Urgensi Perlindungan Hukum Pihak-Pihak Yang Dapat Dirugikan Akibat Tindakan Ultra Vires

Urgensi Perlindungan Hukum 
Pihak-Pihak Yang Dapat Dirugikan Akibat Tindakan Ultra Vires
Seperti telah dikemukakan pada uraian sebelumnya, PT merupakan anexus of contracts yang pada pokoknya mengandung pengertian bahwa PT dalam kaitannya dengan pendirian, pelaksanaan kegiatan-kegiatan usaha dan sampai dengan berakhirnya jangka waktu berdirinya itu terdapat berbagai perjanjian. Oleh karena itu merupakan sesuatu yang dapat diterima berdasarkan logika apabila banyak orang atau pihak yang terlibat dalam perjanjian-perjanjian tersebut. 

Keterlibatan dari banyak pihak tersebut sebenarnya mencerminkan banyaknya pula pihak-pihak yang berkompeten terhadap PT dan hal ini secara tidak langsung menyiratkan pihak-pihak yang sangat berkepentingan agar supaya tindakan yang merupakan ultra vires dilarang dengan tegas. Munir Fuady mengemukakan, pihak yang berkepentingan tersebut yang disebut juga dengan constituensies pada pokoknya adalah sebagai berikut:
a. Pihak Pemegang Saham
b. Pihak Kreditur
c. Pihak Pekerja
d. Pihak Constituencies lainnya.

a. Pihak Pemegang Saham
Pemegang saham sebenarnya merupakan sesuatu yang sangat sentral dalam PT, sehingga perlu diketahui deskripsinya kendati pun secara umum, akan tetapi dalam hal ini UUPT tidak mengatur mengenai pengertian pemegang saham tersebut. UUPT hanya menentukan pengertian Rapat Umum Pemegang Saham sebagai Organ Perseroan. Oleh karena itu pengertiannya ditelusuri pada sumber bahan hukum yang lainnya. 

Lewis D. Solomon dan Alan R. Palmiter pada pokoknya mendefinisikan shareholders atau para pemegang saham itu merupakan investor-investor baik individual maupun institusional yang menanamkan uangnya dengan harapan memperoleh penghasilan dari investasinya.

Disamping penghasilan, para pemegang saham juga memperoleh hak-hak tertentu berkaitan dengan saham yang dimilikinya.

Di samping dari text book, pengertian pemegang saham juga dapat dijumpai dalam sumber bahan hukum sekunder khususnya kamus hukum yang mengemukakan, pemegang saham merupakan pemilik satu atau lebih stock atau saham dalam suatu perseroan sehingga pada umumnya disebut juga stockholder. Keuntungan-keuntungan menjadi pemegang saham meliputi penerimaan dividen yang ditentukan oleh Direksi, hak bersuara dalam RUPS bagi pemegang saham yang memenuhi persyaratan anggaran dasar, dapat melakukan tindakan derivatif berupa gugatan apabila perseroan tidak dijalankan dengan baik oleh Direksi, dan turut memperoleh bagian dari sisa hasil likuidasi (apabila ada).

Apabila dikaji dengan menggunakan Theory of the Corporation yang menekankan pemisahan secara ketat antara fungsi pendanaan(function of funding) dengan fungsi pengelolaan(function of managing), maka dapat dikemukakan bahwa kedudukan hukum para pemegang saham adalah sebagai pengembang fungsi pendanaan kegiatan usaha perseroan. 

Dengan demikian sudah tersedia cukup pertimbangan untuk mengemukakan bahwa para pemegang saham itu merupakan investor atau pemilik modal perseroan yang dibuktikan dengan pemilikan saham, dan sebagai pemilik modal berarti para pemegang saham itu merupakan pemilik perseroan yang bertanggung jawab terhadap kewajiban-kewajiban terbatas pada jumlah nominal saham yang dimilikinya. Semakin besar jumlah saham yang dimilikinya maka semakin besar pula tanggung jawab yang diembannya. Uraian ini sebenarnya menunjukkan tanggung jawab para pemegang saham yang besar dan berat berkaitan dengan masalah keuangan perseroan.

Kendati pun demikian penelusuran selanjutnya menemukan bahwa besar dan beratnya tanggung jawab para pemegang saham ternyata tidak seimbang dengan hak diperoleh misalnya dalam hal pembagian asset perseroan, walaupun yang bersangkutan merupakan pemegang saham dengan klasifikasi didahulukan(preferen). 

Sehubungan dengan pembagian aset yang tersisa misalnya setelah dilakukan likuidasi, sistem common law menempatkan para pemegang saham pada urutan bawah atau yang disebut dengan Shareholder as residual claimants dimana para pemegang saham harus tunduk pada hirarkhi yang dibangun oleh perseroan yang mewajibkan pemegang saham menunggu setelah claim-claim yang lainnya terpenuhi(Shareholder claims come behind all others). Dalam system hukum perseroan Indonesia juga dijumpai konstruksi hukum yang serupa yaitu yang tertuang dalam Pasal 149 ayat(1) huruf c dan d. Ketentuan tersebut pada pokoknya menempatkan para pemegang saham pada urutan setelah kreditur perseroan.

Ketidakseimbangan tersebut masih harus ditambahkan lagi dengan persoalan yang dapat timbul dari kewenangan Direksi yang dikhawatirkan dipergunakan secara tidak benar atau tidak layak atau setidak-tidaknya tidak menguntungkan bagi para stakeholder dari suatu perseroan termasuk didalamnya para pemegang saham. 

Bertumpu pada uraian tersebut diatas dapat dikemukakan bahwa para pemegang saham memiliki motivasi modal yang telah diinvestasi dalam saham dapat mendatangkan hasil berupa dividen, dan maksud, tujuan serta kegiatan usaha perseroan dapat dilaksanakan dengan baik oleh Direksi. Sehubungan dengan motivasi inilah maka para pemegang saham sangat berkepentingan agar terdapat pembatasan atau pedoman terhadap kewenangan Direksi supaya tidak menjadi ultra vires.

Pihak Kreditur
Setiap perseroan kecuali yang tidak aktif(unless dormant) dapat dipastikan keterlibatannya dalam menjalankan suatu kegiatan bisnis. Keterlibatan ini membutuhkan sejumlah uang yang seringkali tidak dapat dipenuhi melalui pemupukan dana dengan jalan mengeluarkan saham(raise finance by issuing shares). Adanya kendala tersebut akhirnya menyebabkan perseroan berpaling pada sumber lain berupa uang pinjaman. Dalam hal ini membiayai kegiatan-kegiatannya dengan jalan membuat utang (enter into debt).

Uraian ringkas tersebut diatas pada pokoknya memperlihatkan latar belakang adanya kreditur perseroan atau lender atau debtholder yang merupakan penanam modal atau investor yang meminjamkan uangnya kepada perseroan dengan perjanjian memperoleh pembayaran bunga dan utang pokok. Pinjaman kepada perseroan dapat secured bank loans, unsecured bonds, short-term notes, dan suppliers’ trade credit. Secured Bank Loans pada pokoknya merupakan pinjaman yang diberikan oleh bank dengan suatu jaminan. Penerimaan jaminan didasarkan atau disesuaikan dengan jumlah uang yang dipinjam debitur.

Berbeda dengan Unsecured Bonds yang hanya didasarkan pada factor kepercayaan(trust) semata-mata(based on the trust that payment will be made in the future).Short-term notes dipersamakan dengan short-term loans yang merupakan utang-utang dengan jangka waktu pembayaran maksimal lima tahun atau kurang. Jadi semacam utang jangka pendek.Sedangkan Suppliers’ trade credit adalah suatu bentuk kredit yang diberikan oleh supplier kepada para pembeli atau customernya.

Dikaji dari bentuk kegiatannya tampaklah ada persamaan antara pemegang saham pada satu sisi dengan kreditur perseroan pada sisi lain, yaitu sama-sama memberikan uang atau modal kepada perseroan. Namun demikian dari aspek kedudukan dan tanggung jawab tampak perbedaan yang sangat tajam. Pemegang saham merupakan pemilik modal dan memperoleh saham sebagai tanda pemilikan modal, sedangkan kreditur yang merupakan sumber alternatif (pilihan lain) pembiayaan hanya meminjamkan modal yang juga sangat dibutuhkan oleh perseroan. 

Pihak kreditur yang telah memberikan pinjaman kepada perseroan juga sangat berkepentingan agar perseroan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang ultra vires. Kepentingan tersebut sangatlah beralasan karena perbuatan-perbuatan yang bersifat ultra vires akan dapat menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan bagi kreditur. Di samping perjanjian kreditnya dapat dinyatakan batal demi hukum (null and void), untuk pelunasan utang seperti itu kreditur secara tidak langsung dipaksa mengalokasikan tenaga, perhatian, waktu yang panjang dan biaya yang tidak murah.

c. Pihak Pekerja
Sebelum menguraikan lebih jauh dan untuk mengarahkan uraian selanjutnya agar tidak menyimpang maka dipandang perlu membahas terlebih dahulu mengenai siapa yang dimaksud dengan pekerja dalam perseroan. Apabila pekerja itu bukan atau tidak termasuk dalam kualifikasi Direksi, perlu dijelaskan hubungannya dengan organ perseroan tersebut. Berdasarkan identifikasi tersebut barulah kemudian diuraikan latar belakang pekerja perseroan itu sebagai pihak yang berkepentingan dengan adanya larangan terhadap ultra vires. 

Lewis D. Solomon dan Alan R. Palimter pada pokoknya mengemukakan, pekerja perseroan atau employees merupakan salah satu konstituen korporasi (corporate constituents) sebagai tenaga kerja yang mendayagunakan human capitalnya berkaitan dengan kegiatan-kegiatan usaha perseroan(those who supply their labor(human capital) to the business). Sementara itu mengenai human capital dipandang oleh Adam Smith 106 merupakan tipe modal yang keempat setelah mesin-peralatan, bangunan dan tanah. Human Capital itu terdiri dari segala kemampuan-kecakapan (abilities) yang diperoleh dari seluruh lapisan masyarakat. Dapat pula ditambahkan bahwa Human Capital merupakan rangkaian ketrampilan yang dibutuhkan pekerja untuk menunjang pelaksanaan pekerjaannya. Ketrampilan tersebut diperoleh melalui pelatihan dan pengalaman yang dapat meningkatkan nilai pekerja itu sendiri di pasaran.

Uraian tersebut diatas mengandung makna bahwa yang dimaksud dengan pekerja dalam perseroan itu sebenarnya adalah pegawai (karyawan atau karyawati) yang direkrut(diangkat atau dijadikan sebagai demikian) oleh Direksi dari warga masyarakat. Ketrampilan yang dimiliki pekerja didayagunakan untuk menunjang pelaksanaan kegiatan usaha perseroan. Dengan demikian kedudukan pekerja tidaklah dapat disejajarkan dengan Direksi. Sebagai Organ perseroan, nama dan identitas Direksi dicantumkan dalam Akta Pendirian-anggaran dasar dan perubahannya, sedangkan identitas pekerja dapat dicantumkan pada panel susunan personalia pelaksana kegiatan perseroan. Pencantumannya pada Akta Pendirian bersifat otentik karena dibuat oleh pejabat yang berwenang, sedangkan pencantumannya pada panel dapat dikemukakan tidak didasarkan pada suatu kewajiban hukum. 

Mengenai hubungannya dengan Direksi, pekerja perseroan harus patuh kepada Direksi yang merupakan manajer korporasi (subject to the direction of the corporate managers). Oleh karena pekerja perseroan itu diangkat oleh Direksi, maka pekerja tersebut bertanggung jawab kepada Direksi.

Tugas pokok pekerja pada dasarnya adalah mengimplementasikan fungsi-fungsi Direksi. Dengan demikian konsekuensi tindakan Direksi yang ultra vires dapat pula menimpa pekerja. Oleh karena itu dan mengingat eksistensi pekerja perseroan bergantung pada Direksi maka merupakan suatu kewajaran apabila pekerja berkepentingan pula dalam kaitannya dengan ultra vires.

d. Pihak Constituencies lainnya
Pihak-pihak yang merupakan konstituen yang sebenarnya dapat memiliki hubungan hukum atau menjalin kontra-kontrak dengan perseroan pada pokoknya terdiri dari customers,suppliers,dan tort creditors. Berikut ini akan diuraikan secara garis besarnya pengertian dari masing-masing konstituen perseroan tersebut.

Customers atau pelanggan dan dalam hubungan hukum perbankan adalah nasabah pada dasarnya merupakan orang, perusahaan atau entitas lain yang membeli atau mempergunakan barang dan jasa-jasa yang dihasilkan oleh orang, perusahaan atau entitas lain (A person, company, or other entity which buys goods and services produced by another person, company, or other entity), sedangkan suppliers atau pemasok merupakan pihak yang menyediakan produk-produk barang dan jasa. 

Tort creditors merupakan suatu konsep yang dipergunakan untuk menggambarkan kedudukan customers dan warga masyarakat terhadap siapa perseroan menjadi pihak yang berkewajiban dan bertanggung jawab atas kerugian-kerugian yang terjadi sebagai akibat dari pelaksanaan kegiatan-kegiatan usaha perseroan (customers and members of the public to whom the corporation becomes obligated because of losses caused by its business activities).

Dapat dikemukakan, konsep Tort Creditors mengandung dua aspek yaitu kedudukan pelanggan pada satu sisi dan kedudukan warga masyarakat umumnya (members of the public) pada sisi lain yang biasanya berkaitan dengan dampak kegiatan usaha terhadap lingkungan . Sejalan dengan semakin meningkatnya perhatian terhadap pelestarian lingkungan, sistem common law sudah sejak lama memberikan akomodasi terhadap kepentingan tersebut. Sementara itu di Indonesia baru memperoleh perhatian sejak 2007 bersamaan dengan diundangkannya UUPT yang baru. Perhatian terhadap pelestarian lingkungan dapat dilihat dalam Pasal 74 mengenai kewajiban melaksanakan tanggung jawab social dan lingkungan.

Customer dan supplier merupakan pihak-pihak yang harus dan selalu ada dalam hubunganya dengan kegiatan-kegiatan usaha perseroan. Bagi perseroan yang bergerak dalam kegiatan usaha industri misalnya, pemasok berfungsi sebagai penyedia bahan untuk diolah, sedangkan pelanggan merupakan pangsa pasar dimana output dari industry didistribusikan. Dengan demikian dapatlah dibayangkan seandainya pemasok dan pelanggan tidak ada dimana hal ini berarti perseroan kehilangan sumber(pemasok) dan tujuan(pelanggan). Dengan berdasarkan pada maksud agar kegiatan usaha perseroan tetap berjalan dan berkembang, maka kontrak-kontrak baik dengan pemasok maupun pelanggan harus tetap terjalin. Oleh karena itu pada satu sisi pihak perseroan berkewajiban memperhatikan kelangsungan eksistensi mereka, dan pada sisi lain pemasok dan pelanggan berkepentingan agar perseroan tidak melakukan tindakan ultra vires yang konsenkuensinya dapat mengancam kelangsungan hubungan hukum mereka dengan perseroan. 

Dengan mempertimbangkan relevansinya dengan topik yang dibahas dalam tulisan ini, maka perlu dilakukan identifikasi mengenai konstituen mana yang merupakan pihak ketiga secara komersial. Dengan mempergunakan pemahaman mengenai organ perseroan dan aspek manajemennya sebagai kriteria, maka dapatlah diidentifikasi bahwa yang merupakan pihak ketiga adalah kreditur, supplier dan customer. Pihakpihak ini dapat mengalami kerugian-kerugian akibat tindakan Direksi perseroan yang ultra vires, akan tetapi UUPT tidak secara jelas mengatur mengenai perlindungan hukumnya. 

Berdasarkan uraian tersebut, hubungan-hubungan hukum dan terjadinya tindakan ultra vires dalam bentuk bagan sebagai berikut :


Bagan tersebut dapat dijelaskan sesuai urutan nomornya sebagai berikut :
1. Perseroan Terbatas (PT) didirikan dengan Akta Pendrian dan Anggaran Dasar berdasarkan UU. No. 40 Tahun 2007
2. Direksi merupakan organ perseroan yang mewakili perseroan
3. Pihak Ketiga dapat terdiri dari kreditur, supplier dan customer mengadakan transaksi dengan perseroan melalui atau yang diwakili Direksi
4. Komisaris merupakan organ perseroan yang melaksanakan fungsi pengawasan terhadap tindakan-tindakan Direksi
5. Apabila transaksi antara Pihak Ketiga dengan Perseroan melalui Direksi sesuai dengan anggaran dasar, maka perseroanlah yang bertanggungjawab dan hal ini disebut dengan intra vires 
6. Apabila transaksi antara Pihak Ketiga dengan Perseroan melalui Direksi tidak sesuai dengan atau melampaui kompetensi menurut anggaran dasar, maka perseroan tidak bertanggungjawab dan hal ini disebut dengan Ultra vires.
7. RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) merupakan organ perseroan yang dapat memutuskan mengakui tindakan direksi yg ultra vires(ratifikasi), menolak yang berarti membebankan tanggung jawab secara pribadi pada Direksi, atau menyatakan ultra vires akan tetapi mengingat tindakan itu dilakukan untuk kepentingan PT serta untuk menjaga hubungan baik dengan Pihak Ketiga, maka RUPS memutuskan agar perseroanlah yang mengganti kerugian(substitution). 

Dampak Tindakan Ultra Vires Terhadap Perjanjian Antara Perseroan Dan Pihak Ketiga 
Mengenai dampak atau pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh Doktrin Ultra Vires terhadap perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh perseroan pada dasarnya sudah disinggung dalam uraian mengenai pengertian ultra vires itu sendiri, dimana dikemukakan bahwa perjanjian yang demikian adalah tidak sah(illegal). 

Dari uraian tersebut sebenarnya sudah tampak dengan jelas, dimana Doktrin Ultra Vires memang memiliki pengaruh terhadap perjanjian-perjanjian yang dibuat perseroan dengan pihak ketiga. Beberapa kepustakaan pada pokoknya mengemukakan, perjanjian ultra vires yang dinyatakan tidak sah itu adalah null and void(batal demi hukum) dan voidable(dapat dimohonkan pembatalan). Namun yang menjadi persoalan, bagaimana uraiannya sehingga perjanjian tersebut dapat dinyatakan demikian atau sebaliknya.

Terdapat penanganan terhadap beberapa kasus yang dapat menjelaskan mengenai dampak doktrin tersebut baik yang terjadi pada negara-negara dengan sistem common law maupun di Indonesia seperti yang tercermin dalam Kasus PT Dhaeseng/PT Interland melawan PT Usaha Sandang. Dalam kasus Ashbury Railway Carriage and Iron Co.Ltd v Riche(1875) LR 7 HL 653 yang terjadi di Inggris dijumpai fakta berupa tindakan-tindakan sebagai berikut:

The company was incorporated ‘to make and sell, or lend on hire, railway carriage and wagons, and all kinds of railway plant, fittings, machinery, and rolling stock; to carry on the business of mechanical engineers and general contractors; to purchase and sell any such materials on commission, or as agents’. Under the articles of association, ‘an extension of the company’s business beyond or for other than the objects or purposes expressed or implied in the memorandum of association shall take place only in pursuance of a special resolution’. The company entered into a agreement with Riche to privide finance for the construction of a railway in Belgium, but later repudiated the agreement.

Companies Acts di negara tersebut pada pokoknya menentukan suatu perusahaan yang telah berbadan hukum hanya diberikan kompetensi untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan baik yang dinyatakan secara tegas maupun yang termasuk dinyatakan demikian dalam anggaran dasarnya. Suatu transaksi yang ultra vires dinyatakan batal(void) dan tidak dapat diratifikasi dengan keputusan RUPS yang didasarkan suara bulat sekali pun (the unanimous agreement of the shareholder). Berdasarkan klarifikasi fakta tindakan dimana The Ashbury Railway Carriage and Iron Co.Ltd juga melaksanakan kegiatan pembangunan jalan kereta api di Belgia dengan biaya dari Riche yang berarti tidak sesuai, menyimpang dan melampaui kompetensi menurut anggaran dasarnya, maka The House of Lords yang menangani kasus tersebut menyatakan perjanjian atau transaksi antara Ashbury Railway Carriage and Iron Co.Ltd dengan Riche merupakan ultra vires dan tidak dapat diratifikasi.

Keputusan tersebut dapat dikemukakan sebagai suatu produk hukum yang sukses dalam menyatakan tindakan suatu perseroan merupakan ultra vires. Berbeda halnya dengan keputusan atas Kasus Bell Houses Ltd. Versus City Wall Properties Ltd (1966) 2 QB 656. Dalam kasus tersebut, the Court of Appeal mengakui adanya subjective objects clause sebagai berikut: 

The objects of the plaintiff company were to cary on business as general, civil and engineering contractors and in particular to construct houses. By clause 3 (c) the company was empowered to carry on any other trade or business whatsoever which can, in the opinion of the board of directors, be advantageously carried on by the company in connection with or ancillary to any of the above businesses or the general business of the company. 

Subjective objects clause pada pokoknya dapat diuraikan sebagai suatu ketentuan dalam anggaran dasar perseroan yang dapat diinterpretasikan secara fleksibel, terlebih-lebih apabila hasil penafsiran tersebut memberikan keuntungan kepada perseroan, maka kegiatan-kegiatan lain kendatipun tidak tercantum dalam maksud dan tujuan serta kegiatan usaha dapat dipandang sebagai kompetensi perseroan untuk melaksanakannya. Subjective objects clause tersebut terdapat dalam clause 3 (c). Berdasarkan adanya klausul itu maka The Court of Appeal kemudian memutuskan bahwa tindakan-tindakan melaksanakan kegiatan-kegiatan di luar ruang lingkup business as general, civil and engineering contractors and in particular to construct houses itu bukanlah ultra vires. Tindakan-tindakan yang didasarkan pada clause 3 (c) adalah intra vires.

Elizabeth A. Martin pada intinya mengemukakan, intra vires merupakan suatu istilah yang menggambarkan suatu tindakan yang dilakukan oleh suatu badan (baik publik maupun perusahaan), tindakan mana masih termasuk dalam batas-batas kewenangan yang diberikan oleh undang-undang atau ditetapkan dalam suatu dokumen seperti anggaran dasar perseroan. 

Berdasarkan uraian tersebut dapat dikemukakan, intra vires sebenarnya merupakan kebalikan dari ultra vires, dan dari putusan The Court of Appeal dapat disaksikan tentang pengakuan terhadap kekuatan mengikat dari suatu memorandum of association(anggaran dasar) perseroan. 

Kedua kasus yang telah diuraikan itu menghasilkan putusan yang saling bertolak belakang. Uraian mengenai kasus selanjutnya memperlihatkan kesulitan-kesulitan menyatakan suatu tindakan merupakan ultra vires atau intra vires sehingga harus menempuh prosedur yang membutuhkan waktu relatif lama. 

Dalam Kasus PT Dhaeseng/PT Interland Kontra PT Usaha Sandang terdapat fakta dimana pada pokoknya Presiden Direktur membuat Surat Pernyataan Hutang kepada PT Usaha Sandang untuk dan atas nama PT Dhaeseng/PT Interland (badan hukum) tanpa persetujuan Komisaris, sesuai dengan ketentuan di dalam anggaran dasar.

Tindakan yang dilakukan oleh Presiden Direktur atau Direksi tersebut sebenarnya sudah memenuhi unsur-unsur adanya tindakan melampaui kompetensi atau ultra vires, karena dalam praktek sudah merupakan suatu kelaziman menuangkan ke dalam anggaran dasar ketentuan mengenai kewajiban Direksi untuk memperoleh persetujuan Komisaris apabila hendak mengikatkan perseroan dalam perjanjian hutang-piutang. Ternyata Direksi tidak menempuh prosedur tersebut sehingga tindakannya itu dapat dikualifikasi sebagai ultra vires.

Pengadilan Negeri yang menangani kasus tersebut pada intinya memutuskan memang benar bahwa hutang tersebut merupakan tanggung jawab pribadi Presiden Direktur PT Dhasaeng, dengan hanya menyebutkan, oleh karena tindakan membuat Surat Pernyataan Hutang itu tanpa persetujuan komisaris, maka hutang tersebut menjadi tanggung jawab pribadi Presiden Direktur tersebut. Putusan itu sama sekali tidak menyebut doktrin ultra vires.

Terlepas dari penerimaan secara substansial, hal ini dapat disebabkan karena istilah ultra vires belum begitu populer di Indonesia. Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi bahkan membatalkan Putusan Pengadilan Negeri dengan alasan sebagai berikut:
• Surat perjanjian pengakuan pembayaran hutang bahan tekstil tidak dapat digolongkan mengikat perseroan sebagai penjamin (Pasal 11 ayat (2) Anggaran Dasar PT Dhasaeng),
• Surat perjanjian di atas, merupakan pembelian bahan tekstil, yang termasuk dalam “bidang usaha” perseroan, sehingga tergugat(Presiden Direktur) dianggap tetap berwenang dan sah melakukan perbuatan tersebut (tanpa persetujuan komisaris).

Baru di tingkat kasasi (Mahkamah Agung), diterapkan doktrin ultra vires.
Berbagai kasus tersebut di atas pada dasarnya sudah memperlihatkan dampak atau pengaruh tindakan yang ultra vires terhadap perjanjian antara perseroan dengan pihak ketiga. Ada pun dampak yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:
1. Oleh karena tindakan ultra vires merupakan tindakan melampaui kompetensi dan bersifat tidak sah sehingga batal demi hukum, maka perjanjian-perjanjian yang merupakan hasil perwujudan nyata dari tindakan ultra vires juga bersifat tidak sah.

2. Oleh karena perjanjian-perjanjian yang pada awalnya dimaksudkan sebagai ikatan antara perseroan dan pihak ketiga dinyatakan tidak sah, dimana hal ini menimbulkan dampak berupa beralihnya tanggung jawab Direksi secara pribadi. 

Dari setiap dampak tindakan ultra vires tersebut pada dasarnya dapat menimbulkan kerugian pada pihak ketiga, baik yang menyangkut pelaksanaan perjanjiannya sendiri maupun kelangsungan eksistensi. Oleh karena itu sangat berdasar apabila pihak ketiga membutuhkan perlindungan hukum.  
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson