Ada juga pernyataan kritis yang sepintas nampak sederhana namun cukup mendasar: apakah ekonomi Islam merupakan kapitalisme minus riba atau sosialisme plus Islam?
Kemudian ada lagi kritik yang cukup tajam terhadap para ekonom Islam yang selama ini selalu mengkritik sistem ekonomi lain. Pernyataan kritis tersebut: Secara keseluruhan, ekonomi Islam lebih berhasil menjelaskan apa yang bukan ekonomi Islam, daripada menentukan apa yang membuat ekonomi Islam berbeda sama sekali dengan sistem ekonomi lain. Ekonomi Islam juga lebih banyak mengungkap kelemahan sistem lain daripada menunjukkan (bahwa ekonomi Islam) secara substansial memang lebih baik.
Semua kritik yang diajukan kepada Ekonomi Islam tersebut menuntut para pendukungnya untuk memberikan jawaban serius. Ada tiga penafsiran tentang istilah “ekonomi Islam”. Pertama, yang dimaksud adalah “ilmu ekonomi” yang berdasarkan nilai-nilai atau ajaran Islam. Kalau ini yang dimaksud, maka akan timbul kesan bahwa ajaran Islam itu mempunyai pengertian yang tersendiri mengenai apa itu “ekonomi”. Hal ini tentu akan diikuti dengan pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan ekonomi itu menurut ajaran Islam? Tepatnya, apakah yang dimaksud dengan “ilmu ekonomi Islam” itu? Disini bisa diajukan beberapa definisi menurut ekonomi muslim.
Menurut Muhammad Abdul Mannan, “Ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalahmasalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam”. Menurut M.M. Metwally, “Ekonomi Islam adalah ilmu yang mempelajari perilaku muslim (yang beriman) dalam suatu masyarakat Islam yang mengikuti al Quran, Hadis, Ijma dan Qiyas”.
Menurut Hasanuzzaman,”Ilmu ekonomi Islam adalah pengetahuan dan aplikasi dari anjuran dan aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam memperoleh sumber-sumber daya material sehingga tercipta kepuasan manusia dan memungkinkan mereka menjalankan perintah Allah dan masyarakat”.
Menurut Akram Khan, “Ilmu ekonomi Islam bertujuan untuk melakukan studi terhadap kesejahteraan (falah) manusia yang dicapai dengan mengorganisasikan sumber-sumber daya di bumi berdasarkan kerjasama dan partisipasi”.
Menurut Umar Chapra,”Ekonomi Islam sebagai suatu cabang pengetahuan yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui suatu alokasi dan distribusi sumber-sumber daya langka yang seirama dengan maqashid (tujuan-tujuan syariah), tanpa mengekang kebebasan individu, menciptakan ketidakseimbangan makro ekonomi dan ekologi yang berkepanjangan, atau melemahkan solidaritas keluarga dan sosial serta jaringan moral masyarakat”.
Dawam Rahardjo berkesimpulan bahwa ilmu ekonomi Islam sebenarnya sama saja dengan ilmu ekonomi umumnya, yaitu menyelidiki perilaku manusia dalam kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi yang menyangkut pilihan terhadap sumberdaya yang sifatnya langka dan alokasi sumberdaya tersebut guna memenuhi kebutuhan manusia. Dalam Islam, tujuan kegiatan ekonomi hanyalah merupakan target untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu kebahagian hidup di dunia maupun di akhirat, dengan melakukan ibadah kepada Allah. Ilmu ekonomi Islam memperhatikan dan menerapkan syariah dalam perilaku ekonomi dan dalam pembentukan sistem ekonomi.
Penafsiran kedua, ekonomi Islam itu dalam artian "system ekonomi" (Islam). Sistem menyangkut pengaturan, yaitu pengaturan kegiatan ekonomi dalam suatu masyarakat atau negara berdasarkan suatu cara metode tertentu. Misalnya, bank Islam dapat disebut sebagai unit (terbatas) dari beroperasinya suatu sistem ekonomi Islam, bisa dalam ruang lingkup makro atau mikro. Bank Islam disebut unit sistem ekonomi Islam, khususnya doktrin larangan riba.
Dan ketiga, ekonomi Islam itu berarti perekonomian umat Islam atau perekonomian di dunia Islam, maka kita akan mendapat sedikit penjelasan dan gambaran dalam sejarah umat umat Islam baik pada masa Nabi sampai sekarang. Hal ini bisa kita temukan, misalnya, bagaimana keadaan perekonomian umat Islam di Arab Saudi, Mesir, Irak, Iran, Indonesia, dan sebagainya, atau juga perekonomian umat Islam di negara non-Islam seperti Amerika, Cina, Perancis, dan sebagainya.
Kosa kata “ekonomi” merupakan kosa kata yang baru, dalam arti tidak dikenal pada masa awal Islam. Pada masa ini hanya mengenal istilah muamalah dalam arti luas, hubungan antar manusia secara umum: ekonomi, rumah tangga dan lain-lain.
Istilah "iqtishad" (bahasa Arab) yang diartikan atau disepadankan dengan "ekonomi" merupakan kosa kata yang baru. Sehingga kita tidak menemukan pada literatur keislaman klasik, fikih.
Kalau kita telusuri istilah "iqtishad" muncul dari perkembangan pemikiran Muhammad Iqbal (1876-1938) salah seorang tokoh pembaruan Islam dari India. Pada tahun 1902 Iqbal menerbitkan buku yang berjudul "'Ilm al-Iqtishad" (ilmu ekonomi). Pemikiran tentang ekonomi Islam sebagai kajian teoritis baru mulai ramai dibicarakan pada awal dasawarsa 1970-an, walaupun pembahasan yang bersifat fikih sudah tampak sebelumnya sebagai bagian dari pemikiran hukum Islam. Dalam rangka itu, pembahasan tentang bunga bank yang dikaitkan dengan konsep riba merupakan bagian yang penting dan selalu disebutkan. Oleh karena itu, gagasan mengenai bank Islam berkembang terlebih dahulu dalam upaya menerapkan prinsip ekonomi Islam. (Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jld.6, 2007, hal.399.). Dan tampaknya pemikiran ekonomi Islam, di Indonesia khususnya, belum bergerak jauh dari tema perbankan (lembaga keuangan lainnya). Dengan demikian pemikiran ekonomi Islam masih menunggu karya kreatif, ijtihad, para pendukungnya untuk mengembangkannya.
Kajian Pendekatan Ekonomi Islam Kontemporer Menurut Prof. Volker Nienhaus, dari Jerman, dalam tulisannya “Islamic Economics: Policy Between Pragmatism and Utopia”, ada empat pendekatan utama dalam kajian mengenai ekonomi Islam selama ini. Pertama, pragmatis; kecenderungan ini ditandai dengan penolakan ideologi-ideologi ekonomi yang diikuti dengan upaya melakukan sintesis atau ekleksi, yaitu mencampur berbagai gagasan dan teori yang dianggap paling praktis untuk dilaksanakan. Menurut Nienhaus kecenderungan inilah yang banyak diambil. Kedua, resitatif; pendekatan yang mengacu pada teks ajaran Islam, pendekatan ini mengacu pada hukum fikih, teologi, etika ekonomi. Ketiga, pendekatan utopian. Utopia adalah gambaran mengenai dunia yang kita inginkan. Pendekatan ini dikembangkan dengan merumuskan model manusia, misalnya homo economicus, atau manusia altruistis.
Selanjutnya dikembangkan model masyarakat yang dicita-citakan: “Baldah al-Thayyibah wa Rubbun Ghafur”. Pendekatan yang terakhir, keempat, adaptif; berusaha melakukan penyesuaian diri berdasarkan kondisi setempat dan sejarah masing-masing umat Islam, seperti gagasan sosialisme Islam; sosialisme kerakyatan; sosialisme demokrasi.
Menurut Muchtar Ahmad kajian ekonomi Islam selama ini dapat dikategorikan menjadi empat (4) corak.
Pertama, kajian ekonomi Islam dalam lingkup normatif, dalam arti upaya menjelaskan dasardasar filosofis atau normatif suatu kajian ekonomi yang sesuai dengan tuntunan Islam, menurut ajaran baku dalam al-Qur'an dan hadis.
Kedua, kajian ekonomi Islam hasil pemikiran atau penyelidikan para fukaha, pakar ekonomi, sosiolog, dan sebagainya seperti Ibnu Khaldun, Ibnu Taimiyah, Abu Yusuf, Umer Chapra dan sebagainya yang dilakukan secara kritis, baik melalui pemeriksaan teori dan tesis yang dikemukakan maupun melalui pengujiannya terhadap perilaku ekonomi muslim. Ketiga, kajian perbandingan antara perilaku ekonomi muslim dengan konsep sistem ekonomi Islam yang teoritis.
Atau menghadapkan perilaku ekonomi muslim kepada nilai-nilai Islam. Dan keempat, kajian perbandingan antara konsep system ekonomi Islam dengan sistem ekonomi kapitalis dan sosialis serta perkembangan ekonomi kontemporer (gejala perkembangan system ekonomi dunia). Juga bisa ditambahkan disini perbandingan pemikiran antar para ekonom Islam itu sendiri, seperti yang dilakukan oleh Mohamed Aslam Haneef (1995) dalam bukunya "Contemporary Islamic Economic Thought: A Selected Comparative Analysis".