Hukum Islam Dan Pemberdayaan Ekonomi Umat
Pada era kebangkitan kembali hukum Islam dewasa ini, pemahaman terhadap hukum Islam tidak terikat secara tekstual yang mengacu secara ketat terhadap kitab-kitab fiqh yang telah dirumuskan ulama terdahulu, tetapi pemahaman terhadap hukum Islam lebih dipahami secara kontekstual yang disesuaikan dengan perkembangan zaman yang tengah terjadi. Pada tataran hukum dewasa ini, proses perundangan (taqnin) menjadi ciri khas yang utama dalam pemahaman yang lebih luas, hukum Islam hendaknya dirumuskan dalam bahasa peraturan-peraturan yang mudah dipahami dan ditaati oleh umatnya.
Atas landasan itu, maka upaya transformasi hukum Islam tampak mulai digalakkan di bumi Indonesia ini. Proses transformasi hukum Islam itu tidak hanya dilakukan pada persoalan hukum yang berkaitan dengan hukum keluarga, tetapi juga mulai merambah kepada bidang hukum lain, termasuk di dalamnya hukum ekonomi Islam. Tampak beberapa substansi hukum ekonomi Islam mulai masuk pada tataran taqnin di Indonesia, seperti tercermin dalam UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dimana prinsip operasi bagi hasil telah dilegitimasi. Pada setiap periode pemerintahan keinginan untuk mensejahterakan rakyat ditetapkan sebagai agenda pembangunan nasional. Selanjutnya dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004-2009. Bila terjadi pergeseran dari cita-cita tersebut, maka selalu tumbuh kesadaran bangsa untuk mengembalikan kepada cita-cita semula.
Keinginan untuk mewujudkan kehidupan ekonomi umat yang sehat dan bermartabat sesungguhnya tumbuh bersamaan dengan munculnya kesadaran berbangsa. Jauh sebelum bangsa ini, seperti Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama, pada hakikatnya telah menyatakan cita-citanya, di samping untuk mewujudkan kehidupan keagamaan yang benar dan autentik, sekaligus juga untuk memperjuangkan kemandirian dalam kehidupan ekonomi agar dapat mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin. lembaga keagamaan telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi Republik ini. Berbagai lembaga sosial dan ekonomi, pendidikan dan kesehatan serta unit-unit kegiatan lainnya, yang bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat telah memberi manfaat bagi terwujudnya kesejahteraan bangsa. Menyadari besarnya kontribusi yang telah diberikan oleh keagamaan sebagai mitra pemerintah, maka pemberdayaan masyarakat melalui keagamaan merupakan bagian dari tugas dan tanggung jawab pemerintah.Pemerintah telah mengagendakan perbaikan kesejahteraan rakyat, antara lain melalui peningkatan upaya penanggulangan kemiskinan, pemberdayaan koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) serta Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Usaha tersebut dirancang terbuka luas untuk seluruh masyarakat, termasuk lembaga keagamaan. lembaga keagamaan, selain berfungsi memberdayakan anggota dan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan, idealnya terlebih dahulu mampu memberdayakan diri agar mandiri, terutama dalam aktivitas ekonomi. Namun dalam kenyataannya selain terdapat keagamaan yang telah menunjukkan keberhasilan dalam pengembangan usaha ekonomi dan aktivitas sosial, juga banyak yang masih lemah kalau tidak dikatakan belum berdaya, baik karena faktor internal seperti sumber daya dan organisasi maupun faktor eksternal seperti akses ke lembaga keuangan dan perbankan, serta lemah dalam pendampingan.
1. Pengertian dan Tinjauan Hukum Islam
Sebelum mengemukakan pengertian hukum Islam terlebih dahulu perlu diketahui apakah itu hukum, tidaklah mudah untuk memperoleh jawaban. Hukum merupakan sesuatu yang luas dan abstrak, karena itu tepatlah apa yang dikatakan oleh Emanuel Kant bahwa tidak seorang yurispun yang dapat memberikan defenisi hukum secara tepat. Pendefenisian tergantung pada aspek mana yang dipandangnya.
Meskipun demikian, sebagai landasan teori, maka hukum dapat didefinisikan sebagaimana Goodhart menyatakan, hukum adalah aturan-aturan tentang tingkah laku yang diakui sekelompok masyarakat yang berhak dan mengikat seluruh anggotanya.
Dalam konteks Islami, hukum biasa juga disebut syari‟at, yang meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia.
Kata hukum dihubungkan dengan kata Islam, maka hukum Islam adalah istilah khusus Indonesia sebagia terjemahan Al-Fiqhu Al-Islamiyah atau Islamic Law yang mana dapat diartikan peraturan yang dirumuskan dengan merujuk kepada wahyu Allah (Al-Qur‟an) dan sunnah Rasul tentang tingkah laku mukallaf yang diakui dan diyakini serta mengikat bagi semua pemeluk Islam.
Tujuan hukum Islam adalah untuk memenuhi kepentingan, kebahagiaan, kesejahteraan dan keselamatan hidup manusia di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu Ahmad Azhar Basyir merinci tujuan hukum Islam menjadi tiga kelompok. yaitu ; pertama pendidikan pribadi, dimana hukum Islam mendidik pribadi agar menjadi sumber kebaikan bagi masyarakatnya, tidak menjadi sumber keburukan yang akan merugikan pribadi lain; kedua, menegakkan keadilan, dimana keadilan yang harus ditegakkan yang meliputi keadilan pada diri sendiri, keadilan hukum, keadilan sosial dan keadilan dunia, ketiga, memelihara kebaikan hidup, maksudnya semua yang menjadi kepentingan hidup manusia harus dipelihara dengan baik yaitu kebutuhan primer, sekunder dan tertier (pelengkap).
Kepentingan yang diperlukan oleh manusia mutlak harus dilindungi, sebab apabila dibiarkan berjalan dengan sendirinya, maka akan mendatangkan kerusakan kepada manusia dalam menjalani kehidupan. Tujuan hukum Islam tersebut dapat dipahami dari dua segi, yaitu segi pembuat hukum Islam itu sendiri (Allah dan Rasul-Nya) dan segi manusia menjadi pelaku dan pelaksana hukum Islam.
Terhadap segi pembuat hukum Islam (Allah dan Rasul-Nya) sebagaimana Mohammad Daud Ali mengemukakan tujuan hukum Islam adalah :
Pertama, untuk memenuhi keperluan hidup manusia yang bersifat primer, sekunder dan tertier, yang dalam literatur Islam disebut daruriyyat, hajjiyat dan tahsiniyyat. Kebutuhan primer itulah kebutuhan utama yang harus dilindungi atau dipelihara sebaik-baiknya oleh hukum Islam agar kemaslahatan hidup manusia benar-benar terwujud, seperti syariat tentang tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak halal. Apabila aturan itu diabaikan maka akan mengancam eksistensi harta. Kebutuhan sekunder adalah kebutuhan yang diperlukan untuk mencapai kehidupan primer, seperti syariat dibolehkannya jual beli salam. Apabila cara ini tidak dipakai maka tidak mengancam eksistensi harta melainkan akan mempersulit kegiatan jual beli.
Kebutuhan tertier adalah kebutuhan hidup manusia selain dari sifat primer dan sekunder itu perlu diadakan dan dipelihara untuk kebaikan hidup manusia dalam masyarakat, seperti ketentuan menghindarkan diri dari penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bisnis, dimana akan berpengaruh kepada syah tidak jual beli.
Kedua, untuk diataati dan dilaksanakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, agar dapat ditaati dan dilaksanakan dengan baik dan benar, manusia wajib meningkatkan kemampuannya untuk memahami hukum Islam dengan mempelajari ushul fiqh yaitu dasar pembentukan dan pemahaman hukum Islam sebagai metodologinya, maka tujuan hakiki hukum Islam adalah tercapainya keridhaan Allah dalam kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
2. Hukum Islam dan Pranata Ekonomi
Islam adalah agama sempurna yang memuat berbagai persoalan kehidupan manusia, baik diungkapkan secara global maupun secara rinci. Secara substantif ajaran Islam yang diturunkan Allah SWT. Kepada Rasulullah SAW. terbagi kepada tiga pilihan, yakni „aqidah, syariah, dan akhlak. Ajaran Islam yang mengatur perilaku manusia, baik dalam kaitannya sebagai makhluk dengan Tuhannya maupun dalam kaitannya sebagai sesama makhluk, dalam term fiqh atau ushul al-fiqh disebut dengan Syari‟ah. Sesuai dengan aspek yang diaturnya, Syari‟ah ini terbagi kepada dua, yakni „ibadah dan mu‟amalah. Ibadah adalah Syari‟ah yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, sedangkan mu‟amalah adalah Syari‟ah yang mengatur hubungan antar sesama manusia.
Pada gilirannya, kegiatan ekonomi sebagai salah satu bentuk dari hubungan antar sesama manusia, ia bukan merupakan bagian dari aqidah, akhlak, dan ibadah, melainkan bagian integral dari mu‟amalah. Namun demikian, masalah ekonomi tidak lepas sama sekali dari aspek aqidah, akhlak maupun ibadah, sebab menurut perspektif Islam perilaku ekonomi harus diwarnai oleh nilai-nilai „aqidah, akhlak, dan ibadah. Identifikasi kegiatan ekonomi dari mu‟amalah ini dilakukannya hanya untuk menjelaskan kontruksi ajaran Islam secara keseluruhan.
Dalam bagian yang komprehensif Hukum Islam telah menerangkan tentang aturan berekonomi, termasuk elemen-elemen di dalamnya seperti produksi, distribusi dan konsumsi. Ungkapan ini merupakan pernyataan yang melegitimasi bahwa Islam dengan al-Qur‟annya telah mengatur sistem ekonomi yang sempurna. Hal ini merupakan bukti bahwa Islam mampu mengimbangi perkembangan sistem ekonomi yang berlaku di kalangan umat manusia.
Dalam perkembangan dewasa ini, ada dua sistem ekonomi yang paling berpengaruh di dunia, yaitu sistem ekonomi Kapitalis dan sistem ekonomi Sosialis. Sistem ekonomi kapitalis adalah suatu sistem ekonomi yang mengizinkan dimilikinya alat-alat produksi oleh pihak swasta, sedangkan sistem ekonomi Sosialis merupakan kebalikan dari sistem ekonomi Kapitalis yakni suatu sistem ekonomi di mana pemerintah atau gilde-gilde pekerja memiliki serta menjalankan semua alat produksi; hingga dengan demikian, usaha swasta dibatasi dan mungkin kadang-kadang dihapuskan sama sekali.
Pada gilirannya, sistem ekonomi yang dianut oleh sekelompok manusia sesungguhnya berfungsi untuk mencapai tujuan atau hasil tertentu yang memiliki nilai yang ditetapkan dan bergantung kepada prioritas masyarakat atau negara penganut sistem tersebut. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin prioritas antara satu sistem ekonomi dengan ekonomi lainnya berbeda. Sistem Ekonomi Kapitalis lebih memprioritaskan individu dari pada kelompok, sedangkan sistem ekonomi sosialis lebih memprioritaskan kepentingan negara daripada kepentingan individu.
Berbeda dengan kedua sistem ekonomi diatas, Islam menerapkan sistem ekonominya dengan menggunakan moral dan hukum bersama untuk menegakkan bangunan suatu sistem yang praktis. Berkenaan dengan prioritas, Islam mengetengahkan konsep keseimbangan antara kepentingan individu (khusus) dan kepentingan negara (umum) yang bersumber kepada al-Qur‟an dan al-Sunnah.
Berdasarkan uraian itu, dapat dipahami bahwa ekonomi menurut Islam merupakan sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari alQur‟an dan al-Sunnah, dan merupakan bangunan yang didirikan diatas landasan-landasan tersebut sesuai dengan tiap lingkungan dan masa. Sehubungan dengan hal tersebut, al-Qur‟an dan al-Sunnah sebagai sumber hukum Islam memegang peranan penting dalam memberikan dasar-dasar pada sistem perekonomian menurut Islam
Prinsip-prinsip utama yang diketengahkan Islam berkenaan dengan sistem ekonomi adalah berkenaan dengan hajat manusia terhadap ekonomi, ciri-ciri ekonomi Islam, dan kebebasan ekonomi menurut Islam. Selain hal-hal tersebut, Islam dengan al-Qur‟an dan al-Sunnahnya juga menyinggung persoalan-persoalan yang berkaitan dengan faktor produksi, kerja menurut Islam, hak milik menurut Islam, akad dan pendayagunaan harta Konsep Islam tentang hakikat manusia menegaskan bahwa manusia itu adalah makhluk Allah, yang Allah menjadikan kepada pandangan manusia kecintaan kepada segala sesuatu yang diingini syahwatnya. Namun demikian, Islam memperkenalkan manusia dengan menjelaskan pula fungsinya, yaitu disamping sebagai abid yang bertugas untuk beribadah kepada-Nya, juga sebagai khalifah yang bertugas mengurus bumi dengan seluruh isinya dan berkewajiban untuk memakmurkannya sebagai amanah dari Allah.
Penjelasan diatas membuktikan konsep hakikat manusia menurut Islam berbeda dengan konsep yang dikemukakan oleh paham kapitalisme dan sosialisme. Kapitalisme mempunyai asumsi bahwa manusia itu serakah dan materialistis. Sedangkan sosialisme memahami hakikat manusia kepada dua jenis, yaitu hakikat manusia secara umum di mana manusia seperti yang dijumpai sehari-hari serakah dan materialistis dan hakikat manusia sebagai hasil dari suatu proses sejarah.
Konsep manusia itu sangat menentukan terhadap jalan yang ditempuh manusia dalam upaya merealisir kebutuhan hidupnya. Upaya memenuhi, menghasilkan dan membagikan kebutuhan manusia ini dinamakan dengan ekonomi. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa konsep Islam dalam kegiatan ekonomi tidak hanya bertujuan untuk kehidupan dunia semata, tetapi bertujuan pula untuk kehidupan akhirat.
Selain itu, ekonomi menurut Islam memiliki ciri-ciri khusus yang membedakannya dari sistem ekonomi hasil penemuan manusia. Diantara ciri-ciri tersebut adalah, bahwa ekonomi merupakan bagian dari sistem Islam secara integral dan ekonomi menurut Islam merealisir keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan umum. Ciri yang pertama merupakan ciri pembeda dengan sistem ekonomi hasil penemuan manusia yang memisahkan antara kehidupan ekonomi dan agama. Sedangkan ciri yang kedua merupakan ciri yang membedakan dengan sistem ekonomi Kapitalis dan Sosialis, dimana sistem kapitalis lebih mendahulukan kepentingan individu dan sistem Sosialis lebih mendahulukan kepentingan umum, sekalipun hak individu harus dilanggar.
Seiring dengan itu, Islam juga memberikan kebebasan kepada individu dan berekonomi, tidak seperti yang ditentukan oleh sistem Sosialisme; tetapi, Islam juga tidak melepaskannya tanpa kendali seperti yang dilakukan oleh sistem Kapitalis. Hal ini berarti bahwa kebebasan ekonomi menurut Islam adalah kebebasan yang terikat. Artinya, Islam tidak mengizinkan kepada individu kebebasan yang mutlak, tetapi mengikatnya kebebasan itu dengan batas-batas dari nilai-nilai Syari‟at. Islam menekankan bahwa kemerdekaan individu dalam melaksanakan kegiatan ekonomi itu, terikat oleh syari‟at Islam Individu dalam Islam diberikan kebebasan melakukan kegiatan ekonomi selama tidak dilarang oleh nash Dalam upaya menyempurnakan pengakuan Islam terhadap kebebasan Ekonomi, Islam telah memberikan wewenang kepada negara untuk ikut campur dalam fungsionalisasi sistem ekonomi Islam. Negara berkewajiban melindungi kepentingan masyarakat dari tindakan sewenang-wenang kaum pemodal, kaum pedagang dan sebagainya. Selain itu, negara juga berkewajiban untuk memelihara keselamatan masyarakat dan mencegah hal-hal yang tidak baik pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat, serta negara berkewajiban mengajak masyarakat untuk berbuat kebajikan, memerintah yang makruf dan mencegah yang mungkar.
Hal ini seiring dengan kaidar tasharruf al-imam „ala al-riyyah manuth bi al-mashlahab(kebijaksanaan pemimpin terhadap rakyat terkait dengan kemaslahatan).
Berdasar pada uraian di atas dapat dipahami bahwa pengakuan Islam akan kebebasan ekonomi dengan menentukan ikatan-ikatan adalah bertujuan untuk merealisasikan dua hal. Pertama, agar kegiatan ekonomi berjalan sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam syari'at Islam. Kedua, terjaminnya hak negara dalam ikut campur, baik untuk mengawasi kegiatan ekonomi terhadap individu maupun untuk mengatur atau melaksanakan beberapa macam kegiatan ekonomi yang tidak mampu ditangani oleh individu atau tidak mampu untuk mengeksploitasinya dengan baik.
Uraian di atas menjelaskan kepada kita bahwa persoalan-persoalan yang berkenaan dengan masalah ekonomi telah disinyalir dalam Islam. Sehingga bisa disimpulkan bahwa aturan Islam tentang ekonomi ini termasuk aturan yang sempurna dan lengkap. Oleh karena itu, pengaplikasian sistem ekonomi Islam dalam tatanan perekonomian umat kemungkinan besar akan lebih membawa kepada kesejahteraan dan kemaslahatan umat itu sendiri.
Kesadaran untuk mengaplikasikan sistem ekonomi Islam, tampak semakin hari semakin kentara. Pengaplikasian sistem ekonomi Islam itu tidak hanya dilakukan di negara-negara Islam, tetapi juga dilakukan pula di negara-negara yang bukan negara Islam; bahkan, dilakukan pula di negara-negara yang mayoritas penduduknya non-muslim. Dengan demikian, dapat dinyatakan pula bahwa pengaplikasian sistem ekonomi Islam bukan karena muslimnya, melainkan karena sistemnya yang dirasakan bermanfaat.
Keinginan dan upaya untuk mengaplikasikan sistem ekonomi Islam itu telah mulai tampak pula di Indonesia, yakni sebuah negara yang berideologi bukan Islam, tetapi mayoritas penduduknya beragama Islam. Keinginan dan upaya tersebut telah lama dilakukan dan semakin tumbuh subur.
3. Pemberdayaan Ekonom Umat
Pembahasan tentang pemberdayaan ekonomi umat, penulis mengemukakan berbagai elemen sebagai pendukung pemberdayaan ekonomi umat antara lain :
a. keagamaan
Salah satu agenda pembangunan nasional yang diamanatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004- 2009 ialah meningkatkan kesejahteraan umat. Upaya yang dilakukan antara lain melalui pemberdayaan masyarakat, seperti penanggulangan kemiskinan, pemberdayaan koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) serta Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).
Selaras dengan fungsi dan keberadaannya, ormas keagamaan menempati posisi penting dan strategis. Islam yang merupakan lokomotif yang bergerak di masyarakat dengan gerbong yang begitu besar sudah barang tentu diharapkan berperan serta dalam usaha menyukseskan pembangunan nasional, termasuk dalam bidang sosial dan ekonomi.
Dari sejarah, Sarekat Dagang Islam (SDI) didirikan oleh R. M. Tirto Adipuro di Bogor pada tahun 1905. Di samping itu masih segar dalam ingatan bagaimana Haji Samanhoedi, pedagang muslim, pengusaha batik dari Solo, Jawa Tengah, telah berhasil merajut potensi ekonomi umat dengan cara mengumpulkan pedagang bumi putra dalam sebuah organisasi yang disebut “Perkumpulan Rekso Rumekso” pada tahun 1909. Haji Samanhoedi bersama-sama saudara agar batik di Lawean Solo mengembangkan Sarekat Dagang Islam tersebut lebih luas lagi. Kemudian ketika HOS Tjokroaminoto bergabung, Sarekat Dagang Islam berubah menjadi Sarekat Islam. Sejak saat itulah Sarekat Islam terus berkembang pesat. Di tangan Tjokroaminoto, SI berkembang dan merambah ke akar rumput di pedesaan.
Keanggotaannya tidak lagi hanya pedagang tetapi meliputi seluruh umat Islam. Walaupun pada akhirnya SI lebih dikuasai oleh para kaum terpelajar ketimbang pedagang karena itu orientasinya bergeser dari ekonomi menjadi sangat politis. Sebenarnya tidak bisa dipungkiri bahwa SI adalah perkawinan kaum pedagang dengan cendikiawan.
Contoh yang tidak kalah menariknya adalah apa yang dilakukan oleh K. H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, yang terkenal dengan ucapannya, “Jangan mencari hidup dari Muhammadiyah tapi hiduplah Muhammadiyah”. Ia kerap mengajarkan murid-muridnya untuk menjadi orang yang mandiri secara ekonomi. Hasilnya cukup mencengangkan, pada tahun 1916, kaum saudagar yang menjadi anggota persarekatan Muhammadiyah mencapai 47% dari total anggota Muhammadiyah. Bandingkan dengan anggota dari kalangan pamong praja yang hanya 18,1 % dan ulama yang hanya 12,1%. Komposisi seperti inilah yang membuat Muhammadiyah dapat melakukan pemberdayaan ekonomi anggotanya. Hasilnya, Muhammadiyah mampu mendirikan panti asuhan, membangun sekolah dan rumah sakit secara mandiri.
Cukup menarik juga jika kita mencermati kelahiran Nahdlatul Ulama. Delapan tahun sebelum NU berdiri, tepatnya pada 1918, K.H Hasyim Asy‟ari mendirikan Syirkah al-„Inan, semacam koperasi yang dimiliki oleh Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan para Saudagar). Pada waktu itu, Hasyim Asy‟ari berpidato dan mengatakan, “Wahai Putra bangsa yang cerdik pandai, ustaz yang mulia, mengapa kalian tidak mendirikan badan usaha ekonomi …?” Demikianlah, pada tahun 1926, Nahdlatul Tujjar yang selanjutnya menjadi Nahdlatul Ulama berdiri menjadi sebuah organisasi yang lebih modern. Kiprahnya dalam bidang pemberdayaan ekonomi tetap menjadi spirit yang mendasari aktivitasnya.
Tiga contoh di atas cukup untuk dijadikan bukti betapa besarnya perhatian ormas-ormas Islam dalam hal pemberdayaan ekonomi umat. Mereka tidak hanya fokus pada dakwah, pendidikan dan sosial, tetapi juga menyentuh pada persoalanpersoalan ekonomi. Tidaklah mengherankan jika ormas Islam masa lalu cukup berwibawa karena kemandirian yang dimiliki dengan tidak bermaksud membandingkan apa yang terjadi sekarang yakni pergeseran yang signifikan di kalangan ormas Islam yang berkaitan dengan fungsinya (komitmen kepada kesejahteraan) bagi umat Islam. Semangat kewirausahaan ormas Islam mengalami degradasi yang ditandai dengan terjebak pada lapangan politik politis, dan kurang memperhatikan aspek ekonomi umat.
Terhadap tantangan saat ini dan kedepan setidaknya ada agenda yang perlu dilakukan oleh Ormas Islam dalam kaitannya dengan pemberdayaan ekonomi umat. Di antara agenda yang mendesak untuk segera dilakukan adalah pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Pilihan UMKM ini setidaknya didasarkan pada beberapa pertimbangan. Pertama, UMKM dapat menjadi basis ekonomi nasional. Sejarah membuktikan ketika umat menghadapi krisis ekonomi nasional, ekonomi kerakyatan, nama lain dari UMKM, ternyata memiliki ketangguhan yang luar biasa. UMKM ternyata bertahan dari gempuran krisis.
Sebabnya adalah, UMKM berdasarkan pada ekonomi riil sebagaimana yang dipraktekkan masyarakat. Kedua, UMKM sepanjang dikelola dengan baik, profesional dan modern, dipastikan akan dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Dalam menyerap tenaga kerja UMKM sebenarnya tidak memerlukan persyaratan yang kompleks. Kuncinya adalah kemauan dan kesungguhan. Ketiga, UMKM itu sendiri akan menghasilkan produk dalam bentuk barang murah yang menjadi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan kesehariannya. Jika UMKM ini dapat berfungsi secara baik, maka pengangguran yang telah menjadi masalah bangsa yang sangat akut akan segera dapat diatasi.
b. Badan Amil Zakat Infaq dan Shadaah
Salah satu kendala yang banyak dihadapi oleh berbagai negara dalam pembangunan adalah ketersediaan biaya merupakan persoalan yang sangat pelik dan sulit dipecahkan.
Biaya yang paling dominan dalam pembangunan bukanlah dana yang berasal dari bantuan dari pihak lain, melainkan dana yang digali dari potensi sendiri berupa pemberdayaan potensi ekonomi umat atau bangsa. Bagi negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim, sebenarnya ada mekanisme yang dapat digalakkan untuk memberdayakan ekonomi umat untuk biaya pembangunan secara menyeluruh, yakni pranata zakat, infaq dan shadaqah.
Zakat, infaq dan shadaqah telah beberapa abad lamanya disyariatkan Islam, akan tetapi, pada dewasa ini pranata ekonomi Islam tidak cukup efektif bagi pembangunan umat. Hal ini berbeda dengan ketika pada masa Rasulullah Saw, Khulafa‟ al Rasyidin dan pada masa Dinasti Umayah dan Abasiyah. Pada masa itu pemberdayaan ekonomi umat melalui tiga pranata ekonomi Islam tersebut cukup efektif. Hal ini disebabkan bayt al-mal pada saat itu berjalan sesuai dengan tuntutan Rasulullah Saw. Dewasa ini ternyata bayt al-mal itu tidak tampak jelas, sehingga pranata ekonomi Islam yang potensial itu tidak dapat diaplikasikan.
Atas dasar pranata tersebut, maka untuk membangkitkan kembali semangat bayt al-mal yang pernah mampu memobilisasi dana umat pada zamannya, umat Islam Indonesia mulai mendirikan Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (BAZIS). Badan ini menjadi institusi alternatif yang dapat memobilisasi dana umat, khususnya zakat, infaq dan shadaqah sebagaimana halnya bayt al-mal pada masa Rasulullah Saw, khulafa‟ al-Rasyidin.
Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah sebagaimana ditemukan dalam surat keputusan bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 29 Tahun 1991/47 Tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah. Dalam pasal 1 SKB disebutkan bahwa Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah adalah lembaga swadaya masyarakat yang mengelola, penerimaan, pengumpulan, penyaluran dan pemanfaatan zakat, infaq dan shadaqah secara berdaya guna dan berhasil guna.
Berdasarkan keputusan tersebut, maka pengelola zakat memiliki tugas mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan harta zakat umat Islam. Obyek atau sasaran dalam penerimaan dan pengumpulan yang dilakukan oleh pengelola selain zakat adalah infaq dan shadaqah dalam pemberdayaan ekonomi umat.
Menurut Abdul Mannan, zakat merupakan pusat keuangan umat Islam meliputi bidang moral, sosial dan ekonomi. Dalam bidang moral, zakat dapat mengikis ketamakan dan keserakahan bagi yang kaya, dalam bidang sosial, zakat merupakan alat yang khas diberikan Islam untuk menghapuskan kemiskinan dari masyarakat dengan menyadarkan kepada orang kaya akan tanggung jawab sosial yang dimilikinya, sedangkan dalam bidang ekonomi, zakat dapat mencegah penumpukan kekayaan dalam tangan segelintir orang dan memungkinkan kekayaannya untuk disebarkan kepada yang berhak menerimanya sebelum terjadi bahaya besar di tangan pemiliknya.
Hal ini disadari dan dilaksanakan oleh pemilik kekayaan melalui zakat, maka menjadikan ekonomi diantara umat Islam secara adil dan seksama, sehingga si kaya tumbuh semakin kaya dan dapat menghapuskan kemiskinan. Oleh karenanya dalam istilah ekonomi, zakat merupakan tindakan pemindahan kekayaan dari golongan kaya kepada golongan miskin. Tindakan ini akan mengakibatkan perubahan yang bersifat ekonomi dimana seseorang yang menerima zakat dapat mempergunakannya untuk mengkonsumsi atau memproduksi.
Monzer Khaf menyatakan bahwa zakat adalah sebagai hukuman atas orangorang yang mampu senantiasa menimbun harta dan tidak mau menginvestasikan hartanya pada usaha yang bersifat produktif, dimana secara perlahan tetapi meyakinkan pembayaran zakat akan menghabiskan hartanya.
Hal ini memahami kepada setiap muslim yang bijaksana akan senantiasa menginvestasikan modalnya pada usaha yang produktif agar meningkatkan hartanya dan dapat membayar zakat dari keuntungan yang diperolehnya kepada Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah.
Hasil pengumpulan Zakat, Infak dan Shadaqah dari masyarakat (umat Islam) didayagunakan untuk kepentingan umat yang tidak mampu yang berhak memperoleh bagian dari harta zakat (mustahiq). Pendayagunaan zakat, infaq dan shadaqah harus didasarkan pada skala prioritas kebutuhan mustahiq. Selain itu, khusus zakat harta pendayagunaannya harus diorientasikan pada usaha yang bersifat produktif.
Menurut M. Daud Ali proses pemanfaatan dana zakat dapat digolongkan kepada empat macam, yaitu : pertama, mendayagunakan zakat yang bersifat konsumtif tradisional artinya bahwa zakat itu langsung dibagikan kepada yang berhak menerimanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Kedua, mendayagunakan zakat yang bersifat konsumtif kreatif, artinya bahwa pembagian zakat itu bukan berupa uang atau makanan, tetapi berupa alat-alat sekolah atau beasiswa dan lain-lain. Ketiga, mendayagunakan zakat yang bersifat produktif tradisional, artinya bahwa bagian yang mereka terima dari harta zakat berupa barang yang produktif, sehingga cukup sekali diberikan tetapi akan lebih besar keuntungan.
Keempat, mendayagunakan zakat yang bersifat produktif kreatif, maksudnya dana zakat itu diberikan sebagai modal atau menambah modal yang telah ada dan dapat digunakan pada pembukaan proyek atau usaha.
Bagaimanapun cara menyalurkan zakat itu, tetap harus sesuai dengan hukum Islam yaitu mengedepankan mereka yang lebih berhak dan lebih baik diarahkan pada pengembangan usaha mustahiq.
Sehingga mereka akan menjadi muzakki dan bukan lagi mustahiq. Orang yang mampu semakin bertambah dan orang yang lemah semakin berkurang. Keadilan ekonomi, sosial dan keamanan masyarakat akan tercipta.
Upaya pendayagunaan harta zakat pada usaha produktif dimaksudkan agar mustahiq tidak dididik menjadi masyarakat yang konsumtif. Ketika diberi harta dari zakat, maka mustahiq berfikir bagaimana memanfaatkan harta zakat itu menjadi modal usaha. Dengan begitu, pada saat pembagian zakat berikutnya ia tidak lagi menjadi mustahiq, melainkan kalau mungkin menjadi muzakki.
Kondisi tersebut akan berbeda jika zakat itu berupa zakat fitrah. Sebagaimana yang tersurat dalam Al-Quran dan sunnah, harta zakat fitrah itu harus diorientasikan pada hal-hal yang bersifat konsumtif. Tujuan utama dari zakat fitrah adalah agar pada saat hari raya tidak ditemukan fakir miskin yang tidak dapat makan. Artinya bahwa zakat fitrah itu ditujukan pada sasaran dan dalam jangka waktu tertentu.
Namun kondisi itu dikecualikan apabila setelah dibagikan kepada fakir miskin untuk kebutuhan hari raya harta zakat masih tersisa, maka harta zakat boleh diarahkan pada usaha yang bersifat produktif untuk masa depan ekonomi umat.
Dalam kaitan ini Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah harus memberikan harta zakat fitrah kepada fakir miskin selain pada saat hari raya sesuai dengan kebutuhannya juga untuk modal usahanya agar mereka tidak tetap dalam kefakiran dan kemiskinannya.
Menurut penulis disamping zakat, instrumen keuangan Islam yang prospektif sebagai pemberdayaan ekonomi umat ke depan adalah wakaf produktif (wakaf uang).
Asumsinya jika 2.000 orang Islam berwakaf, mulai dari Rp. 50.000,00 Rp. 100.000,00 sampai Rp. 1.000.000,00 maka dalam waktu setahun umat Islam dapat mengumpulkan dana sebesar Rp. 30 miliar. Hal ini menjadi tugas ormas Islam untuk mensosialisasikan kepada umat Islam.
Baik zakat maupun wakaf produktif, jika dikelola dengan baik akan menghasilkan kekuatan dana ekonomi umat yang luar biasa. Dengan potensi dana yang demikian besar tentu banyak hal yang dapat dilakukan seperti memberdayakan ekonomi umat melalui stimulus dana Qardh al-hasan, membantu peningkatan sumber daya manusia melalui pemberian beasiswa kepada pelajar mahasiswa yang berprestasi. Selain itu, dapat membangun pusat-pusat pelayanan publik.
c. Bank Syari‟ah
Dalam kerangka ekonomi umat Islam, istilah bank memiliki konsep tersendiri yakni bank syari‟ah yang beroperasi di atas dasar ajaran Islam yang memiliki prinsip operasional berbeda dengan prinsip operasional bank konvensional.
Menurut Karnaan A. dan Syafi‟i Antonio, bank syari‟ah memiliki dua pengertian, yaitu : Pertama, bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari‟at Islam; kedua, bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan Al-Qur‟an dan Sunnah.
Menurut Abdul Azis Dahlan, Bank Syari‟ah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang operasionalnya disesuaikan dengan prinsip syari‟at Islam.
Pengertian di atas dapat dipahami bahwa prinsip operasional bank syari‟ah berdasarkan prinsip bagi hasil dibandingkan bank konvensional berdasarkan prinsip bunga. Meskipun demikian, pemahaman tentang bank Syari‟ah tidak hanya dilihat dari aspek praktis operasional, tetapi harus pula dilihat dari perspektif ekonomi makro ke Islamannya dalam rangka pemberdayaan ekonomi umat dengan memiliki beberapa karakteristik, yaitu : pertama, berdimensi keadilan dan pemerataan yaitu prinsip mudharabah atau musyarakah dimana tidak muncul kerugian hanya dialami oleh salah satu pihak, karena resiko kerugian dan keuntungan yang diperoleh ditanggung bersama antara bank dengan nasabahnya. Dengan demikian, kekayaan tidak akan hanya beredar pada golongan tertentu, yang pada akhirnya pemberdayaan ekonomi umat akan terwujud secara merata dalam bentuk penyebaran modal dan kesempatan, kedua, pemberlakuan jaminan, yaitu pada bank syari‟ah yang dijadikan jaminan adalah proyek yang tengah dikerjakan bersama antara bank sebagai pemilik modal dengan nasabah sebagai pengelola usaha. Dengan demikian baik kaya maupun miskin memiliki kesempatan untuk mendapatkan modal. Idealnya bank syari‟ah akan mampu meratakan kesempatan berusaha bagi umat Islam yang memiliki potensi berbisnis.
Berdasarkan karakteristik di atas, maka akan memungkinkan perluasan kesempatan kerja bagi umat Islam, tanpa membedakan antara memiliki modal dengan kaum dhu‟afa‟. Hal ini disebabkan dengan dihapusnya prinsip bunga akan mendorong orang untuk melakukan investasi langsung berupa pembiayaan proyek dan perdagangan yang dapat membuka usaha baru dan kaum dhu‟afa‟ juga dapat terlibat dalam pemberdayaan ekonomi umat.