Manajemen Laba Dan Corporate Social Responbility (CSR)
Teori keagenan (agency theory) mengimplikasikan adanya asimetri informasi antara manajer sebagai agen dan pemilik (dalam hal ini adalah pemegang saham) sebagai prinsipal. Asimetri informasi muncul ketika manajer lebih mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemegang saham dan stakeholder lainnya. Dikaitkan dengan peningkatan nilai perusahaan, ketika terdapat asimetri informasi, manajer dapat memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada investor guna memaksimalkan nilai saham perusahaan. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan (disclosure) informasi akuntansi.
Standar akuntansi yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) mengijinkan pihak manajemen untuk mengambil suatu kebijakan dalam mengaplikasikan metode akuntansi guna menyampaikan informasi mengenai kinerja perusahaan kepada pihak ekstern. Pemberian fleksibilitas bagi manajemen untuk memilih satu dari seperangkat kebijakan akuntansi membuka peluang untuk perilaku oportunis dan kontrak efisien. Artinya, manajer yang rasional, akan memilih kebijakan akuntansi yang sesuai dengan kepentingannya. Dengan kata lain, manajer memilih kebijakan akuntansi yang dapat memaksimalkan expected utility-nya dan atau nilai pasar perusahaan. Perilaku oportunis dan kontrak efisien ini, mendorong manajer untuk melakukan manajemen laba.
Scott (2006: 344) mendefinisikan manajemen laba sebagai berikut: manajemen laba merupakan pemilihan kebijakan akuntansi oleh manajer dari Standar Akuntansi Keuangan yang ada dan secara alamiah dapat memaksimalkan utilitas mereka dan atau nilai pasar perusahaan. Manajemen laba menurut Mulford dan Comiskey (2002), merupakan financial numbers game (permainan angka–angka keuangan) yang dilakukan melalui creative accounting practises akibat adanya kelonggaran flexibility principles yang dikeluarkan oleh GAAP (General Accepted Accounting Principal).
Manajemen laba merupakan topik yang menarik, baik bagi peneliti akuntansi maupun praktisi. Fenomena manajemen laba juga telah meramaikan dunia bisnis dan pemberitaan pers. Beberapa bukti empiris dan sistematik telah menunjukkan adanya fenomena manajemen laba ini, diantaranya Gu dan Lee (1999), De Angelo (1988), Holthausen dan Sloan (1995), dan lain-lain. Secara khusus, Gu dan Lee (1999) telah menunjukkan bahwa manajemen laba telah meluas dan ada di setiap pelaporan keuangan yang disampaikan oleh perusahaan. Mereka memberikan suatu bukti bahwa manajemen laba terjadi di setiap laporan keuangan kuartalan, dan tingkat manajemen laba terbesar ditemukan pada kuartal ketiga. Ini menunjukkan bahwa praktik manajemen laba merupakan suatu fenomena yang umum terjadi, tidak hanya pada peristiwa-peristiwa tertentu saja tetapi telah sedemikian mengakar dalam kehidupan bisnis.
Penelitian-penelitian mengenai manajemen laba menunjukkan bahwa penggunaan discretionary accrual menyebabkan terjadinya kesalahan dalam prediksi manajemen laba (Bernard dan Skinner, 1996). Kesalahan tersebut disebabkan oleh kesulitan pengklasifikasian akrual total kedalam bentuk discretionary accrual dan non-discretionary accrual, sehingga penggunaan model akrual menjadi kurang tepat dan mengalami kesulitan (Aljifri, 2007). Dechow (1995) menguji lima model akrual dan menemukan bukti bahwa tidak ada di antara kelima model tersebut yang benar-benar tepat untuk mendeteksi manajemen laba. Kesalahan memprediksikan dilakukan atau tidaknya manajemen laba, menyebabkan kesalahan dalam menilai kualitas laba perusahaan sehingga menyebabkan bias dalam penilaian kinerja perusahaan. Penelitian Algharaballi dkk. (2008) juga menguji kekhususan dan kekuatan empat model untuk mendeteksi manajemen laba. Hasilnya adalah model Jones merupakan model yang mempunyai kekuatan tertinggi dalam mendeteksi kenaikan laba yang disebabkan manipulasi akrual.
Beberapa peneliti mencoba mengatasi kelemahan model akrual dengan mencari faktor alternatif yang dapat digunakan untuk mendeteksi manajemen laba. Penelitian baru-baru ini menginvestigasi perbedaan antara laba akuntansi dan laba fiskal (book-tax differences) sebagai indikator manajemen laba (Mills dan Newberry, 2001; Phillips dkk., 2003; Ratmono, 2004; Yuliati, 2004). Penelitian-penelitian tersebut didasari oleh literatur akuntansi keuangan yang menegaskan bahwa book-tax differences dapat memberikan informasi tentang laba berjalan (current earnings). Logika yang mendasarinya adalah sedikitnya kebebasan yang diperbolehkan dalam pengukuran laba fiskal, menyebabkan book-tax differences memberikan informasi tentang management discretion dan proses akrual. Mills dan Newberry (2001) dan Phillips dkk. (2003) berpendapat bahwa para manajer mempunyai banyak kebebasan dalam pelaporan keuangan dibanding pelaporan pajak, dan dapat memanfaatkan kebebasannya tersebut untuk menaikkan laba akuntansi dengan suatu cara tertentu tanpa menaikkan laba fiskal. Yuliati (2004) menemukan bahwa kedua pengukur manajemen laba (akrual dan beban pajak tangguhan) memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap probabilitas perusahaan melakukan manajemen laba untuk menghindari kerugian.
Fenomena manajemen laba merupakan topik yang telah lama muncul baik dalam dunia akademik maupun bisnis. Penelitian De Angelo (1988), Holthausen dan Sloan (1995) menunjukkan bahwa manajemen laba telah meluas dan ada dalam setiap pelaporan keuangan yang disampaikan oleh perusahaan. Mereka memberikan bukti empiris bahwa manajemen laba ada dalam setiap laporan keuangan kuartalan dan tingkat manajemen laba yang terbesar ditemukan pada kuartal ketiga.
Teori Akuntansi Positif
Teori akuntansi positif (TAP) secara jelas dikemukakan oleh Watts dan Zimmerman (1986). Teori ini berupaya untuk menjelaskan mengapa kebijakan akuntansi menjadi suatu masalah bagi perusahaan dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan keuangan, dan untuk memprediksi kebijakan akuntansi yang hendak dipilih oleh perusahaan dalam kondisi tertentu. Teori ini didasarkan pada pandangan bahwa perusahaan merupakan suatu ‘nexus of contracts’. Artinya, perusahaan merupakan suatu muara bagi berbagai kontrak yang datang padanya. Misalnya, kontrak dengan karyawan (termasuk manajer), pemasok, dan dengan pemberi modal. Sebagai suatu kumpulan dari berbagai kontrak, secara rasional perusahaan ingin meminimalkan contracting cost yang berkaitan dengan kontrak-kontrak yang masuk padanya, seperti kos negosiasi, pemantauan kinerja kontrak, kemungkinan kebangkrutan atau kegagalan, dan lain-lain. Beberapa dari kontrak tersebut melibatkan variabel-variabel akuntansi, dan teori akuntansi positif berargumentasi bahwa perusahaan akan memanfaatkan kebijakan akuntansi guna meminimumkan contracting cost. Kondisi ini diperkuat dengan pemberian fleksibilitas oleh badan penetap standar kepada manajemen guna memilih dari seperangkat kebijakan akuntansi yang diperkenankan.
Teori akuntansi positif menggunakan teori keagenan untuk menjelaskan dan memprediksi pilihan kebijakan akuntansi oleh manajer. Teori akuntansi positif yang diformulasikan oleh Watts dan Zimmerman (1986) telah memprediksi tiga hipotesis yang mendorong perusahaan untuk melakukan manajemen laba, yaitu:
a) The bonus plan hypothesis
Manajer perusahaan yang memiliki program bonus yang terkait dengan angka-angka akuntansi cenderung untuk memilih prosedur akuntansi yang menggeser reported earnings dari future period ke current period (menaikkan laba yang dilaporkan sekarang), ceteris paribus.
b) The debt covenant hypothesis
Perusahaan yang semakin mendekati pelanggaran debt covenant (perjanjian kontrak hutang) cenderung untuk memilih prosedur akuntansi yang menggeser reported earnings dari future periods ke current period (menaikkan laba yang dilaporkan sekarang), ceteris paribus.
c) The political cost hypothesis
Semakin besar political cost yang dihadapi suatu perusahaan, maka manajer cenderung untuk memilih prosedur akuntansi yang menangguhkan reported earnings dari current ke future period (menurunkan laba yang dilaporkan sekarang), ceteris paribus.
Motivasi Manajemen Laba
Scott (2006: 344) membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua. Pertama, melihatnya sebagai perilaku oportunis manajer untuk memaksimalkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang, dan political costs (oportunistic Earnings Management). Kedua, dengan memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting (Efficient Earnings Management), dimana manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Dengan demikian, manajer dapat mempengaruhi nilai pasar saham perusahaannya melalui manajemen laba, misalnya dengan membuat perataan laba (income smoothing) dan pertumbuhan laba sepanjang waktu.
Definisi manajemen laba yang hampir sama juga diungkapkan oleh Schipper (1989) yang menyatakan bahwa manajemen laba merupakan suatu intervensi dengan tujuan tertentu dalam proses pelaporan keuangan eksternal, untuk memperoleh beberapa keuntungan privat (sebagai lawan untuk memudahkan operasi yang netral dari proses tersebut).
Aktivitas laba dapat terjadi karena tiga faktor yaitu dengan cara: pemanfaatan transaksi akrual, perubahan metoda akuntansi, dan penerapan suatu kebijakan. Scott (2006: 346-355) mengemukakan beberapa motivasi terjadinya manajemen laba adalah sebagai berikut:
1. Motivasi Program Bonus
Healy (1985) menunjukkan secara empiris bahwa sebelum melakukan manajemen laba, manajer mempunyai informasi dari dalam perusahaan atas laba bersih perusahaan. Penelitian ini juga menunjukkan kecenderungan manajemen yang secara oportunistik mengelola laba bersih untuk memaksimalkan bonus mereka berdasarkan program kompensasi perusahaan. Healy (1985) berusaha untuk membuktikan dan memprediksi metoda akuntansi yang akan dipilih manajer. Penelitian ini merupakan perluasan dari bonus plan hypothesis. Jika pada suatu tahun tertentu laba bersih perusahaan rendah (di bawah bogey) maka tindakan manajer adalah menurunkan pendapatan, sehingga laba perusahaan akan menjadi lebih rendah (taking a bath) yang bermaksud untuk mencapai bonus pada tahun berikutnya. Sedangkan jika pada satu tahun tertentu laba bersih perusahaan tinggi (diatas cap) maka tindakan yang dilakukan manajer adalah menurunkan pendapatan, sehingga laba perusahaan akan menjadi lebih rendah. Tindakan ini dilakukan karena manajer tidak akan mendapatkan bonus yang lebih tinggi dari target yang telah ditentukan. Intinya manajer akan melakukan manajemen laba pada saat laba bersih berada diantara bogey dan cap. Penelitian yang telah dilakukan oleh Cheng dan Warfield (2005) menguji hubungan antara manajemen laba dengan insentif ekuitas. Hasilnya adalah insentif ekuitas berkorelasi positif dengan manajemen laba. Artinya, semakin tinggi insentif ekuitas yang diberikan kepada manajer, semakin tinggi kejadian manajemen laba yang dilakukan oleh manajer. Ini terkait hubungan antara kompensasi yang berdasarkan saham dan elemen insentif ekuitas lain dengan insentif manajer untuk meningkatkan harga saham jangka pendek. Hasil penelitian Beneish dan Vargus (2002) menunjukkan bahwa periode di mana akrual sangat tinggi berhubungan dengan penjualan saham oleh insiders. Di waktu yang sama laba dan return saham yang rendah mengikuti periode di mana terdapat akrual tinggi yang disertai penjualan oleh insiders. Bergstresser dan Philippon (2006) menguji hubungan antara manajemen laba dan CEO insentif dengan menggunakan pendekatan discretionary accruals model Jones.
2. Motivasi Politik (Political Motivations)
Perusahaan besar yang aktivitasnya berhubungan dengan publik atau perusahaan yang bergerak dalam industri strategis seperti minyak dan gas akan sangat mudah untuk diawasi. Perusahaan seperti ini cenderung untuk mengelola labanya. Pada perioda kemakmuran perusahaan menggunakan prosedur dan praktik-praktik akuntansi yang meminimalkan laba bersih perusahaan. Sebaliknya, publik akan mendorong pemerintah untuk meningkatkan peraturan untuk menurunkan profitabilitas mereka. Contoh hasil penelitian yang lain pada industri perbankan, yaitu tingkat manajemen laba dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah regulasi perbankan tentang tingkat kesehatan, regulasi perbankan tentang kehati-hatian serta adanya asimetri informasi yang merupakan peluang untuk dapat melakukannya (Rahmawati 2006).
3. Motivasi Perpajakan (Taxation Motivations)
Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata. Namun demikian, kewenangan pajak cenderung untuk memaksakan aturan akuntansi pajak sendiri untuk menghitung pendapatan kena pajak. Seharusnya secara umum perpajakan tidak mempunyai peran besar dalam keputusan manajemen laba. Penelitian Maydew (1997) membuktikan bahwa penghematan pajak menjadi insentif bagi manajer (khususnya manajer yang mengalami net operating loss pada tahun 1986-1991) untuk mempercepat pengakuan biaya dan menunda pengakuan pendapatan. Di USA, perusahaan yang mengalami net operating loss diijinkan untuk mengkompensasi rugi operasi tersebut dengan laba tiga tahun sebelumnya (atau dengan laba 15 tahun yang akan datang). Dampak dari kompensasi rugi terhadap laba adalah restitusi pajak. Perubahan tingkat pajak pada tahun 1987 di Amerika akibat TRA (tax reform act) adalah akibat memaksimalkan restitusi pajak yang didapatkan dari perusahaan mengalami kerugian pada tahun 1986-1991, karena restitusi tersebut didasarkan atas tarif pajak yang berlaku pada tahun pajak ditarik. Guenther (1994) menginvestigasi pengaruh publikasi TRA terhadap perusahaan di Amerika. Berbeda dengan Maydew, Guenther memilih mengevaluasi perusahaan yang tidak mengalami net operating loss. Penelitian Guenther berhasil membuktikan bahwa tingkat akrual perusahaan besar relatif lebih rendah dibanding tingkat akrual perusahaan kecil. Aktivitas manajemen laba dengan motivasi pajak dapat terdeteksi dengan book-tax differences, yaitu dilakukan dengan cara menaikkan kewajiban pajak tangguhan bersih (yaitu kewajiban pajak tangguhan dikurangi aktiva pajak tangguhan bersih), dan mengakibatkan naiknya beban pajak tangguhan (deferred tax expense). Pendapat ini konsisten dengan Phillips et al. (2003) yang membuktikan bahwa beban pajak tangguhan, yang merupakan wakil empirik untuk book-tax differences, menghasilkan total akrual dan ukuran abnormal akrual dalam mendeteksi manajemen laba untuk menghindari laba menurun. Selanjutnya Phillips et al. (2004), Rahmawati dan Solikhah (2008), serta Subekti dkk. (2008) menggunakan komponen-komponen perubahan dalam aktiva pajak tangguhan dan kewajiban pajak tangguhan untuk mendeteksi manajemen laba untuk menghindari laba menurun.
4. Motivasi Perubahan Chief Executif Officer (Changes of CEO Mativations)
Manajemen laba juga terjadi disekitar waktu pergantian CEO. Hipotesis program bonus memprediksi bahwa ketika waktu mendekati pengunduran diri CEO maka tindakan yang dilakukan adalah memaksimalkan laba untuk meningkatkan bonus mereka. Sedangkan CEO yang kinerjanya buruk akan melakukan manajemen laba untuk memaksimalkan laba mereka dengan tujuan mencegah atau menunda pemberhentian mereka. Motivasi melakukan manajemen laba juga dapat dilakukan oleh CEO baru, terutama jika cost dibebankan pada tahun transisi, melalui penghapusan operasi yang tidak diinginkan atau divisi yang tidak menguntungkan.
5. Initial Public Offering (IPO)
Perusahaan go public belum memiliki nilai pasar, dan menyebabkan manajer perusahaan tersebut melakukan manajemen laba dalam prospektus mereka. Nampaknya informasi akuntansi keuangan yang dimasukkan dalam prospektus bermanfaat sebagai sumber informasi. Terdapat kemungkinan bahwa manajer perusahaan go public akan mengelola prospektusnya dengan harapan dapat menaikkan harga saham.
6. Motivasi Perjanjian Utang (Debt Covenants Motivations)
Manajemen laba dengan tujuan untuk memenuhi perjanjian utang timbul dari kontrak utang jangka panjang. Perjanjian utang bertujuan melindungi peminjam terhadap tindakan manajer. Pelanggaran terhadap covenant mengakibatkan cost yang tinggi terhadap perusahaan, oleh karena itu manajer berusaha untuk menghindari terjadinya pelanggaran terhadap covenant.
Corporate Sosial Responsibility (CSR)
Motivasi manajemen laba di atas mengindikasikan secara eksplisit praktik manajemen laba yang disengaja oleh manajer, yang pada akhirnya membawa konsekuensi negatif terhadap shareholders, karyawan, komunitas dimana perusahaan beroperasi, masyarakat, karier dan reputasi manajer yang bersangkutan (Zahra, Priem dan Rasheed, 2005). Salah satu konsekuensi paling fatal akibat tindakan manajemen yang memanipulasi laba adalah perusahaan akan kehilangan dukungan dari para stakeholders-nya. Stakeholder akan memberikan respon negatif berupa tekanan dari investor, sanksi dari regulator, ditinggalkan rekan kerja, boikot dari para aktivis, dan pemberitaan negatif media massa (Prior et al., 2008). Tindakan tersebut wujud ketidakpuasan stakeholders terhadap kinerja perusahaan yang dimanipulasi, dan pada akhirnya berimbas merusak reputasi perusahaan di pasar modal (Fombrun, Gardberg, dan Barnett, 2000).
Oleh karena itu, manajer menggunakan suatu strategi pertahanan diri (entrenchment strategy) untuk mengantisipasi ketidakpuasan stakeholder-nya ketika ia melaporkan kinerja perusahaan yang kurang memuaskan. Strategi pertahanan diri manajer tersebut sebagai upaya untuk tetap mempertahankan reputasi perusahaan dan melindungi karier manajer secara pribadi. Salah satu cara yang digunakan manajer sebagai strategi pertahan diri adalah mengeluarkan kebijakan perusahan tentang penerapan Corporate Social Responsibility (CSR). CSR berkaitan dengan persoalan etika dan moral mengenai pembuat keputusan kebijakan dan perilaku, seperti menempatkan persoalan komplek terhadap penjagaan pelestarian lingkungan, manajemen sumber daya manusia, kesehatan dan keamanan kerja, hubungan dengan komunitas lokal, dan menjalin hubungan harmonis dengan pemasok dan pelanggan (Castelo dan Lima, 2006). Pengungkapan informasi mengenai perilaku dan hasil berkenaan dengan tanggung jawab sosial sangat membantu membangun sebuah citra (image) positif diantara para stakeholders (Orlitzky, Schmidt dan Rynes, 2003). Citra positif ini dapat membantu perusahaan untuk mendirikan ikatan komunitas dan membangun reputasi perusahaan di pasar modal karena dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam menegosiasikan kontrak yang menarik dengan suplier dan pemerintah, menetapkan premium prices terhadap barang dan jasa, dan mengurangi biaya modal (Fombrun et al., 2000). Castelo dan Lima (2006) menjelaskan bahwa melalui praktik CSR, perusahaan dapat menghasilkan lebih banyak perlakuan yang lebih menguntungkan berkenaan dengan regulasi, serta mendapatkan dukungan dari kelompok aktivis sosial, legitimasi dari komunitas industri, dan pemberitaan positif dari media, yang pada akhirnya reputasi perusahaan tetap terjaga dengan baik.
Pengungkapan sosial perusahaan didefinisikan sebagai penyediaan informasi keuangan dan non-keuangan yang berhubungan dengan interaksi organisasi dengan lingkungan fisik dan sosial, sebagaimana dinyatakan dalam laporan tahunan atau laporan sosial terpisah (Hackston dan Milne 1996). Pengungkapan sosial perusahaan meliputi rincian dari lingkungan fisik, energi, sumber daya manusia, produk dan hal-hal yang terkait dengan kemasyarakatan.
The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) mendefinisikan corporate social responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan sebagai komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan, melalui kerjasama dengan para karyawan serta perwakilan mereka, keluarga mereka, komunitas setempat maupun masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas kehidupan dengan cara yang bermanfaat, baik dari segi bisnis maupun untuk pembangunan. Konsep CSR melibatkan tanggung jawab kemitraan antara pemerintah, lembaga masyarakat, serta komunitas lokal yang bersifat statis. Kemitraan ini sebagai bentuk tanggung jawab bersama secara sosial antara stakeholders.
Sementara Belkaoui (2006) menjelaskan bahwa disiplin akuntansi merespon perkembangan pertanggungjawaban sosial perusahaan dengan melahirkan wacana baru tentang social responsibility accounting (SRA), total impact accounting (TIA), dan sosio economic accounting (SEA).
Gray et al., (1995) dalam Yuliana dan Purnomosidhi (2008) mengemukakan beberapa teori yang melatarbelakangi perusahaan untuk melakukan pengungkapan sosial yaitu:
1). Decision Usefulness Studies
Teori ini memasukkan para pengguna laporan akuntansi yang lain selain para investor ke dalam kriteria dasar pengguna laporan akuntansi sehingga suatu pelaporan akuntansi dapat berguna untuk pengambilan keputusan ekonomi oleh semua unsur pengguna laporan tersebut.
2). Economic Theory Studies
Studi ini berdasarkan pada economic agency theory. Teori tersebut membedakan antara pemilik perusahaan dengan pengelola perusahaan dan menyiratkan bahwa pengelola perusahaan harus memberikan laporan pertanggungjawaban atas segala sumber daya yang dimiliki dan dikelolanya kepada pemilik perusahaan
3). Sosial and Political Studies
Sektor ekonomi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan politik, sosial, dan kerangka institusional tempat ekonomi berada. Studi sosial dan politik mencakup dua teori utama, yaitu stakeholder theory dan legitimacy theory.
Teori-teori lain yang mendukung praktik CSR yaitu teori kontrak sosial. Teori tersebut menjelaskan bahwa perusahaan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari suatu komunitas.
Gray dkk. (2001) menyatakan pengungkapan sosial dan lingkungan dapat secara khusus terdiri dari informasi yang berhubungan dengan kegiatan perusahaan, aspirasi, dan image publik yang berkaitan dengan lingkungan, penggunaan karyawan, isu konsumen, energi, kesamaan peluang, perdagangan yang adil, tata kelola perusahaan dan sejenisnya. Pengungkapan sosial dan lingkungan juga dapat terjadi melalui berbagai media seperti laporan tahunan, iklan, kelompok terarah, dewan karyawan, buklet, pendidikan sekolah, dan sebagainya.
Peluang manajemen laba: asimetri Informasi
Asimetri informasi merupakan suatu keadaan dimana manajer memiliki akses informasi atas prospek perusahaan yang tidak dimiliki oleh pihak luar perusahaan. Teori keagenan mengimplikasikan adanya asimetri informasi antara manajer (agen) dengan pemilik (prinsipal). Jensen dan Meckling (1976) menambahkan bahwa jika kedua kelompok (agen dan prinsipal) tersebut adalah orang-orang yang berupaya memaksimalkan utilitasnya, maka terdapat alasan yang kuat untuk meyakini bahwa agen tidak akan selalu bertindak yang terbaik untuk kepentingan prinsipal. Prinsipal dapat membatasinya dengan menetapkan insentif yang tepat bagi agen dan melakukan monitor yang didesain untuk membatasi aktivitas agen yang menyimpang.
Batasan manajemen laba: kualitas auditor
Berdasarkan teori agensi yang mengasumsikan bahwa manusia itu selalu self interest maka kehadiran pihak ketiga yang independen sebagai mediator pada hubungan anatara prinsipal dan agen sangat diperlukan, dalam hal ini adalah auditor independen. Investor akan lebih cenderung merespon pada data akuntansi yang dihasilkan dari kualitas audit yang tinggi ( Li Dang et al., 2004).
Kualitas audit menurut De Angelo (1988) didefinisi sebagai probabilitas error dan irregularities yang dapat dideteksi dan dilaporkan. Probabilitas pendeteksian dipengaruhi oleh isu yang merujuk pada audit yang dilakukan oleh auditor untuk menghasilkan pendapatnya. Isu-isu yang berhubungan dengan isu audit adalah kompetensi auditor, persyaratan yang berkaitan dengan pelaksanaan audit dan persyaratan pelaporan. DeAngelo (1988) berargumentasi bahwa ukuran auditor berhubungan positif dengan kualitas auditor. Economies of scale KAP (kantor akuntan publik) yang besar akan memberikan insentif yang kuat untuk mematuhi aturan SEC sebagai cara pengembangan dan pemasaran keahlian KAP tersebut. Kantor akuntan publik diklasifikasi menjadi dua yaitu kantor akuntan publik yang berafiliasi dengan KAP Big Five, dan kantor akuntan publik lainnya. Auditor beroperasi dalam lingkungan yang berubah, ketika biaya keagenan tinggi, manajemen mungkin berkeinginan pada kualitas audit yang lebih tinggi untuk menambah kredibilitas laporan, hal ini bertujuan untuk mengurangi biaya pemonitoran. Proksi pengukuran kualitas audit dalam penelitian-penelitian terdahulu ada tiga, yaitu ukuran KAP, reputasi KAP, dan auditor spesialisasi industri, tetapi proksi yang sesuai dengan kondisi pasar modal di Indonesia adalah spesialisasi industri.
Bentuk strategi manajemen laba
Strategi untuk membuat manajemen laba antara lain:
a. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi
Cara manajemen untuk mempengaruhi laba melalui judgement terhadap estimasi akuntansi antara lain: estimasi tingkat piutang tidak tertagih (Rahmawati 2006, 2007), estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud, dan estimasi biaya garansi.
b. Mengubah metode akuntansi
Perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi, contoh: merubah metode depresiasi aktiva tetap, dari metode depresiasi angka tahun ke metode depresiasi garis lurus. Strategi manajemen laba dengan pemilihan metoda akuntansi dan pengaturan waktu transaksi mempengaruhi manajemen laba dengan proksi akrual kelolaan (Rahmawati dkk., 2009). Semakin besar manajemen laba dengan menggunakan strategi pemilihan metoda dan pengaturan waktu transaksi semakin besar pula manajemen laba (yang diproksikan dengan akrual kelolaan).
c. Menggeser periode biaya atau pendapatan
Beberapa orang menyebut rekayasa jenis ini sebagai manipulasi keputusan operasional (Fischer dan Rosenzweig, 1995; Bruns dan Merchant, 1990). Contoh rekayasa periode biaya atau pendapatan antara lain: mempercepat atau menunda pengeluaran untuk penelitian sampai periode akuntansi berikutnya (Daley dan Vigeland, 1993), mempercepat atau menunda pengeluaran promosi sampai periode akuntansi berikutnya, kerja sama dengan vendor untuk mempercepat atau menunda pengiriman tagihan sampai periode akuntansi berikutnya, mempercepat atau menunda pengiriman produk ke pelanggan, menjual investasi sekuritas untuk memanipulasi tingkat laba, mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah tidak dipakai (Bartov, 1993; Black, Dellers, dan Manly, 1998). Perusahaan yang mencatat persediaan menggunakan asumsi LIFO, juga dapat merekayasa peningkatan laba melalui pengaturan saldo persediaan (Frankel dan Trezervant, 1994).
Ada tiga bentuk manajemen laba menurut Ayres (1994) yaitu:
1. Manajemen akrual
Manajemen akrual biasanya dikaitkan dengan segala aktivitas yang dapat mempengaruhi aliran kas dan juga keuntungan yang secara pribadi merupakan wewenang dari para manajer. Contoh manajemen akrual antara lain adalah dengan mempercepat atau menunda pengakuan akan pendapatan (revenue), menganggap sebagai ongkos (beban biaya) atau menganggap sebagai suatu tambahan investasi atas suatu biaya, dan perkiraan – perkiraan akuntansi lainnya, seperti: beban piutang ragu–ragu, dan perubahan– perubahan metode akuntansi.
2. Penerapan kebijaksanaan akuntansi yang wajib
Terkait dengan penerapan suatu kebijaksanaan akuntansi yang wajib dilakukan oleh perusahaan, manajemen perusahaan memiliki dua pilihan, yaitu: apakah menerapkan lebih awal dari waktu yang ditetapkan atau menundanya sampai saat berlakunya kebijaksanaan tersebut. Biasanya, untuk suatu kebijaksanaan akuntansi baru yang wajib, badan akuntansi yang ada memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk dapat menerapkannya lebih awal dari waktu berlakunya. Para manajer tentu saja akan memilih untuk menerapkan suatu kebijaksanaan akuntansi yang baru bila dengan penerapan tersebut akan dapat mempengaruhi baik aliran kas maupun keuntungan perusahaan.
3. Perubahan metoda akuntansi secara suka rela
Dalam kaitannya dengan faktor yang ketiga, yaitu perubahan metode akuntansi secara suka rela, biasanya berkaitan dengan upaya manajer untuk mengganti atau merubah suatu metode akuntasi tertentu diantara sekian banyak metode yang dapat dipilih yang tersedia dan diakui oleh badan akuntansi yang ada.
Classification Shifting (pergeseran klasifikasi)
Classification shifting merupakan alat manajemen laba yang lain diluar manajemen akrual dan manipulai aktivitas ekonomi riil. Classification shifting adalah kesalahan klasifikasi items di dalam laporan laba rugi. Classification shifting dapat juga diartikan menggeser atau merubah biaya inti/core expenses (harga pokok penjualan, dan biaya penjualan, serta biaya umum dan administrasi) ke special items. Pergerakan vertikal dari biaya tidak akan mengubah bottom line earnings, tetapi core earnings akan overstatement.
Para manajer dalam memaksimumkan pelaporan kinerja akan menurunkan biaya atau akan menaikkan pendapatan dalam laporan laba rugi untuk menyajikan suatu gambaran yang tidak sesuai dengan kenyataan ekonomi. Classification shifting berbeda dengan manajemen akrual dan manipulasi aktivitas ekonomi riil dalam beberapa hal. Pertama classification shifting tidak mengubah laba akuntansi, dan yang kedua adalah classification shifting memudahkan analisis dengan mengelompokkan item-item yang mempunyai karakteristik serupa. Selain terdapat perbedaan antara manajemen akrual dan manipulasi aktivitas ekonomi riil dengan classification shifting, terdapat pula persamaan di antara ketiga metode manajemen laba tersebut, yaitu: sama–sama mempunyai harapan yang tinggi terhadap kinerja masa depan.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Mc Vay (2006), Pratama dan Rahmawati (2007), serta Rahmawati dkk. (2010), membuktikan bahwa para manajer yang menjalankan penggeseran/perubahan biaya dari biaya inti (harga pokok penjualan, biaya penjualan, serta biaya umum dan administrasi) ke pos khusus. Strategi pergeseran klasifikasi berbeda dengan manipulasi aktivitas riil karena manipulasi aktivitas riil berdampak terhadap arus kas dan perusahaan dapat terdeteksi melakukan strategi tersebut dari arus kas. Jadi manajer memiliki insentif melakukan manipulasi aktivitas riil melalui arus kas kegiatan operasi yang akan mempengaruhi kinerja saham.
Gerakan vertikal biaya ini tidak mengubah garis dasar laba, tetapi terlalu menaikkan laba inti. Sebagai tambahan, nampaknya para manajer menggunakan alat manajemen laba ini untuk melakukan peramalan analisis laba benchmark, pos khusus cenderung tidak termasuk ke dalam pro forma dan definisi laba analisis. Untuk metode classification shifting, dititik beratkan pada alokasi biaya antara biaya inti (harga pokok penjualan, biaya penjualan, serta biaya umum dan administrasi) dan special items.
Penelitian mengenai classification shifting (pengujian atas core earnings dan special items) masih jarang karena kebanyakan dari mereka meneliti alat manajemen laba yang sudah sering diangkat dalam penelitian-penelitian dan umumnya banyak digunakan oleh para manajer, yaitu: manajemen akrual dan manipulasi aktivitas ekonomi riil. Sebenarnya classification shifting (pengujian atas core earnings dan special items) tidak kalah bagus dengan alat manajemen laba yang lain, bahkan clssification shifting mempunyai beberapa kelebihan, tetapi masih jarang penelitian yang mengangkat tema classification shifting sebagai objek penelitiannya.
Manipulasi Aktivitas Riil
Manajemen laba melalui aktivitas riil dapat dideteksi melalui arus kas operasi, biaya diskresioner, dan biaya produksi. Penelitian mengenai manajemen laba melalui aktivitas riil hanya mengkonsentrasikan pada aktivitas investasi seperti pengurangan pengeluaran riset dan pengembangan (Roychowdury, 2006).
Roychowdury (2006) memberikan bukti bahwa manajer melakukan manipulasi melalui aktivitas riil dengan memberikan potongan harga untuk meningkatkan penjualan, mengurangi kos barang yang terjual melalui peningkatan persediaan, dan mengurangi biaya diskresioner untuk meningkatkan laba yang dilaporkan. Beberapa penelitian mengenai manajemen laba telah dilakukan dengan memfokuskan pada investasi dan pengeluaran riset dan pengembangan. Dechow dan Sloan (1996) menemukan bahwa manajer mengurangi biaya riset dan pengembangan pada akhir masa jabatan untuk meningkatkan laba jangka pendek. Bushee (1998) menemukan bukti yang konsisten dengan mengurangi biaya riset dan pengembangan untuk meningkatkan laba. Burgstahler dan Dichev (1997) menemukan buki bahwa analis peramalan melakukan manajemen laba untuk menghindari kerugian.
Graham et al. (2005) mengatakan bahwa eksekutif keuangan menunjukkan kesediaan untuk memanipulasi laba melalui aktivitas riil dibanding akrual. Terdapat dua alasan untuk melakukan manipulasi laba melalui aktivitas riil yaitu: (1) manipulasi akrual mungkin menarik perhatian auditor atau regulator untuk memeriksa lebih dalam dibanding keputusan nyata tentang harga dan produksi, (2) manipulasi berdasarkan akrual memberikan suatu risiko.
Roychowdury (2006) mengatakan bahwa manajemen laba melalui manipulasi aktivitas riil adalah berpindahnya pengelolaan laba dari praktik operasi normal ke praktik operasi tidak normal, yang dimotivasi oleh keinginan manajer untuk menipu beberapa stakeholders agar percaya terhadap laporan keuangan yang dibuat atas dasar operasi normal. Perpindahan dari praktik operasi normal ke tidak normal tidak memberikan kontribusi terhadap nilai perusahaan walaupun manajer mencapai sasaran pelaporan. Manajer yang terlibat manajemen laba mementingkan keuntungan pribadi untuk mencapai sasaran pelaporan karena mereka bertindak sebagai agen. Contohnya, manajemen laba dilakukan untuk menghindari kerugian, dan menghindari pelanggaran perjanjian utang, untuk menghindari intervensi pemerintah, serta untuk meningkatkan bonus.
Di Indonesia, penelitian tentang manipulasi aktivitas riil telah dilakukan oleh Andayani (2008). Hasilnya adalah perusahaan manufaktur melakukan overproduksi, memberi diskon, dan kelonggaran kredit sebagai indikasi adanya manajemen laba, yang menyebabkan biaya produksi menjadi tinggi.