Philantrophic Policy and Relations Between State-Civil Society
Untuk waktu yang lama , ilmuwan sosial dan pembuat kebijakan memberikan sedikit perhatian terhadap konsep-konsep seperti philanthropi, kerelawanan , modal sosial , masyarakat sipil atau organisasi non -profit. Fokus dari banyak pemikiran ilmu sosial dan kebijakan berada di lokus yang lain, yaitu pasar dan pemerintah . Dibandingkan dengan dunia pemerintahan dan bisnis , menganalisis lanskap masyarakat non-profit dan sipil lembaga tampak kurang penting , dan mungkin juga terlalu kompleks dan beragam.
Namun , sikap ini mulai berubah selama dua dekade terakhir abad ke-20. Saat ini, sektor non -profit telah menjadi kekuatan ekonomi dan sosial yang besar . Sejalan dengan peningkatan kepentingan ekonomi dan pengakuan atas kelembagaan non –profit baik di tingkat lokal , nasional dan internasional . Beberapa pemerintah melihat bahwa organisasi non-profit dan komunitas menjadi alternatif pelayanan kesejahteraan yang diberikan pada sektor publik . Hal ini terlihat paling jelas di Amerika Serikat dengan gagasan yang disebut 'Faith Based Inisiative ' dalam memberikan pelayanan dan bantuan kepada orang miskin , atau Program voucher sekolah untuk pembiayaan pendidikan. Pada tingkat internasional, lembaga - seperti Bank Dunia , PBB dan Uni Eropa – dan banyak negara berkembang sedang mencari keseimbangan antara kekuatan yang dipimpin oleh negara dan pasar dengan memberikan tanggung jawab lebih kepada sektor non profit (philanthropy) non - organisasi pemerintah yang sering disebut sebagai LSM .
Perkembangan Philanthropy atau lebih sering orang mengenal dengan istilah kedermawanan di beberapa negara Muslim di Asia Tenggara akhir akhir ini sungguh sangat pesat. Di Indonesia sendiri, sebagaimana negara negara lain di belahan dunia telah memiliki praktek kedermawanan (philanthropy), semisal Zakat yang secara lebih jamak merujuk pada fitrah di bulan suci Ramadhan, sedekah dan wakaf.
Jika merujuk pada data survey yang dilakukan oleh Asia Pacific Philantrophy Consortium (APPC) dan PIRAC (Public Interest Research and Advocacy) di tahun 2001, Penduduk Indonesia termasuk dalam kategori tertinggi dalam berdonasi yakni sekitar 98 persen jumlah penduduk melakukan donasi dari hartanya untuk orang lain dan sebagian besar didominasi oleh dorongan semangat agama. Angka ini termasuk tinggi dibandingkan negara negara Asia Tenggara lain semisal Thailand 91 persen, Phillipines 78 persen, dan India 71 persen.
Menilik data tersebut membuat kita
Praktik Philanthropy merupakan indikator fungsi masyarakat sipil. Philanthropy, atau Pemberian sukarela dan pelayanan untuk kepentingan publik adalah fenomena universal yang ditemukan dalam berbagai periode sejarah dan tradisi yang berbeda dan peradaban. Hal ini berkaitan erat dengan perkembangan masyarakat sipil, karena terdiri dari upaya sukarela yang menunjukkan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain dan kemajuan masyarakat.
Muslim di Indonesia telah lama mempraktekkan berbagai bentuk kegiatan amal , seperti zakat dan sedekah atau orang lain jenis sumbangan . Menurut beberapa survei , hampir semua orang Indonesia menyumbangkan kekayaan mereka melalui bentuk-bentuk tersebut untuk amal , dan agama merupakan faktor pendorong utama. Kegiatan filantropi dalam banyak kasus dilakukan oleh masyarakat sipil : campuran asosiasi dan kelompok , independen dari negara , dan yang menjadi penyangga antara negara dan warga negara. . Sepanjang sejarah Islam di Indonesia ada suara-suara perlawanan terhadap keterlibatan negara dalam kegiatan Philanthropy untuk mendukung agama Islam.
Sebaliknya , Malaysia memiliki kondisi berbeda dengan Indonesia . Mereka memiliki UU yang menisbatkan Kerajaan/Negara menjadi pemain Sentral dalam donasi Zakat. Melalui UU Pemerintah Malaysia telah membatasi komunitas dan organisasi masyarakat sipil mengelola sumbangan masyarakat terutama yang berbasis agama seperti zakat.
Melalui tulisan ini kita bisa melihat apa keuntungan dan kerugian antara 2 kebijakan tersebut dengan fokus pada beberapa faktor seperti penggalangan dana Efektivitas serta distribusi dan program penguatan Masyarakat Sipil serta hubungannya dengan negara.
METODE PENELITIAN
Karya ini bersifat deskriptif dan dibangun berdasarkan data data kualitatif yang didapatkan melalui sumber sumber sekunder seperti Buku, Jurnal, maupun aturan perundang undangan yang dijadikan bahan rujukan untuk menyusun argumentasi dan menghasilkan kesimpulan. Data data yang relevan juga berasal langsung dari interaksi selama ini penulis dalam dunia per zakatan di Indonesia maupun Asia Tenggara sehingga sedikit banyak mengetahui seluk beluk perzakatan di Indonesia dan penulis terlibat langsung dalam proses tabayyun konstitusi yakni gugatan terhadap UU Zakat No 23 Tahun 2011 di Mahkamah Konstitusi, dimana penulis adalah sebagai Koordinator Koalisi Masyarakat Zakat (KOMAZ).
KERANGKA TEORITIS
A. Konsep Philanthropy
Istilah Philanthropy berasal dari bahasa Yunani, Philos (cinta) dan anthropos (manusia). Secara harfiah, Philanhropy adalah konseptualisasi dari paraktik memberi (giving), pelayanan (services) dan asosiasi (association) secara sukarela untuk membantu pihak lain yang membutuhkan sebagai ekspresi rasa cinta. Secara umum, Philanthropy didefiniskan sebagai tindakan sukarela untuk kepentingan publik (Voluntary action for the public goods).
Secara umum dunia Philanthropy terbagi menjadi 2 isu besar yakni Philanthropy tradisional dimana kedermawanan difungsikan sebagai tindakan tindakan karitatif semata atau kegiatan santunan. Contoh contoh Philanthropy tradisional sangatlan banyak seperti santunan bakti sosial, pemberian makanan untuk fakir miskin, penyediaan layanan untuk orang orang tidak mampu. Sebaliknya jenis kedua dari Philanthropy adalah Philanthropy Advokasi yang lebih menitik beratkan pada isu isu yang merupakan akar masalah dan biasanya bersifat struktural.
Keduanya berbeda secara tajam dalam isu dan sasaran. Philanthropy tradisional seolah olah bergiat dalam ruang menolong orang orang yang kalah akibat dari derap pembangunan dan residu kebijakan sedangkan Philanthropy advokasi memperjuangkan isu isu struktural yang diyakini menjadi sebab kemiskinan. Dalam prakteknya biasanya justeru philanthropy tradisional lah yang memliki basis konstituen atau pendukung aktif dibandingkan peran watchdog dalam philanthropy advokasi yang bercita cita melakukan perubahan sosial namun minim dengan basis dukungan masyarakat.
B. Konsep Civil Society
Dalam konsep negara modern, setidaknya Negara bisa di definisikan sebagai interaksi antara 3 sektor yakni Pemerintah (Government), Masyarakat Sipil (Civil Society), dan Dunia Bisnis (Market/Private sector). Edward Shills dalam artikelnya The Virtue Of Civil Society bahkan secara lebih berani menyatakan bahwa Civil Society adalah kelompok diluar pengaruh pemerintah yang lebih memiliki otonomi dan bisa menjadi model koreksi bagi kebijakan negara
The term civil society has a range of meanings in contemporary usage. It is sometimes considered to include the family and the private sphere, and referred to as the "third sector" of society, distinct from government and business. 21st Century Lexicon defines civil society as 1) the aggregate of non-governmental organizations and institutions that manifest interests and will of citizens or 2) individuals and organizations in a society which are independent of the government. Sometimes the term is used in the more general sense of "the elements such as freedom of speech, an independent judiciary, etc, that make up a democratic society" (Collins English Dictionary)
Substansi dasar dari gagasan Civil Society adalah visi etik terhadap tatanan kehidupan sosial yang bertolak dari dua perspektif. Perspektif pertama, tradisi berpikir Marxist. Tradisi Marxist menekankanbahwa basis ide dari tumbuhnya Civil Society berdasar atas ketegangan antara perkembangan masyarakat dengan kenyataan yang diperhadapkan oleh negara. Tradisi ini melihat bahwa masyarakat sebagai entitas yang mampu mengatur dirinya dan memiliki hak dan kebebasan. Keadaan ini membutuhkan perlindungan dari represi yang dilakukan oleh negara. Perspektif kedua memandang civil society sebagai sebuah tipe ideal dimana organisasi sosial berdiri sendiri dan merupakan institusi sukarela (voluntary) serta bebas dari intervensi pemerintah. Keberadaan Civil Society merupakan entitas yang berhadapan dengan pemerintah dan sektor swasta
C. Philantrophy Sebagai Sumber Daya Gerakan Civil Society
Jamak kita ketahui dalam terminologi ekonomi bahwa Kekuatan ekonomi suatu negara diukur oleh indikator yang dinamakan dengan Gross Domestic Product (GDP) atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Produk Domestik Bruto (PDB). Konsep pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita suatu negara juga diturunkan dari konsep tersebut. Saya menganggap bahwa gagasan pembagian aktor-aktor dalam dinamika sebuah negara seperti dalam ilustrasi tersebut diatas sejalan dengan gagasan tentang perhitungan PDB dengan menggunakan pendekatan metode pengeluaran.
Dalam terminologi Ekonomi, perhitungan PDB suatu negara dihitung dari penjumlahan atas faktor faktor Konsumsi Rumah Tangga (Household Consumption), Pengeluaran pemerintah (Government spending), dan Investasi Swasta (Private sector investment). Jadi jika boleh dikatakan, nampaknya ada gagasan yang pararel antara konsep pembagian negara dengan 3 aktor seperti ilustrasi diatas dengan konsep pengukuran pendapatan nasional suatu negara atau PDB dalam terminologi ekonomi. Kita membutuhkan ilustrasi ini untuk menggambarkan bahwa setidaknya Pemerintah memiliki sumber daya utama dari pajak (tax), dunia swasta dari profit /keuntungannya, sedangkan Sektor Rumah Tangga atau dalam kerangka pemikiran saya adalah representasi dari civil society setidaknya memiliki sumber daya dari dana-dana philanthrophy.
D. Zakat Sebagai salah satu kekuatan Philanthropy di Negara Muslim
Zakat merupakan salah satu ajaran pokok dalam agama Islam yang adalah merupakan pemberian wajib yang dikenakan pada kekayaan seseorang yang beragama islam yang telah terakumulasi nisab dan haul dari hasil perdagangan, pertanian, hewan ternak, emas dan perak, berbagai bentuk hasil pekerjaan/profesi/ investasi/saham dan lain sebagainya.Selain Zakat, dikenal juga istilah infaq dan shadaqah, hanya saja sifatnya bukan merupakan pemberian wajib, tetapi pemberian yang bersifat sangat dianjurkan (sunnah) bagi mereka yang bercukupan. Infaq adalah harta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan di luar zakat, untuk kemaslahatan ummat. Sedangkan Shadaqah ialah harta yang dikeluarkan seorang muslim di luar zakat untuk kemaslahatan umum.
Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS) adalah merupakan asset berharga ummat Islam sebab berfungsi sebagai sumber dana potensial yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahateraan seluruh masyarakat. Para pakar dibidang hukum Islam menyatakan bahwa, ZIS dapat komplementer dengan pembangunan nasional, karena dana ZIS dapat dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya dalam bidang pengentasan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan serta mengurangi jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin sekaligus meningkatkan perekonomian pedagang kecil yang selalu tertindas oleh pengusaha besar dan mengentaskan berbagai persoalan yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan dan sosial keagamaan.
ZAKAT DAN RELASI PEMERINTAH – MASYARAKAT SIPIL
A. Zakat di Malaysia
Dalam konteks Malaysia , Islam telah diakui sebagai agama resmi negara . Seperti yang tercantum dalam Konstitusi Federal , Pasal 3 ( 1 ) , Hal ini jelas bahwa Islam adalah agama Negara , tetapi agama-agama lain dapat dipraktekkan dalam damai dan harmoni dalam setiap bagian dari Federasi Malaysia. Sesuai dengan artikel ini , kekuatan untuk memberlakukan Islam dalam hukum positif termasuk zakat dan Baitulmal atau serupa pendapatan agama merupakan wewenang yurisdiksi setiap Negara . Sultan sebagai Kepala Negara dapat bertindak dalam kebijaksanaan untuk menunjuk pejabat agama Negara, dan untuk menentukan arah urusan agama di Negara tertentu ( Mohamed Suffian , 1978 ) .
Zakat dalam peraturan di Malaysia adalah menjadi wewenang Negara mutlak untuk mengelolanya . Sentralisasi dan otoritas negara ini tidak memberikan ruang bagi masyarakat sipil mengelola zakat. Negeri Trengganu adalah yang pertama mengatur kontrol zakat mutlak di tangan negara melalui pembentukan MAJLIS. Dan kemudian negeri Kelantanadalah yang pertama mengenalkan peraturan Zakat dan Fitrah di tahun1907, Perlis di Tahun 1930 dan Kedah 1936. Pembentukan Pusat Pungutan Zakat Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur ( PPZ- MAIWP ) pada Januari 1991 adalah lonceng pertama dari kebijakan ini . Diikuti oleh pembentukan Pulau Pinang Zakat Management Center [ Teka - PP ] berada di Jun 1994 , Selangor Zakat Pusat ( PZS - MAIS ) pada tahun 1992 , Negeri Sembilan Zakat Pusat ( PZ - MAINS pada September 1998 , Pahang Zakat Pusat [ PZ - MAIP ] dan Melaka Zakat Pusat [ PZM ] pada tahun 1996 .
Konsekuensi dari sentralisasi ini adalah bahwa Zakat bukan saja menjadi kewajiban orang perorang dengan Tuhannya tetapi juga menjadi kewajiban muslim dengan Negaranya. Penduduk beragama Islam yang telah mencapai nishab dan haul maka wajib untuk membayar zakat.Hal ini menguntungkan pemerintah dan Kerajaan Malaysia untuk menghimpun secara efektif sumber daya masyarakat tersebut. Bahkan juga memberikan insentif pajak bagi para pembayar zakat. Di Malaysia, umat Islam wajib membayar zakat dengan objek zakat meliputi tabungan, keuntungan bisnis, saham, kepemilikan emas, panen hasil pertanian, dan pendapatan gaji termasuk zakat fitrah.
Tentu ada konsekuensi lain yaitu adanya hukuman bagi orang orang yang ingkar dengan kewajiban ini. Sebagai contoh Pada Artikel Section 87 dari Administrasi Agama Islam Negara Bagian Selangor yang disahkan pada tahun 2003 menunjuk “Majlis” sebagai badan yang memiliki kekuatan untuk membuat peraturan untuk menentukan tingkat nilai zakat yang jadi kewajiban setiap muslim diwilayah tersebut , membuat prosedur pengumpulan, menunjuk amil, membuat ketentuan hukuman dan serta menmberikan hukuman dalam kaitannya dengan pengumpulan dan pendistribusia semua hasil zakat.
Sebagai misal ada kasus di kelantan, Kedah, Perlliis dan Perak dimana beberapa Muslim dituntut dan dihukum karena tidak membayar zakat. Di Perlis tahun 1953, Sepuluh petani yang menolak untuk membayar zakat pertanian dituntut dan di penjara. Di tahun 1953 sebanyak 52 muslim diadili karena tidak membayar zakat di negeri Perak.
Model sentralisasi ini tentu akan efektif dalam pola penghimpunan sumber daya. Sebagaimana terlihat dalam tabel dibawah ini bahwa penghimpunan zakat di malaysia secara data sangat mudah dilakukan dan tersedia. Karena memang satu pintu penghimpunan.
Namun jika dilihat dari aspek gerakan sosial, Negara telah turut serta dalam mengkerdilkan organisasi organisasi kemanusiaan “swasta” atau yang merupakan inisiatif masyarakat terutama yang organisasi berbasis agama. Inilah kenapa di Malaysia hampir hampir tak ada organisasi masyarakat besar yang berbasis agama seperti halnya Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah yang sebelum Republik ini ada mereka sudah berdiri dan sudah terlebih dahulu menghimpun dana dana philanthropy islam seperti zakat, infaq sedekah.
B. Zakat di Indonesia
Zakat di Indonesia mengalami pasang surut jika ditilik dinamikanya antara relasi masyarakat-Negara. Di masa orde baru pemerintah membiarkan zakat dikelola masyarakat meskipun badan badan amil zakat di tingkat daerah dan provinsi dibentuk oleh pemerintah semisal BAZIS DKI 1967 dll. Namun pemerintah tidak melarang organisasi masyarakat, masjid, surau, panti asuhan untuk mengelola zakat.
Hal ini mungkin lebih disebabkan kenyataan historis Islam Indonesia dimana sebelum republik ini berdiri zakat sudah dikelola oleh organisasi organisasi Islam yang didirikan oleh masyarakat seperti Muhammadiyah 1912 dan Nahdhatul Ulama 1927. Bahkan banyak sekali pesantren di Jawa, Sumatera yang hidup dari sokongan dana Zakat.
Reformasi membuka peluang masayarakat menginisiasi UU Zakat. Maka lahirlah UU Zakat No 38 tahun 1999 dimana pemerintah Pusat juga tertarik untuk mengelola dana Zakat selain Haji yang sudah dikelola sebelumnya. Maka berdirilah Baznas (Badan Amil Zakat Nasional),dimana sebagian besar inisiasinya dilahirkan oleh masyarakat sipil bahkan SDM SDM nya pun merupakan pegiat pegiat zakat di ranah civil society sebelumnya.
Menariknya lagi di tahun 2011 DPR mengetuk UU no 23 Tahun 2011 dimana dalam UU tersebut Baznas ditahbiskan sebagai institusi sentral pengelola zakat dan membatasi keterlibatan masyarakat terhadap pengelolaan Zakat Nasional. Pembatasan ini terwujud melalui peran Baznas sebagai pemberi ijin atas status lembaga lembaga yang ingin menghimpun dana zakat termasuk di dalamnya institusi masjid, lembaga sosial, bahkan individu semisal pemimpin pesantren dll.
Polemik muncul di masyarakat karena merasa pekerjaannya yang selama ini dilakukan dalam membantu mengurusi ummat harus di stempel oleh negara dalam beleid baru ini. Sehingga beberapa komponen masyarakat mengajukan proses Judicial Review agar Mahkamah konstitusi membatalkan UU ini. Hasilnya MK mengabulkan sebagian permohonan dari pemohon bahwa Zakat masih boleh dikelola masyarakat. Tugas BAZNAS hanyalah sebagai koordinator saja secara administratif bukan sebagai otoritas satu satunya yang mengelola zakat termasuk penghimpunan dan pendayagunaannya. BAZNAS hanya mengkoordinir dan mencatat saja pengelolaan pengelolaan zakat yang ada di masyarakat meski BAZNAS sendiri juga melakukan penghimpunan dana zakat.
Di tengah anjloknya “trust” masyarakat terhadap institusi pemerintah maka memang jalan yang ditempuh Indonesia dalam pengelolaan dana dana philanthropy sebaiknya tetap berada di Masyarakat. Dengan konfigurasi model demokrasi yang ditempuh oleh Indonesia maka Zakat menjadi pendorong masyarakat sipil menyelesaikan masalah kemiskinan dimana pemerintah sering abai terhadap hal ini.
Masayarakat Sipil bisa memberikan model model pelayanan publik yang baik terhadap pemerintah sebagai counterpart. Menyediakan pendidikan gratis dan beasiswa bagi siswa tidak mampu, memberikan layanan kesehatan gratis, bantuan modal usaha bagi pedagang kecil merupakan beberapa contoh kasus yang bisa dipakai dalam pendayagunaan sumber sumber philanthropy dari zakat tanpa harus menggantungkan diri dari pemerintah.
KESIMPULAN
Memang ada beberapa keuntungan dan kerugian dari turut campur tangannya pemerintah dalam urusan philanthropy.