Sejarah Pelarangan Riba Sebelum Islam
Istilah riba telah dikenal dan digunakan dalam transaksi-transaksi perekonomian oleh masyarakat Arab sebelum datangnya Islam. Akan tetapi pada zaman itu riba yang berlaku adalah merupakan tambahan dalam bentuk uang akibat penundaan pelunasan hutang. Dengan demikian, riba dapat diartikan sebagai pengambilan tambahan dalam transaksi jual beli maupun hutang piutang secara batil atau bertentangan dengan kaidah syari'at Islam.
Riba tidak hanya dikenal dalam Islam saja, tetapi dalam agama lain (nonIslam) riba telah kenal dan juga pelarangan atas perbuatan pengambil riba, bahkan pelarangan riba telah ada sejak sebelum Islam datang menjadi agama.
1. Masa Yunani Kuno
Bangsa Yunani kuno mempunyai peradaban tinggi, peminjaman uang dengan memungut bunga dilarang keras. Ini tergambar pada beberapa pernyataan Aristoteles yang sangat membenci pembungaan uang:
"Bunga uang tidaklah adil"
"Uang seperti ayam betina yang tidak bertelur"
"Meminjamkan uang dengan bunga adalah sesuatu yang rendah derajatnya"
2. Masa Romawi
Kerajaan romawi melarang setiap jenis pemungutan bunga atas uang dengan mengadakan peraturan-peraturan keras guna membatasi besarnya suku bunga melalui undang-undang. Kerajaan Romawi adalah kerajaan pertama yang menerapkan peraturan guna melindungi para peminjam.
3. Menurut Agama Yahudi
Yahudi juga mengharamkan seperti termaktub dalam kitab sucinya, menurut kitab suci agama Yahudi yang disebutkan dalam Perjanjian Lama kitab keluaran ayat 25 pasal 22: "Bila kamu menghutangi seseorang diantara warga bangsamu uang, maka janganlah kamu berlaku laksana seorang pemberi hutang, jangan kamu meminta keuntungan padanya untuk pemilik uang".
Dan pada pasal 36 disebutkan: " Supaya ia dapat hidup di antaramu janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba dari padanya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu dapat hidup diantaramu". Namun orang Yahudi berpendapat bahwa riba itu hanyalah terlarang kalau dilakukan dikalangan sesama Yahudi, dan tidak dilarang dilakukan terhadap kaum yang bukan Yahudi. Mereka mengharamkan riba sesama mereka tetapi menghalalkannya kalu pada pihak yang lain. Dan inilah yang menyebabkan bangsa Yahudi terkenal memakan riba dari pihak selain kaumnya. Berkaitan dengan kedhaliman kaum Yahudi inilah, Allah dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 160-161 tegas-tegas mengatakan bahwa perbuatan kaum Yahudi ini adalah riba yaitu memakan harta orang lain dengan jalan BATHIL, dan Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih.
4. Menurut Agama Nasrani
Berbeda dengan orang Yahudi, umat Nasrani memandang riba haram dilakukan bagi semua orang tidak terkecuali siapa orang tersebut dan dari agama apapun, baik dari kalangan Nasrani sendiri ataupun non-Nasrani.
Menurut mereka (tokoh-tokoh Nasrani) dalam perjanjian lama kitab Deuntoronomy pasal 23 pasal 19 disebutkan: "Janganlah engkau membungakan uang terhadap saudaramu baik uang maupun bahan makanan atau apapun yang dapat dibungakan".
Kemudian dalam perjanjian baru di dalam Injil Lukas ayat 34 disebutkan: "Jika kamu menghutangi kepada orang yang engkau harapkan imbalannya, maka di mana sebenarnya kehormatan kamu. Tetapi berbuatlah kebaikan dan berikanlah pinjaman dengan tidak mengharapkan kembalinya, karena pahala kamu sangat banyak".
Pengambilan bunga uang dilarang gereja sampai pada abad ke-13 M. pada akhir abad ke-13 timbul beberapa faktor yang menghancurkan pengaruh gereja yang dianggap masih sangat konservatif dan bertambah meluasnya pengaruh mazhab baru, maka piminjaman dengan dipungut bunga mulai diterima msyarakat. Para pedagang berusaha menghilangkan pengaruh gereja untuk menjastifikasi beberapa keuntungan yang dilarang oleh gereja. Ada beberapa tokoh gereja yang beranggapan bahwa keuntungan yang diberikan sebagai imbalan administrasi dan kelangsungan organisasi dibenarkan karena bukan keuntungan dari hutang. Tetapi sikap pengharaman riba secara mutlak dalam agama Nasrani dengan gigih ditegaskan oleh Martin Luther, tokoh gerakan Protestan. Ia mengatakan keuntungan semacam itu baik sedikit atau banyak, jika harganya lebih mahal dari harga tunai tetap riba.
Pada masa jahiliyah istilah riba juga telah dikenal, pada masa itu (jahiliyah) riba mempunyai beberapa bentuk aplikatif. Beberapa riwayat menceritakan riba jahiliyah.
Bentuk pertama: Riba Pinjaman, yaitu yang direfleksikan dalam satu kaidah di masa jahiliyah: "tangguhkan hutangku, aku akan menambahkanya". Maksudnya adalah jika ada seseorang mempunyai hutang (debitor), tetapi ia tidak dapat membayarnya pada waktu jatuh tempo, maka ia (debitor) berkata: tangguhkan hutangku, aku akan memberikan tambahan. Penambahan itu bisa dengan cara melipat gandakan uang atau menambahkan umur sapinya jika pinjaman tersebut berupa bintang. Demikian seterusnya.
Menurut Qatadah yang dimaksud riba adalah orang jahiliyah adalah seorang laki-laki menjual barang sampai pada waktu yang ditentukan. Ketika tenggat waktunya habis dan barang tersebut tidak berada di sisi pemiliknya, maka ia harus membayar tambahan dan boleh menambah tenggatnya.
Abu Bakar al-Jashshash berkata: seperti dimaklumi, riba dimasa jahiliyah hanyalah sebuah pinjaman dengan rentang waktu, disertai tambahan tertentu.
Tambahan itu adalah ganti dari rentang waktu. Allah SWT menghapusnya.
Menurut Mujahid (meninggal pada tahun 104 Hijriah), menjelaskan tentang riba yang dilarang oleh Allah SWT, "di zaman Jahiliyah, seseorang mempunyai piutang dari orang lain. Orang itu berkata kepadamu seperti itulah anda menangguhkannya dari saya, maka diampuni menangguhkannya."
Bentuk kedua: Pinjaman dengan pembayaran tertunda, tetapi dengan syarat harus dibayar dengan bunga.
Al-Jassash menyatakan, "Riba yang dikenal dan biasa dilakukan oleh masyarakat Arab adalah berbentuk pinjaman uang dirham atau dinar yang dibayar secara tertunda dengan bunganya dengan jumlah sesuai dengan jumlah hutang dan sesuai dengan kesepakatan bersama.
Bentuk ketiga: Pinjaman berjangka dan berbunga dengan syarat dibayar perbulan.
Ibnu hajar al-Haitsami menyatakan, "riba nasi'ah adalah riba yang populer di masa Jahiliyah. Karena biasanya seseorang meminjamkan uang kepada orang lain dengan pembayaran tertunda, dengan syarat ia mengambil sebagian uangnya tiap bulan sementara jumlah uang yang dihutang tetap sampai tiba waktu pembayaran, kalau tidak mampu melunasinya, maka diundur dan ia harus menambah jumlah yang harus dibayar.
Tahapan Larangan Riba dalam al-Qur'an
Sudah jelas diketahui bahwa Islam melarang riba dan memasukkannya dalam dosa besar. Tetapi Allah SWT dalam mengharamkan riba menempuh metode secara gredual (step by step). Metode ini ditempuh agar tidak mengagetkan mereka yang telah biasa melakukan perbuatan riba dengan maksud membimbing manusia secara mudah dan lemah lembut untuk mengalihkan kebiasaan mereka yang telah mengakar, mendarah daging yang melekat dalam kehidupan perekonomian jahiliyah. Ayat yang diturunkan pertama dilakukan secara temporer yang pada akhirnya ditetapkan secara permanen dan tuntas melalui empat tahapan.
Tahap pertama
Dalam surat Ar-Rum ayat 39 Allah menyatakan secara nasehat bahwa Allah tidak menyenangi orang yang melakukan riba. Dan untuk mendapatkan hidayah Allah ialah dengan menjauhkan riba. Di sini Allah menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang mereka anggap untuk menolong manusia merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Berbeda dengan harta yang dikeluarkan untuk zakat, Allah akan memberikan barakah-Nya dan melipat gandakan pahala-Nya. Pada ayat ini tidaklah menyatakan larangan dan belum mengharamkannya.
Tahap kedua
Pada tahap kedua, Allah menurunkan surat An-Nisa' ayat 160-161. riba digambarkan sebagai sesuatu pekerjaan yang dhalim dan batil. Dalam ayat ini Allah menceritakan balasan siksa bagi kaum Yahudi yang melakukannya.
Ayat ini juga menggambarkan Allah lebih tegas lagi tentang riba melalui riwayat orang Yahudi walaupun tidak terus terang menyatakan larangan bagi orang Islam. Tetapi ayat ini telah membangkitkan perhatian dan kesiapan untuk menerima pelarangan riba. Ayat ini menegaskan bahwa pelarangan riba sudah pernah terdapat dalam agama Yahudi. Ini memberikan isyarat bahwa akan turun ayat berikutnya yang akan menyatakan pengharaman riba bagi kaum Muslim.
Tahap ketiga
Dalam surat Ali Imran ayat 130, Allah tidak mengharamkan riba secara tuntas, tetapi melarang dalam bentuk lipat ganda. Hal ini menggambarkan kebijaksanaan Allah yang melarang sesuatu yang telah mendarah daging, mengakar pada masyarakat sejak zaman jahiliyah dahulu, sedikit demi sedikit, sehingga perasaan mereka yang telah biasa melakukan riba siap menerimanya.
Tahap keempat
Turun surat al-Baqarah ayat 275-279 yang isinya tentang pelarangan riba secara tegas, jelas, pasti, tuntas, dan mutlak mengharamannya dalam berbagai bentuknya, dan tidak dibedakan besar kecilnya. Bagi yang melakukan riba telah melakukan kriminalisasi. Dalam ayat tersebut jika ditemukan melakukan kriminalisasi, maka akan diperangi oleh Allah SWT dan Rasuln-Nya.
Ragam atau Macam-macam Riba
Pada dasarnya riba terbagi menjadi dua macam yaitu riba akibat hutang piutang yang telah dijelaskan tentang keharamannya dalam al-Qur'an, dan riba jual beli yang juga telah dijelaskan boleh dan tidaknya dalam bertransaksi dalam as-Sunnah.
a. Riba akibat hutang-piutang disebut Riba Qard ( قرقض ربرر), yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtarid), dan Riba Jahiliyah ( ليهر قرا ربر), yaitu hutang yang dibayar dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
b. Riba akibat jual-beli disebut Riba Fadl ( قرضلر ربر), yaitu pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda dan barang yang dipertukarkan termasuk dalam jenis barang ribawi, dalam hadits Ubadah bin Shamit disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
عننعبعدنننن ابصنننعبال ننننعتبرنننناباصبى نننتبيهنننلابانبىننن ببانبع هننن ب هننن ب نننببعنننعبصهننن بالننن بنل ب الفضةبصنلفضة. الربصنلرب, الش ربصنلش ر, التمرصنلتمر, مل حبصنمل ح.عثابمبثلب,هلاءبصسلاء,بداصهد,فنذا اخت فب هباألى نفبفده لابكهفبشئت باذاكننب داصهد
Maksud dari hadits di atas adalah seseorang menukar barang berupa emas harus dengan emas pula yang sepadan dan beratnya juga harus sama, perak dengan perak dan harus diserahterimakan secara langsung.
Dan Riba Nasi'ah ( قرسئرر ربر), yaitu penangguhan atas penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang diperlukan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasi'ah muncul dan terjadi karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.
Pandangan kaum Modern terhadap Riba
Kaum modernis memandang riba lebih menekankan pada aspek moralitas atas pelarangannya, dan menomor-duakan "legal-form" riba, seperti yang ditafsirkan dalam fiqh. Mereka (kaum modernis) adalah Fazlur Rahman (1964), Muhammad Asad (1984), Sa'id al-Najjar (1989), dan Abd al-Mun'im al-Namir (1989).
Menurut Muhammad Asad:
Garis besarnya, kekejian riba (dalam arti di mana istilah digunakan dalam alQur'an dan dalam banyak ucapan Nabi SAW) terkait dengan keuntungankeuntungan yang diperoleh melalui pinjaman-pinjaman berbunga yang mengandung eksploitasi atas orang-orang yang berekonomi lemah orangorang kuat dan kaya…dengan menyimpan definisi ini di dalam benak kita menyadari bahwa persolan mengenai jenis transaksi keuangan mana yang jatuh ke dalam kategori riba, pada akhirnya, adalah persoalan moralitas yang sangat terkai dengan motivasi sosio-ekonomi yang mendasari hubungan timbal-balik antara si peminjam dan pemberi pinjaman.
Menurut pemikir modern yang lain adalah Abdullah Yusuf Ali, beliau mendefiniskan riba adalah: Tidak dapat disangsikan lagi tentang pelarangan riba. Pandangan yang biasa saya terima seakan-akan menjelaskan, bahwa tidak sepantasnya memperoleh keuntungan dengan menempuh jalan perdagangan yang terlarang, di antaranya dengan pinjam meminjam terhadap emas dan perak serta kebutuhan bahan makanan meliputi gandum, gerst (seperti gandum yang dipakai dalam pembuatan bir), kurma, dan garam. Menurut pandangan saya seharusnya larangan ini mencakup segala macam bentuk pengambilan keuntungan yang dilakukan secara berlebih-lebihan dari seluruh jenis komoditi, kecuali melarang pinjaman kredit ekonomi yang merupakan produk perbankan modern.
Sedangkan Fazlur Rahman berpendapat bahwa riba: Mayoritas kaum muslim yang bermaksud baik dengan bijaksana tetap berpegang teguh pada keimanannya, menytakan bahwa al-Qur'an melarang seluruh bunga bank. (menanggapi penjelasan tersebut) sedih rasanya pemahaman yang mereka dapatkan dengan cara mengabaikan bentuk riba yang bagaimanakah yang menurut sejarah dilarang, mengapa al-Qur'an mencelanya sebagai perbuatan keji dan kejam mengapa menganggapnya sebagai tindakan eksploitatif serta melarangnya, dan apa sebenarnya fungsi bunga bank pada saat ini.
Bagi kaum modernis tampak dengan jelas bahwa apa yang diharamkan adalah adanya eksploitasi atas orang-orang miskin, bukan pada konsep bunga itu sendiri (legal-form) menurut hukum Islam, apa yang diharamkan adalah tipe peminjaman yang berusaha mengambil untung dari penderitaan orang lain.
Pandangan Islam terhadap Riba
Sejak zaman Nabi Muhammad SAW, riba telah dikenal pada saat turunnya ayat-ayat yang menyatakan larangan terhadap transaksi yang mengandung riba sesuai dengan masa dan periode turunnya ayat tersebut sampai ada ayat yang melarang dengan tegas tentang riba. Bahkan istilah dan persepsi tentang riba begitu mengental dan melekat di dunia Islam. Oleh karena itu, terkesan seolaholah doktrin riba adalah khas agama Islam. Akan tetapi menurut seorang Muslim Amerika, Cyril Glasse, dalam buku ensiklopedinya, tidak diberlakukan di negeri Islam modern manapun, sementara itu, kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa di agama Kristen pun, selama satu melenium, riba adalah barang terlarang dalam pandangan theolog, cendikiawan maupun menurut undang-undang yang ada.
Kegiatan transaksi yang mengandung riba merupakan kegiatan transaksi yang secara tegas diharamkan bahkan pengharamannya telah menjadi aksioma dalam ajaran Islam. Riba merupakan transaksi yang mengandung unsur eksploitasi terhadap para peminjam (debitor) bahkan merusak akhlak dan moralitas manusia. Pengharaman ini tidak hanya berlaku pada agama Islam saja, akan tetapi dalam agama-agama samawi juga melarangnya bahkan mengutuk pelaku riba. Plato (427-347 SM) misalnya termasuk orang yang mengutuk para pelaku pelipat gandaan uang.
Sedikit atau banyaknya riba, memang masih menjadi perdebatan, hal ini dikerenakan bahwa riba Jahiliyah yang dengan jelas dilarangnya riba adalah yang berlipat ganda (ad'afan mudha'afah). Landasan dari riba dalam al-Qur'an surat alImran ayat 130:
أ نال عبءاع لااتأك لالرصلابأض فنعض فة, اتقلانبل ك بتف حلن
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan"
Tetapi bila ditinjau dari keseluruhan ayat-ayat riba, seperti al-Baqarah ayat 275 (mengharamkan riba), ayat 276 masih dalam surat al-Baqarah menyatakan bahwa Allah menghapus keberkahan riba dan demikian pula dalam surat alBaqarah ayat 278-279, yang menegaskan tentang pelarangan riba, meskipun sedikit pengambilan bunga (tambahan) tersebut tetap dilarang, hal ini menunjukkan bahwa tujuan ideal al-Qur'an adalah menghapus riba sampai membersihkan unsur-unsurnya.
Dalam surat al-Baqarah ayat 278-279 menjelaskan secara tegas terhadap pelarangan pelaku riba:
أ نال عبءاع لاباتقنلاانب ي ابعننصقببعنعبالرصنلابانبك نت بعفع ,فنننبوبتف نلابفنأذ لبابحبنر بعنعبانب
يهلل انبتدت بف ك بيء سبأعلالك باتظ ملنب اتظ ملن.
Dalam ayat ini Allah menganjurkan hamba-Nya yang beriman supaya menjaga dirimu dalam taqwa, dalam tiap gerak, langkah, tutur kata dan amal perbuatan supaya benar-benar dijalan Allah dan tinggalkan sisa hartamu (riba) yang masih ada ditangan orang, selebihnya dari apa yang kalian berikan kepada mereka, jika kalian benar-benar beriman, percaya syari'at tuntunan Allah dan melakukan segala yang diridha'i-Nya dan menjauh dari semua yang dilarang dan dimurkakan-Nya.
Ahli-ahli tafsir menyebut di sini adalah kejadian pada Bani Amr bin Umar dari suku Tsaqief dan Bani al-Mughirah dari suku Makhzum, ketika di masa Jahiliyah terjadi hutang piutang riba, kemudian ketika Islam datang, suku Tsaqief akan menuntut kekurangan riba yang belum dilunasi tetapi banul Mughirah berkata, "Kami tidak akan membayar riba dalam Islam, maka gubernur Makkah Attab bin Usaid menulis surat kepada Rasulullah saw, surat tersebut berisi mengenai kejadian hutang piutang antara Bani Amr bin Umar dari suku Tsaqief dengan Bani Mughirah dari suku Makhzum, maka turunlah ayat 278-279 dari surat al-Baqarah ini, maka Bani Amr bin Umar berkata, "Kami tobat kepada Allah dan membiarkan sisa riba itu semuanya.
Tampaknya pelarangan riba dalam al-Qur'an datang secara bertahap seperti larangan minum khamar. Dalam surat al-baqarah merupakan ayat riba yang terakhir dan para ahli hukum Islam dan ahli tafsir tidak ada yang membantahnya. Berbagai riwayat yang dikutip oleh mufassir ketika mereka menjelaskan sebab turunnya kelompok ayat ini menyebutkan bahwa ayat tersebut merupakan ketegasan atas praktek riba yang ditampilkan antara penduduk Makkah dan penduduk Taif.