Perlunya Pemuliaan Jelutung Rawa (Dyera Polyphylla Miq.)
Proyek Pengembangan Lahan Gambut sejuta ha (PLG) merupakan salah satu contoh pemanfaatan lahan gambut yang kurang memperhatikan aspek fisik lahan gambut dan aspek sosial ekonomi serta budaya masyarakat setempat, sehingga mengalami kegagalan. Kegagalan pengembangan lahan gambut sejuta ha yang direncanakan menjadi lahan ekstensifikasi pertanian tersebut telah mengakibatkan dampak negatif bagi kondisi lingkungan biofisik dan kehidupan sosial ekonomi serta budaya masyarakat setempat.
Menurut Boehm et al. (2003) laju degradasi hutan rawa gambut sepuluh tahun terakhir ini sudah sampai pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Sebagai gambaran pada tahun 2001 total hutan rawa gambut yang masih baik hanya tinggal 10 % dari total luas hutan rawa gambut tahun 1991. Sisanya berupa semak belukar, areal terbuka dan hutan rawa gambut terfragmentasi
Eksploitasi hutan melalui Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan pembangunan saluran pengairan proyek PLG menyebabkan hutan rawa gambut menjadi lahan terbuka. Pembangunan Saluran Induk Primer (SIP) yang memotong kubah gambut (dome) menyebabkan terjadinya penurunan permukaan gambut (subsidence) dan lapisan gambut menjadi kering tak balik (irreversible drying) yang mempermudah terjadinya kebakaran. Selain itu, pembangunan sistem tata air akan mempercepat habisnya hutan-hutan di pedalaman oleh maraknya penebangan liar (illegal logging) yang memanfaatkan saluran untuk transportasi.
Hal ini mengakibatkan beberapa species tumbuhan komersil menjadi menurunnya jumlah dan kualitas genetik seperti ramin (Gonystyllus bancanus), jelutung (Dyera pollyphylla), kempas (Koompassia malaccensis), ketiau (Ganua motleyana) dan nyatoh (Palaquium cochleria).
Pada jaman dahulu Indonesia merupakan penghasil utama getah jelutung, hampir seluruh produksi getah jelutung Indonesia diekspor ke luar negeri dalam bentuk bongkah. Negara tujuan ekspor meliputi Singapura, Jepang dan Hongkong. Getah jelutung berfungsi sebagai bahan baku pembuatan permen karet yang dimulai pada tahun 1920-an dan pada tahun 1940-an getah jelutung telah menggeser posisi lateks dari pohon Achras sapota, yaitu pohon penghasil bahan baku asli permen karet yang berasal dari Amerika Tengah. Getah jelutung juga digunakan dalam industri perekat, laka, lanolic, vernis, ban, water proofing dan cat serta sebagai bahan isolator dan barang kerajinan. Akan tetapi seiring dengan kerusakan hutan rawa gambut, pohon-pohon jelutung sudah berkurang keberadaanya.
Kondisi ini mengakibatkan pendapatan masyarakat menurun. Kompas (21 Agustus 2001) memberitakan sekitar 400 kepala keluarga di dua desa Sei Hanyo dan Katanjung, Kecamatan Kapuas Hulu, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah tersebut selama ini menggantungkan hidupnya dengan menyadap getah jelutung dari hutan kini resah, karena pohon-pohon jelutung yang menjadi sumber mata pencaharian mereka nyaris habis. Ketika pohon jelutung berdiameter 40 cm masih banyak ditemui, setiap minggu, mereka bisa mendapatkan hasil sekitar tiga ton getah jelutung yang harganya Rp 85.000 per kuintal atau Rp 850 per kg. Sekarang masyarakat berhenti total menyadap jelutung karena sudah habis ditebang. Kayu bulat jelutung itu, sebagian besar sudah dijual ke pabrik di Banjarmasin dengan harga kayu jelutung mencapai Rp 1,2 juta per meter kubik.
Lebih lanjut lagi menurut Kompas ( 17 Desember 2005 ) warga pedalaman Kalimantan Tengah saat ini kembali meminati usaha penyadapan getah karet dan jelutung, seiring membaiknya harga komoditas tersebut. Harga getah jelutung di wilayahnya Rp 350.000 per kuintal. Selain kayunya dimanfaatkan untuk bahan bangunan, getah jelutung sebagai bahan baku permen karet.
Didasari semakin menurunnya potensi jelutung baik dari jumlah, maupun kualitas genetik dan berdampak pada menurunnya pendapatan masyarakat, maka diperlukan penelitian teknik budidaya dibarengi dengan pemuliaan jenis ini perlu dilakukan. Disadari, bersama bahwa informasi dan kegiatan-kegiatan penelitian terhadap jenis-jenis hutan rawa gambut ini masih sangat terbatas dan kegiatan pemuliaannya sampai saat ini belum dilakukan, maka diperlukan serangkaian kegiatan yang merupakan langkah strategi pemuliaan jenis-jenis hutan rawa gambut umumnya dan khususnya jenis jelutung.
Informasi Umum
A. Penyebaran dan Tempat Tumbuh
Di Indonesia jelutung tersebar di Sumatera, Bangka, Belitung , Riau dan Kalimantan. Menurut Foxworthy (1927) dalam Daryono 2000 Dyera polyphylla tumbuh di tanah organosol khususnya di hutan rawa gambut. Tempat tumbuh di dalam hutan tropis dengan iklim tipe A dan B (Martawijaya, 2005).
B. Sifat Botanis
1. Taksonomi
Berbagai nama daerah jelutung antara lain adalah, gapuk, labuwai, melabuwai (Sumatera), sedangkan di Kalimantan dikenal dengan nama jelutung paya, pantung ( Liemens, et al 1995 ; Hyne, 1987; Whitemore et al (1989). Jelutung (Dyera polyphylla Miq.Steenis) sinonim dengan Dyera lowii Hook.F. Lem, Alstonia polyphylla Miq dan Dyera borneensis Baillon (Whitemore,1987; Liemens et al, 1995). Berdarkan ilmu taksonomi, jelutung dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Devisi : Spermatophyta
Sub Devisi : Angiopermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Apocynales
Family : Apocynaceae
Genus : Dyera
Species : Dyera polyphylla
Secara umum dengan diskripsi morfologi sebagai berikut :
2. Habitus
Pohon jelutung berpenampilan besar dan tinggi , dengan tinggi pohon bisa mencapai 60 meter, diameter 260 cm, bentuk bantang silindris dan tidak berbanir , kulit batang berwana abu-abu atau kehitam-hitaman , tajuk tipis atau jarang.
C. Sifat pohon
Pohon jelutung termasuk jenis yang membutuhkan cahaya pada waktu muda, tetapi kemudian memerlukan cukup cahaya untuk pertumbuhan selanjutnya (van Wijk, 1950). Menurut Aminuddin (1982), semai jelutung memberikan respon terbaik pada intensitas cahaya 30%. Menurut Yap (1980) pohon jelutung mempunyai masa berbunga berlangsung dari bulan Juli sampai Desember.
Pohon jelutung meggugurkan daun setiap tahun, tetapi hanya untuk beberapa hari saja. Saat menggugurkan daun tidak bisa ditetapkan secara pasti, ada kalanya pohon menggugurkan daun dua kali dalam setahun. Daun yang baru muncul selama beberapa hari sebelum mekar berwarna coklat kekuning-kuningan.
D. Pemanfaatan Jelutung
1. Getah
Jelutung dikenal sebagai suatu produk yang berupa getah / latek yang dihasilkan oleh pohon jelutung (Dyera spp). Pohon jelutung di Kalimantan dikenal dengan nama pantung, sedangkan di Sumatera (Palembang, Jambi) dikenal dengan nama melabuai. Pada awalnya getah jelutung digunakan untuk pembuatan barang-barang yang terbuat dari karet sebelum ada pembudidayaan jenis karet (Havea brasiliensis), tetapi setelah karet dapat berkembang dengan produk yang lebih baik, jelutung tidak dapat bersaing lagi.
Menurut Wihtemore (1972) jelutung sudah dikenal untuk pembuatan permen karet sejak tahun 1920. Perhatian terhadap jelutung meningkat setelah sumber bahan baku permen karet yaitu pohon Achras zapota (Sapodilla fam. Sapoteaceae) yang merupakan salah satu jenis pohon tropis dari Amerika Tengah populasinya mulai menipis karena penyerapan getahnya dilakukan secara serampangan, sehingaa jenis tersebut menjadi semakin langka.
Kayu
Menurut Hyne (1987) jelutung mempunyai sifat kayu lunak, berwarna putih dan keterawetan rendah atau tidak tahan lama dan mudah dikerjakan. Pengunaan kayunya untuk pola dan sepatu Cina, papan dan peti. Sedangakan menurut Liemens et al (1995) pengunaan kayu jelutung antara lain untuk kontruksi rumah seperti floring, papan dan pengggunaan lain seperti untuk furniture, lemari, rangka pintu dan jendela, perahu kano, alat olahraga, alat musik, ukiran, peti mati, pensil dan alat gambar, moulding dan kayu lapis.
E. Budidaya pohon jelutung
1. Perbenihan dan Biji
a. Generatif ( biji)
Buah berpasangan menyerupai tanduk, berbentuk bulat memanjang dengan diameter buah bagian tengahnya berkisar 2-3 cm dan panjang antara 12-35 cm. Buah masak sekitar 8-9 bulan setelah proses pemekaran bunga. Tanda –tanda buah masak adalah:
· Kulit buah berwarna coklat kehitam-hitaman
· Pemasakan buah dimulai dengan pemipihan bentu buah secara berangsur-angsur dan berkurangnya getah di dalam daging buah.
· Daging buah menering sehingga kulit terlihat mengkerut
· Polon buah mulai merekah dan pada waktunya biji akan terlempar keluar dan diterbangkan oleh angin.
Pohon jelutung seringkali berpenampilan besar dan tinggi, oleh sebab itu di dalam kegiatan pengunduhan benih perlu digunakan alat pembantu antara lain:
· Teropong untuk melihat keberadaan dan tingkat kematangan buah
· Bambu untuk panjatan
· Galah panjang yang dilengkapi dengan gunting arau pisau kait untuk memotong tangkai buah.
a.1. Ekstraksi
Biji jelutung yang masih tersimpan di dalam polong dapat dikeluarkan dari dalam polong apabila sudah merekah. Pada buah yang sudah masak, polong akan merekah kurang lebih 1 minggu setelah dikeringkan di udara terbuka. Lamanya pengeringan tergantung tingkat kematangan buah. Buah yang tingkat kematangannya kurang, pengeringan akan memerlukan waktu yang lebih lama. Buah-buah yang tidak pecah dengan cara pengeringan dijemur di panas matahari, dapat dimasukkan ke dalam alat pengering pada suhu 35OC. (Daryono, 1998; Wibisono, 2005)
a.2. Seleksi
Seleksi terhadap biji dilakukan untuk mendapatkan biji / benih yang baik dengan cara memilih atau memisahkan biji yang baik dari biji-biji yang hampa, muda, rusak atau terkena penyakit. Biji jelutung yang masak berwarna kecoklatan dengan kadar air lebih rendah daripada biji ynag samih muda yang berwarna agak kehijauan. Biji sangat ringan yaitu 0,14 gram/ biji atau 7300 biji / kg dengan kadar air 12% (Yap, 1980). Setelah diseleksi, biji sebaiknya langsung disemaikan. Daya kecambah biji –biji yang segar adalah 80% (Daryono, 1998; Wibisono, 2005)
a.3. Penyimpanan biji
Penyimpanan biji jelutung pada suhu dibawah 10 OC dapat mengakibatkan rusaknya benih. Penyimpanan yang baik adalah pada suhu 20 OC - 40 OC dengan kelembaban sekitar 60%. Dengan cara ini kualitas biji dapat dipertahankan sekitar 3 buah dan viabilitas biji menurun 20% sesudah disimpan selama 8 bulan (Yap, 1980 ; Daryono, 1998; Wibisono, 2005)
b. Vegetatif (stek)
Daryono (1998) melakukan percobaan pendahuluan dengan menggunakan bahan stek dari cabang dan ranting jelutung dan ternyata tidak memberikan hasil. Pembuatan stek pucuk yang dilakukan juga belum menunjukkan hasil.
Akan tetapi, hal ini dapat diatasi dengan cara pembuatan kebun pangkas terlebih dahulu. Kebun pangkas ditanam dari bibit –bibit yang dibbuat secara generatif. Ujicoba dengan menggunakan teknik persemaian modern dengan menggunakan sistem pengaturan suhu dan kelembaban di green house (KOFFCO) menunjukkan keberhasilan pembuatan stek.
2. Penyiapan Lahan
Jelutung rawa termasuk jenis pohon yang membutuhkan cahaya penuh untuk pertumbuhannya. Jenis ini cocok ditanam pada hutan rawa gambut yang terbuka, seperti areal bekas tebangan dan kebakaran. Pada areal terbuka bekas kebakaran, penyiapan lahan dilakukan dengan sistem jalur, lebar jalur 1,5 – 2,0 m dan jarak antar jalur 5 m, jarak tanam 5 x 5 m. Setelah pembuatan jalur dilakukan pemasangan ajir dan pembuatan gundukan gambut. Tujuannya untuk mengumpulkan massa tanah untuk tempat berjangkarnya perakaran tanaman dan meninggikan bagian tanah agar bibit tidak terendam air. Tinggi gundukan minimal 50% dari tinggi genangan air pada puncak musim hujan. Pada areal terbuka bekas tebangan, untuk tanaman pengayaan, penyiapan lahan dilakukan dengan sistem jalur, lebar jalur 2 - 3 m dan jarak antar jalur 10 m, jarak tanam 5 x 10 m.
3. Penanaman dan Pemeliharaan
Sebelum penanaman, bibit diadaptasikan di tempat terbuka selama 1 bulan dengan cara pembukaan sarlonet di persemaian. Penanaman dilakukan pada awal musim hujan (Oktober) sebelum genangan air rawa tinggi, dan tinggi bibit perlu disesuaikan dengan tinggi genangan air. Tinggi bibit minimal sepertiga lebih tinggi dari genangan air pada puncak musim hujan. Pemeliharaan tanaman dilakukan minimal sampai umur 3 tahun, berupa pembebasan tumbuhan bawah dan pemupukan. Pada tahun pertama pembebasan tumbuhan bawah dilakukan minimal 3 kali. Pada tahun kedua dan ketiga pembebasan tumbuhan bawah dilakukan masing-masing 2 kali. Pemupukan dilakukan sebanyak 2 kali pada awal dan akhir musim hujan sampai tanaman berumur 3 tahun. Pupuk yang digunakan NPK tablet dengan dosis 20 - 30 gram (2 – 3 tablet) per tanaman setiap periode pemupukan
Hasil-hasil penelitian
Berdasarkan hasil peneltian, pembibitan secara geratif relatif mudah dilakukan. Keberhasilan pembuatan bibit secara generatif tergantung dari tingkat kematangan biji. Oleh karena itu, yang perlu diperhatikan dalam waktu pengunduhan bijinya. (Rusmana et al 2004). Media yang baik digunakan adalah campuran gambut dan top soil dengan komposisi 6:4 (Bastoni dan Agus, 2007) Pembuatan bibit secara vegetatif telah berhasil dilakukan, meski pada tahan awalnya belum menjukkan keberhasilan (Rusmana et al 2004, Daryono, 2000). Untuk membuat bibit secara vegetatif, yang tahap perlu dilakukan adalah pembuatan kebun pangkas dan dipilih bahan stek yang juvenil. Pembuatan stek dalam ruangan yang terkontrol suhu, kelembaban, dan intesitas cahaya meningkatkan keberhasilan stek. Keberhasilan stek jelutung dengan menggunakan metode KOFFCO adalah 60%. Kondisi bibit siap tanam adalah tinggi 30 -50 diameter batang 0,5 cm umur 8-10 bulan (Rusmana et al 2004,Wibisono et al 2005). Jelutung mempunyai pertumbuhan yang baik di lahan gambut, Harun et al (2006) meloprkan bahwa umur 2 tahun tinggi tanaman mencapai 443 cm dan diameter 7,6 cm. Menurut Bastoni dan Agus (2007) riap diameter 2,0 – 2,5 cm/tahun dan riap tinggi 1,6 - 1,8 m/tahun.
PEMULIAAN POHON
Menurut Zobel dan Talbert (1984) pemulihan pohon merupakan cara yang efektif menghasilkan produk hutan dengan nilai ekonomi tinggi, biaya murah dan dalam waktu cepat, apabila ada perpaduan antara ketrampilan silvikultural dan ”tree breeding”. Meskipun prinsip-prinsip dasar genetika adalah sama bagi semua mahkluk hidup seperti pohon-pohon, tumbuh-tumbuhan lain, manusia dan lalat. Namun pola pewarisan dan metode eksperimentasi masing-masing sangat bervariasi (Wright 1976). Menurut Toda (1976 ), meskipun prinsip-prinsip genetika yang digunakan dalam pemulihan pohon sama dengan yang digunakan untuk tanaman lain, tetapi karena pohon-pohon hutan mempunyai ukuran lebih tinggi dan besar serta umur yang lebih panjang, maka metode dan tehnik pemuliaan harus banyak dimodifikasi.
Program untuk daur panjang seperti jati, spesies yang sangat penting di Indonesia terus dilakukan. Beberbagai program pemuliaan mulai dari seleksi pohon plus, uji keturunan, uji klon, pembangunan area produksi benih dan kebun benih telah dilakukan (Hardiyanto, 2007).
Program pemuliaan pohon yang telah diutarakan di atas kebanyakan berkaitan dengan spesies yang diusahakan oleh perusahaan kehutanan. Sementara itu pemuliaan untuk spesies agroforestry masih belum banyak dilakukan. Demikian juga pemenuhan kebutuhan benih berkualitas untuk hutan rakyat masih sangat kurang(Hardiyanto, 2007).
Langkah-langkah dalam pemuliaan pohon adalah : (1) Penentuan spesies/provenansi; (2) Studi variabilitas; (3) Pengemasan sifat yang diinginkan; (4) perbanyakan dan (5) mengembangkan dan mempertahankan basis genetik untuk kepentingan lebih lanjut (Suseno et al., 1998).
Menurut Hardiyanto (2000)strategi pemuliaan merupakan suatu kerangka ide, pandangan secara konseptual atau filosofi manajemen pemuliaan genetik spesies pohon. Beberapa elemen penting dari strategi pemuliaan antara lain : 1) pemuliaan populasi melalui kombinasi seleksi dan persilangan yang dimulai dari basis gentik yang luas yang telah beradaptasi; 2) sistem yang efisien untuk perbanyakan massal dari individu unggul melalui benih atau stek.
Secara umum tujuan dilakukannya pemuliaan pohon adalah untuk memuliakan secara progresif populasi dasar dan populasi pemuliaan, memperbanyak material yang telah dimuliaakan untuk memnembangkan populasi perbanyakan yang superior, menjaga varibilitas dan ukuran populasi dasar dan populasi pemuliaan dan untuk mencapai hal tersebut dengan cara ekonomis. Perolehan genetik yang terbesar dicapai melalyui seleksi yang efektif pada populasi yang berkinerja baik, luas dan variabel dimana hubungan kekerabatan dikendalikan pada generasi berikutnya.
Beberapam strategi pemuliaan diadopsi yang mencerminkan tersedianya sumber daya dan tujuan dan peningkatan pemuliaannya. Strategi pemuliaan pohon berkisar dari yang sederhana sampai yang kopmpleks dan terpadu. Pada program yang sederhana dengan biaya rendah, populasi pemuliaan dapat berupa tegakan provenansi (provenanstand). Strategi ini cukup efektif dalam arti mendapatkan benih dalam waktu singkat terhadap seleksi provenansi. Beberapa tegakan provenansi dari provenansi yang berkinerja baik di tapak pengembangan kemudian dibangun. Secara progesif, tegakan provenansi dikonversi melalui penjarangan untuk menjadi tegakan benih. Untuk proyek pertanaman skala kecil, pembuatan tegakan benih ini barangkali fisibel karena tidak memerlukan biaya dan keahlian yang tinggi. Program sederhana ini berasal dari jumlah yang cukup (> 50 pohon ) memberikan perolehan genetik yang baik (Hardiyanto, 2000).
Pada program pemuliaan yang berjangka panjang dengan tujuan mendapatkan perolehan gentik yang berkelanjutan, populasi pemuliaan berupa uji keturunan untuk memlilih individu-individu yang unggul. Uji keturunan ini dikonversi menjadi kebun benih semai (Seedling seed orchad) melalui penjarangan seleksi secara bertahap dengan menebang famili-famili terjelek serta melalui individu-individu terjelek dalam setiap famili (Hardiyanto, 2000).
Belajar Dari Karet (Havea braziliensis) dan Pinus (Pinus merkusii)
Kegiatan pemuliaan tanaman karet (Havea braziliensis) sudah dilakukan sejak jaman Belanda dan selama tiga generasi pemuliaan karet (1910-1985) telah dihasilkan sejumlah klon unggul yang memiliki potensi karet kering dari mulai rata -rata 500 kg/ha/tahun menjadi 2500 kg/ha/ tahun. Pada saat ini, paradigma berkebun karet telah berubah dari menghasilkan lateks menjadi menghasilkan lateks-kayu, karena kayu karet telah memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan pangsa pasar yang luas. Oleh karena itu sasaran program pemuliaan pada generasi keempat (1985-2002) yang sedang berjalan sampai saat ini, selain bertujuan untuk menghasilkan klon-klon unggul sebagai penghasil lateks juga merupakan klon-klon yang memiliki potensi sebagai penghasil lateks-kayu (Aidi, 2001)
Berdasarkan kepada kemampuan klon menghasilkan lateks dan volume kayu (bioimassa non-lateks), maka klon unggul pada saat ini diklasifikasikan kepada tiga tipe (Azwar dan Suhendry, 1998) dalam (Aidi, 2001) yaitu:
Tipe I. Klon penghasil lateks, yang memiliki ciri potensi hasil lateks sangat tinggi dan potensi hasil kayu sedang
Tipe 2. Klon penghasil lateks-kayu, yang memiliki ciri potensi hasil lateks tinggi dan potensi basil kayu juga tinggi
Tipe 3. Klon penghasil kayu, yang memiliki ciri potensi hasil lateks sedang, dan potensi hasil kayu sangat tinggi
Dari hasil seleksi dan evaluasi pengujian lanjutan klon pada berbagai lokasi, maka telah dipilih sejumlah klon harapan yang berpotensi cukup baik sebagai penghasil lateks-kayu (klon tipe-2).
Pemuliaan pinus dimulai tahun 1976 yang ditujukan untuk meningkatkan produktifitas (volume) dan kelurusan batang karena umunya pinus ditanam untuk tujuan produksi kayu pertukangan. Pemulian pinus saat ini memasuki generasi kedua dimana selain untuk mendapatkan peningkatan kelurusan batang dan volume juga hasil getah berupa gondorukem (Danarto et al, 2000)
Belajar dari pemuliaan karet dan pinus yang keduanya merupakan penghasil kayu dan getah, pemuliaan jelutung sebaiknya juga diarahkan pada kedua hasil kayu dan non kayunya. Hal ini tentu perlu ada prioritas, akan tetapi untuk jelutung, strategi pemilihan sifat yang moderat dengan sifat yang dipilih dapat juga mengadopsi strategi pemuliaan seperti yang dilakukan pada karet dimana ingin diketahui 1) provenan atau klon penghasil getah dan penghasil kayu berdimensi sedang 2) provenan atau klon penghasil lateks-kayu, yang memiliki ciri potensi getah tinggi dan potensi basil kayu juga tinggi dan 3) provenan atau klon penghasil kayu, yang memiliki ciri potensi getah sedang, dan potensi hasil kayu sangat tinggi.
Strategi Pemuliaan
Strategi pemuliaan merupakan rencana untuk menjamin perolehan genetik yang hampir optimal baik jangka pendek maupun jangka panjang dalam kondisi tak menentu (Shelbourne et al , 1986 dalam Danarto et al, 2000). Srtategi pemuliaan bersifat dinamis, berkembang dan berubah seiring dengan waktu (Danarto et al, 2000).
Saat ini sumber benih dengan kualitas yang tinggi (hasil pemuliaan pohon) belum diperoleh. Oleh karena itu diperlukan serangkaian kegiatan yang mengacu pada potensi yang tersedia dan strategi yang dapat diterapkan untuk jenis jelutung. Karena kegiatan pembuatan hutan tanaman jelutung sudah sangat mendesak dan kegiatan pemuliaan memerlukan waktu yang panjang, maka sebagai langkah awal dirasakan perlu juga untuk mempelajari teknik silvikultur jenis ini dari pohon-pohon terpilih yang ada di alam, kemudian diikuti dengan penelitian peningkatan riap tanaman dan bentuk batang dengan memanfaatkan potensi genetik yang tersedia di hutan alam maupun hutan tanaman.
Lingkup kegiatan penelitian yang dilakukan sinergis dengan tujuan yang diharapkan, dimana langkah-langkah di dalamnya disesuaikan dengan strategi pemuliaan pohon untuk jenis jelutung. Strategi pemuliaan pohon tersebut dibuat untuk memberikan arah yang jelas dari kegiatan-kegiatan yang saling terkait. Adapun keterkaitan antara kegiatan yang satu dengan yang lain dapat dilihat pada strategi pemuliaan pohon untuk jenis jelutung
Gambar Alur Strategi Pemuliaan Jelutung (Dyera polyphylla)
Sumber : Leksono, 2003
Pengumpulan Materi Genetik (eklporasi)
Pada tahap awal kegiatan eksporasi pohon umumnya didahului dengan explorasi ke lokasi yang mempunyai sebaran geografis jenis / spesies yang akan dimuliakan, dilanjutkan dengan seleksi fenotipe superior dan pengumpulan buah yang dipisahkan menurut famili untuk pembuatan tanaman uji keturunan atau uji provenan atau untuk konservasi genetik ex situ ( Suseno, 2000).
Pohon plus merupakan fondasi bagi suatu program pemuliaan. Dari pohon plus yang terpilih ini suatu rangkaian tindakan pemuliaan berikutnya dilakukan untuk mendapatkan perbaikan genetik (baca: peningkatan produksi dan kualitas) yang berkelanjutan. Suatu program pemuliaan pohon yang baik dan terarah selalu dimulai dengan seleksi pohon plus dalam jumlah yang memadai ( > 200) agar memiliki basis genetik (genetic base) yang luas. Program pemuliaan yang didasarkan dari material yang seadanya tidak akan mendapatkan kemajuan seleksi yang diharapkan (Hardiyanto, 2007)
Explorasi jelutung dilakukan pada daerah –daerah penyebaran jelutung (Dyera polyphylla) yaitu pada habitat aslinya di hutan rawa gambut yaitu di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, di Sumatera yaitu di Bangka, Belitung, Riau, Palembang.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengumpulan benih (Hardiyanto, 2007) :
- Kumpulkan benih dari paling tidak 15 – 20 pohon induk. Untuk tegakan alam jarak antara pohon induk paling tidak 100 m. Dalam regenerasi alami pada sejumlah spesies, biji cenderung jatuh di sekitar pohon induknya, dan pohon-pohon di sekitar pohon induk ini dengan demikian berkerabat.
- Pilih pohon induk yang sehat, fenotipe bagus (lurus, tinggi dan besar) dari klas dominan atau kodominan dan hindarkan meilih pohon induk yang terkena hama atau penyakit, tertekan, malformasi.
- Hindarkan mengumpulkan benih dari pohon yang terisolasi dari pohon lain dari spesies yang sama.
- Kumpulkan benih dari buah yang masak saja.
- Untuk menjamin adanya variabilitas genetik, kumpulkan benih dari semua bagian tajuk dalm proporsi yang relatif sama (bagian atas, samping dan bawah) karena bagian-bagian ini mungkin diserbuki pada waktu yang berbeda dari sumber tepungsari yang berbeda pula.
- Kumpulkan benih dari habitat yang normal bagi spesies yang bersangkutan.
- Tegakan buatan (hutan tanaman) termasuk tanaman pagar atau penyekat api perlu dicermati dengan hati-hati mengenai sejarahnya sebelum melakukan pengumpulan benih pada pohon- pohon ini.
Pada semua fase program pemuliaan harus mempunyai fase operasional (populasi produksi) dan fase pengembangan (penelitian). Keduanya berkaitan erat dan membutuhkan filosofi pendekatan yang berbeda. Fase operasional terdiri dari upaya untuk memperoleh bahan tanaman genetik unggul secepat mungkin dan seefisien mungkin, sedangkan fase pengembangan adalah memperoleh dan mempertahankan basis genetik untuk mengkombinasikan sifat-sifat yang diinginkan pada pohon-pohon generasi akan datang. Karena menyangkut pekerjaan yang kompleks dan membutuhkan biaya besar, maka pekerjaan penelitian atau pengembangan dilakukan dengan pendekatan kooperatif dimana pengusaha bergabung memberikan dana berbagi hasil (Suseno, 2000).
Konservasi genetik dimungkinkan dalap dilakukan secara in situ maupun ex situ. Menurut Soekotjo (2000) konservasi ex situ adalah konservasi dari kompenen keanekaragaman hayati di luar habitat alaminya, sedangkan konservasi in situ adalah konservasi dari ekosistem termasuk di dalamnya habitat alami yang dihuni oleh biota sehingga biota yang berada di tempat konservasi ini dimungkinkan untuk berevolusi. Pada konservasi in situ perhatian pada keanekaragaman hayati jenis langka dan jenis endemik memperoleh prioritas yang tinggi.
Uji spesies dan provenans pada dasarnya bertujuan untuk mencari spesies atau provenans terbaik untuk tujuan tertentu pada tapak di mana spesies atau provenans tersebut akan dikembangkan. Ini dilakukan melalui pengujian di tapak di lapangan (Hardiyanto, 2007).
Bila tapak penanaman memiliki kondisi lingkungan (tanah, iklim) yang berbeda, maka uji spesies dan provenans sebaiknya diulang pada tapak yang mewakili kondisi lingkungan tersebut. Bila ini dilakukan maka kita perlu melihat kemungkinan adanya interaksi spesies/provenans dengan tapak.
Interaksi provenans yang besar berarti provenans yang berkinerja buruk untuk suatu tapak, sebaliknya berkinerja baik pada tapak yang lain. Fenomena seperti telah umum terdapat pada spesies pohon. Untuk itu uji provenans sebaiknya diulang di beberapa tapak di mana provenans tersebut akan dikembangkan. Menggeneralisasi bahwa provenans akan tumbuh dengan kinerja yang sama di semua tapak akan mengandung risiko mendapatkan kerugian, karena provenans tidak berkinerja optimal (Hardiyanto, 2007).
Dalam arti sederhana progeny berarti keturunan dan biasanya untuk menerangkan semua keturunan tumbuhan atau hewan pada suatu generasi. Jadi, uji keturunan (progeny test) berarti mengevaluasi suatu individu (dengan identitasnya sepenuhnya atau sebagian diketahui) melalui pembandingan keturunannya dalam suatu eksperimen (Hardiyanto, 2007).
Tujuan uji keturunan untuk membedakan antara kinerja yang disebabkan oleh faktor genetik atau lingkungan, maka uji keturunan sebaiknya dilakukan pada tanah yang seseragam mungkin, paling tidak di dalam blok dalam arti topografi, kesuburan dsb. Lahan relatif cukup luas sehingga dapat mengakomodasi uji keturunan yang diinginkan. (Hardiyanto, 2007).
Kegiatan penanaman merupakan bagian strategi untuk untuk mengetahui teknik silviklutur dan peningkatan produktifitas tanaman, mempertahankan basis genetik untuk mengkombinasikan sifat-sifat yang diinginkan pada pohon-pohon generasi akan datang juga merupakan upaya rehabilitasi hutan dan lahan rawa gambut yang telah rusak.
Kesinambungan Progam
Mengingat program pemuliaan memerlukan waktu yang lama dan kondisi hutan rawa gambut yang masih belum dikelola dengan baik, oleh karena itu dalam pelaksanaan pemuliaan pohon tidak bisa lepas dari upaya rehabilitasi hutan rawa gambut itu sendiri.
Keterlibatan para pihak dalam strategi rehabilitasi dan pemuliaan jenis-jenis rawa gambut diformulasikan seperti tabel.
Tabel. Formulasi Strategi Rehabilitasi dan Pemuliaan Jenis –jenis di Hutan Rawa Gambut
Sumber: modifikasi Auran, 2004
Keterangan:
: berperan aktif : Berperan tidak langsung A: Departemen Kehutanan (Litbang, RLPS dan Universitas B: Pemda (Popinsi, Kabupaten, Kota) C: Masyarakat, LSM, Swasta (asosiasi, perusahaan HTI&HPH, )