Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State-Society Relation

Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State-Society Relation 
Seperti disinyalir Diana Conyer (1983), perdebatan tentang konsep desentralisasi belum berakhir, dan tidak pernah akan berakhir. Kendati Slater dan Rondinelli telah mengakhiri polemik mereka (1989-1990) dalam mengungkap keunggulan dan kelemahan konsep desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi, namun semangat untuk terus mempertanyakan ‘kesahihan’ konsep-konsep desentralisasi masih terus berlangsung dan tidak pernah padam. Fenomena ini, tegas Conyer (1983), harus diartikulasi sebagai suatu proses dinamis, melalui mana konsep desentralisasi terus menyempurnakan diri sejalan perkembangan ruang dan waktu.

Beberapa pengamat telah menilai pernyataan seperti dikemukakan Conyer di atas sebagai apologi atas kegagalan konsep desentralisasi dalam menjawab realitas yang ada (lihat David Slater, 1989)1. Namun penulis menyikapinya dalam perspektif yang cenderung optimis. Menurut hemat penulis, makna tersirat dibalik pernyataan tersurat yang dikemukakan Conyer adalah suatu pengakuan akademis yang jujur, bahwa konsep desentralisasi yang ada dan berkembang sejauh ini masih mengandung sejumlah kelemahan-kelemahan, utamanya dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang baru muncul seiring dengan perkembangan ruang dan waktu. Kecenderungan seperti ini, tentunya, tidak hanya berlaku atas konsep desentralisasi, tetapi juga terjadi pada konsep-konsep di bidang lain. Karena itu, barangkali, tidak berlebihan bila pernyataan Conyer diartikulasi sebagai suatu ‘tantangan terbuka’ kepada para pemerhati konsep desentralisasi untuk memberikan kontribusi dalam penyempurnaan konsep melalui proses dialektika akademis.

Pembahasan tulisan ini difokuskan pada upaya mengkritisi konsep-konsep desentralisasi yang ada (desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi), dan selanjutnya menawarkan ide rekonstruksi konsep dan pendekatan implementasi kebijakan desentralisasi berdasarkan perspektif state-society relation. Diskusi dimulai dengan deskripsi singkat tentang konsep dasar perspektif desentralisasi politik dan administrasi (political and administrative decentralisation), sebagai landasan pijak untuk membangun logika teoritis tentang desentralisasi dalam perspektif state-society relation pada bagian berikutnya. Ide rekonstruksi konsep dan pendekatan desentralisasi dibahas secara lebih detail pada bagian akhir, setelah terlebih dahulu dilakukan analisa kritis tentang dinamika desentralisasi di Indonesia dalam perspektif state-society relation. 

Polemik Konseptual: Desentralisasi Politik vs Desentralisasi Administrasi
Bila ditelusuri kembali dinamika perkembangan konsep desentralisasi, akan terlihat bahwa dalam perjalanannya ia tidak pernah luput dari kritik, atau bahkan melahirkan polemic antara pihak yang pro dan contra. Perdebatan pada tataran konseptual tersebut, tidak saja berimplikasi pada semakin berkembangnya konsep desentralisasi, tetapi juga telah memunculkan kerumitan-kerumitan tertentu dalam memahami konsep desentralisasi.

Kecenderungan ini semakin nyata terlihat sejak dekade 1970-an, ketika kajian tentang desentralisasi sudah tidak lagi dimonopoli oleh disiplin ilmu politik dan administrasi negara, tetapi juga telah menarik perhatian disiplin ilmu lain. Hanya menyebut beberapa contoh, di antara disiplin ilmu yang telah memberikan kontribusi dalam kajian desentraliasi dan otonomi daerah adalah ilmu ekonomi, hukum, sosiologi, dan antropologi (Conyer, 1984: 190). Akibatnya, konsep desentralisasi dan otonomi daerah dirumuskan dalam ‘bahasa’ yang berbeda-beda, sesuai dengan disiplin ilmu pengusungnya.

Namun demikian, kompleksitas konsep desentralisasi secara umum dapat dikategorikan ke dalam 2 (dua) perspektif utama, yakni political decentralisation perspecitve (perspektif desentralisasi politik) dan administrative decentralisation perspecitve (perspektif desentralisasi administrasi). Perbedaan mendasar dua perspekstif ini terletak pada rumusan definisi dan tujuan desentralisasi. Perspektif desentralisasi politik mendefinisikan desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan (devolution of power) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Parson (1961), misalnya, mendefinisikan desentralisasi sebagai 

“… sharing of the governmental power by a central ruling group with other groups, each having authority within a specific area of the state.” Sedangkan dekonsentrasi, menurut Parson, adalah “… the sharing of power between members of the same ruling group having authority respectively in different areas of the state.” 

Dengan merujuk pada definisi desentralisasi dan dekonsentrasi yang dirumuskan Parson tersebut, Mawhood (1987: 9) mengatakan bahwa desentralisasi adalah “… devolution of power from central to local governments”. Hal senada juga dikemukakan oleh Smith (1985), yang mendefinisikan desentralisasi sebagai “… the transfer of power, from top level to lower level, in a territorial hierarchy, which could be one of government within a state, or offices within a large organisation.” Poin penting yang menarik untuk digarisbawahi di sini adalah bahwa Smith juga mendudukkan ide devolution of power sebagai substansi utama desentralisasi, kendati devolusi kekuasaan yang dimaksud tidak hanya dibatasi pada struktur pemerintahan. 

Pada sisi lain, perspektif desentralisasi administrasi lebih menekankan definisi desentralisasi sebagai delegasi wewenang administratif (administrative authority) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Rondinelli and Cheema (1983: 18), misalnya, mengatakan:

Decentralisation is the transfer of planning, decision-making, or administrative authority from central government to its field organisations, local administrative units, semi autonomous and parastatal organisations, local government, or non-government organisations.

Perbedaan kedua perspektif dalam mendefinisikan desentralisasi, tidak dapat dihindari, berimplikasi pada perbedaan dalam merumuskan tujuan utama yang hendak dicapai. Secara umum, perspektif desentralisasi politik lebih menekankan tujuan yang hendak dicapai pada aspek politis, antara lain: meningkatkan keterampilan dan kemampuan politik para penyelenggara pemerintah dan masyarakat, serta mempertahankan integrasi nasional. Dalam formulasi yang lebih rinci, Smith (1985) membedakan tujuan desentralisasi berdasarkan kepentingan nasional (pemerintah pusat), dan dari sisi kepentingan pemerintah daerah.

Kepentingan nasional
Bila dilihat dari sisi kepentingan pemerintah pusat, tulis Smith (1985), sedikitnya ada tiga tujuan utama desentralisasi. Pertama, political education (pendidikan politik), maksudnya adalah, melalui praktik desentralisasi diharapkan masyarakat belajar mengenali dan memahami berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan politik yang mereka hadapi; menghindari atau bahkan menolak untuk memilih calon anggota legislatif yang tidak memiliki qualifikasi kemampuan politik; dan belajar mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah, termasuk masalah penerimaan dan belanja daerah (Maddick, 1963: 50-106).

Tujuan kedua desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah pusat adalah to provide training in political leadership (untuk latihan kepemimpinan). Tujuan desentralisasi yang kedua ini berangkat dari asumsi dasar bahwa pemerintah daerah merupakan wadah yang paling tepat untuk training bagi para politisi dan birokrat sebelum mereka menduduki berbagai posisi penting di tingkat nasional. Kebijakan desentralisasi diharapkan akan memotivasi dan melahirkan calon-calon pimpinan pada level nasional.

Tujuan ketiga desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah pusat adalah to create political stability (untuk menciptakan stabilitas politik). Para pendukung dari tujuan desentralisasi yang ketiga ini percaya bahwa melalui kebijakan desentralisasi akan terwujud kehidupan sosial yang harmonis dan kehidupan politik yang stabil (Smith, 1985: 23). Lebih jauh Sharpe (1981) mengatakan

“… one of the determinant factors constitutes the embodiment of a stable democracy at the national level, in many instances, preceded by the establishment of local democracy.”

Kepentingan pemerintah daerah
Dari sisi kepentingan pemerintah daerah, tujuan pertama desentralisasi adalah untuk mewujudkan political equality. Melalui pelaksanaan desentralisasi diharapkan akan lebih membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat lokal. Masyarakat di daerah, tulis Smith (1985: 24), dapat dengan elegan mempraktikkan bentuk-bentuk partisipasi politik, misalnya menjadi anggota partai politik dan kelompok kepentingan, mendapatkan kebebasan mengekspresikan kepentingan, dan aktif dalam proses pengambilan kebijakan.

Tujuan kedua desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah daerah adalah local accountability. Melalui pelaksanaan desentralisasi diharapkan dapat tercipta peningkatan kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak komunitasnya, yang meliputi hak untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan di daerah, serta hak untuk mengontrol pelaksanaan pemerintahan daerah.

Tujuan ketiga desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah daerah adalah local responsiveness. Asumsi dasar dari tujuan desentralisasi yang ketiga ini adalah: karena pemerintah daerah dianggap lebih mengetahui berbagai masalah yang dihadapi komunitasnya, pelaksanaan desentralisasi akan menjadi jalan terbaik untuk mengatasi masalah dan sekaligus meningkatkan akselerasi pembangunan sosial dan ekonomi di daerah.

Bagaimana halnya dengan tujuan desentralisasi menurut perspektif desentralisasi administrasi (administrative decentralisastion perspective)? Secara singkat dapat dikatakan bahwa perspektif desentralisasi administrasi lebih menekankan pada aspek efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan ekonomi di daerah sebagai tujuan utama desentralisasi. Rondinelli (1983: 4), misalnya, menyebutkan bahwa tujuan utama yang hendak dicapai melalui kebijakan desentralisasi adalah untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan public good and services, serta untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembangunan ekonomi di daerah. Pada bagian lain, Ruland (1992), lebih menekankan aspek partisipasi masyarakat dalam pembangunan ekonomi sebagai tujuan utama desentralisasi. Lebih jelasnya, Ruland (1992:3) mengatakan

“Decentralisation, as a corollary local autonomy, is seen as a positive contribution to increase people participation, which would eventually lead to socio-economic development” (1992: 3).

Hal penting lain, sekaligus sebagai catatan penutup diskusi bagian ini, adalah bahwa selain memiliki beberapa perbedaan mendasar, antara perspektif desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi, juga memiliki persamaan. Keduanya mendudukkan ‘Pendapatan Asli Daerah (PAD)’ sebagai bagian dari faktor penentu pencapaian keberhasilan atau kegagalan tujuan desentralisasi.

Perspektif State-Society Relation
Bila desentralisasi dipahami berdasarkan perspektif state-society relation, akan diketahui bahwa sejatinya keberadaan desentralisasi adalah untuk mendekatkan negara kepada masyarakat, sedemikian rupa sehingga antara keduanya dapat tercipta interaksi yang dinamis, baik pada proses pengambilan keputusan maupun dalam implementasi kebijakan (Vincent Ostrom, 1991). Dengan mendudukkan desentralisasi seperti ini, tegas Ostrom, maka diharapkan terwujud “… the features of governance that would be appropriate to circumstance where people govern rather than presuming that government govern” (1991:6).

Terlepas dari pro dan kontra dalam menyikapi argumentasi di atas, butir penting yang menarik digarisbawahi adalah bahwa kerangka berfikir perspektif state-society relation mengartikulasi desentralisasi bukan sebagai tujuan akhir tetapi hanya sebagai alat atau sarana untuk menegakkan kedaulatan rakyat (society). Tujuan akhir yang hendak dicapai tidak lain adalah demokratisasi, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat. Dengan kerangka berfikir seperti ini sulit dipungkiri bahwa perspektif state-society relation cenderung tidak memisahkan antara konsep dan implementasi kebijakan desentralisasi dengan system politik dan/atau tipe rezim yang sedang berkuasa.

Desentralisasi dan pola interaksi state-society dalam rezim demokrasi
Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam rezim demokrasi pola interaksi antara state dan society sangat dinamis. Terjadi suatu interaksi dua arah antara state dan society, baik pada proses pengambilan keputusan (policy making) maupun pada tahap implementasi kebijakan (policy implementation). Berbagai keputusan yang diambil oleh negara secara prinsip merupakan persenyawaan antara tuntutan masyarakat (society) dan kepentingan pihak state. Tegasnya, kalaupun negara secara legal formal memiliki otoritas untuk ‘menjatuhkan palu akhir’ atas berbagai keputusan, namun peran dalam proses pengambilan keputusan lebih sebagai mediator atas kompleksitas dan perbedaan kepentingan kalangan masyarakat.

Praktik desentralisasi dalam rezim demokrasi tentunya memiliki hubungan interkoneksitas dengan karakteristik pola interaksi state-society seperti dijelaskan di atas. Sebagai bagian dari kebijakan nasional, baik perumusan konsep maupun implementasi kebijakan desentralisasi didasarkan pada interaksi dua arah antara state dan society. Sehingga, kalaupun pada akhirnya desentralisasi harus dihadirkan, keberadaannya merupakan persenyawaan antara kepentingan pihak state dan society. Hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam hal ini lebih didasarkan pada prinsip salingketergantungan dan saling membutuhkan. Lebih jauh, pengertian ‘daerah’ dalam konteks hubungan pusat-daerah lebih merujuk pada entitas yang terdiri dari pemerintah daerah dan masyarakat daerah. Sehingga, pada tataran yang lebih mikro, kesetaraan interaksi antara state dan society dapat tercipta, yakni antara pemerintah daerah dan komunitasnya.

Interkorelasi antara pola hubungan state-society dan kebijakan desentralisasi dalam rezim demokrasi dapat dilihat pada Diagram.

Diagram Pola interaksi state-society dan kebijakan desentralisasi pada rezim demokrasi


Desentralisasi dan pola interaksi state-society dalam rezim otoriter
Kecenderungan yang sebaliknya terjadi pada rezim otoriter. Ini karena pada umumnya rezim otoriter ditandai oleh dominasi state, baik pada proses pengambilan keputusan (policy making), maupun pada tahap implementasi kebijakan (policy implementation). Peran society khususnya dalam proses pengambilan keputusan sangat dibatasi, untuk tidak menyebut disingkirkan. Dengan karakteristik seperti ini dapat dimengerti bila pola interaksi antara state dan society dalam rezim otoriter bersifat satu arah. Kalaupun terdapat dinamika dalam proses pengambilan keputusan, hal tersebut lebih banyak diwarnai kompetisi kepentingan, koalisi, kompromi, atau bahkan ‘perselingkuhan’ antara segelintir elit di dalam negara (state actors), 10 bukan didasarkan atas interaksi kepentingan antara state dan society. Interkorelasi antara pola hubungan state-society dan kebijakan desentralisasi dalam rezim otoriter tersebut dapat dilihat pada Diagram.

Diagram Pola interaksi state-society dan kebijakan desentralisasi pada rezim otoriter

Desentralisasi, baik konsep maupun implementasi, yang lahir dan dibidani oleh rezim otoriter, banyak dipengaruhi oleh sifat dasar ‘induknya’. Desentralisasi dalam rezim yang otoriter lebih banyak diinisiasi oleh pihak state, lebih spesifiknya pemerintah pusat. Dominasi peran pemerintah pusat tidak saja terjadi dalam proses perumusan kebijakan desentralisasi tetapi juga dalam mengontrol pelaksanaan kebijakan. Pemerintah daerah lebih difungsikan sebagai pelaksana teknis kebijakan desentralisasi. Dalam konstelasi ini, tidak mengherankan bila keberadaan desentralisasi lebih dipahami pemerintah daerah sebagai kewajiban daripada sebagai hak.

Pada sisi lain, masyarakat (society) cenderung dipinggirkan, atau diposisikan sebagai objek kebijakan desentralisasi. Interaksi dua arah antara state dan society dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan di daerah praktis tidak terjadi.

Dinamika dalam proses pengambilan keputusan lebih banyak ditandai oleh koalisi dan tawar-menawar kepentingan antar elit pemerintah daerah (local-state actors). Kalaupun kebijakan otonomi daerah harus diterapkan, sebagai konsekuensi logis dari kebijakan desentralisasi, namun ia lebih berkarakter ‘otonomi pemerintah daerah’ atau bahkan ‘otonomi pejabat daerah’.

Desentralisasi dan pola interaksi state-society pada periode transisi
Seperti telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, dalam rezim otoriter pola interaksi antara state dan society cenderung satu arah. State mendominasi proses pengambilan keputusan dan dalam implementasi kebijakan. Sementara society dikondisikan pada posisi pasif dan perannya terpinggirkan. Dinamika dalam proses pengambilan keputusan lebih merupakan refleksi dari kompetisi kepentingan antar sejumlah state actors (elit pemerintah pusat).

Pada periode transisi menuju demokrasi, sifat dasar dari rezim otoriter seperti dikemukakan di atas tentu belum secara total dapat dihilangkan. Kendati salah satu tuntutan reformasi politik mengharuskan perluasan peran society, namun dalam banyak hal state masih relatif mendominasi proses pengambilan keputusan nasional, bahkan dalam kasus-kasus tertentu memaksakan kehendak. Pada sisi lain, ‘perselingkuhan’ antar state actors dalam rangka perjuangan kepentingan pribadi dan kelompok masih tetap berlangsung (lihat Diagram)

Diperbesarnya peluang partisipasi masyarakat, sebagai bagian dari tuntutan reformasi politik, memberi nuansa baru bagi pola interaksi antara state dan society pada periode transisi menuju demokrasi. Bila sebelumnya (pada periode rezim otoriter) pola interaksi antara state dan society cenderung satu arah, maka pada periode transisi menuju demokrasi mulai bergeser ke pola interaksi yang bersifat dua arah. Praktik pola interaksi dua arah tersebut cenderung tidak seimbang (lihat Diagram), karena dalam banyak hal state masih memaksakan kehendak kepada society. 

Selain itu, penting dicatat bahwa salah satu implikasi dari perluasan partisipasi masyarakat pada periode transisi menuju demokrasi adalah semakin transparannya kompetisi kepentingan antar ‘elit massa’ (lihat Diagram). Kecenderungan ini mudah dipahami, karena society dalam arti civil society belum siap berperan, peluang partisipasi masyarakat pada periode transisi menuju demokrasi lebih banyak ditangkap dan dimanfaatkan para elit massa. Mereka berperan mewakili masyarakat atau ‘mengklaim’ mewakili masyarakat dalam berhadapan dengan pihak negara.

Argumentasi yang hendak ditegaskan di sini adalah: pola interaksi antara state dan society pada periode transisi menuju demokrasi merupakan interaksi antara elit penguasa (state actors) dan elit massa (society actors). Karenanya, sulit dihindari bila kemudian kompetisi kepentingan antar elit penguasa (pada satu sisi) dan antar elit massa (pada sisi lain) mendominasi proses politik, baik dalam pengambilan keputusan maupun pada tahap implementasi kebijakan. Sementara, kolusi dan persekongkolan politik antara dua kubu elit tersebut (elit masa dan elit penguasa) dalam rangka perjuangan kepentingan masingmasing, menjadi karakteristik utama dari pola interaksi antara state dan society. Praktik negosiasi dan koalisi politik multi-level ini penulis sebut dengan terminologi poliarki politik.

Pertanyaannya selanjutnya adalah, bagaimana karakteristik desentralisasi pada periode transisi menuju demokrasi? Sebagai bagian dari kebijakan nasional, sulit dihindari bahwa konsep dan implementasi kebijakan desentralisasi memiliki hubungan interkoneksi dengan pola interaksi antara state-society seperti dijelaskan di atas. Sedikitnya ada 3 (tiga) karakteristik utama praktik desentralisasi pada periode transisi menuju demokrasi.

Pertama, dominasi peran pemerintah pusat dalam proses perumusan kebijakan desentralisasi relatif berkurang. Bila pada periode rezim otoriter pemerintah pusat dominan dalam inisiasi dan proses perumusan kebijakan desentralisasi, maka pada periode transisi menuju demokrasi, peran pemerintah daerah mulai diperhitungkan. Namun perlu ditegaskan bahwa pengurangan dominasi peran pemerintah pusat tersebut masih dalam dimensi kuantitas, bukan kualitas. Ini secara implisit mengisyaratkan bahwa pemerintah pusat masih tetap dapat memaksakan kepentingan, kendati dilakukan dalam kemasan demokrasi dan diperjuangkan melalui proses politik informal (lihat Diagram).

Medan konflik pada konteks ini terletak pada persoalan pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan daerah. Tuntutan reformasi politik menghendaki pelimpahan wewenang yang lebih luas kepada daerah, namun pemerintah pusat masih enggan kehilangan wewenang. Indikasi dari konflik kepentingan tersebut antara lain direfleksikan oleh munculnya fenomena ‘tarik-ulur’ hubungan kekuasaan pusat-daerah, yang kemudian melahirkan praktik ‘otonomi daerah setengah hati’. Untuk memenangkan kompetisi dalam arena konflik kepentingan tersebut, dan dalam rangka meredam rasa ketidakpuasan daerah, salah satu instrumen yang biasa digunakan pemerintah pusat adalah resource base allocation, yakni alokasi subsidi pemerintah pusat (baik secara langsung atau tidak langsung) kepada daerah.

Diagram. Pola interaksi state-society dan kebijakan desentralisasi pada periode transisi menuju demokrasi

Kedua, pendekatan dalam implementasi kebijakan desentraliasi mulai bergeser dari pola lama yang bersifat monolitik1 dengan semangat top-down, ke arah pola baru yang bersifat holistik1, dengan semangat bottom-up. Salah satu konsekuensi logis dari pergeseran pendekatan implementasi kebijakan desentralisasi ini, pemerintah daerah mulai diberi keleluasaan, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam implementasi kebijakan, sejauh tidak ‘melanggar’ kepentingan pemerintah pusat. Namun, pada tingkat realitas, pergeseran pendekatan implementasi kebijakan desentralisasi tersebut belum diikuti pergeseran orientasi kalangan pemerintah daerah. Akibatnya, terjadi disorientasi implementasi kebijakan desentralisasi, yang kemudian melahirkan praktik ‘otonomi daerah kebablasan’.

Indikasi fenomena disorientasi desentralisasi antara lain direfleksikan oleh sikap pemerintah daerah yang masih memposisikan pemerintah pusat sebagai sumber utama energi politik dan ekonomi. Pada sisi lain, pemerintah daerah cenderung melakukan penolakan atas intervensi pemerintah pusat, utamanya dalam implementasi berbagai wewenang yang didefinisikan pemerintah daerah sebagai miliknya. Dalam konteks Indonesia, menjamurnya Peraturan Daerah (Perda) ‘bermasalah’ di sejumlah daerah dapat diartikulasi sebagai bagian dari manifestasi disorientasi desentralisasi.

Ketiga, masyarakat (society) tidak lagi sepenuhnya terpinggirkan tetapi mulai diikutsertakan dalam kebijakan desentralisasi, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam pelaksanaan kebijakan di daerah. Namun, sejalan dengan karakteristik pola interaksi antara state dan society pada periode transisi demokrasi, peran masyarakat belum dalam arti civil society, tetapi lebih banyak diwakili oleh elit massa (lihat Diagram). Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa pola interaksi antara state dan society dalam implementasi kebijakan desentralisasi lebih berkarakterkan interaksi antara elit penguasa (state actors) dan elit massa (society actors). Sementara, fenomena poliarki politik, yang ditandai kolusi dan persekongkolan politik antara elit masa dan elit penguasa dalam perjuangan kepentingan masing-masing, mendominasi proses politik di tingkat lokal. Praktik poliarki politik tersebut tidak saja pada proses pengambilan keputusan, tetapi juga merambah pada tingkat implementasi kebijakan.

Dinamika Desentralisasi Indonesia
Bahwa periode Orde Baru Indonesia dilabeli sebagian besar pengamat sebagai negara yang dipimpin rezim otoriter adalah kenyataan yang sulit diingkari. Sedikitnya tercatat 5 (lima) model pendekatan yang digunakan para pengamat dalam menjelaskan pola interaksi statesociety pada dekade pemerintahan rezim otoriter Soeharto.

Pertama, oleh R. O’G. Anderson (1983) disebut sebagai model state-qua state. Anderson adalah salah satu penulis yang menganalisa karakteristik dari state-society relation di Indonesia pada periode Orde Baru dikaitkan dengan karakteristik pemerintahan pada masa kolonial. Berangkat dari asumsi dasar bahwa rezim kolonial secara keseluruhan mengabaikan atau menekan aspirasi (interests) masyarakat, Anderson menyimpulkan bahwa pola state-society relation pada periode Orde Baru memiliki karakteristik dasar yang sama dengan pola state-society relation pada masa kolonial, yakni dominannya peran state dan diabaikannya peran society dalam proses pengambilan keputusan (policy formulation). 

Hampir semua kebijakan nasional, tegas Anderson, adalah refleksi dari the state interests daripada refleksi dari societal and extra state interests. Model kedua yang digunakan dalam upaya menganalisa pola state-society relation pada periode pemerintahan rezim Soeharto adalah bureaucratic polity and patrimonial cluster.

Menurut Jackson, kendati ‘baju’ dari pemerintahan di Indonesia telah berubah dari Orde Lama ke Orde Baru, namun sejak dekade Demokrasi Parlementer berakhir (1957), pola state-society relation di Indonesia tetap berkarakteristikan bureaucratic polity, yakni:

A political system in which power and participation in the formulation of national policies is limited only to the employees of the state, particularly the officers corps and the highest levels of the bureaucracy, including especially the highly trained specialist known as the technocrats (Jackson, 1978: 3).

Model ketiga adalah bureaucratic authoritarian.16 Dengan modifikasi, King (1982) menggunakan model ini dalam memahami pola state-society relation di Indonesia. Di antara modifikasi yang dilakukan King adalah dengan memasukkan peran statecorporatism, yaitu unit-unit instrumen (organisasi) yang dibentuk oleh state dengan tujuan meregulasi mekanisme partisipasi masyarakat. Menurut King, state-corporatism merupakan pendekatan yang paling relevan dalam memahami bagaimana Orde Baru telah meregulasi, untuk tidak mengatakan ‘menekan’, partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan (King, 1982: 110-115).

Model yang keempat adalah bureaucratic pluralistic. Model ini digunakan oleh Emerson (1983) dalam menganalisa peran dari ‘birokrat-militer’ dan ‘birokrat-sipil’ dalam proses pengambilan keputusan untuk berbagai kebijakan nasional di Indonesia pada periode rezim Orde Baru. Dari hasil analisanya, Emerson kemudian merumuskan beberapa kesimpulan, 2 (dua) yang menarik untuk digarisbawahi adalah:

(1) There is no a departmental administration that was totally dominated by military officials, (2) Suharto’s commitment to internal security and economic growth is reflected not only in careful military control of the most security-connected parts of bureaucracy, but also in willingness for the nation’s economic growth mainly in civilian hands (1993: 1231).

Model kelima, diberi lebel oleh MacIntyre (1992) dengan sebutan restricted pluralism model, dan tokoh yang melahirkan model ini adalah Liddle (1987). Bila empat model sebelumnya cenderung bertumpu pada argumen bahwa proses pengambilan keputusan atas kebijakan nasional sangat dimonopoli oleh state actors, maka restricted pluralism model berargumen: memang diakui state-actors memainkan peran utama, namun pada tingkattingkat tertentu masih terdapat ‘ruang’ bagi extra state-actors untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan pada tingkat nasional.

Menurut Liddle, sulit dipungkiri bahwa elit politik di tingkat pusat memang telah memainkan ‘peran kunci’ dalam merumuskan kebijakan nasional di Indonesia. Namun perlu diketahui bahwa para elit politik tersebut tidak memonopoli proses pengambilan keputusan, karena ternyata masih terdapat beberapa aktor penting yang lain, misalnya: pemerintah daerah, organisasi produsen, organisasi konsumen, anggota parlemen, press, dan kelompok intelektual, yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi proses pengambilan keputusan pada tingkat nasional.

Ulasan singkat tentang pola interaksi antara state dan society pada periode rezim Orde Baru di atas, memunculkan pertanyaan lanjut: apa yang dapat dijelaskan tinjauan literature tersebut mengenai karakteristik konsep dan implementasi kebijakan desentralisasi pada periode Orde Baru?

Bila kelima model state-society relation yang dikemukakan di atas dijadikan sebagai acuan, secara teoritis paling sedikit ada 2 (dua) spekulasi yang mungkin dapat dibangun untuk menjawab pertanyaan di atas. Empat model yang pertama (State-Qua-State, Bureaucratic Polity and Patrimonial Cluster, Bureaucratic Authoritarian, dan Bureaucratic Pluralistic), menyebutkan bahwa proses pengambilan keputusan atas kebijakan-kebijan nasional sangat didominasi negara, bahkan oleh elit politik di tingkat pusat. Bila kecenderungan seperti ini yang terjadi dalam proses pengambilan keputusan atas kebijaksaan desentralisasi, maka keberadaan desentralisasi tidak lebih hanya merupakan refleksi kepentingan pihak state.

Atau, lebih spesifiknya, refleksi kepentingan segelintir state-actors. Dalam format seperti ini, maka dapat dimengerti bila kemudian implementasi kebijakan desentralisasi selalu disertai kontrol yang sangat ketat oleh pemerintah pusat. Kalaupun kebijakan otonomi daerah diterapkan, kehadirannya lebih dalam bentuk ‘otonomi pemerintah daerah’, atau, ‘otonomi pejabat daerah’. Sementara, masyarakat (society) cenderung diposisikan hanya sebagai objek dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.

Kemungkinan kedua, mengacu pada argumen dasar restricted pluralism. Model ini menyebutkan, kendati elit-elit politik di tingkat pusat memainkan peran kunci, namun mereka tidak memonopoli proses pengambilan keputusan, karena masih terdapat aktoraktor lain (extra state-actors) yang, secara langsung atau tidak langsung, dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan di tingkat nasional. Bila kondisi ini yang terjadi dalam proses pengambilan keputusan atas kebijakan desentralisasi, maka dapat dikatakan bahwa, walaupun kehadiran desentralisasi lebih banyak mewakili kepentingan pihak state, namun kepentingan pihak society masih tetap terefleksikan, kendati dalam kapasitas yang relatif terbatas.

Secara akademis, jawaban dari dua spekulasi teoritis di atas sebenarnya sudah banyak ditulis para pengamat. Hanya menyebut beberapa contoh, Kuntjara Jakti (1981), misalnya, menyebutkan bahwa kebijakan desentralisasi di Indonesia pada periode Orde Baru cenderung bergerak antara dua kutub, yaitu antara kutub desentralisasi pada satu sisi dan sentralisasi pada sisi yang lain. Namun, kecenderungan untuk mengayun ke kutub sentralisasi tampak lebih besar daripada ke kutub desentralisasi. Ada beberapa alas an mendasar tentang mengapa kecenderungan ini terjadi. Secara politis, tulis Kuntjara Jakti, hal tersebut sangat erat kaitannya dengan isu stabilitas politik dan ketahanan nasional. 

Sedangkan alasan ekonomi, kecenderungan sentralisasi tersebut berkaitan dengan kehadiran model Neo-Keynisian yang telah digunakan oleh para teknokrat dalam ‘mendesain’ kebijakan pembangunan ekonomi Orde Baru. Model ini, tak dapat dipungkiri memang lebih menghendaki sentralisasi (lihat Kuntjara Jakti, 1981: 143-144). Sementara, Michael Morfit (1986) mengkaji keterkaitan antara kebijakan desentralisasi rezim Orde Baru dengan peningkatan kewenangan pemerintah daerah. Berdasarkan hasil kajiannya, Morfit mencatat sedikitnya ada dua kendala mendasar desentralisasi di Indonesia ketika itu. Pertama, ia sebut administrative and legal ambiguities. Persoalan ini, tulis Morfit, ditunjukkan oleh ketidakjelasan pembagian tugas dan fungsi antara dinas-dinas daerah dan instansi-instansi vertikal pemerintah pusat (Kanwil dan Kandep) yang ditempatkan di daerah. Peran dari instansi-instansi vertikal pemerintah pusat cenderung lebih dominan dibandingkan peran dinas-dinas daerah. Kendala kedua adalah kemampuan keuangan pemerintah daerah yang sangat tidak memadai, terutama untuk mendukung anggaran pembangunan. Akibatnya, pemerintah daerah selalu mengandalkan alokasi dana dari pemerintah pusat, yang justru mengekalkan ketergantungan terhadap pemerintah pusat.

Pada bagian lain, Dwight King (1988) menganalisa keterkaitan antara desentralisasi dan kebijakan Orde Baru tentang pengaturan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Berdasarkan hasil kajiannya, King (1988) menyebutkan bahwa kebijakan Orde Baru tentang PNS merupakan salah satu bentuk dari strategi untuk mengendalikan pemerintah daerah melalui jalur birokrasi. Pengendalian oleh pemerintah pusat tersebut dilakukan melalui Kantor Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN). Implikasi dari kebijakan kepegawaian ini, tulis King (1988: 253), antara lain, menyebabkan Pegawai Negeri Sipil di daerah mengalami banyak kesulitan dalam pengembangan karier mereka. Ini utamanya karena, baik jenjang kepangkatan maupun jenjang jabatan (eselonisasi) ditentukan oleh pemerintah pusat.

Pada periode ‘Pasca Orde Baru’, secara legal formal, upaya untuk melakukan reformasi kebijakan desentralisasi disimbolkan oleh kehadiran UU No. 22 dan 25 Tahun 1999. Pada tingkat minimal, harus diakui bahwa UU No. 22 Tahun 1999 mencoba menggeser dominasi perspektif desentralisasi administrasi dalam pengaturan hubungan kekuasaan pusat-daerah ke arah desentralisasi politik. Hal ini dapat terlihat dari antara lain: (a) diakomodasinya aspek society dalam definisi otonomi daerah pada UU No. 22 Tahun 1999 (bandingkan dengan UU No. 5 Tahun 1974), kendati pada bagian lain, definisi desentralisasi masih tetap bertumpu pada konsep lama; (b) adanya keinginan untuk mendesentralisasikan wewenang yang lebih luas kepada pemerintah daerah, ini dirumuskan secara eksplisit pada Pasal 7 (1) UU No. 22 Tahun 1999; dan (c) adanya pemberdayaan DPRD dengan peningkatan peran dan fungsi.

Namun, bila disimak secara lebih teliti, UU. No. 22 Tahun 1999 masih banyak diwarnai ambivalensi, baik pada tataran konsep maupun pada tingkat implementasi. Satu diantara contoh yang paling menarik adalah, pengaturan hubungan kekuasaan pusat-daerah yang dituangkan pada Pasal 7. Disebutkan:

Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan lainnya.

Kutipan di atas bukan bermaksud untuk mempertanyakan keberadaan dari ‘kewenangan bidang lainnya’ pada pasal 7 (1) UU No. 22 Tahun 1999 tersebut. Ini karena, untuk tidak menghilangkan nuansa ‘desentralisasi dalam negara kesatuan’, tidak dapat dipungkiri pemerintah pusat harus memiliki wewenang lain (terutama yang menyangkut hajat hidup orang banyak), di samping wewenang pokok yang telah ditetapkan (5 wewenang). Yang menjadi inti persoalan di sini adalah proses penetapan ‘wewenang bidang lainnya’ tersebut.

Secara teoritis, proses penetapan kewenangan bidang lain pemerintah pusat harus dilakukan bersama dengan pemerintah daerah, berdasarkan prinsip ‘negosiasi’ dan tidak saling memaksakan. Namun kenyataannya, proses penetapan kewenangan bidang lainnya tersebut, yang dikonkritkan melalui PP. No. 25 Tahun 2000, dilakukan secara sepihak oleh pemerintah pusat. Fenomena ini menguatkan kesan bahwa pengaturan hubungan kekuasaan antara pusat-daerah menurut UU No. 22 Tahun 1999 tetap belum terbebas dari apa yang Davey (1989) sebut dengan ambivalensi antara keinginan untuk mewujudkan prinsip desentralisasi dan sentralisasi.

Kelemahan mendasar lain UU. No. 22 Tahun 1999 adalah cenderung mengabaikan dinamika perubahan politik secara nasional: transisi menuju demokrasi. Konsep desentralisasi dalam UU. No. 22 Tahun 1999 dibangun berdasarkan asumsi bahwa Indonesia telah berada pada fase sistem politik demokrasi. Akibat pengabaian realitas politik tersebut, pada tingkat implementasi telah menimbulkan banyak penyimpanganpenyimpangan.

Pada bagian sebelumnya telah dipetakan secara umum bentuk-bentuk dari penyimpangan tersebut. Beberapa contoh lain: berlipat gandanya biaya pembangunanan ekonomi sebagai akibat dari meningkatnya ‘pungutan liar’ atas masyarakat dan pengusaha di daerah dan semakin ‘menggilanya’ praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) di daerah. Sementara pada sisi lain, pemerintah pusat dengan kasat mata terlihat masih enggan kehilangan kekuasaan atas daerah. Dalam istilah yang lebih populer, pemerintah pusat masih bersikap ‘setengah hati’ dalam mendukung implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana menjelaskan, secara teoritis, interkorelasi antara fenomena penyimpangan implementasi kebijakan desentralisasi tersebut dengan proses transisional (dari rezim otoriter menuju rezim demokrasi) yang sedang terjadi? Jawaban atas pertanyaan ini tentu sulit diketemukan bila kerangka berfikir hanya dilandaskan pada dua perspektif desentralisasi yakni perspektif desentralisasi politik dan administrasi. Ini karena dua perspektif desentralisasi tersebut tidak eksplisit memposisikan adanya hubungan korelasional antara kebijakan desentralisasi dan dinamika perubahan sistem politik.

Penjelasan normatif atas jawaban dari pertanyaan di atas hanya mungkin didapat bila realitas implementasi kebijakan desentralisasi dipahami dan diartikulasi sebagai bagian tak terpisahkan dari dinamika perubahan politik. Dengan tidak bermaksud menisbikan dua perspektif desentralisasi yang ada, kerangka berfikir dalam menjelaskan keterkaitan antara penyimpangan implementasi kebijakan desentralisasi tersebut dengan periode transisi menuju demokrasi yang sedang terjadi, dapat dipahami berdasarkan perspektif statesociety relation.

Bila tiga karakteristik utama praktik desentralisasi pada periode transisi menuju demokrasi (seperti telah dipaparkan dalam pembahasan pada bagian sebelumnya) dapat dijadikan sebagai rujukan,18 sebenarnya jawaban atas pertanyaan di atas jelas tergambarkan. Misalnya, fenomena semakin maraknya praktik KKN seiring implementasi kebijakan desentralisasi merupakan salah satu konsekuensi logis dari disorientasi pemahaman konsep desentralisasi (lihat karakteristik kedua desentralisasi pada periode transisional). Hal ini juga dapat dipahami sebagai salah satu implikasi dari pola interaksi antara state dan society di tingkat lokal yang bersifat poliarki (lihat karakteristik yang ketiga). Sementara, sikap pemerintah pusat yang setengah hati dalam mendukung implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dapat diartikulasi sebagai indikasi masih cukup kuatnya posisi tawar pemerintah pusat atas daerah, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam implementasi kebijakan desentralisasi (lihat karakteristik pertama). 

Rekonstruksi Konsep dan Implementasi Kebijakan Desentralisasi
Rekonstruksi konsep
Disimak dari rangkaian pembahasan sebelumnya terlihat bahwa keberadaan desentralisasi, berdasarkan perspektif state-society relation, tidak lain hanya merupakan salah satu sarana, bukan tujuan akhir, untuk mendekatkan state dengan society, agar antara keduanya dapat berinteraksi secara dinamis, baik pada proses pengambilan keputusan (policy making) maupun dalam implementasi kebijakan (policy implementation). Sedangkan tujuan akhir yang hendak dicapai kebijakan desentralisasi adalah terwujudnya kemaslahatan bagi masyarakat di daerah melalui praktik demokrasi di tingkat lokal, terciptanya efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, serta peningkatan pelayanan publik.

Argumentasi yang ingin ditegaskan adalah bahwa perspektif state-society relation terlihat lebih komprehensif dalam mengartikulasi persoalan desentralisasi bila dibandingkan dengan dua perspektif lain yang berkembang (desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi). Bahkan ia menawarkan solusi bagi polemik berkepanjangan antara duaperspektif tersebut. Oleh karenanya, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa perspektif statesociety relation dapat dijadikan landasan berfikir dalam pengembangan konsep desentralisasi pada umumnya, dan dalam rekonstruksi konsep desentralisasi di Indonesia pada khususnya. Secara singkat kerangka berfikir rekonstruksi konsep desentralisasi berdasarkan perspektif state-society relation tersebut dapat dilihat pada Diagram.

Tanpa maksud melakukan simplifikasi akademis, landasan berfikir pada Diagram menunjukkan bahwa antara dua perspektif desentralisasi yang berkembang saat ini (perspektif desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi) sebenarnya dapat disinergikan dalam bingkai perspektif state-society relation. Kerangka berfikir yang penulis bangun ini sama sekali bukan bertujuan menafikan perbedaan antara dua perspektif tersebut. Secara akademis sulit dipungkiri bahwa ada sejumlah perbedaan mendasar antara perspektif desentralisasi politik dan perspektif desentralisasi administrasi, baik pada tataran konseptual maupun pada tingkat operasional. Perbedaan tersebut, antara lain, tercermin dari rumusan definisi desentralisasi dan tujuan yang hendak dicapai menurut masing-masing perspektif (lihat pembahasan tentang polemik konseptual pada bagian awal tulisan ini). Perspektif desentralisasi politik lebih menekankan devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, sementara perspektif desentralisasi adminsitrasi mendefinisikan desentralisasi sebagai delegasi wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Demikian juga dengan formulasi tujuan yang hendak dicapai kebijakan desentralisasi. Perspektif desentralisasi politik lebih menekankan pada aspek demokratisasi di tingkat lokal sebagai tujuan utama, sedangkan perspektif desentralisasi administrasi lebih menitikberatkan pada aspek efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah sebagai tujuan utama.

Diagram Rekonstruksi konsep desentralisasi berdasarkan perspektif state-society relation

Namun, bila substansi konseptual dari dua perspektif tersebut direnungkan dan dipahami berdasarkan perspektif hubungan negara dan masyarakat (state-society relation), maka sesungguhnya terdapat persamaan hakiki antara keduanya. Dalam hal definisi desentralisasi, misalnya, kendati terdapat perbedaan dalam formulasi, keduanya memiliki dasar filosofis yang sama yaitu untuk mendekatkan negara kepada masyarakat. Demikian juga mengenai tujuan desentralisasi, walaupun terdapat perbedaan antara perspektif desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi dalam memberikan tekanan atas tujuan yang hendak dicapai, namun secara prinsipal terdapat persamaan antara keduanya, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan bagi masyarakat di daerah dalam bentuk kesejahteraan dan kemakmuran. Dengan demikian, perbedaan antara dua perspektif tersebut, sebenarnya, lebih pada konteks metodologi, yakni cara dan mekanisme yang diterapkan untuk mencapai kemaslahatan bagi masyarakat. Atas dasar pemahaman seperti ini, penulis kemudian membangun preposisi, yaitu bahwa perspektif state-society relation lebih komprehensif sebagai landasan berfikir dalam pengembangan konsep desentralisasi secara umum, dan khususnya dalam rekonstruksi konsep desentralisasi di Indonesia.

Bila preposisi di atas dijadikan rujukan dalam rekonstruksi konsep desentralisasi, maka sulit dipungkiri bila kemudian perspektif state-society relation lebih menghendaki definisi desentralisasi dalam format penyerahan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Ini karena hanya dengan penyerahan kekuasaan, pemerintah daerah dan masyarakatnya akan memiliki hak penuh (otonomi), baik dalam proses pengambilan keputusan (policy making) maupun dalam implementasi kebijakan (policy implementation). Demikian juga halnya dengan otonomi daerah, harus didefinisikan tidak saja berdasarkan perspektif state, tetapi juga berdasarkan perspektif society. Lebih spesifiknya, dari sisi kepentingan state, otonomi daerah harus didefinisikan sebagai a freedom which is assumed by a local government in both making and implementing itw own decisions (Mawhood, 1987). Hal ini, pada konteks Indonesia selama ini, lebih popular dimaknai sebagai hak, wewenang, dan tanggung jawab pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Sedangkan dari sisi kepentingan society, otonomi daerah harus didefinisikan sebagai hak masyarakat sipil (civil society) untuk mendapatkan kesempatan dan perlakuan yang sama dalam mengekspresikan dan memperjuangkan kepentingannya via-a-vis pemerintah, dan dalam ikut mengontrol penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Bagaimana halnya dengan tujuan desentralisasi? Perspektif state-society relation tidak mendikotomikan antara tujuan politik dan tujuan administrasi, karena keduanya sama penting untuk diwujudkan. Untuk itu, maka formulasi tujuan desentralisasi dikembalikan pada konsep dasarnya (lihat Smith, 1985), yang diklasifikasikan dalam dua kategori utama, yaitu untuk kepentingan nasional dan untuk kepentingan daerah. Substansi dari masingmasing kategori tersebut harus dapat mengakomodasi aspek sosial, ekonomi (Rondinelli, 1983; Ruland, 1992) dan aspek politik (Smith, 1985; Mawhood, 1987) yang hendak dicapai. 

Berdasarkan kepentingan nasional tujuan utama dari desentralisasi adalah: (a) untuk mempertahankan dan memperkuat integrasi bangsa; (b) sebagai sarana untuk training bagi calon-calon pemimpin nasional; dan (c) untuk mempercepat pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Sedangkan dari sisi kepentingan daerah, tujuan utama dari desentralisasi meliputi, antara lain: (a) mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal (political equality, local accountability, dan local responsiveness); (b) peningkatan pelayanan publik; dan (c) menciptakan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah.

Rekonstruksi Pendekatan Implementasi
Rekonstruksi pada tataran konseptual (normatif) seperti diutarakan di atas, tentu tidak akan mencapai hasil optimal bila tidak diikuti upaya rekonstruksi pada tataran operasional, yang antara lain menghendaki adanya reformasi pendekatan dalam implementasi kebijakan desentralisasi. Pendekatan kebijakan yang harus diterapkan adalah pendekatan yang bersifat holistik. Terminologi ‘holistik’ dapat dimaknai sedikitnya dalam dua dimensi.

Pertama, sebagai salah satu instrumen untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, maka kebijakan desentralisasi tidak dapat berdiri sendiri, namun harus terkait dan sejalan dengan kebijakan-kebijakan pada bidang lain, sehingga dapat tercipta kondisi saling dukung dan saling mengisi, bukan sebaliknya, antara kebijakan desentralisasi dengan kebijakan-kebijakan pada bidang lain. Kedua, ‘holistik’ juga berarti bahwa dalam implementasi kebijakan desentralisasi harus memperhatikan karakteristik, potensi, dan kekhususan-kekhususan yang dimiliki masing-masing daerah. Skema pendekatan holistic tersebut dapat dilihat pada Diagram.

Secara umum pendekatan holistik pada Diagram dapat dijelaskan sebagai berikut:
Kebijakan desentralisasi pada prisipnya lebih banyak mengatur dua variabel utama, yaitu hubungan kekuasan dan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah (lihat Kotak 1). Dengan adanya penyerahan kekuasaan, termasuk didalamnya kekuasaan dalam hal keuangan, akan terwujud otonomi daerah, yakni hak pemerintah daerah dan masyarakat untuk mengambil keputusan dan mengimplementasikan kebijakan berdasarkan prakarsa dan aspirasi masyarakat, serta kemampuan yang dimiliki daerah (lihat Kotak 2). Ini berarti, secara implisit, mengindikasikan bahwa ruang lingkup otonomi yang dimiliki daerah sangat ditentukan oleh seberapa jauh kekuasaan yang telah diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah melalui kebijakan desentralisasi. Penulis mengandaikan interkoneksi antara kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sebagai dua sisi mata uang: antara satu dan yang lain berbeda letak dan status, namun saling mengisi dan memberi makna.

Diagram. Pendekatan implementasi kebijakan desentralisasi berdasarkan perspektif state-society relation

Selanjutnya, tujuan yang hendak dicapai melalui kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, antara lain untuk mepertahankan integrasi bangsa, training kepemimpinan nasional, mempercepat mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, menciptakan demokratisasi di tingkat lokal, efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan peningkatan pelayanan publik (lihat Kotak 3). Bila tujuan yang hendak dicapai tersebut dikaitkan dengan ide rekonstruksi konsep desentralisasi (seperti dikemukakan pada bagian sebelumnya) maka, tiga tujuan yang disebut pertama tidak lain adalah tujuan desentralisasi berdasarkan kepentingan nasional, sementara tiga tujuan berikutnya adalah tujuan desentralisasi berdasarkan kepentingan daerah.

Namur, penting untuk mendapat penekanan bahwa upaya untuk mencapai atau paling tidak mendekati sejumlah tujuan ideal tersebut tidak mungkin terlaksana bila hanya bertumpu pada kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah semata tanpa terkait dan didukung oleh kebijakan-kebijakan pada bidang lain. Sebagai ilustrasi: apakah mungkin keinginan untuk mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal, misalnya, dapat tercapai dengan hanya bertumpu pada kebijakan pengaturan hubungan kekuasaan pusat-daerah, tanpa terkait dan didukung oleh kebijakan bidang partai politik, organisasi kemasyarakatan (Ormas), peran press, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan sistem Pemilihan Umum? Demikian juga halnya dengan keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mustahil terwujud bila hanya didasarkan pada kebijakan pengaturan hubungan keuangan pusatdaerah, tanpa terkait dan didukung oleh kebijakan bidang investasi, pengelolaan sumber daya Alam, dan lain sebagainya.

Argumentasi yang ingin ditegaskan di sini adalah: untuk dapat mewujudkan tujuan ideal kebijakan desentralisasi, maka pada tingkat implementasi ia harus terkait dan didukung oleh kebijakan-kebijakan pada bidang lain. Itulah sebabnya mengapa pada skema alur pendekatan holistik di atas, kebijakan pada bidang lainnya tersebut diberi status sebagai intervening variables (variabel antara) (lihat Kotak). Dengan status ini, secara eksplisit ditunjukkan bahwa keberadaan kebijakan bidang-bidang lain dapat berperan sebagai varibel pendukung atau penghambat bagi pencapaian tujuan ideal desentralisasi (lihat Kotak).

Faktor lain yang penting diperhitungkan dalam implementasi kebijakan desentralisasi adalah karakteristik, potensi, dan kekhususan-kekhususan yang dimiliki masing-masing daerah (lihat Kotak 5). Kebijakan desentralisasi yang ideal adalah jika penyerahan kekuasaan kepada daerah disesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan nyata masing-masing daerah. Ini berarti, jumlah dan ruang lingkup kekuasaan yang diserahkan tidak harus sama antara daerah satu dengan yang lain. Proses penyerahan kekuasaan seyogianya dilakukan secara bertahap, disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing daerah.
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson