Pengembangan Sains, Hukum, Seni, Teknologi dan Ekonomi Di Dunia Islam Dalam Persepktif Sejarah

Pengembangan Sains, Hukum, Seni, Teknologi dan Ekonomi Di Dunia Islam Dalam Persepktif Sejarah 
Sejak Rasulullah SAW wafat, Islam tidak hanya tersebar sebatas di wilayah-wilayah kebudayaan Arab, akan tetapi sudah mulai merambah menaklukan dan memasuki daerah-daerah kebudayaan luar Arab dan sekitarnya (khususnya wilayah-wilayah kekuasaan Romawi dan Persia) yang berdekatan dengannya, seperti Iraq, Persia, Syiria, Mesir dan lainnya. Secara otomatis, penaklukan-penaklukan tersebut membuat wilayah kekuasaan Islam sarat dengan kompleksitas kebudayaan terutama pertemuan dengan berbagai etnik, mulai dari bahasa, suku, ras, termasuk agama. Dari sinilah awal pembentukan dan asimilasi kebudayaan Arab dan nonArab berkembang. 

Terjadinya proses asimilasi dan hubungan antar etnik pada masa-masa awal Islam, secara historis menunjukkan dinamika yang sangat kompleks. Fenomenanya bukan hanya dalam dinamika hubungan fisik yang harmonis dengan suasana yang kooperatif, simetris dan dialogis antara Islam, kebudayaan Arab dan non-Arab, namun tidak sedikit pula dalam aspek-aspek tertentu ada juga yang berakhir dengan nuansa konfrontatif, seperti halnya yang banyak terjadi di kawasan India. 

Asimilasi fisik yang terbentuk akibat adanya penaklukan, percampuran dan perkawinan antara etnis Arab dengan kekuatan-kekuatan kebudayaan luar Arab yang ditaklukkan yang dilanjutkan dengan asimilasi kultural, bukanlah sesuatu yang sederhana dan sepele. Karena masing-masing etnik luar Arab yang secara genetika, bahasa, sistem sosial, pemikiran bahkan keyakinan, akidah dan keagamaan masing-masing sangat berpengaruh dalam pola penerimaan terhadap Islam, kesemua itu mengarahkan pada akumulasi yang rumit. Namun untuk mempermudah dalam melihat hal ini, setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya proses asimilasi di dunia Islam khususnya antara masyarakat Islam Arab dengan masyarakat daerah-daerah yang ditaklukkannya hingga membentuk satu tarikan “kebudayaan baru”. Ketiga faktor tersebut adalah: 1).Prinsip ajaran Islam dalam Penaklukan, 2).Masuk Islamnya mayoritas penduduk yang ditaklukan, dan 3).Membaurnya antara orang Arab dan non Arab dalam satu wilayah negara. Sehingga ketiga aspek ini dengan cepat mempermudah terjadinya hubungan yang intens antara keduannya, kemudian mereka terdistribusi ke wilayah-wilayah baru yang telah ditaklukkan. 

Prinsip ajaran Islam dalam Penaklukan 
Pertama kali yang ajaran Islam tuntut terhadap kaum muslim jika ingin memerangi suatu negara adalah mengajak penduduknya untuk masuk Islam. Jika mereka bersedia secara sukarela masuk Islam, maka kedudukan mereka sama posisinya bersama kaum Muslim yang lain. Dengan demikian, perang menurut ajaran Islam bukan satu-satunya cara untuk menaklukan daerah lain. 

Dalam salah satu hadits dikatakan: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka berikrar ‘La Ilaha illa Allah’, jika mereka mengikrarkan kalimat tersebut, darah dan harta mereka terjaga dengan aman. Apabila mereka menolak maka hendaknya mereka menyerahkan negara mereka untuk dikuasai orang Islam, mereka masih diperbolehkan menganut agama asalnya tapi harus siap dengan membayar pajak. Jika mereka menerima tawaran untuk masuk Islam, maka hak dan kewajiban mereka sama dengan kaum Muslimin lainnya”

Penaklukan yang dilakukan oleh Islam, pada akhirnya melahirkan sistem perhambaan dan penawanan yang dinilai merupakan faktor terbesar dalam proses asimilasi ini. Sehingga, perhambaan itu kemudian telah melahirkan, pertama “sistem al-wila” yakni kemerdekaan yang diberikan para pemilik budak terhadap mereka dengan tanpa syarat, dan kemudian dihubungkan dengan nasab keluarga yang memerdekakannya; dan kedua ashabiyah terjalinnya hubungan emosional persaudaraan yang cukup kuat di kalangan para penakluk dengan yang ditaklukan. 

Sehingga dalam perjalanan berikutnya pada akhirnya melahirkan proses asimilasi baik tradisi, sikap mental bahkan dalam pemikiran dan lain sebagainya. Konversi agama penduduk yang ditaklukan pada Islam. Mayoritas penduduk di daerahdaerah yang ditaklukan masuk ke dalam agama Islam dan berbaur dengan orang-orang Arab seolah-oleh mereka adalah bagian dari para penakluk Arab. Seperti dituturkan oleh al-Baladzury ketika umat Islam memasuki wilayah Dailam Persia, maka penduduk tersebut secara berduyunduyun sekitar empat ribu orang memeluk Islam. Begitupun ketika di Qadisiyah saat pimpinannya Rustam terkalahkan, maka orang-orang Majusi ikut bergabung ke dalam Islam dibawah perlindungan Saad bin Abi Waqas. Ada beberapa alasan dan tujuan mengapa mereka masuk Islam pada waktu itu. Pertama; karena alasan benar-benar beriman terhadap Islam, mereka mengakui kebaikan dan kebenaran ajaran Islam. Kedua, karena tidak mau atau menghindari membayar pajak (jizyah). Ketiga; sebagai bentuk penghindaran diri untuk tidak menjadi hina dan rendah, sebagai kelompok yang dilindungi (ahl al-dzimmah). 

Asimilasi antara orang Arab dan non Arab 
Setelah terjadi penaklukan, maka daerah-daerah tersebut menjadi suatu wilayah yang dihuni secara bersama-sama oleh para penakluk dan yang ditaklukkan. Mereka bergerak seirama dalam menghadapi persoalan kehidupan social dan ekonomi. Seperti halnya yang terjadi di Kufah, banyak para muslim baru (al-mawali) ini berprofesi sebagai pedagang dan karyawan dalam berbagai produksi barang dan jasa diberi keleluasan oleh para penakluk Arab. Termasuk berbagai etnik dari Syam, Mesir, Maghrib yang bukan asli Arab juga berlaku demikian. Dalam banyak hal, di sinilah terjadinya pembauran antara unsur Arab dan non Arab dengan cepat. Hal ini terjadi sejak masa Umar bin Khathab ra, saat seluruh pasukan Islam Arab menaklukkan wilayah-wilayah sekitar luar Arab, kemudian juga mengundang orang-orang luar Arab masuk ke jazirah Arab. Seperti halnya Abu Lu’lu al-Farisi adalah salah seorang luar Arab yang masuk serta berdomisili di Madinah, sekaligus kemudian yang membunuh sang Khalifah. 

Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas memiliki peranan yang besar pada proses asimilasi dan hubungan yang intens antar etnik. Tradisi Persia dan Romawi dalam banyak hal berbaur dengan tradisi Arab, undang-undang Persia dan Romawi berbaur dengan hukum-hukum yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah. 

Begitu pula pada masalah ideologi dan falsafat serta masalah-masalah lainnya, seperti sistem politik, sistem social dan pola pemikiran berbaur secara alamiyah. Hal ini terlihat dari berbagai munculnya aliran kalam, filsafat, sains, seni dan teknologi. Apabalagi bangsa-bangsa yang ditaklukan ini merupakan masyarakat yang yang hidup dalam naungan negara yang lebih maju pada bidang peradaban dan lebih kuat sistem sosialnya dibanding bangsa Arab. Maka sudah menjadi maklum, mereka juga membimbing pada pembentukan peradaban baru dengan system sosio kemasyrakatan barunya. Mereka memberikan kontribusi kebudayaan yang sangat besar dan hebat. Juga sebaliknya, saat bangsa Arab lebih maju maka mereka lah yang menjadi penguasa kebudayaan ini. Periode ini disebut sebagai fenomena Hellenisme pada kebudayaan Islam, yakni ditranformasikannya warisan kejayaan kebudayaan Yunani, Romawi dan Persia ke dalam dunia Islam. 

Sebagai contoh, dalam masalah pemikiran. Akidah Islam tidak lepas dari proses asimilasi ini. Karena sudah pasti orang-orang Persia, Romawi dan Qibthy walaupun mereka masuk agama Islam akan tetapi mereka tidak akan melepaskan sepenuhnya keyakinan yang telah melekat selama berabad-abad. Dengan demikian, akidah Islam yang ada tidak benar-benar murni bersumber dari ajaran Islam yang asli. Termasuk sistem dan pola pembentukan hukum undangundang serta penataan kemiliteran Islam banyak mengadopsi dari pola-pola Romawi. 

Demikianlah, proses asimilasi pada sejarah Islam pertama telah terjadi secara cepat dan tanpa disadari. Orang-orang Arab, walaupun mereka tidak lebih maju dibanding bangsa Romawi dan Persia serta bangsa lainnya, akan tetapi mereka cukup memiliki bahasa dan agama yang dibanggakannya, Islam. Kedua faktor ini membuat bangsa Arab memiliki pengaruh yang cukup besar dalam pengembangan kebudayaan dunia berikutnya, sebagaimana yang terjadi melalui proses sejarahnya. 

Hellenisme Kebudayaan Islam? 
Istilah Hellenisme sebenarnya dikenalkan oleh seorang sarjana sejarah Jerman pada abad ke-18, untuk menyebutkan periode penyatuan wilayah kebudayaan pada masa kejayaan kerajaan 

Yunani masa Iskandar Dzulkarnaen sekitar abad 350 SM yang menguasai seluruh wilayah Laut Mideteranina yang meliputi Eropa, Asia dan Afrika, khususnya wilayah-wilayah yang berhadapan langsung dengannya. Otorisasi wilayahnya berbentuk penyatuan kebudayaan yang dibangun atas dasar sinkronisasi atau perpaduan antara kebudayaan Barat dan Timur. Dalam rangka membangun kebijakan ini, mereka membentuk pola perkawinan massal antara tentara yang dibawa Dzulkarnaen dengan penduduk setempat, khususnya dengan penduduk Mesir, Syria dan Persia. Penyatuan kebudayaan ini berkembang dalam semua hal. Kenyataan ini terus dilanjutkan pada masa kekuasaan Bizantium Romawi berikutnya (150 SM sampai 6 M), akan tetapi tidak sesukses masa Dzulkarnaen sebelumnya. Begitupun umat Islam sepertinya dalam realitas seperti ini, telah melakukan kegiatan yang hampir sama dengan apa yang telah dilakukan oleh masa kekaisaran Dzulkarnain tersebut. 

Proses Hellenisme Dalam Kebudayaan Islam 
Ketika Islam memasuki dunia luar, terutama kawasan-kawasan sekitar Mesir, Syria dan Persia, pada pertengahan abad ke 7 sampai pertengahan abad ke 8, secara politis, sosiologis dan antropologis mereka sebenarnya sedang memulai memasuki babak baru dalam membangun pergaulan intelektual dengan dunia luar, terutama dengan berbagai tradisi di wilayah-wilayah warisan kejayaan Hellenisme Yunani. Pengetahuan mereka yang selama ini hanya didapatkan dari alam lingkungan Arab dan warisan kewahyuan Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah SAW, maka perjumpaan mereka dengan warisan Yunani telah menambah sesuatu yang baru mengenai hal-hal yang berkaitan dengan entitas dan proses pencarian “kebenaran” melalui luar wahyu; meskipun dalam banyak hal, dalam diri wahyu sendiri (al-Qur’an dan Sunnah) terdapat sejumlah “kebenaran” yang tak terelakkan. Bahkan lebih dari itu tradisi pengetahuan baru seperti filsafat, sains dan teknologi dari luar Arab ini, semakin membuktikan pada kebenaran pengetahuan ajaran agama mereka. Pembuktian logika dan empiris telah ditemukan dari konsep-konesp pengetahuan baru tersebut. 

Kaum muslimin menemukan beberapa pusat pengetahuan baru tersebut dari pusat studi sains dan filsafat yang biasa dilakukan orang-orang Yunani dan Romawi serta rahib-rahib Nasrani dan Yahudi seperti di Iskandariyah Mesir, Home Syria maupun seperti di Jundishapur, dekat lembah Teluk Persia. Wilayah-wilayah ini merupakan pusat kegiatan intelektual mereka dalam mengembangkan tradisi literal, atau tulis menulis. Dengan serta merta umat Islam melihat pengetahuan baru ini bukan hanya sekedar “ghanimah” tapi lebih dari itu dibanding dengan bentuk-bentuk ghanimah berupa materi, nilainya jauh di atas segalanya. Bagi mereka, ghanimah ini kelak akan menjadi alat dan penguat dalam membedah konsep-konsep kewahyuan. Sampaisampai Umar bin Khathab ra, selalu berpesan mengenai hal ini pada setiap tentaranya saat memasuki wilayah-wilayah tersebut, untuk senantiasa menjalin hubungan baik dengan para pemegang naskah-naskah kitab kuno seperti rahib-rahib Yahudi dan pendeta-pendeta Nasrani. 

Pengetahuan para kaum intelektual non-muslim (rahib-rahib Yahudi, Nasrani, Mazdakisme dsb.) ini bukan hanya mengenalkan dalam bidang agama, bahkan yang cukup dominan bagi mereka adalah berkaitan dengan berbagai ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan segala persoalan kemanusiaan secara umum. Pengetahuan baru umat Islam yang didapatkan dari mereka ini, sejak abad ke 8 biasa disebut sebagai “ulum al-awail”, pengetahuan dasar kealaman (kawniyyat). Sedangkan pengetahuan agama yang selama ini mereka gunakan atau ilmu kewahyuan yang bersumber dari Qur’an dan Sunna Nabi SAW, biasa disebut sebagai “ulum al-awakhir”, pengetahuan puncak. Karena kelak pengetahuan luar ini akan digunakan sebagai alat untuk membongkar dan merumuskan berbagai epistemologi ilmu-ilmu ewahyuan, seperti ilmu tafsir, hadits, kalam, fiqh/ushul fiqh, dan tasawuf. Maka sejak abad ke 8 dimulailah proses penterjemahan dari sumber-sumber pengetahuan Yunani tersebut ke dalam bahasa Arab. 

Karena pengetahuan Yunani ini telah masuk ke dalam masyarakat Syria maupun Persia, maka tidak sedikit pula mereka menerjemahkannya dari bahasa-bahasa lokal tersebut. Karena ternyata ilmu-ilmu Yunani juga sejak lama telah ditransfer ke dalam berbagai bahasa luar Yunani. Naskah-naskah yang berasal dari bahasa Syriac, banyak yang berkaitan dengan pengetahuan medis maupun filsafat. Ilmu pengobatan terutama dari Hippocrates dan Galen, termasuk filsafat dari Aristoteles, Plato dan para muridnya, juga banyak dijumpai di perpustakaan-perpustakaan Mesir, termasuk bidang ilmu hitung maupun sains lainnya, yang berasal dari Euklidus. 

Bukan hanya bidang filsafat, sain dan kedokteran, bidang-bidang lain juga ternyata telah didapatkannya seperti pengetahuan tentang olah raga, ilmu jiwa, sastra, retorika, sejarah, politik dan berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya yang memiliki keterkaitan dengan kebutuhan kaum muslimin. Sekalipun demikian banyak model-model pengetahuan yang ditemukan, tenyata para cendikiawan muslim tidak seluruhnya mengadopsinya, mereka menseleksinya sesuai dengan kebutuhan untuk kepentingan agama dan bagi kesejahteraan kehidupannya. Sesuatu yang berada di luar kepetingan itu, apalagi yang tidak berkait bahkan merusak keyakinan agama Islam mereka tidak ambil, bahkan ditinggalkan sama sekali. Seperti berbagai bentuk mitologi Yunani yang sangat terkenal itu, hampir tidak ditemukan sama sekali dalam naskah-naskah pemikiran Islam tahap awal, sementara sesuatu yang berkait dengan cerita-cerita Israiliyat memang sangat dikenal. Termasuk seni pertunjukkan yang berkait dengan theater, gladiator, melodrama, ceritacerita panggung Homeros, maupun cerita-cerita tragedi dan komedi yang begitu popular di zaman Yunani maupun Romawi, namun hampir tidak dikenal sama sekali di dalam dunia literatur Islam. Karena nampaknya, semua pengetahuan tentang hal tersebut di samping kurang mendapat apresiasi dalam ajaran Islam, juga kurang menarik perhatian bagi kalangan masyarakat muslim yang saat itu nampak lebih akrab dengan tradisi dunia Arab maupun Persia. Bahkan malah nampaknya mereka lebih akrab untuk mengambil pola-pola hikayat dari dunia Timur, terutama dalam prosa dan sastra, seperti yang telah ditunjukkan oleh Ibn Muqaffa (720-756) seorang Persia yang menterjemahkan Kitab Kalilah wa al-Dimnah dari bahasa India. Termasuk ilmu tentng tata bahasa dan filologi seperti yang ditunjukkan oleh Imam Sibawaih juga nampaknya leih senang mengadopsi dari tradisi bahasa Persia atau hanya logikanya Yunani. 

Pendukung Gerakan Hellenisme dalam Kebudayaan Islam 
Ada beberapa hal yang melahirkan berkembangnya Hellenisme dalam Islam, di antaranya: 
1. Islam mengajarkan keterbukaan dalam berbagai persoalan yang menyangkut ilmu pengetahuan, teknologi maupun segala hal yang bersifat keduniaan. Doktrin Islam mendorong bagi pengembangan ilmu pengetahuan, inovasi cultural atau segala sesuatu yang menyangkut bagi pengembangan tradisi social dan individual yang berkaitan dengan nilai-nilai kebaikan, asal tidak bertentangan dengan norma-norma agama (al-hikmat dloolat al-mukminun min ayyi wi’ain kharajat…demikian bunyi hadits). Kemenangan umat Islam dalam menaklukkan pusat-pusat kebudayaan Yunani, Romawi dan Persia, memungkinkan untuk bersentuhan secara langsung, bahkan telah menjadikannya sebagai “khazanah ghanimah” yang sangat bernilai untuk segera diolah. 

2. Islam sebagai agama wahyu, dalam banyak hal di dalamnya berisi dan memberi informasi tentang pengetahuan alam semesta dan pengetahuan tentang kemanusiaan serta dorongan untuk mengembangkannya. Semua ayat-ayat tersebut telah membentuk kesadaran di kalangan cendekiawan muslim awal untuk menjadi peneliti (ulul albab) dan mengembangkannya lebih jauh lagi. Sehingga hampir bisa dipastikan pada saat itu, pada semua lini penelitian selalu berangkat dari wahyu yang memberi informasi dan menginspirasi awalnya, dan ilmu-ilmu Yunani atau Persia memberi jalan sebagai metode untuk menjelajahinya lebih jauh lagi. 

3. Tokoh-tokoh muslim, baik para khalifah, cendikiawan, ilmuan, maupun ulama, sepakat untuk saling memberikan kesempatan pada peran mereka masing-masing dalam memanfaatkan dan mengolah “ghanimah” yang satu ini. Sehingga modal pemerintahan yang digunakan untuk pengembangan penterjemahan dalam kegiatan tersebut cukup besar dan para ulama serta ilmuan tidak menyia-nyiakan untuk memanfaatkannya. 

4. Para khalifah dalam menentukan tenaga-tenaga profesi penterjemahan keilmuan, sangat terbuka. Tidak hanya dari kalangan muslim, tapi juga mereka banyak dari kalangan non-muslim seperti dari Yahudi, Nasrani, bahkan Majusi. 

5. Penghargaan para khalifah dalam lapangan ilmu pengetahuan sangat mendukung bagi mereka yang menggeluti bidang ini. Bahkan berkembang berita cukup mutawwatir, bahwa Khalifah Harun al-Rasyid dan putranya al-Makmun selalu menghargakan setiap naskah tulisan sesuai dengan berat timbangan emas

Pusat Saluran Hellenisme Dalam Islam 
Aspek-aspek yang paling dominan, akibat pengaruh Hellenisme bagi dunia Islam pada umumnya sangat terasa dalam persoalan ilmu pengetahuan (science) dan filsafat. Pusat-pusat kebudayaan Yunani-Persia-Kristen, banyak terdapat di sejumlah tempat studi dan lokasi laboratorium. Mereka terus berkembang beserta tokoh-tokoh yang berada di dalamnya, Seperti di: 
a. Jundishapur, lokasi yang dibangun Kisra Anusyrwan Kaisar Persia dalam mengembangkan kebudayaan dan tradisi sains Yunani, dengan bahasa Aramiyah. Di sini berkembang ilmu kedokteran dan praktek kedokteran yang ditempatkan di daerah Maristan. Madrasah Jundishapur nampaknya lebih terkenal dalam pengembangan kebudayaan Yunani pada bidang kedokteran dan filsafat. 

b. Harran daerah yang berada di sekitar Iraq juga merupakan pusat studi Yunani dan Romawi termasuk Nasrani. Penduduknya berasal dari bangsa Suryani, Makedonia, Greek dan Romawi. Di daerah ini banyak berkembang pemikiran dan ajaran Babilonia, Yunani Kuno, dan NeoPlatonisme. Bahkan di kota Hellenopolis, terdapat sebuah kumpulan para pengikut agama pagan, perpaduan antara doktrin agama Babilonia, Yunani Kuno dan Neo-Platonisme. Sampai pada masa pemerintahan Al-Makmun Abbasiyah, agama mereka masih banyak dianut. Daerah ini nampaknya sebagai sumber terbesar dalam Hellenisme pada Kebudayaan Islam, terutama bidang-bidang teknik fisika, matematika, pertanian dan astronomi. Tokoh-tokohnya seperti Tsabit bin Qurrah (221-288 H)sebagai gurunya khalifah Al-Makmun yang ahli di bidang astronomi, Ibn Sinan seorang dokter, keluarga Ibrahim bin Hilal yang ahli selain kedokteran juga kesusastraan, matematika dan teknik fisika. Bahkan Al-Makmun membangun pusat lembaga penterjemahan. 

c. Iskandariyah Mesir, daerah ini merupakan bagian dari ibukota Yunani dan Romawi saat mereka menjajah, sebagai salah satu daerah yang cukup penting. Ia merupakan pusat pengembangan filsafat Neo-Platonisme atau juga disebut sebagai madzhab Iskandariyah, yang dibangun Plotinus (205-269 M) yang menggabungkan rangkaian pikiran Yunani seperti Plato, Aristoteles dan Kristen.Neo-Planonisme nampaknya berpengaruh besar dalam pemikiran Islam terutam dalam theosofi (pemikiran madzhab-madzhab sufi), khususnya mengenai konsep “lahut” dan “nasut”. Salah satu muridnya, Phorporius memberi pengaruh besar selama lebih dari dua abad sampai masa pemerintahan Romawi Justinian (529 M). Murid lainnya Clement Iskandary (150 M), Origen (185-254 M) lebih banyak mempadukan antara pemikiran filsafata dengan doktrin-doktrin agama Kristen. Nampaknya, secara umum pusat studi Iskandariyah lebih banyak mengembangkan pemikiran agama dan filsafat. Seperti agama Nasrani dengan bahasa Suryani dan Qibthi pada madzhab Kristen Nestoriyah dan Yeqobiyah, maupun Yahudi dengan filsafat Yunani, seperti yang dilakukan oleh Philon. Pengembangan studi agama dan filsafat seperti ini dilanjutkan pada hampir semua gereja-gereja di Mesir, Palestina, Aleppo dan Home. 

Proses Penerjemahan dan Transmisi Ilmu Ke dalam Dunia Islam 
Seteleh ketiga wilayah ini masuk dalam pemerintahan Islam, baik pada masa Khulafaurrasyidin terutama masa Umar bin Khatab ra, maupun masa-masa berikutnya, kekhalifahan Amawiyah dan Abbasiyah. Maka dengan seketika umat Islam sedikit banyak telah mengenal berbagai pola pemikiran baru, dimana hal semacam ini tidak pernah dikenal sebelumnya di wilayah-wilayah Arab. Bahkan sejak pemerintahan Amawiyah salah satunya sudah mulai ada yang tertarik untuk menterjemahkan sebagian dari karya-karya mereka ke dalam bahasa Arab, seperti yang dilakukan oleh Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah terhadap Kitab Ishthafan (buku petunjuk penyembuhan). 

Akan tetapi, proses penerjemahan mulai gencar dilakukan pada masa Abbasiyah, dan terbagi ke dalam tiga gelombang: 
1. Dari mulai pemerintahan Al-Mansur sampai akhir pemerintahan Harun Al-Rasyid atau antara tahun 136-193 H. Pada masa ini diterjemahkan kitab Kalilah wa al-Dimnah dari bahasa Persia, al-Sindhind dari bahasa India, termasuk juga karya-karya Aristoteles tentang logika dan kitab alMajesti tentang astronomi. Para penerjemah terkenal pada periode ini di antaranya, Ibn alMuqaffa, serta Jurjis bin Jibrail dan Ruhana bin Masawaih keduanya dokter Nasrani. Pada periode ini, kelompok pemikir Mu’tazilah telah biasa menggunakan karya-karya Aristoteles seperti al-Nidzam, yang mengupas tentang metode berlogika dan berfilsafat. 

2. Dari masa pemerintahan Al-Makmun (198 H) sampai dengan tahun 300 H. Mereka yang terkenal dalam bidang ini seperti Yuhana atau Yahya al-Bithriq yang lebih menguasai filsafat dibanding kedokteran, menterjemahkan berbagai karya Aristoteles. Hajaj bin Yusuf bin Mathar al-Waraq al-Kufi (214 H), Qostho bin Luqo al-Ba’baky (220 H), Abdul Masih bin Nami’ah (220

H), Hunain bin Ishaq (w.260 H) dan anaknya Ishak bin Hunain (w.298 H), Tsabit bin Qurrah (w.288 H), Jaisy al-A’sam anak saudaranya Hunain dsb. Pada periode ini hampir seluruh karyakarya penting Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Pikiran-pikiran Phytagoras, karyakarya Socrates dan Galenus, kitab Thimaous, Noumous dan Manajemen Perkotaan karya Plato, termasuk karya Al-Majesti juga diterjemah-ulang, juga kitab al-Muqawwilat Aristoteles, dan sebagainya, seluruhnya diterjemahkan dengan baik oleh Hunain bin Ishak dan anaknya, Ishak bin Hunain. 

3. Masa berikutnya, para penerjemah dilanjutkan oleh Matta bin Yunus di Bagdad (320 H), Sinan bin Tsabit bin Qurrah (w.360 H), Yahya bin ‘Addy (364 H), Ibn Zur’ah (398 H), mereka masih banyak menerjemahkan karya-karya logika dan psikologi Aristoteles, mereka juga sudah mulai memberi komentar terhadap karya-karya ini.

Dari berbagai karya luar ini, kaum muslimin selain banyak belajar dari mereka, juga terinspirasi untuk mengungkap berbagai rahasia, baik yang terkandung dalam doktrin-doktrin agama mereka, maupun untuk mengetahui berbagai hal tentang rahasia alam semesta. Bahkan untuk selanjutnya, setelah mereka menguasai berbagai metode berfikir filsafat, termasuk bagaimana membangun paradigma pengetahuan sains, seperti kedokteran, matematika, fisika, astronomi dan sebagainya, mereka kemudian mampu mengkoreksi bebagai kekurangan dan kesalahan cara-cara berfikir para pendahulunya ini. Epistemologi Filsafat yang dikembangkan oleh kaum Mu’tazilah, al-Ghazaly, Ibn Sina, kelompok Ikhwanushafa, Suhrawardy, Ibn Rusyd, Ibn Hazm, dan seterusnya telah mempadukannya dengan berbagai nilai-nilai agama. Bahkan epistemology sains seperti yang dikembangkan Ibn Hayyan al-Jabbar, Abu Ma’sar al-Falaky, dan seterusnya selalu dikaitkan dengan hal-hal yang berkaitan bukan hanya dengan kebutuhan kehidupan manusia, tapi juga dengan hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban agama. Ilmu astronomi untuk mempermudah dalam menentukan ketepatan waktu dalam shalat dan sebagainya. Ilmu hitung untuk mempermudah pembagian waris dan sebagainya. 

Perkembangan Sains, Seni dan Teknologi Dalam Islam 
Sains dan seni dalam Islam merupakan kesatupaduan (unitas) antara nilai kewahyuan dan kreatifitas kemanusiaan dalam mengembangkan potensi alam semesta. Proses pengembangan dan wujud dari puncak kemampuan semua ini selalu disebut sebagai peradaban. Kesemua fenomena di kalangan masyarakat Islam dalam mewujudkan hal ini, adalah sebagai sesuatu yang khas yang menunjukkan bahwa Islam sendiri adalah sebagai bagian dari sistem peradaban dunia. 

Karena dalam banyak hal, Islam memiliki sejumlah doktrin yang selalu mengarahkan pada semua penganutnya untuk mewujudkan kemampuan masing-masing semaksimal mungkin dalam aspek-aspek kebudayaan. Seperti semua seni Islam murni, apakah itu bentuk-bentuk arsitektur masjid, sya’ir-sya’ir alegoris sufi, dan sebagainya sampai pada bentuk-bentuk dan model alat pengembangan sains, astrobel, dan sebagainya kesemuanya bermuara sebagai bentuk-bentuk pengabdian pada nilai-nilai ilahiyah

Dengan demikian semua bentuk-bentuk sains dan seni dalam Islam secara keseluruhannya juga memanifestasikan pada pemanfaatan fasilitas alam semesta, yang secara tidak langsung juga memang berasal dari Allah SWT. Sehingga hampir tidak ada ruang untuk menjelaskan bahwa, berbagai bentuk sains dan seni dalam Islam bersifat secular atau terpisah dari pertanggungjawaban (para kreatornya) terhadap Allah Yang MahaPencipta dan Maha Ahli dalam semua hal “wa fauqo kulli dzi ‘ilmin ‘aliim”(QS. Yusuf). 

Dalam sebuah tulisannya Oleg Grabor menjelaskan, bahwa sains, seni dan budaya Islam jelas-jelas memiliki corak dan karakteristik yang berbeda dengan seni dan budaya masyarakat dunia lainnya yang lainnya, berikut sejumlah kekhasan dan keunikannya. Seperti halnya juga Kristen, Budha, Eropa, China dan sebagainya. Hal ini bisa dimengerti, karena semua bentuk-bentuk karya seni dan budaya bahkan sains dan teknologinya tidak semata-mata lahir dari dunia yang kosong atau hampa, tapi ia merupakan wujud dari hasil dialog antara idealitas dan system keyakinan si pencipta (kreator)nya dengan realitas dan tuntutan sejarah yang mengililinginya. Sekalipun demikian bukan berarti sains dan teknologi serta seni dan budaya Islam sama sekali tanpa mengadopsi dari luar doktrin mereka, bahkan mungkin sebagian dalam hal-hal yang bersifat teknis hampir sepenuhnya juga berangkat dari luar doktrin. Karena doktrindoktrin dalam Islam pada umumnya lebih bersifat dan bernuansa pada sesuatu yang lebih universal, dorongan kemajuan, tidak berbicara pada hal-hal yang bersifat teknis. Oleh karena itu para sarjana muslim sebagai kreatornya, telah mengambil dan mengadopsi unsur-unsur luar dengan begitu antusias, kemudian menyesuaikannya dengan konsep-konsep ajaran Islam itu sendiri.

Seni Dalam Islam 
Berbagai gambaran al-Qur’an yang menceritakan begitu banyak keindahan, seperti surga, istana dan bangunan-bangunan keagamaan kuno lainya telah memberi inspirasi bagi para kreator untuk mewujudkannya dalam dunia kekinian saat itu. Istana Nabi Sulaiman as, mengilhami lahirnya berbagai tempat para khalifah atau pemerintahan muslim membentuk pusat kewibawaan, istana dengan berbagai “wujud fasilitas ruang” di atas kebiasaan rakyat biasa. 

Bahkan hadits Nabi SAW yang menyebutkan “Allah al-Jamiil yuhib al-jamal,” telah mengilhami banyak hal bagi para seniman muslim yang taat untuk mewujudkan sesuatu yang bisa dicintai Tuhannya. Asma-asma Allah SWT, seperti al-Jamiil secara theologies sangat membenarkan para kreator seni untuk memanifestasikannya dalam banyak hal. Namun pada sisi yang lain, berbagai larangan Nabi SAW dan para ulama mereka untuk melukis dan menggambar mahluk hidup yang bernyawa/bersyahwat dalam mewujudkan corak keindahan ruangan ---meskipun hal ini tidak ditemukan teks-nya secara langsung dalam al-Qur’an---, kegiatan mereka dalam mewujudkan gagasan keindahan, tak pernah kehilangan arah. 

Kreasi dan potensi seni Islam, kemudian dialihkannya pada berbagai bentuk kaligrafi Islam, dengan pola dan karaktersitik yang indah dan rumit. Mereka membentuk corak ragam hias ruangan, benda-benda antik seperti gelas atau guci, karpet, dan sebagainya dengan berbagai ornamen bunga-bungaan atau tumbuh-timbuhan yang dianggap bukan sejenis hewan atau manusia. Khusus untuk ruangan-ruangan tertentu atau tempat-tempat yang dianggap layak, biasanya selalu diselipi atau bahkan dimunculkan ayat-ayat al-Qur’an, hadits atau kata-kata hikmah, dengan pola seni tulis (kaligrafi); diwany, kuufy, riq’y, naskhy, tsulusty, atau yang lainnya yang sangat indah. 

Semua ini merupakan bentuk-bentuk kesatupaduan antara nilai-nilai seni dan spiritual termasuk selipan nilai-nilai dakwah islamiyah secara umum. Berbagai desain interior muslim dimanapun, baik bangunan ibadah, istana maupun umum selalu menunjukkan muatan yang tak pernah kosong bagi para penghuninya, khususnya dalam menghubungkan antara dirinya dengan pemilik seluruh ruangan dan alam semesta, Allah Rabb al-‘alamin. Termasuk arsitektur tempattempat ibadah seperti masjid, mushola, dan tempat-tempat yang disucikan seperti makam-makam juga tidak lepas dari upaya sasaran kreasi seni mereka. 

Arsitektur Islam yang umumnya terpusat pada berbagai bangunan masjid di dunia Islam, selalu menunjukkan nilai-nilai semangat, dan spirit anak-anak zaman yang antusias pada kecintaan keindahan. Bahkan Imam Syafi’i sebagai ulama besar abad ke-8 M yang sangat berpengaruh di dunia Islam Sunni, selalu mensejajarkan antara semangat keagamaan masyarakat dengan bentuk-bentuk bengunan masjidnya. Karena masjid merupakan jantung masyarakat yang ada di sekitarnya, jika yang menggunakannya sehat maka jantungnyapun akan sehat, begitupun sebaliknya. Dalam rangka memperindah bangunan masjid, desain interior dengan pola-pola yang telah dijelaskan banyak ditemukan dihampir setiap masjid-masjid besar di dunia Islam, dari mulai di Cordova, Maroko, Mesir, Damaskus, Madinah, Makkah, Baghdad, Kuffah, sampai di India dan masjid-masjid di Nusantara Indonesia. 

Berbagai bentuk ruangan masjid yang berkembang pada umumnya mengikuti trends kebutuhan setempat, namun bangunan utama selalu menunjukkan pola yang sama yakni bujur sangkar, yang dilengkapi dengan ceruk yang menonjol ke luar bagian depannya bagi tempat imam. Kesamaan lainnya adalah adanya Mihrab sekalipun yang secara histories baru popular muncul pada masa Dinasti Amawiyah Damaskus, sebagai tempat yang aman dan terhormat bagi para khotib memberi fatwa dan nasehat-nasehat spiritual ketakwaan para jama’ah. Termasuk pula kolam-kolam atau tempat-tempat wudlu sebagai sarana thaharah sebelum mereka beribadah, semuanya tersedia ada disetiap masjid-masjid agung di dunia Islam. Sebenarnya pusat masjid dunia Islam selalu terfokus pada tiga pusat bangunan suci Islam (the three-pan Islamic sanctuaries); Masjid al-Haram Makkah, Masjid al-Munawwaroh Madinah dan Masjid al-Aqsa Palestina. Ketiganya bukan hanya memiliki nilai histories dalam doktrin dan kewahyuan Islam, tapi juga karakteristik dan nilai estetikanya yang cukup tinggi, yang hampir tidak ditemukan kekurangannya dalam nilai dan fungsi sebuah bangunan suci. 

Sains dan Teknologi 
Salah satu sumbangan terbesar Islam bagi dunia modern sekarang, adalah mewariskan sejumlah teori pengetahuan tentang alam semesta dan cara-cara menerapkan pengetahuan tentangnya. Dalam banyak hal, hubungan antara ilmu pengetahuan (sains) dengan cara-cara menerapkannya (teknologi) telah banyak dicontohkan dan diujicobakan oleh sejumlah sarjana muslim pada sekitar abad ke-9 – 13 M.. Mereka bukan hanya ditopang oleh pengetahuan dan pengalamannya, tapi juga anugrah yang melimpah dengan mendapat fasilitas dari pemerintahan, terutama pada masa-masa kejayaan Abbasiyah di Baghdad. Sebelum melahirkan teknologi, pengembangan sains lebih dahulu mereka dapatkan, bukan hanya dari hasil-hasil temuan mereka sendiri, tapi juga mereka dapatkan dari sejumlah sumber yang berasal bukan hanya dari dalam doktrin Islam saja. Kebanyakan pengetahuan tentang hukum-hukum alam, ilmu ukur dan matematika, fisika dan geometrika sampai ilmu gaya dan berat mengenai bermacam-macam benda, mereka peroleh dari warisan Yunani,, Persia, India dan Mesir. Pengetahuan sains ini mereka kuasai terlebih dahulu sebelum mengembangkan teknologi. Karena ilmu-ilmu tersebut adalah sebagai dasar-dasar bagi pengembangan teknologi berikutnya. Perbedaan yang mendasar antara sains dan teknologi adalah, sains lebih banyak berbicara tentang teori dan pengetahuan mengenai macam-macam objek baik yang bersifat mendasar maupun universal, objektif dan sistematik. Sedangkan teknologi lebih bersifat praktis, yakni ilmu tentang cara-cara menerapkan pengetahuan sains untuk memanfaatkan alam semesta bagi kesajahteraan dan kemudahan serta kenyamanan umat manusia. Keduanya sama-sama bersifat netral bagi kehidupan umat manusia, baik dalam hubungannya sekedar pengetahuan, maupun sebagai alat bagi kemudahan mereka hidup 

Beberapa contoh sains dan teknologi Islam, yang berkait dengan warisan Hellenisme Yunani adalah filsafat, astronomi, fisika, geometrika, kimia, pertambangan dan metalurgi, matematika, kedokteran, pertanian, dan sebagainya. Dalam bidang matematika kontribusi Islam telah mengenalkan system bilangan India, dengan mengenalkan bilangan baru nol (0) dengan sebuah titik (.). Hal ini telah mempermudah bagi proses penghitungan berikutnya, sekalipun dengan jumlah klipatan yang sangat panjang. Penulisan bilangan pertama adalah Muhammad bin Musa al-Khawarizm (w.875 M), selanjutnya Abul Hasan al-Uqlidisy (w.953), Umar Khayyam (w.1131). Sedangkan dalam bidang astronomi pengaruh Babilonia dan India sangat terasa, apalagi sejak diterjemahkanya risalah India, Siddhanta ilmu perbintangan para raja sejak tahun 711 M di Baghdad. Abu Ma’syar al-Falaky al-Balkhy merupakan diantara tokoh yang paling terkenal dalam membuat ramalan-ramalan perbintangan, karyanya, Kitab al-Uluf. 

Bidang fisika yang paling menonjol adalah mengenai teori optik yang dikembangkan oleh Ibn al-Haitsam dalam karyanya “Kitab al-Manadzir”, al-Khaziny (w.1040 M) juga mengurai tentang gaya gravitasi spesifik dlam karyanya “Kitab Mizan al-Hikmah”. Pengobatan dalam Islam mereka dapatkan banyak dari Persia atau Mesopotamia, India dan lainnya. 

Muhammad Ibn Zakariya al-Razy (w.925 M) seorang dokter dan penulis kitab pengobatan yang cukup terkenal, juga Ibn Sina dengan Qonun fi al-Thib-nya. Keduanya sama-sama telah membuktikan penguasaannya dalam hal teknologi farmasi dan kedokteran. Dan hamper menjadi sebuah kebiasaan bahwa para dalam ahli dalam farmasi dan kedokteran ahli ini biasa merangkap dalam profesinya, selain sebagai filosof, astronom juga ahli. 

Salah satu contoh pengembangan teknologi lainnya dalam Islam adalah ditemukannya penerapan teori-teori fisika dalam menentukan arah waktu dengan membuat jam melalui mekanisme gerak (escapement) air raksa, yang dibuat oleh al-Muradi pada abad ke 11 M. Termasuk Ridwan dan al-Jazary juga membuat jam dari gerakan air yang disambungkan dalam gir-gir bersegmen dan episiklus. Kincir air untuk mengambil air dari saluran yang lebih rendah untuk ditaikkan ke lokasi yang lebih atas, juga telah biasa digunakan di Murcia Spanyol, dan contohnya masih berfungsi sampai abad ke 13 M. 

Demikian perkembangan sains, seni dan teknologi dalam Islam yang terangkum alam wujud kebudayaan masyarakat Islam pada zamannya 

Politik dan Etika Pengembangan Ekonomi 
Dr. Badar Abdurrahman Muhammad dalam karyanya al-Hayat al-Siyasah wa Mandzahir al-Hadlarah melihat pola perkembangan dan sistem ekonomi Islam cukup memberikan kontribusi sosial yang sangat tinggi. Penulis buku ini menggambarkan kepada pembaca tentang politik ekonomi yang berlangsung pada awal-awal abad ke ke 4 Hijriyah sampai munculnya Dinasti Saljuk. Ada beberapa hal yang dikemukakannya mengenai hal ini. 

a. Proses terjadinya interaksi uang dan bisnis 
Penulis menyebutkan interaksi uang/perdagangan yang paling mudah diketahui adalah masalah pungutan/retribusi. Retribusi ini terjadi di negeri Irak pada barang-barang yang diimpor ke dalam negeri baik melalui jalur darat maupun laut. Akan tetapi, kewajiban membayar retribusi ini bisa dihilangkan jika ada kesepakatan antara penguasa. Maskawaih pernah menyatakan: “…pada tahun 335 H telah terjadi perjanjian antara Mu’izzudaulah ibn Buwaih dengan Nashirudaulah alHamdani untuk tidak membayar retribusi dari barang-barang yang dikirim Nashirudaulah ke Baghdad”. 

Retribusi ini tidak hanya diwajibkan antar negara, akan tetapi juga antar kota di bawah satu kendali pemerintahan. Seperti yang terjadi antar kota Baghdad dan Bashrah yang mana retribusi dipungut ketika barang-barang perdagangan dikirim melalui sungai Dajlah. Termasuk para Jamaah Haji yang kembali ke Kufah dan Bashrah yang membawa tenunan dan barang-barang dipungut 100 dirham per satu set tenunan. Demikian juga dengan jual beli binatang ternak, seperti unta, kuda dan keledai dan transaksi perdagangan di pasar-pasar semua dikenai retribusi. 

Kebijakan retribusi ini terus bergulir pada setiap pergantian tampuk kekuasaan. Karena dinilai berguna pada pemasukan negara atau daerah kekuasannya. Akan tetapi ada beberapa penguasa yang kadang-kadang menghilangkan retribusi ini. Penguasa tersebut menilai bahwa kebijakan retribusi itu dapat menyulitkan rakyat. 

Kebijakan retribusi ini memang banyak menghasilkan dinar. Sebagai contoh, pada tahun 306 H terkumpul 60,370 Dinar dari Baghdad, Bashrah, Wasith, Samir dan Kufah. Akan tetapi retribusi ini sangat berlebihan pada transaksi-taransaksi yang kecil sekalipun sehingga menambah biaya belanja dan sangat menyulitkan rakyat kecil. 

b. Alat-alat Ukur (takaran, neraca dan ukuran jarak) 
Takaran Alat ukur isi yang paling popular pada awal abad keempat Hijriyah adalah Sha’ yang sebanding dengan delapan rithl Kufah. Alat ukur kedua adalah Jarib yang luas isinya adalah 29,5 liter atau sama dengan 22,715 kg. Ketiga adalah alat ukur Kailajah yang sebanding dengan lima rithl atau enam ratus dirham. Keempat. Alat ukur Kir, yaitu alat ukur orang Babil yang sebanding dengan 30 Karah. 

Timbangan Alat ukur berat ini berbeda standarnya. Alat ukur untuk menimbang kayu yang basah dan yang kering dan benda-benda lainnya dibedakan standarnya. Yang paling popular waktu itu adalah rithl, yang sama dengan 130 dirham atau 406,25 gram. 

Alat Ukur Jarak 
Alat Ukur Jarak yang sering dan sangat penting digunakan waktu itu adalah hasta. Satu hasta sebanding dengan 24 jari. 

c. Mata uang 
Mata uang adalah salah satu media interaksi perdagangan yang dibutuhkan manusia dalam menentukan jenis-jenis barang. Mata uang yang digunakan di berbagai negara Islam tidak lah sama. Mesir dan Syiria menggunakan dinar emas, sedangkan Persia menggunakan dirhan perak. 

Mata uang emas mulai digunakan oleh negri Islam sejak awal abad ke empat Hijriyah. Penggunaan jenis mata uang ini kemudian naik turun. Penggunaan mata uang juga dijadikan kendaraan politik bagi para penguasa. Kebijakan salah satu penguasa untuk memakai mata uang tertentu dapat merugikan perekonomian penguasa lainnya. Pada dinasti Buwaihi terjadi percetakan mata uang dari tembaga tanpa menentukan neracanya pada emas. Hal berpotensi menyebabkan terjadi krisis ekonomi.penguasa Abbasiyah telah mencetak banyak dinar dengan bentuk yang besar dan berat baik digunakan untuk disimpan atau untuk hadiah. Yang di setiap sisinya diberi gambar pengausa dan kadang ditulis ayat-ayat Al-Quran. Satu dinar sebanding dengan seratus mistqol. 

d. Percetakan uang 
Percetakan uang sangat diawasi secara ketat pada masa dinasti Buwaihi. Mereka tidak memperbolehkan mencetak uang di luar lembaga resmi milik pemerintah. Hal itu untuk menjaga nilai mata uang dan agar tidak mudah rusak. Maka tidak heran, yang diberikan tugas mengawasi adalah orang yang fakih dan wara’ dalam beragama. Dinasti Buwaihi tidak segan-segan untuk memberikan hukuman mati kepada orang yang melanggar aturan ini. Pada masa Abbasiyah jumlah percetakan uang yang resmi berjumlah 150 buah. 

e. Surat Perintah pembayaran dan Cek 
Pola pembayaran dengan cek masuk ke negara Islam dimulai sejak datangnya utusan bisnismen Persia ke Baghdad pada masa Abbasiyah awal. Maka sejak itu proses transaksi perdagangan kadang menggunakan cek tanpa bersusah payah memindahkan uang dan barang. Demikianlah, proses transaksi ekonomi pada awal abad keempat hijriyah sudah memakai sistem modern yang dikenal sekarang ini. Namun, sistem itu pun tidak lepas dari pengaruh budaya yang berkembang dan masuk pada kebudayaan Islam. Setiap system perdagangan yang telah disebutkan di atas tidak luput dari unsur politik penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. 

M. Lembaga Peradilan dan Hukum Islam Dr. Abdul ‘Aziz Muhammad as-Sanawy dalam karyanya Ad-Daulah al-‘Utsmaniyah Dalam buku ini penulis menjelaskan tentang lembaga hukum dan peradilan pada negara Utsmaniyah. Lembaga-lembaga hukum dan peradilan agama ini menempati posisi yang cukup baik dalam masyarakat. Para hakim dipilih secara selektif dan melewati waktu yang panjang untuk bisa menjabat sebagai seorang hakim. Mereka bertugas dalam masalah-masalah hukum baik yang berkaitan dengan hukum sipil, pidana, perdata, hukum keagamaan maupun hukum-hukum positif. Atau secara umum mereka menangani hukum-hukum yang berkaitan dengan syariat Islam di seluruh pelosok negara baik yang berkaitan intern umat Islam maupun hubungan dengan non Muslim. Pada masa Daulah Utsmaniyah ini madzhab Imam Abu Hanifah dijadikan madzhab resmi negara. Terjadi perpindahan madzhab para hakim secara radikal pada masa ini. 

Kerena madzhab resmi sebelumnya adalah madzhab Imam Syafei. Para hakim tersebut bernaung pada beberapa kelompok, diantaranya, Hakim Agung, Lembaga pendidikan (kelompok ulama dan spesialis), Mula, Muftisy (pengawas), Hakim, dan Notaris/Panitra. 

Berikut ini dijelaskan secara singkat pengertian dan tugas masing-masing hakim. Hakim agung; untuk menyebut jabatan ini diistilahkan dengan Hakim Militer. Dia bertempat di Ibu Kota Negara dan mengawasi aktivitas para hakim di seluruh pelosok negara dan juga bertugas memilih dan menyeleksi siapa saja yang layak menjadi hakim. Ada banyak bentuk pada kelompok ini, seperti hakim Militer Lik (Anadhol) dan Ar-Rumali. Keistimewaan kelompok ini adalah selalu diadakan upacara resmi setiap kali ada pengangkatan hakim agung dengan menyematkan selendang kehormatan. Hakim dari kelompok Mulla besar; jumlah hakim ini selalu berubah setiap waktu. Apda abad ke delapan belas jumlahnya mencapai tujuh belas yang terhimpun pada beberapa organisasi. Muftisy (para pengawas); mereka termasuk para hakim walaupun nama mereka tidak diambil dari nama hakim. Jumlah mereka sedikit, yaitu sekitar lima orang. Mereka termasuk hakim tingkat Mula Bek (Mula Besar). Tugas hakim ini adalah mengawasi wakaf negara dan mengeluarkannya kepada lembaga-lembaga keagamaan. Hakim dari kelompok Mulla kecil; hakim dari kelompok ini bekerja di sepuluh kota, yaitu Maras, Baghdad, Bosna Sirau, Sufiya, Balgrad, dan lain-lain. Hakim adat; kelompok hakim ini sangat besar jumlahnya. Pada akhir abad kedelapan belas jumlahnya mencapai empat ratus lima puluh hakim yang tersebar di kota-kota kecil di Eropa, Asia dan Afrika. Di Eropa jumlah mereka mencapai dua ratus orang. Naib (panitra); kedudukan panitra satu tingkat lebih rendah dari kedudukan seorang hakim. Tugas mereka adalah di kota-kota kecil dan desa-desa besar dan menggantikan posisi hakim ketika mereka berhalangan hadir untuk memutuskan suatu perkara. 

Pemberi Fatwa; mereka adalah bagian lain dari para hakim. Posisi mereka sejajar dengan para hakim, akan tetapi pusat kegiatan mereka ada setelah kegiatan para hakim dan senantiasa memberikan fatwa sepanjang hidupnya.
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson