Sistem Manajemen Pembiayaan Pendidikan
A. Konsep Dasar Manajemen Pembiayaan Pendidikan
Produktivitas suatu organisasi sangat dipengaruhi oleh faktor manajemen pembiayaan. Manajemen merupakan komponen utama dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Dalam hubungan ini perlu diperhatikan bahwa manajemen tidak melaksanakan sendiri kegiatan-kegiatan yang bersifat operasional, melainkan mengatur tindakan pelaksanaan dengan membentuk sistem. Sistem adalah, ”Suatu jaringan kerja atau network yang terdiri dari prosedur-prosedur yang berhubungan satu sama lain yang tergabung bersama-sama (untuk membentuk suatu kegiatan atau untuk mencapai sasaran spesifik”. (Khairuddin, 2008).
Sedangkan manajemen menurut Manullang (1997:48) adalah, “Seni dan ilmu pengetahuan, penyusunan, pengarahan dan pengawasan sumber daya, terutama sumber daya manusia untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan terlebih dahulu". Sedangkan menurut Moenir (1998:22) berpendapat: "Manajemen pada hakekatnya berfungsi untuk melakukan semua kegiatan dalam rangka mencapai tujuan dalam batas-batas kebijaksanaan umum yang telah ditentukan pada tingkat administrasi."
Ada definisi lain tentang manajemen yang dikemukakan oleh Siagian (1996:66) bahwa "Manajemen adalah kemampuan atau keterampilan untuk memperoleh suatu hasil dalam rangka pencapaian tujuan yang melalui orang-orang lain.”
Dari definisi-definisi tersebut di atas, dapat dimengerti bahwa manajemen merupakan suatu proses pencapaian tujuan tertentu melalui kerjasama dengan sekelompok orang, dengan pembagian tugas yang jelas serta menggunakan alat-alat tertentu pula untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dalam perencanaan. Dalam perencanaan suatu kegiatan tidak mungkin dikerjakan sendiri-sendiri, tetapi dituntut harus dapat bekerjasama serta adanya unsur-unsur manajemen seperti: manusia, uang, material, mesin, metode, dan sebagaimana yang diperlukan dalam menggerakkan kegiatan organisasi.
Di kalangan para ahli belum terdapat suatu kesepakatan mengenai jumlah fungsi-fungsi manajemen. Kesepakatan yang telah dicapai yaitu pada dasarnya keseluruhan fungsi-fungsi manajemen itu dapat dibagi ke dalam dua klasifikasi utama yaitu :
1. Fungsi organisasi, merupakan fungsi yang mutlak harus dijalankan oleh manajemen, ketidakmampuan menjalankan fungsi tersebut akan mengakibatkan lamban atau matinya organisasi.
2. Fungsi pelengkap, meskipun tidak mutlak harus dijalankan oleh organisasi, namun sebaiknya dilaksanakan karena pelaksanaan fungsi dengan baik akan meningkatkan efisiensi dalam pelaksanaan kegiatan. (Siagian, 1996:68) Terry dalam Sukarno (2002:32) membagi fungsi-fungsi manajemen terdiri dari:
“Planning (Perencanaan), Organizing, (Pengorganisasian), Actuating (Penggerakan) dan Controlling (Pengendalian/Pengawasan)." Sedangkan Gullick dalam Siagian (1996:68) mengemujakan bahwa: “Fungsi-fungsi manajemen terdiri atas Planning (Perencanaan), Organizing (Pengorganisasian), Motivating (Penggerakan), Controlling (Pengawasan) dan Decision Making (Pengambilan Keputusan).
Dari teori-teori yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan betapa besar peranan manajemen dalam pencapaian tujuan organisasi. Apabila semua fungsi manajemen dapat berjalan sebagaimana mestinya, maka pencapaian tujuan organisasi akan terlaksana dengan efektif dan efisien.
Optimalisasi fungsi-fungsi manajemen dapat diterapkan dalam setiap aspek pembiayaan untuk mendukung kegiatan, karena biaya merupakan salah satu unsur yang berpengaruh dalam suatu kegiatan. Semua kegiatan yang memberikan output yang berkualitas tidak luput dari adanya ketersediaan biaya. Begitu pula dengan pendidikan, dimana pendidikan yang merrupakan salah satu bentuk investasi sangat berpengaruh terhadap ketersediaan biaya.
Abdullah (1998:162) mengatakan bahwa secara teoritis, ”Biaya adalah nilai besar dana yang perlu disediakan pada proyek kegiatan tertentu”. Biaya dalam kaitan ini adalah sesuatu yang harus dikeluarkan dalam mencapai keuntungan. Konsep biaya tidak selalu identik dengan uang.
Pengertian biaya dalam ekonomi adalah pengorbanan-pengorbanan yang dinyatakan dalam bentuk uang, diberikan secara rasional, melekat pada proses produksi, dan tidak dapat dihindarkan. Bila tidak demikian, maka pengeluaran tersebut dikategorikan sebagai pemborosan. (Abdullah, 2008:31).
Menurut Purwanto (2002:12), ”Biaya dapat diartikan sebagai pengorbanan yang diberikan untuk setiap kegiatan dalam rangka mencapai suatu tujuan.” Berdasarkan pendapat tersebut, maka penulis merumuskan bahwa biaya adalah segala sesuatu yang dikeluarkan dalam bentuk sumber daya, untuk mendapatkan pengembalian berupa uang atau layanan dalam rangka pencapaian tujuan dari kegiatan tertentu.
Menurut Harmanto dan Zulkifli (2003:24), bahwa:
Biaya adalah sebagai berikut: Beban (expenses) adalah penurunan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk arus keluar atau berkurangnya aktiva atau terjadinya kewajiban yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang tidak menyangkui pembagian kepada penanam modal.
Biaya dalam dalam arti luas, biaya (cost) adalah jumlah uang yang dinyatakan dan sumber-sumber (ekonomi) yang dikorbankan terjadi dan akan terjadi untuk rnendapatkan sesuatu atau mencapai tujuan tertentu.
Biaya adalah pengorbanan sumber ekonomi yang diukur dalam satuan uang, yang telah terjadi atau yang kemungkinan akan terjadi untuk tujuan tertentu, sehingga biaya dalam arti luas diartikan sebagai pengorbanan sumber ekonomi untuk memperoleh aktiva.
Dari uraian di atas dapat dianalisa bahwa biaya merupakan suatu dampak yang diterima oleh seseorang atau kelompok, baik dari aspek keuangan atau sumber daya lain setelah yang bersangkutan melaksanakan kegiatan atau diberikan layanan.
Dalam hal penggunaan sumber daya keuangan, biaya (cost) tidak sama dengan anggaran (budget). Apabila biaya merupakan segala bentuk pengeluaran akibat dari suatu kegiatan, maka anggaran cenderung pada sisi penerimaan dan pengeluarannya.
Fattah (2004:47) mengatakan bahwa, “Anggaran adalah rencana operasional yang dinyatakan secara kuantitatif dalam bentuk satuan uang yang digunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan kegiatan lembaga dalam kurun waktu tertentu.” Dari pengertian di atas dapat digambarkan bahwa anggaran adalah input yang diperoleh oleh suatu satuan kerja atau organisasi untuk membiayai kegiatan. Berkaitan dengan investasi, pendidikan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dalam manajemen pendidikan, biaya pendidikan dipisah dalam tiga kategori., yaitu: biaya operasional, biaya pengembangan staf dan biaya investasi. (Alma, 1997:28). Biaya operasional yakni biaya pendidikan yang digunakan untuk menunjang kelancaran operasional pembelajaran.
Pembiayaan dalam kelompok inilah yang saat ini diberikan pemerintah pusat melalui DBO (Dana Bantuan Operasional). Biaya pengembangan staf yakni pembiayaan pendidikan yang dibutuhkan untuk mengembangkan kemampuan sekolah mencapai mutu layanan yang optimal. Termasuk pembiayaan dalam kelompok ini adalah biaya untuk membantu guru-guru mengikuti berbagai seminar dan workshop yang terkait langsung dengan kemampuan profesional guru, membantu guru dalam meningkatkan kualifikasi akademiknya lewat beasiswa studi ke S2 dan sejenisnya. Selanjutnya, biaya investasi yakni pembiayaan pendidikan yang diagendakan sebagai investasi masa depan sekolah.
Termasuk dalam kelompok pembiayaan ini adalah pembangunan gedung, laboratorium sekolah, jaringan internet untuk pembelajaran, penyediaan sarana prasarana perpustakaan dan sejenisnya yang semua itu bermakna sebagai investasi keunggulan sekolah di masa depan.
Alokasi pembiayaan pendidikan harus mengacu kepada tujuan yang ingin dicapai dari sistem pendidikan yang dilaksanakannya. Kegiatan pendidikan merupakan salah satu unsur dalam pencapaian tujuan negara Indonesia dalam melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas sebagai salah satu modal pembangunan. Dalam alinea 4 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan salah satu tujuan dari negara Indonesia adalah "mencerdaskan kehidupan bangsa".
Upaya yang dilakukan oleh negara dalam mencerdaskan kehidupan adalah menyelenggarakan pendidikan, dimulai dari pendidikan prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah sampai ke perguruan tinggi. Dengan penyelenggaran pendidikan diharapkan akan tumbuh tunas-tunas bangsa yang berkualitas yang mampu bersaing secara sehat di arena persaingan yang semakin global. Apalagi dalam menghadapi perdagangan bebas beberapa tahun mendatang.
Pendidikan suatu negara akan maju bila dikelola dengan baik, sistematis dan terencana. Dalam pengelolaan pendidikan yang baik, peranan manajemen pendidikan tidak dapat diabaikan. Pendidikan merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau lembaga yang mempunyai tujuan akhir yaitu menambah wawasan, ilmu, maupun pengetahuan yang lebih dari sebelum mereka memperoleh pendidikan tersebut.
Sebagaimana disebutkan oleh Purbopranoto (1999:136) pendidikan adalah:
Suatu proses atau usaha setiap bangsa yang tak putus-putus sifatnya didalam segala tingkat kehidupan manusia, yang sesuai perkembangan masyarakat dan kebudayaan, dan bertujuan untuk mencapai kesempurnaan atau kedewasaan pada manusia, agar kesadaran dan tanggung djawab dapat menghadapi berbagai persoalan hidup.
Dari pengertian tersebut di atas menunjukkan bahwa kemajuan bangsa sangat tergantung pada tingkat pendidikan masyarakatnya. Untuk menjawab tantangan dalam pembangunan pendidikan sangat diperlukan partisipasi oleh semua pihak. Dengan pendidikan dapat mempercepat proses pembangunan di segala bidang, dengan mengembangkan pola berfikir, bekerja, bertindak, sikap mental dan pandangan hidup masyarakat. Untuk mendapatkan pendidikan tidak harus melalui pendidikan formal di sekolah akan tetapi juga dapat dicapai melalui pendidikan non formal.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan menyebutkan bahwa:
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan dan pengajaran dan atau latihan bagi perannya di masa yang akan datang. Rumusan ini jelas menyatakan bahwa usaha pendidikan harus dilakukan secara jelas dan bukan sesuatu yang dapat dilaksanakan tanpa rencana. Usaha pendidikan yang dilakukan secara jelas menunjukkan bahwa harus mempunyai tujuan yang jelas.
Sesuai dengan tujuan negara Republik Indonesia seperti yang tercantum dalam aline keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Pemerintah Negara Indonesia berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka dalam Pasal 31 ayat 1 UndangUndang Dasar menetapkan, "Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran".
Untuk maksud tersebut, Undang-Undang Dasar 1945 mewajibkan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan dalam dua jalur, yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah sebagaimana dikemukakan oleh Becker (1998:10) bahwa, ”Jalur pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar-mengajar secara berjenjang dan berkesinambungan, sedangkan jalur pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah, termasuk keluarga.”
Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pendidikan yang efektif dalam membentuk watak generasi muda, tidak hanya di sekolah saja, tetapi harus pula diperhatikan pendidikan luar sekolah, khususnya pendidikan di lingkungan keluarga. Sebab tanpa pendidikan di lingkungan keluarga yang baik sukar diperoleh mutu bangsa yang memadai.
Pendidikan dan kehidupan masyarakat saling mempengaruhi. Pendidikan dipengaruhi oleh kondisi masyarakat, antara lain, keadaan sosial ekonomi; factor kesenjangan sosial ekonomi akan mempengaruhi strategi dalam perencanaan pendidikan. Pendidikan mempengaruhi kehidupan masyarakat, dengan memberikan ilmu pengetahuan, keterampilan, pendidikan akal, budi pekerti dan kerohanian kepada anak didik atau generasi muda secara langsung maupun tidak langsung akan menentukan jenis pekerjaan dan penghidupan di kemudian hari, profesinya akan menempatkan seseorang pada tingkat sosial ekonomi tertentu dan mepengaruhi perkembangan generasi seterusnya. (Abdullah, 2008:34)
Kegiatan pendidikan pada hakikatnya adalah pembangunan manusia seutuhnya. Pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan tidak berdiri sendiri, oleh karena itu perencanaan pendidikan perlu mengetahui aspek-aspek sosial dan ekonomi yang mempunyai hubungan dan peranan dalam pertumbuhan dan perubahan pendidilkan.
Perencanaan regional perlu mempertimbangkan aspek sosiologis seperti kebiasaan, adat istiadat dan kebudayaan serta nilai-nilai budaya masyarakat setempat dan aspek-aspek ekonomi seperti tingkat pendapatan, pola konsumsi, kebiasaan menabung dan sebagainya.
Setiap kebijakan yang dituangkan dalam rencana pendidikan yang dilaksanakan akan mempengaruhi kehidupan sosial dan tingkah laku kelompok masyarakat, oleh karena itu dalam perencanaan pendidikan harus memperhatikan aspek-aspek sosiologis yang berkaitan dengan pembangunan pendidikan, di antaranya:
1. Bagaimana aspirasi masyarakat terhadap pendidikan, di mana pendidikan dapat memberikan kesempatan untuk memperbaiki mutu kehidupan;
2. Bagaimana mendapatkan pendidikan yang mudah dan murah sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat;
3. Bagaimana mempersiapkan fasilitas pendidikan dan mutu pendidikan yang baik;
4. Bagaimana menghadapi situasi dan aspirasi masyarakat yang selalu bergerak dan berkembang. (Blaug, 1998:36)
Dalam konteks pembangunan perekonomian bangsa, maka pendidikan dapat dipandang sebagai investasi karena pendidikan yang berhasil akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, kemajuan ekonomi mendorong perkembangan pendidikan, dan pendidikan yang maju merupakan salah satu persyaratan untuk perkembangan ekonomi selanjutnya.
Dari aspek investasi, maka biaya pendidikan sebagai segala sesuatu yang dikeluarkan dalam bentuk sumber daya, untuk mendapatkan pengembilan berupa barang atau layanan jasa dalam rangka pencapaian tujuan di bidang pendidikan. Biaya pendidikan adalah seluruh pengeluaran yang ditujukan untuk membiayai proses pelaksanaan pendidikan.
Biaya pendidikan juga merupakan komponen masukan instrumental yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Dalam setiap upaya pencapaian tujuan pendidikan, baik tujuan-tujuan yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif, biaya pendidikan memiliki peranan yang sangat menentukan. Biaya pendidikan memiliki cakupan yang sangat luas, yakni semua jenis pengeluaran yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan, baik dalam bentuk uang maupun barang dan tenaga (yang dapat dihargakan dengan uang).
Berkenaan pengertian biaya pendidikan, Anwar (2003:10) mengatakan bahwa, ”Biaya pendidikan memiliki pengertian yang luas, hampir segala pengeluaran yang bersangkutan dengan penyelenggaraan pendidikan dianggap sebagai biaya.” Sehubungan dengan itu, manajemen pendidikan mengkaji, menganalisis pengeluaran, segi manfaat dan efisiensinya, sehingga pengeluaran untuk pendidikan merupakan biaya pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Secara bahasa biaya (cost) dapat diartikan pengeluaran, dalam istilah ekonomi, biaya/pengeluaran dapat berupa uang atau bentuk moneter lainnya. Biaya pendidikan menurut Supriadi (2003:19) merupakan salah satu komponen instrumental (instrumental input) yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan (di sekolah). Biaya dalam pengertian ini memiliki cakupan yang luas, yakni semua jenis pengeluaran yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan, baik dalam bentuk uang maupun barang dan tenaga (yang dapat dihargakan uang).
Fattah (2003:23) menyatakan bahwa biaya dalam pendidikan meliputi biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost).
Lebih lanjut Fromkin mengemukakan bahwa (1996:23):
Biaya langsung terdiri dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan pengajaran dan kegiatan belajar mahasiswa berupa pembelian alatalat pelajaran, sarana belajar, biaya transportasi, gaji dosen yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sedangkan biaya tidak langsung berupa keuntungan yang hilang dalam bentuk biaya kesempatan yang hilang yang dikorbankan oleh mahasiswa selama belajar.
Sedangkan Boediono (1992:69) menyebutkan bahwa, ”Biaya pendidikan dapat dikategorikan dalam beberapa cara, antara lain biaya ini dikategorikan atas (1) biaya langsung dan biaya tidak langsung, (2) biaya sosial dan biaya privat, dan (3) biaya moneter dan biaya non-moneter.
Mengacu pada pengertian di atas, dana pendidikan sebenarnya tidak selalu identik dengan uang, melainkan juga terkait dengan segala sesuatu pengorbanan yang diberikan untuk setiap aktivitas dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan pendidikan. Dengan demikian, dana yang dikeluarkan memiliki keterkaitan dengan mutu pendidikan yang diharapkan. Oleh karena itu, dalam pembiayaan pendidikan sebagai penunjang peningkatan mutu diperlukan pengelolaan yang terencana agar tujuan dari pendidikan dapat tercapai dengan baik. Secara lebih jelas, pembiyaan pendidikan pada tingkat instansi yang membina penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pusat hingga daerah berkisar pada program rutin dan pembangunan. (Anwar:105), dapat dirinci sebagai berikut :
1. Program rutin, meliputi:
a. Belanja pegawai, yaitu gaji, tunjangan, dan belanja pegawai lainnya
b. Belanja barang dan jasa untuk keperluan sehari-hari perkantoran, pembelian alat-alat tulis kantor, barang cetak, alat-alat rumah tangga, pengiriman surat dan barang, sewa gedung, keamanan kantor dan lain-lain.
c. Belanja pemeliharaan, yaitu untuk pemeliharaan gedung, peralatan kantor, barang-barang inventaris dan lain-lain.
d. Belanja perjalanan, yaitu untuk perjalanan dinas, penginapan dan lain-lain.
2. Program pembangunan (proyek), yaitu:
Pengeluaran yang berhubungan dengan biaya lembaga pendidikan untuk pembelian beberapa sumber atau input proses pembelajaran, seperti sarana dan prasarana, serta operasional kelembagaan penunjang pengembangan institusi.
Sedangkan Fattah (2004:48), memberikan penjelasan tentang anggaran rutin dan anggaran pembangunan:
Anggaran rutin atau recufrent expenditure adalah anggaran yang ditunakan untuk membiayai pengeluaran rutin atau berulang-ulang, seperti gaji, barang yang harus sering diganti, serta kegiatan operasional yang bersifat reguler pada suatu lembaga.
Anggaran pembangunan atau capital expenditure adalah pengeluaran untuk barang-barang yang tahan lama, seperti gedung sekolah, laboratorium, sarana olahraga, fasilitas belajar lainnya serta bantuan operasional kegiatan penunjang organisasi.
Biaya operasional satuan pendidikan berdasarkan Badan Standar Nasional Pendidikan, meliputi:
1. Gaji pendidikan dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji.
2. Bahan atau peralatan pendidikan habis pakai
3. Biaya operasional pendidikan tak langsung berupa daya, air jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi dan lainnya. (Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005).
Sedangkan jenis-jenis pembiayaan terdiri dari berdasarkan Standar Nasional Pendidikan meliputi :
1. Biaya investasi, meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumber daya manusia dan modal kerja tetap.
2. Biaya personal, yaitu belanja pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan. (Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005)
Dalam kaitan ini, Suryadi (1999:305) menyatakan, ”Rendahnya biaya pendidikan berdampak terhadap kualitas keluaran pendidikan, karena secara langsung berpengaruh terhadap kapasitas dalam menyediakan sarana dan prasarana pendidikan”.
Pembiayaan pendidikan dijalankan dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan serta kebijakan pemerintah dalam pembangunan di bidang pendidikan. Menurut Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional fungsifungsi pembiayaan pendidikan adalah :
1. Memperjelas pemihakan terhadap masyarakat miskin.
2. Penguatan desentralisasi dan otonomi pendidikan.
3. Memberikan insentif dan disinsentif bagi :
a. Perluasan dan pemerataan akses pendidikan
b. Peningkatan mutu, relevansi dan daya saing pendidikan secara berkelanjutan.
c. Penguatan tata kelola, akuntabilitas dan citra publik pengelola pendidikan. (Depdiknas:2005)
Selanjutnya Fattah (2003:49) menyatakan bahwa fungsi pembiayaan dapat digolongkan kedalam tiga jenis, yaitu:
1. Sebagai alat penaksir.
2. Sebagai alat otorisasi pengeluaran dana, dan
3. Sebagai alat efisiensi
Fungsi pembiayaan pendidikan dalam kerangka desentralisasi dan otonomi pendidikan dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan dan penyelenggaraan urusan pendidikan. Seperti disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sektor pendidikan adalah salah satu yang menjadi urusan wajib pemerintah daerah. Departemen Pendidikan Nasional akan terus membantu provinsi dan kabupaten/kota dalam pembiayaan pembangunan sector pendidikan. Bersamaan dengan itu, komitmen dan kemampuan kabupaten/kota dalam perencanaan dan pengelolaan pembangunan terus ditingkatkan melalui pengembangan kapasitas. Bantuan pembiayaan pendidikan dan pengembangan kapasitas pada prinsipnya diarahkan untuk makin memperkuat desentralisasi dan kemandirian pemerintah daerah dalam manajemen pembiayan pendidikan.
Pembiayaan pendidikan harus mampu menjadi strategi peningkatan akses, mutu dan tata kelola. Kapasitas pemerintah daerah dan satuan pendidikan dalam mengelola sumber-sumber daya pendidikan sangat menentukan keberhasilan program-program pengembangan pendidikan. Pembiayaan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah berdasarkan kriteria seperti tujuan yang akan dicapai dalam pemenuhan standar nasional pendidikan, efektivitas dan efisiensi pelaksanaan, akuntabilitas dalam pengelolaan serta manfaat yang diperoleh.
Dalam program pemihakan terhadap masyarakat miskin, pemerintah akan mulai menghilangkan hambatan biaya seluruh biaya operasional satuan pendidikan di luar gaji pendidik dan tenaga kependidikan. Hal ini merupakan amanat konstitusi dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Pemerintah secara bertahap akan membebaskan seluruh beban operasional satuan pendidikan negeri dan swasta menuju pendidikan dasar bebas biaya. Walaupun orang tua siswa dibebaskan dari biaya operasional satuan pendidikan, masih banyak keluarga miskin yang itdak mampu memenuhi biaya pribadi untuk anaknya sehingga tidak memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Untuk mengantisipasinya program penyediaan beasiswa yang disalurkan melalui biaya satuan pendidikan ke sekolah untuk menutup biaya pribadi bagi siswa yang tidak terhambat masuk sekolah. Bantuan beasiswa juga dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi sekolah.
Pendidikan merupakan upaya atau kegiatan yang dilakukan secara sadar sistematis dan berkelanjutan, dalam upaya mendewasakan manusia atau dengan kata lain mencerdaskan kehidupan bangsa. Mayoritas kegiatan tersebut berlangsung di lembaga pengajaran dari pendidikan prasekolah sampai dengan perguruan tinggi, termasuk lembaga pendidikan lainnya, baik formal, non formal dan in formal.
Dalam prosesnya pendidikan membutuhkan sejumlah biaya yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan sarana dan prasarana serta kegiatan lainnya yang diperlukan dalam penyelenggaraan pendidikan. Biaya pendidikan sebagai pengorbanan yang dikeluarkan untuk dapat terselenggaranya proses pembelajaran sesuai dengan tujuan yang telah diterapkan.
Lembaga pendidikan sebagai produsen jasa pendidikan, seperti halnya pada bidang usaha lainnya menghadapi masalah yang sama, yaitu biaya produksi, tetapi ada beberapa kesulitan khusus mengenai penerapan perhitungan biaya ini. Hallack (1995:33) mengemukakan tiga macam kesulitan, yaitu berkenaan dengan:
1. Definisi produksi pendidikan,
2. Identifikasi transaksi ekonomi yang berhubungan dengan pendidikan, dan
3. Suatu kenyataan bahwa pendidikan mempunyai sifat sebagai pelayanan umum.
Dalam konsep dasar pembiayaan pendidikan hal penting yang perlu dikaji atau dianalisis adalah biaya satuan per peserta didik (unit cost). Biaya satuan di tingkat satuan pendidkan merupakan aggregate biaya pendidikan tingkat sekolah baik yang bersumber dari pemerintah, orang tua, dan masyarakat yang dikerluarkan untuk menyelenggarakan pendidikan dalam satu tahun pelajaran. Biaya satuan per peserta didik merupakan ukuran yang menggambarkan seberapa besar uang yang dialokasikan sekolah secara efektif untuk kepentingan murid dalam menempuh pendidikan. Oleh karena biaya satuan ini diperoleh dengan memperhitungkan jumlah peserta didik pada masing-masing satuan pendidikan, maka ukuran biaya satuan dianggap standar dan dapat dibandingkan antara satuan pendidikan yang satu dengan yang lainnya. Analisis mengenai biaya satuan dalam kaitannya dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhinya dapat dilakukan dengan menggunakan satuan pendidikan sebagai unit analisis. Dengan menganalisis biaya satuan, memungkinkan kita untuk mengetahui efisiensi dalam penggunaan sumbersumber di satuan pendidikan, keuntungan dari investasi pendidikan, dan pemerataan pengeluaran masyarakat, pemerintah untuk pendidikan. Disamping itu, juga dapat menjadi penilaian bagaimana alternatif kebijakan dalam upaya perbaikan atau peningkatan sistem pendidikan
Menurut Gaffar (2000:38) bahwa, ”Unit cost yang dipergunakan adalah perstudent unrolled untuk reccurent cost place untuk capital cost. Tujuan mengitung biaya dengan menggunakan unit cost adalah untuk mengetahui financial implication pendidikan dalam mencapai tujuan dan target tertentu.”
Untuk perguruan tinggi, standar ideal unit cost pendidikan adalah 18 juta per mahahasiswa. Menurut Supriadi (2005:35),”unit cost pendidikan tinggi yang ideal adalah Rp 18 juta per mahasiswa, apabila unit cost tidak memenuhi rasio ideal, maka perguruan tinggi tersebut akan sulit mengembangkan kegiatan akademik dan pelayanan pendidikan”.
Namun demikian, bahwa sebagian besar perguruan tinggi belum memiliki unit cost ideal, sehingga dalam melaksakan operasional kegiatan banyak ditemui hambatan dalam proses pembelajaran maupun pelayanan pendidikannya. Dengan demikian, besarnya biaya pendidikan pada suatu satuan pendidikan berpengaruh terhadap kualitas proses pembelajaran pada satuan pendidikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Fattah (2004:111), bahwa :
a. Terdapat hubungan yang positif dan kontribusi yang signifikan antara biaya dengan kualitas belajar mengajar.
b. Terdapat hubungan yang positif dan kontribusi yang signifikan dengan mutu hasil belajar.
c. Terdapat hubungan yang positif dan kontribusi yang signifikan antara mutu proses belajar mengajar-mengajar dengan mutu hasil belajar siswa.
Behingga sekali permasalahan muncul dalam penyelenggaraan pendidikan, salah satunya adalah keterbatasan anggaran pendidikan dan juga termasuk kelemahan dalam mengelola biaya pendidikan. Berkaitan dengan keterbatasan anggaran ini, Supriadi (2003:6) menyatakan bahwa :
Hal penting dipertanyakan adalah apakah bangsa Indonesia sudah melakukan sesuatu yang terbaik yang dapat dilakukan dalam keadaan yang serba terbatas ini? Dalam keadaan seperti ini, kita tetap harus berusaha bagaimana caranya agar penyelenggaraan pendidikan dapat berjalan secara efektif dan efisian sesuai dengan kondisi yang ada sekarang ini.
Pendidikan merupakan suatu investasi yang dilakukan oleh pemerintah atau pihak-pihak yang memiliki kepedulian terhadap usaha pendidikan. Sehingga untuk menjalankan operasional pendidikan diperlukan biaya-biaya. Adapun komponen biaya tersebut meliputi: Komponen biaya pendidikan yang memberikan kontribusi terhadap kualitas dan komponen untuk optimalisasi proses belajar mengajar. (Renshaw, 1998:48) Pembiayaan pendidikan sangat berpengaruh terhadap pencapaian tujuan dari pendidikan itu sendiri. Untuk itu pembiayaan yang tepat sasaran harus diawali dengan perencanaan pendidikan yang baik. Pengertian perencanaan pendidikan adalah suatu usaha melihat ke masa depan dalam menentukan kebijakan, prioritas dan biaya pendidikan dengan mempertimbangkan kenyataan-kenyataan yang ada dalam bidang ekonomi, sosial dan politik untuk mengembangkan potensi sistem pendidikan nasional, memenuhi kebutuhan bangsa dan anak didik yang dilayani oleh sitem tersebut. (Sedarmayanti, 1995:49).24
Definisi tersebut merupakan dimensi baru dalam perencanaan pendidikan.
Perbedaan dengan perencanaan klasik ialah dalam hal perhatiannya yang diberikan kepada pertumbuhan ekonomi, pengembangan sumber tenaga kerja dan terhadap perencanaan makro. Pada perencanaan klasik tidak memperhatikan hal tersebut. Perencanaan pendidikan di Indonesia merupakan suatu proses penyusunan alternative kebijakan mengatasi masalah yang akan dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan pendidikan nasional yang mempertimbangkan kenyataan-kenyataaan yang ada di bidang sosial, ekonomi, sosial, budaya dan kebutuhan pembangunan secara menyeluruh terhadap pendidikan nasional.
Perencanaan pendidikan sebagai suatu alat yang dapat membantu para pengelola pendidikan untuk menjadi lebih berdaya guna dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Perencanaan pendidikan akan dapat menolong pencapaian suatu target atau sasaran secara lebih ekonomis, tepat waktu dan memberi peluang untuk lebih mudah dikontrol dan dimonitor dalam pelaksanaannya. Perencanaan dapat membantu pelaksanaan kegiatan agar berjalan dengan baik perlu pemahaman fungsi-fungsi manajemen yang lainnya, di antaranya kemampuan mengorganisasikan, mengkoordinasikan, mengawasi dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan pendidikan yang telah dilaksanakan.
Penyelenggaraan pendidikan yang efektif tidak terlepas dari penerapan manajemen pendidikan itu sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Tilaar (2005:15) yang menyatakan bahwa, ”Pengelolaan sistem pendidikan nasional apabila tidak dikelola dengan sebaik-baiknya, maka bukan hanya tidak efektif tetapi juga tidak efisien. Dengan dana yang masih terbatas, pengelolaan pendidikan termasuk di dalamnya peningkatan fungsi manajemen harus dilaksanakan.”
Pengelolaan sistem pendidikan dengan sebaik-baiknya tidak terlepas dari system manajemen yang baik. Disadari bahwa manajemen merupakan serangkaian proses, maka dalam proses tersebut mencakup bagaimana proses manajemen terlibat dalam fungsifungsi manajemen yang ditampilkan oleh seorang manajer atau pimpinan, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan.
Dalam konteks manajemen stratejik tahapan manajemen temasuk manajemen pembiayaan melalui tahapan-tahapan perencanaan (terdiri dari pengamatan lingkungan dan perumusan strategi), pelaksanaan (implementasi strategi), serta evaluasi dan pengendalian. (Murniati: 2008:94). Berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara, maka ada fungsi-fungsi manajemen yang dilakukan antara lain: Perencanaan biaya pendidikan, pelaksanaan pembiayaan dan pengawasan (Depkeu, 2003).
Sedangkan Satori (2007:4), mengemukakan bahwa tahapan-tahapan atau urutan kerja dalam manajemen pembiayaan pendidikan terdiri dari :
1. Perencanaan biaya pendidikan
2. Penggunaan biaya pendidikan
3. Pengendalian biaya pendidikan
Pemberdayaan fungsi-fungsi manajemen diarahkan untuk meningkatkan efekvitas pencapaian tujuan organisasi. Untuk itu, maka peningkatan fungsi-fungsi manajamen dalam pembiayaan pendidikan harus dilakukan dalam rangka mencapai lima target, yaitu:
1. Efisiensi pengadaan barang dan jasa
2. Alokasi belanja yang tepat sasaran
3. Alokasi belanja yang berkeadilan sosial.
4. Peningkatan pelayanan kualitas pelayanan
5. Citra baik lembaga pendidikan. (Alan, 2001:28).
Selanjutnya untuk mencapai kelima target manajemen pembiayaan tersebut menurut Bowen (2001:29) harus melalui mekanisme:
1. Penetapan kebijakan belanja yang ekonomis, efektif dan efisien
2. Perencanaan dan alokasi anggaran yang tepat sasaran dan adil.
3. Pelaksanaan anggaran yang transparan dan akuntabel.
Penyusunan dan pelaksanaannya harus realistis dan memperhatikan aspek kemampuan dalam mengelolanya, karena penetapan alokasi pembiayan pendidikan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kualitas pelayanan pembelajaran. Untuk itu, diperlukan suatu kebijakan perencanaan yang tepat dalam upaya menetapkan kebijakan belanja tepat sasaran. Salah satu strategi yang mendukung program ini adalah melalui kebijakan belanja yang research based, dimana kebijakan ini menghendaki agar penyusunan dan pelaksanaan anggaran dilakukan berdasarkan informasi yang merupakan produk riset atau analisis yang akurat y ang dapat dipertanggungjawabkan. Fokus strategi yang mengarah pada efisiensi pengadaan barang dan jasa dimaksudkan untuk mencapai target optimalisasi pemanfaatan sumber daya keuangan. Untuk itu, penerapan skala prioritas belanja dan efektifitas penggunaan sumber daya keuangan melalui penajaman prioritas alokasi merupakan faktor penting dalam pengendalian efisieni belanja.
Untuk membuat suatu perencanaan dan alokasi biaya yang tepat dan berkeadilan dilakukan berdasarkan prioritas program dan kegiatan yang telah ditetapkan dalam rencana kerja. Sehingga perencanaan dan alokasi anggaran harus diawali dengan perhitungan dasar anggaran (baseline budget) sesuai dengan kebutuhan belanja satuan pendidikan yang rasional. Untuk itu, akurasi dan komprehensitas data dan model perencanaan dan alokasi anggaran yang kredibel menjadi faktor yang turut menentukan keberhasilan perencanaan biaya. Salah satu kebijakan yang mendukung hal tersebut, misalnya: perbaikan kesejahteraaan tenaga pendidikan dan kependidikan; peningkatan efisiens belanja barang dan jasa; peningkatan bantuan sosial yang langsung menyentuh kepentingan rakyat miskin.
Peningkatan fungsi-fungsi manajemen pembiayaan harus dilakukan dengan prinsip good governance yang meliputi penyiapan dokumen pelaksanaan anggaran, penyaluran anggaran, pelaksanaan pembayaran, pengelolaan kas/uang dan pertanggungjawaban atas realiasasi anggaran, maka semua tahapan-tahapan dalam manajemen pembiayaan pendidikan harus dilakukan sesuai dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas pengelolaan biaya pendidikan.
Pendanaan pendidikan nasional disusun dengan mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, kebijakan Menteri Pendidikan Nasional, programprogram pembangunan pendidikan dan sasarannya serta implementasi program pengembangannya. Pelaksanaan pembangunan pendidikan masih akan menghadapi berbagai keterbatasan sumber daya, baik sarana dan prasarana, ketenagaan maupun anggaran pendidikan. Oleh karena itu, peran fungsi manajemen pembiayaan harus lebih ditingkatkan, dengan membuat strategi pembiayaan yang disusun untuk menyiasati keterbatasan sumber daya tersebut, agar pelaksanaan program pembangunan pendidikan dapat memberikan andil yang signifikan terhadap pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Rencana Anggaran dan Pendapatan Belanja Satuan Pendidikan
Dalam rangka pengembangan suatu organisasi atau wilayah, maka fungsi-fungsi manajemen harus diberdayakan secara optimal. Fungsi utama suatu organisasi sebelum mengawali suatu kegiatan pengembangan adalah perencanaan. Menurut Siagian (1996:108), perencanaan adalah, “keseluruhan proses pemikiran dan penentuan secara matang hal-hal yang akan dikerjakan di masa yang akan datang dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan”.
Apabila definisi tesebut diteliti, akan menjadi jelas terlihat bahwa perencanaan sebagai fungsi organik manajemen merupakan perumusan yang teliti terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan mengenai berbagai aspek serta kegiatan, termasuk penggunaan sumber daya dalam rangka pencapaian tujuan yang ditentukan.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dirumuskan dalam suatu rencana mencakup optimalisasi tugas pokok dan fungsi organisasi, pengadaan serta penggunaan tenaga kerja, sistem dan prosedur yang hendak dipergunakan serta alat-alat lainnya yang diperlukan untuk kelancaran kegiatan-kegiatan tersebut.
Pengertian-pengertian yang diberikan di atas, maka menjadi jelas bahwa rencana adalah awal suatu keputusan. Karena merupakan suatu keputusan, maka dampaknya akan terlihat setelah dilaksanakan. Hal ini menunjukkan bahwa perencanaan merupakan fungsi organik pertama dari manajemen. Alasannya ialah bahwa tanpa adanya rencana, maka tidak ada dasar untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu dalam rangka usaha pencapaian tujuan. Perencanaan menjadi fungsi organisasi pertama karena ia merupakan dasar dan titik tolak dari kegiatan pelaksanaan selanjutnya.
Suatu rencana diorientasikan ke masa yang akan datang. Karenanya ada beberapa hal yang penting untuk diingat dalam hubungannya dengan proses perencanaan itu. Halhal ini bisa disebut dalam teori manajemen sebagai planning premises. Menurut Davis (1998:110), pada dasarnya ada empat pendekatan yang perlu dipegang teguh, yaitu:
1. Dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan, sumber daya yang tersedia, atau mungkin tersedia, selalu terbatas sedangkan tujuan yang hendak dicapai tidak pernah terbatas.
2. Suatu organisasi harus selalu memperhatikan kondisi-kondisi serta situasi dalam masyarakat, baik yang bersifat positif dan mendorong ke arah majunya organisasi, maupun yang bersifat negatif, sehingga kemungkinan akan menghalangi kelancaran pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang diperlukan.
3. Organisasi tidak dapat melepaskan diri dari pertanggungjawaban.
4. Manusia, dalam hal ini yang menjadi bagian daripada organisasi, dihadapkan kepada serta keterbatasan, baik fisik, mental dan biologis.
Dari pendekatan pertama kita harus memperhatikan, bahwa rencana yang dibuat disesuaikan ketersediaan sumber daya. Logis pula dikatakan bahwa sebelum membuat rencana, sumber daya apa yang telah, sedang dan akan tersedia perlu diketahui dengan tepat. Tidak berdasarkan dengan dugaan-dugaan saja.
Dengan berpedoman kepada pendekatan kedua, maka setiap rencana yang dibuat harus memperhatikan kondisi-kondisi suatu wilayah. Hal ini sangat penting, karena tidak ada satu organisasi atau kegiatan yang dapat beroperasi dengan baik tanpa kondisi dan siatuasi yang baik pula. Tidak ada organigasi atau kegiatan yang beroperasi dalam suasana kehampaan, bahkan mencekam.
Dengan berpedoman kepada pendekatan ketiga, maka sudah menjadi kewajiban setiap pimpinan organisasi untuk bertanggung jawab kepada bawahannya. Pimpinan juga bertanggung jawab kepada masyarakat luas. Setiap organisasi modern, apapun bentuknya, apapun tugasnya, dan siapapun pemimpinnya harus melihat aspek-aspek sosialnya. Implikasi dari premise ketiga adalah dalam membuat rencana sampai dengan pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang lainnya, segala sesuatunya harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab.
Sedangkan pendekatan keempat, setiap perencanaan kegiatan harus memperhatikan dan menciptakan suatu iklim kerja sama yang baik. Dengan demikian manusia sebagai unsur pelaksana dapat diajak untuk berbuat lebih banyak. Tanpa memperhatikan keempat pendekatan tersebut, manajemen sukar menjalankan fungsi perencanaan dengan baik. Dalam membuat suatu mekanisme perencanaan, diperlukan suatu metode atau cara. Dengan kata lain, fungsi perencanaan dapat dillaksanakan dengan baik melalui tiga cara, seperti telah dijelaskan oleh The
Liang Gie (1996:82), metode tersebut antara lain :
1. Dalam membuat suatu perencanaan, harus mengetahui sifat-sifat atau ciri-ciri suatu wilayah dengan baik. Setelah ciri-ciri itu diketahui, lalu diusahakan, agar rencana yang dibuat memenuhi syarat-syarat.
2. Dalam membuat suatu perencanaan, harus memandang bahwa proses perencanaan itu sebagai suatu rangkaian pertanyaan yang harus dijawab dengan memuaskan.
3. Dalam membuat suatu perencanaan, harus memandang bahwa proses perencanaan itu sebagai suatu masalah yang harus dipecahkan dengan mempergunakan teknik-teknik ilmiah.
Perencanaan merupakan awal suatu kegiatan organisasi dalam rangka pencapaian tujuan. Untuk mencapai tujuan secara efektif, maka diperlukan syarat-syarat. Menurut Enoch (2002:84) bahwa syarat tersebut antara lain:
1. Rencana harus mempermudah tercapainya tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
2. Rencana harus dibuat oleh orang-orang yang sungguh-sungguh memahami tujuan organisasi.
3. Rencana harus dibuat oleh orang-orang yang sungguh-sungguh mendalami teknik-teknik perencanaan.
4. Rencana harus disertai oleh suatu perincian yang teliti.
5. Rencana tidak boleh terlepas sama sekali dari pemikiran pelaksanaan.
6. Rencana harus bersifat sederhana.
7. Rencana harus luwes.
8. Di dalam rencana terdapat pengambilan resiko.
9. Rencana harus bersifat praktis.
10. Rencana harus merupakan forecasting.
Mengingat perencanaan merupakan suatu awal proses pencapaian tujuan, maka ada enam buah pertanyaan yang harus dijawab dalam merencanakan sesuatu. Sebagaimana telah dikemukakan oleh Rudyard dalam The Liang Gie (1996:88), keenam pertanyaan tersebut adalah:
1. What (apa), kegiatan-kegiatan apa yang harus dijalankan dalam pencapaian tujuan.
2. Where (dimana), dimana kegiatan-kegiatan itu hendak dijalankan.
3. When (kapan), kapan kegiatan-kegiatan itu hendak dijalankan.
4. How (bagaimana), bagaimana cara yang harus dilakukan dalam mencapai tujuan.
5. Who (siapa), siapakah yang harus melaksanakan kegiatan tersebut.
6. Why (mengapa), mengapa kegiatan ini dilaksankan.
Secara filosofis, pertanyaan yang terpenting di antara pertanyaan di atas adalah “mengapa”. Karena ditujukan kepada kelima pertanyaan yang mendahuluinya. Jika kelompok pimpinan dapat memuaskan dirinya atas jawaban-jawaban yang mereka peroleh terhadap keenam pertanyaan di atas, terciptalah suatu rencana yang baik.
Dalam membuat suatu rencana, agar pencapaian tujuan dapat berjalan secara efektif dan efisien, menurut Sugandha (2001:3) maka diperlukan langkah-langkah antara lain: :
1. Mengetahui sifat-sifat hakiki dari masalah yang dihadapi.
2. Mengumpulkan data-data.
3. Menganalisa data-data.
4. Menentukan beberapa alternatif.
5. Memilih cara yang kelihatannya terbaik.
6. Pelaksanaan kegiatan
7. Penilaian hasil yang telah dicapai.
Dengan membuat suatu langkah-langkah dalam mengawali kegiatan perencanaan, maka kegiatan yang dilaksanakan lebih teratur dan sistematis. Sehingga pencapaian tujuan lebih mudah, efisien dan efektif. Hal penting dalam menyusun perumusan perencanaan adalah menetapkan suatu perencanaan strategi yang didasarkan pada data dan informasi kuantitatif dan kualitatif serta akurat, baik dari dalam maupun luar organisasi yang lazim disebut dengan analisis internal dan eksternal. Menurut Murniati (2008:91) :
1. Analisis internal dan eksternal (lokal, nasional dan global) digunakan sebagai masukan dalam merumuskan Rencana Strategik (Renstra) dan Rencana Operasional (Renop) pada departemen. Selanjutnya melalui pelimpahan wewenang dan tanggung jawab berdasarkan pembagian tugas yang prinsipil secara tuntas, maka kedua hasil analisis tersebut juga digunakan sebagai masukan untuk merumuskan Renstra dan Renop organisasi jenjang Sekretariat Jenderal, Direktorat Jenderal, Inspektorat Jenderal, Direktorat, Perguruan Tinggi dan Kantor Wilayuah.
2. Hubungan analisis analisis internal dan eksternal (tidak termasuk lingkungan global) jenjang Biro pada Sekretariat Jenderal dan Direktorat pada Direktorat Jenderal/Fakultas/Jurusan, Kantor Departemen Kabupaten/Kota dan Kecamatan termasuk sekolah digunakan secara langsung untuk menyusun program-program tahunan, sebagai implementasi rencana operasional organisasi non-profit atasannya.
Berdasarkan kutipan di atas, perumusan stratejik yang didasarkan pada data dan informasi dari internal dan eksternal atau evaluasi diri melahirkan suatu strategi yang dapat digunakan langsung untuk menyusun perencanaan tahunan yang berisi program-program yang berkelanjutan, dan merupakan proyek atau program operasional yang dilaksanakan oleh organisasi. (Murniati, 2008:91).
Berdasarkan aspek waktu, Sukarno (2002:37) membagi perencanaan menjadi tiga jenis, yakni :
1. Rencana jangka panjang (master plan/rencana induk).
2. Rencana jangka menengah (rencana strategis)
3. Rencana jangka pendek (rencana operasional).
Rencana jangka panjang adalah suatu perencanaan dengan rentang waktu 10 tahun ke atas, rencana jangka menengah dengan rentang waktu 5 sampai dengan 10 tahun, sedangkan rencana jangka pendek mempunyai rentang waktu 1 sampai dengan 5 tahun.
Berkaitan dengan pembiyaaan pendidikan, perencanaan merupakan unsur penting dalam pencapaian tujuan organisasi. Perencanaan biaya adalah analisis yang akurat terhadap kebutuhan sumber dana demi tercapainya tujuan. Perencanaan dana juga disebut dengan penganggaran. Penganggaran merupakan suatu kegiatan perencanaan dan koordinasi dari berbagai sumber kegiatan untuk mencapai suatu tujuan dalam suatu periode tertentu melalui analisis perkiraan kebutuhan dan hasil yang ingin dicapai.
Fattah (2003:40) memberi batasan perencanaan adalah suatu proses intelektual yang menentukan secara sadar tindakan yang akan ditempuh dan mendasarkan keputusan-keputusan pada tujuan yang hendak dicapai, informasi yang tepat waktu dan dapat dipercaya, serta memperhatikan perkiraan keadaan yang akan datang.
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perencanaan dana atau penganggaran adalah merencanakan kegiatan yang akan datang, berapa dana yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan tersebut dan bagaimana menggali sumber dana, menghimpun, menjabarkan ke dalam kegiatan untuk mencapai tujuan suatu program pendidikan.
Perencanaan keuangan di Indonesia dilakukan setahun sekali, yaitu dimulai tanggal 1 Januari dan berakhir tanggal 31 Desember tahun yang bersangkutan.
Sedangkan sistem penganggaran pada satuan pendidikan termasuk perguruan tinggi yaitu dimulai pada awal tahun akademik yaitu tanggal 1 Juli tahun yang berjalan sampai dengan 30 Juni tahun berikutnya.
Suatu rencana sebaiknya disusun dengan analisis kebutuhan, pencapaian tujuan dan beorientasi kepada hasil kegiatan. Dalam kaitan ini Handayaningrat (2000:11) menjelaskan sebagai berikut:
a) Hasil akhir: yaitu spesifikasi dari berbagai tujuan/sasaran, target perencanaan. Di sini ditentukan apa yang ingin dicapai dan bilamana kita akan mencapainya.
b) Alat-alat: yaitu meliputi pemilihan kebijaksanaan, strategi, prosedur dan prakteknya. Di sini ditentukan dengan apa dapat menyelesaikan rencana.
c) Sumber-sumber: yaitu meliputi kuantitas, mendapatkan dan mengalokasikan bermacam sumber, antara lain: tenaga kerja, keuangan, material dan sebagainya.
d) Pelaksanaan: yaitu penentuan prosedur pengambilan keputusan dan cara mengorganisasikannya sehingga rencana tersebut dapat dilaksanakan dan
e) Pengawasan: yaitu menentukan apa yang akan dilakukan dalam menemukan kesalahan, kegagalan rencana dan untuk mencegah atau memperbaiki kesalahan selanjutnya.
Dari uraian di atas dapat digambarkan bahwa dalam rangka pencapaian tujuan langkah-langkah yang harus ditetapkan dalam membuat kebijakan perencanaan meliputi:
1) penetapan tujuan atau sasaran yang hendak dicapai; 2) penetapan dasar kebijakan, strategi dan prosedur pelaksanaan; 3) penetapan mekanisme pengambilan keputusan dan cara mengorganisasikan rencana; 4) penetapan sumber daya pendukung; 5) penetapan prosedur pengawasan.
Sumber daya pendukung dalam perencanaan harus dikaji secermat mungkin karena kesuksesan perencanaan sangat ditentukan oleh sumber daya yang tersedia. Besarnya sumber daya pendukung akan mempengaruhi besarnya kegiatan perencanaan. Begitu pula dalam merencanakan penyaluran biaya pendidikan diperlukan dukungan sumber daya yang memadai agar kegiatannya dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. (Vaizey, 1978).
Perencanaan anggaran yang baik selalu membuat kajian dan analisa cara memanfaatkan dana secara efisien, dialokasikan secara tepat sesuai dengan skala prioritas. Hal ini mengingat sumber dana untuk anggaran pendidikan sangat terbatas, sementara kebutuhan alokasi biaya pendidikan sangat banyak dan besar. Untuk itu, maka perlunya prosedur penyusunan anggaran.
Menurut Harbison (1997:49), “Penyusunan anggaran harus didasarkan pada empat prinsip yaitu: 1) pembagian wewenang dan tanggung jawab yang jelas; 2) system akuntansi yang memadai dalam pelaksanaan anggaran; 3) adanya penilaian kinerja organisasi; dan 4) adanya dukungan pelaksana.
Di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional perencanaan program dan anggaran mengacu kepada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 15 Tahun 2007, tentang Sistem Perencanaan Tahunan Departemen Pendidikan Nasional Pasal 1, mekanisme perencanaan, yaitu :
(1) Perencanaan Tahunan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) adalah proses penyusunan program, kegiatan, dan anggaran Depdiknas untuk satu tahun mendatang (t+1) yang pendanaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
(2) Perencanaan Tahunan Depdiknas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berjenjang mulai dari:
a. setiap unit kerja eselon II pada unit utama dan unit pelaksana teknis (UPT) pusat di daerah;
b. setiap unit utama; sampai dengan
c. Menteri Pendidikan Nasional.
(3) Perencanaan Tahunan Depdiknas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengikuti siklus dan mekanisme perencanaan nasional tahunan sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
(4) Perencanaan Tahunan Depdiknas pada setiap jenjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi masingmasing unit kerja sehingga tidak terjadi tumpang tindih perencanaan dan/atau terabaikannya program atau kegiatan yang diamanatkan oleh:
a. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN),
b. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN),
c. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional, dan
d. Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun bersangkutan.
(5) Perencanaan Tahunan Depdiknas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terpadu dan berbasis kinerja.
Pendekatan dalam penyusunan anggaran menurut Soenaryo (1995:50) terdiri dari tiga langkah, yaitu:
1) Pendekatan perbandingan yaitu penganggaran harus dilakukan dengan memperhatikan penerimaan dan pengeluaran untuk masing-masing mata anggaran.
2) Pendekatan perencanaan program dan evaluasi anggaran yaitu penganggaran yang hendaknya berorientasi kepada rencana dan program dari khusus ke umum, alternatif rancangan anggaran, analisis biaya pelaksanaan dan penilaian juga digunakan dalam pendekatan ini.
3) Pendekatan fungsional yaitu menggabungkan pendekatan pertama dan kedua, yang mendasarkan pada upaya proyeksi keinginan penyesuaian dan perkembangan yang terjadi pada waktu mendatang.
Ada dua bagian dalam perencanaan yaitu perkiraan tentang penetapan dan pengeluaran. Besar kecilnya perkiraan dan penyajian rencana pendapatan ditentukan oleh besar kecilnya dana yang bakal diterima oleh satuan pendidikan dari sumber yang direncanakan. Sumber biaya pendidikan, khususnya di perguruan tinggi negeri adalah dari pemerintah, penerimaan negara bukan pajak (SPP mahasiswa dan sumber pendapatan dari aset pendidikan tinggi). Rencana pendapatan ini harus dipertanggungjawabkan melalui perkiraan dan penyajian anggaran pengeluaran. Rencana pengeluaran terdiri dari alokasi besaran biaya tiap-tiap komponen kegiatan pendidikan yang diperlukan dalam kurun waktu tertentu, biasanya dibatasi oleh termin-termin triwulan, semester dan kurun waktu tahunan.
Dalam pembahasan pengeluaran pendidikan, menurut Fattah (2003:48) ada dua istilah anggaran rutin, berupa pengeluran yang bersifat rutin yang menunjang kegiatan operasional organisasi dan belanja pembangunan yang bersifat proyek-proyek kegiatan pengadaan dan penunjang kebutuhan lembaga. Namun sejak bergulirnya reformasi bidang manajemen keuangan negara, APBN tidak membagi anggaran rutin dan pembangunan dalam dua lembaran kerja (DIK dan DIP), dimana sebelumnya baik anggaran rutin dan anggaran pembangunan masing-masing memiliki lembaran kerja sendiri, sehingga banyak ditemukan kegiatan yang tumpang tindih. Untuk maksud tersebut, maka dalam penyusunan APBN berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.05/2007 pada Pasal 2 ayat (3) menyebutkan, bahwa: “Penyusunan RKAKL dilakukan dengan menggunakan pendekatan Penganggaran Terpadu, Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah, dan Penganggaran Berbasis Kinerja.”
Sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementrian Negara/Lembaga, pada pasal 4 menyebutkan, “RKA-KL disusun dengan menggunakan pendekatan sebagai berikut: (a) Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah; (b) Penganggaran Terpadu; dan (c) Penganggaran berbasis kinerja
Setelah diberlakukannya anggaran yang bersifat terpadu tidak ada lagi pembagian anggaran dalam manajemen APBN, dijadikan menjadi satu lembaran dalam Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAKL). Dimana didalamnya kegiatan yang sebelumnya bersumber dari anggaran rutin, meliputi: (1) Kegiatan Pembayaran Gaji, Honor dan Tunjangan; (2) Kegiatan Penyelenggaraan Operasional Perkantoran dan Pemeliharaan; (3) Kegiatan Pelayanan Publik. Sedangkan kegiatan yang sebelumnya bersumber dari anggaran pembangunan meliputi: (1) Kegiatan Prioritas Nasional dan (2) Kegiatan Penunjang atau Prioritas Kementerian Negara/Lembaga. (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80 Tahun 2008).
Pelaksanaan Anggaran dalam Pembiayaan Pendidikan
Pelaksanaan pembiayaan merupakan salah satu unsur manajemen pembiayaan. Dengan kata lain, sistem pembiayaan ini merupakan bagian dari proses pengelolaan dan penyediaan sumber biaya yang digunakan untuk penyelenggaraan pendidikan. Dalam konteks manajemen stratejik, pelaksanaan lebih cenderung kepada implementasi strategi. Menurut Hunger dan Wheelen dalam Murniati (2008:93) bahwa, “Implementasi strategi adalah proses dimana mewujudkan strategi dan kebijakannya dalam tindakan melalui pengembangan program, anggaran dan prosedur”.
Sedangkan dalam konteks manajemen pembiayaan, kegiatan pelaksanaan pembiayaan meliputi persiapan penyusunan rencana biaya dan penetapan biaya. (Corea, 1999:50).
1. Penyusunan rencana biaya
Proses penyusunan rencana biaya merupakan proses yang panjang dengan azas perencanaan dari bawah ke atas atau pola bottom up. (Pidarta:2000:260). Pengajuan rencana biaya, dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara diaplikasikan dalam bentuk:
a. Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL), apabila anggaran tersebut bersumber dari dana APBN.
b. Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD), apabila anggaran tersebut bersumber dari dana APBD.
Hal tersebut di atas, merupakan panduan baku yang ditetapkan oleh pemerintah untuk membuat usulan rencana anggaran satuan kerja.
2. Penetapan biaya
Tahap penetapan biaya, dapat bersifat terperinci dan pula bersifat utuh atau bulat. Hal ini dapat dimengerti sebab usulan anggaran selain diajukan dalam bentuk bulan keseluruhan juga disertakan dengan rinciannya. Cara tersebut akan memudahkan badan yang diberikan wewenang untuk menetapkan anggaran dalam mengambil keputusan terhadap usulan anggaran yang diajukan. Apabila penetapan anggaran diberikan dalam bentuk utuh akan memudahkan pelaksanaan untuk menjalankan programnya.
Pelaksanaan penetapan biaya keuangan negara, menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, meliputi:
a. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA), apabila anggaran tersebut bersumber dari dana APBN.
b. Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA), apabila anggaran tersebut bersumber dari dana APBD.
Proses pelaksanaan pembiayaan di Indonesia menempuh langkah-langkah tertentu. Di awali dari tanggal 1 Januari pada tahun anggaran yang bersangkutan, dimulai proses pelaksanaan pembiayaan yang menjadi tugas pemerintah. Dalam melaksanakan pembiayaan dikenal adanya presedur beban tetap dan prosedur beban sementara.
Menurut undang-undang perbendaharaan negara, pada dasarnya pelaksanaan pembiayaan mengikuti anggaran tetap, yakni suatu ketentuan bahwa dana anggaran tidak diperbolehkan untuk membayar tagihan sebelum tagihan yang bersangkutan dapat dipastikan jumlahnya. Tetapi pada kenyataannya dapat dilaksanakan dengan prosedur tetap. Karena itu, diciptakan prosedur beban sementara, dimana suatu lembaga dapat menerima uang anggaran terlebih dahulu sebelum pekerjaan dimulai, walaupun nantinya harus diimbangi dengan pelaporan yang berbentuk surat pertanggungjawaban.
Besar atau kecilnya anggaran yang disalurkan untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan akan berbeda satu sama lain, tergantung pada jenjang dan jenis satuan atau sistem dimana proses penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan. Penggunaan anggaran dalam pembiayaan pendidikan tetap harus berpedoman pada azas efisiensi dan efektivitas. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Pidarta (2000:253) sebagai berikut :
Yang dimaksud dengan efisiensi dalam menggunakan dana pendidikan adalah penggunaan dana yang harganya sesuai atau lebih kecil daripada produksi dan layanan pendidikan yang telah direncanakan. Atau secara lebih luas biaya pendidikan lebih kecil daripada produksi pendidikan bila semuanya dapat diuangkan. Sementara itu yang dimaksud dengan dana tersebut tujuan pendidikan yang telah direncanakan bisa dicapai dengan relatif sempurna.
Merujuk pada kutipan di atas memberi kejelasan bahwa efisiensi merupakan asas yang harus menjadi pedoman dalam pelaksanaan manajemen pembiayaan pendidikan. Dalam kaitan ini Hough (2001:107) menyatakan bahwa, “Ketidakefisiensian pengelolaan sumber-sumber biaya dan pemanfaatannya selaku investasi dalam sistem pendidikan dapat memberikan dampak negatif terhadap jumlah dan mutu produk pendidikan”.
Kondisi ini memberikan peluang cukup besar munculnya nilai ekonomis yang rendah. Ketidakefisienan, karena ketidaktepatan dalam penggunaan dana yang dapat mencakup dalam pengelolaan biaya dari beberapa komponen utama sistem pendidikan, yaitu guru, siswa, kurikulum, sarana dan prasarana.
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyebutkan pelaksaaan anggaran dilakukan dengan pendekatan-pendekatan:
1. Penyatuan anggaran belanja negara dengan kualitfikasi menurut jenis belanja, organisasi dan fungsi (unified budget)
2. Penyusunan anggaran belanja dalam kerangka kerja pengeluaran berjangka menengah (medium term expenditure framework).
3. Peneyusunan anggaran berbasis kinerja (performance based budgeting).
4. Perbaikan pengelolaan keuangan negara dengan menerapkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (good governance).
5. Peningkatan sinergi dan sinkronisasi dalam perumusan kebijakan dan penganggaran secara formal tugas pokok dan fungsi dari unit yang berwenang melakukan fungsi ordinasi, otorisasi dan perumusan kebijakan.
6. Peningkatan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan anggaran.
7. Peningkatan capacity building sumber daya.
Setiap penggunaan anggaran dalam pembiayaan perlu dilakukan proses pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban terhadap apa yang telah dicapai apakah sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Proses ini juga disebut evaluasi. Pertanggungjawaban adalah salah satu cara untuk membuktikan dan menentukan apakah kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan rencana, tujuan dan peraturan yang berlaku?
Proses ini menyangkut pertanggungjawaban penerimaan, penyimpanan dan pembayaran atau penyerahan dana kepada pihak-pihak yang berwenang.
Sistem Pengendalian, Pengawasan dan Pemeriksaan dalam Pembiayaan Pendidikan
Bagian dari fungsi-fungsi manajemen yang merupakan salah satu alat dalam pencapaian tujuan adalah fungsi pengawasan. Semua pergerakan dan dinamika organisasi akan berjalan sesuai dengan rencana, bila diiringi oleh pengawasan, karena tanpa pengawasan akan timbul penyimpangan-penyimpangan yang serius. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka Havighurst (1996:135) memberi arti pengawasan yaitu, "Proses pengamatan dari pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilakukan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya".
Pengertian pengawasan dalam konteks manajemen pendidikan menurut Nawawi (2003:115) adalah, ”Sebagai proses mengukur dan menilai tingkat efektivitas kerja personil dan tingkat efisiensi penggunaan sarana kerja dalam memberikan kontribusi pada pencapaian tujuan organisasi”. Dengan demikian pencapaian tujuan organisasi tidak terlepas dari sistem pengawasan dan proses pelaksanaan pengawasan idealnya tingkat seminimal mungkin. Hal ini sejalah dengan pandangan Djatmiko (2006:6) yang menyatakan bahwa, ”Suatu organisasi yang telah berkembang, struktur pengawasannya akan tersusun tingkat demi tingkat. Suatu azas yang perlu diperhatikan ialah tingkattingkat pengawasan itu berjumlah sesedikit mungkin”.
Pengawasan sebagai salah satu aspek yang penting dalam pelaksanaan rencana. Pengawasan ini merupakan suatu upaya agar pelaksanaan pembangunan berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Syafrudin (2003:86) mengemukakan betapa penting arti pengawasan dalam suatu pelaksanaan pembangunan, yaitu, ”Apabila terdapat penyimpangan-penyimpangan atau adanya persoalan-persoalan dapat diketahui sampai berapa jauh penyimpangan atau masalah tersebut dibanding dengan perkiraan semula.
Lebih penting daripada itu ialah mengetahui apa sebabnya. Kemudian perlu diambil langkah kebijaksanaan korektif.”
Sebagaimana halnya dengan fungsi-fungsi organik yang lainnya, pengawasan dapat dibedakan antara "administrative control" dan managerial control". Simanjuntak (1998:135) mengemukakan, “Pengawasan dibedakan atas administrative control dan manajerial control.”
Adminstrative control meliputi seluruh kegiatan pada unit organisasi pada semua tingkat. Tujuannya agar supaya keputusan yang telah dibuat (dalam bentuk rencana) sungguh-sungguh dijalankan sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditentukan sebelumnya. Jika hal ini tidak dilaksanakan, besar kemungkinan akan timbul penyimpangan dan penyelewengan yang pada akhirnya akan berakibat tidak tercapainya tujuan yang telah ditentukan. Atau, jika tujuan itu tercapai dengan pengorbanan yang terlalu besar karena di dalam pelaksanaan terdapat ketidakefisienan dan pemborosan dalam berbagai bentuk.
Managerial control bersifat lebih sempit dan lebih khusus. Khusus dalam arti tidak berlaku bagi seluruh organisasi, tergantung pada tingkat manajemen apa yang dijalankannya, akan tetapi hanya berlaku pada suatu unit tertentu, bagian tertentu atau fase tertentu daripada rangkaian keseluruhan.
Meskipun ruang lingkup managerial control lebih terbatas daripada administrative control, tetapi mempunyai makna yang sama, yaitu untuk sedapat mungkin mencegah timbulnya penyimpangan dan penyelewengan dari rencana yang telah dirumuskan sebelumnya.
Pelaksanaan pengawasan harus selalu berpedoman kepada pengawasan fungsional dan pengawasan masyarakat. Karena, pada akhirnya kelanjutan dari pengawasan melekat harus dapat dinilai secara transparan oleh unsur pemerintahan dan masyarakat, apalagi di era reformasi yang penuh keterbukaan ini.
Pelaksanaan kegiatan yang menggunakan sumber dana relatif terbatas, memerlukan adanya pengawasan dan pengendalian yang bertujuan antara lain agar semua komponen sistem bergerak secara efektif dan efisien. Menurut Morphett (1975) bahwa, ”Pada dasarnya rencana dan pelaksanaan merupakan satu kesatuan tindakan, walaupun hal ini sangat jarang terjadi. Pengawasan diperlukan untuk melihat hasil yang telah dicapai”.
Dalam melaksanakan pengawasan informasi yang didapat antara lain berbagai laporan kegiatan. Pelaporan dapat diusahakan secara menyeluruh untuk semua programprogram dan proyek-proyek pembangunan, tetapi juga bisa diproses secara selektif pada program-program dan proyek-proyek pembangunan yang penting berdasarkan kriteriakriteria terentu. Jangka waktu laporan dapat dibuat berbagai macam, tetapi pada umumnya jangka waktu triwulan diangap sudah memadai, tidak terlalu sering tetapi juga tidak terlalu jarang.
Aspek lain yang perlu diperhatikan, agar pelaksanaan sasaran pembangunan lebih terarah dan berdaya guna tinggi adalah aspek evaluasi. Hadisumarto (2002:89) menjelaskan pentingnya langkah evaluasi yaitu, "Mengetahui segala kekurangan pada kegiatan sebelumnya, agar tercapai suatu tindakan korektif dalam pelaksanaan program berikutnya".
Dari penjelasan di atas, pencapaian sasaran pembangunan agar sesuai dengan rencana maka aspek pengawasan, monitoring, pelaporan dan evaluasi sangat menentukan keberhasilan program. Dalam konteks pembiayaan, pengawasan dan pengendalian penting dilakukan dengan tujuan agar sumber daya finansial yang tersedia dapat dimanfaatkan secara optimal sesuai dengan sasarannya.
1. Pengawasan
Untuk menjamin suatu kegiatan tidak menyimpang dari rencana, tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan, maka diperlukan pengawasan yang berkesinambungan. Menurut Tabrani (2003:101):
Pengawasan merupakan proses dasar yang secara esensial tetap diperlukan bagaimanapun rumit dan luasnya suatu organisasi. Proses dalam pengawasan terdiri dari tiga tahapan, yaitu menetapkan standar pelaksanaan, pengukuran pelaksanaan pekerjaan dibandingkan dengan standar, dan menentukan kesenjangan (deviasi) antara pelaksanaan dan standar rencana.
Pengawasan dilakukan untuk mencegah penyimpangan keuangan dan mengoreksi kesalahan pencatatan yang mungkin terjadi. Pengawasan dapat secara internal maupun internal, dapat pula dilakukan secara struktural maupun fungsional yang mencakup pemeriksaan, pembinaan dan evaluasi. Gaffar (2000:132) mengemukakan bahwa :
Tugas-tugas lapangan kepengawasan secara struktural atau fungsional digariskan dalam deskripsi tugas yang disusun untuk masing-masing pengawas. Tugas-tugas tersebut mencakup pemeriksaan, pembinaan dan evaluasi. Unsur yang memiliki kewenangan untuk melakukan kegiatan pengawasan yaitu : (1) Pengawasan melekat, (2) Pengawasan Fungsional, (3) Pengawasan oleh Badan Peradilan, dan (4) Pengawasan yang dilakukan oleh Badan Legislatif.”
Pengawasan melekat dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan kondisi yang mendukung kelancaran dan ketepatan pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintah dan pembangunan sesuai dengan kebijakan, perencanaan dan peraturan perundang-undangan. Pengawasan melekat dilakukan berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1989, yaitu serangkaian kegiatan yang bersifat pengendalian yang dilakukan terus-menerus oleh atasan langsung terhadap bawahannya secara preventif atau represif agar pelaksanaan tugas bawahan berjalan dengan efektif dan efisien.
Pengawasan fungsional dilakukan oleh BPK dan BPKP, Inspektorat Jenderal Departemen, Bawasda dan lembaga lain yang terkait dengan tugas pokok fungsi pengawasan. Aparat pengawasan fungsional berwenang melakukan pemeriksaan, pengujian dan penilaian terhadap setiap laporan serta mengusut kebenaran informasi dan pengaduan tentang penyalahgunaan wewenang, penyimpangan dan penyelewengan di dalam tubuh aparatus. Selain pengawasan fungsional dan pengawasan melekat, terdapat pengawasan yang dilakukan oleh peradilan, masyarakat dan legistlatif. Ketiganya merupakan upaya pengawasan penyelenggaraan pemerintah meskipun secara tidak langsung namun sangat membantu dalam mencegah adanya penyalahgunaan wewenang dan tindakan pelanggaran hukum.
Dalam kaitannya dengan pembiayaan yang menyangkut sejumlah dana yang dipertuntukkan bagi penyelenggaraan kegiatan, pengawasann merupakan bagian penting yang harus dilakukan. Dengan adanya pengawasan, dapat mengetahui sejauh mana pelaksanaan pengelolaan keuangan dilakukan sekaligus sebagai antisipasi penyimpangan yang merugikan.
2. Pengendalian
Dalam rangkaian kegiatan perencanaan, pengendalian merupakan salah satu langkah yang dilakukan sebagai upaya memastikan kegiatan program yang telah direncanakan. Melalui pengendalian dapat diidentifikasikan kemajuan, perkembangan, hambatan dan penyimpangan yang timbul agar dapat diminimalisir.
Dalam konteks manajemen stratejik fungsi controlling lebih cenderung kepada kegiatan pengendalian. Murniati (2008:95) mengemukakan bahwa, ”Pengendalian adalah proses penilaian aktivitas-aktivitas organisasi dan hasil kinerja yang dimonitor dan kinerja sesungguhnya dibandingkan dengan kinerja yang diinginkan.”
Walaupun pengendalian merupakan elemen yang utama dari manajemen stratejik, elemen itu juga dapat menunjukkan secara tepat kelemahan-kelemahan dalam implementasi strategis sebelumnya dan mendorong proses keseluruhan untuk dimulai kembali. Untuk itu, agar pengendalian efektif, pimpinan harus mendapatkan umpan balik yang jelas, tepat dan tidak bias dari bawahannya yang ada dalam hirarkhi organisasi.
Dengan menggunakan umpan balik tersebut, pimpinan dapat membandingkan apa yang sesungguhnya direncanakan dalam tingkat perumusan kebijakan. Seperti halnya pengawasan yang lazimnya dilakukan oleh instansi terkait, seperti BPK dan BPKP, pengendalian merupakan langkah penting dalam upaya memastikan terselenggaranya kegiatan pengelolaan biaya sesuai dengan aturan kebijakan yang telah dilakukan. Pengendalian cenderung dilakukan pimpinan atau atasan langsung sebagai upaya kreatif dan antisipatif terhadap pelaksanaan tugas pengelola.
Pengendalian biaya pendidikan dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Kejelasan tujuan dan hasil yang diperoleh dari pemantauan dan evaluasi.
2. Pelaksanaan dilakukan secara objektif.
3. Dilakukan oleh petugas yang memahami konsep, teori dan proses serta berpengalaman dalam melaksanakan pemantauan dan evaluasi agar hasilnya sahih dan handal.
4. Pelaksanaan dilakukan secara terbuka (transparan), sehingga pihak yang berkepentingan dapat mengetahui dan hasilnya dapat dilaporkan kepada stakeholders melalui berbagai cara.
5. Melibatkan berbagai pihak yang dipandang perlu dan berkepentingan secara proaktif (partisipatif).
6. Pelaksanaannya dapat dipertanggungjawabkan secara internal dan eksternal (akuntabel).
7. Mencakup seluruh objek agar dapat menggambarkan secara utuh kondisi dan situasi sasaran pemantauan dan evaluasi (komprehensif).
8. Pelaksanaan dilakukan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan dan pada saat yang tepat agar tidak kehilangan momentum yang sedang terjadi.
9. Dilaksanakan secara berkala dan berkelanjutan.
10. Berbasis indikator kinerja.
11. Efektif dan efisien, artinya target pengendalian dicapai dengan menggunakan sumber daya yang ketersediaannya terbatas dan sesuai dengan yang direncanakan. (Rencana Straregis Depdiknas 2005-2009).
Untuk mendukung sistem pengendalian perlu diadakan sistem monitoring pelaksanaan pembangunan.
Berkaitan dengan hal monitoring, Syafruddin (2003:89) mengemukakan :
Tujuan sistem monitoring tersebut, supaya memungkinkan adanya identifikasi bagi tindakan-tindakan korektif dalam pelaksanaan program-program dan proyekproyek pembangunan secara lebih dini, serta diharapkan dapat mendukung usaha penyempurnaan perencanaan berikutnya dengan menyediakan informasi tentang status perkembangan sesuatu program atau proyek pembangunan.
Dengan demikian, monitoring bukan sekedar pelaporan, tetapi sistem untuk mengikuti pelaksanaan program-program dan proyek-proyek pembangunan serta kemungkinan untuk pengambilan keputusan tindakan penyesuaian. Namun demkian perlu ditegaskan bahwa sistem monitoring baru bisa cukup efektif apabila ditempatkan dalam seluruh sistem perencanaan, penyusunan program, penganggaran dan evaluasi pelaksanaan.
Dilihat dari hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan monitoring, maka monitoring akan lebih sempurna apabila dibuat dalam bentuk laporan dengan data yang cukup relevan. Adapun bentuk laporan yang dapat menunjang kegiatan monitoring menurut Hadisumarto (2002:87) adalah: "Pelaksanaan manajemen, pencapaian secara fisik, pelaksanaan pembiayaan, pencapaian sasaran fungsional serta sasaran umumnya".
Dengan menggunakan prinsip-prinsip sebagaimana disebutkan di atas, maka upaya peningkatan good governance dalam manajemen pembiayan pendidikan akan tercapai.
3. Pemeriksaan dalam Pembayaran
Pengelolaan biaya menyangkut penggunaan sejumlah dana yang diamanatkan untuk membiayai program dan kegiatan. Setiap kegiatan yang dilakukan oleh pengelola harus dapat dipertanggungjawabkan, baik pertanggungjawaban program maupun dana yang digunakan. Oleh karena itu, pengelolaan biaya harus bersifat akuntabel.
Akuntabilitas adalah suatu peningkatan dari rasa tanggung jawab, suatu hal yang lebih tinggi mutunya dari suatu tanggung jawab, sehingga dapat memuaskan pihak lain. Supriadi (2003) merinci makna yang terkadung di dalam akuntabilitas adalah, ”Cocok atau sesuai dengan peranan yang diharapkan; Menjelaskan dan mempertimbangkan kepada orang lain tentang tindakan dan keputusan yang diambil; dan suatu performan yang docok dan meminta pertimbangan kepada orang lain”. Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek yang terkandung di dalam akuntabilitas antara lain: rasa puas dari pihak lain; model kontrol dan kriteria ukuran.
Rasa puas dari pihak lain dapat terjadi apabila menurut kenyataan mampu memenuhi apa yang telah ditentukan, tepat atau sesuai dengan kriteria yang diinginkan dan tercermin di dalam kontrol yang dilakukan oleh pihak lain. Dengan demikian, akuntabilitas adalah suatu keadaan performan para petugas pengelola biaya yang mampu bekerja dan memberikan hasil kerja sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, sehingga memberikan rasa puas pihak yang berkepentingan. Berdasarkan hal tersebut, Supriadi (2003:56) merinci langkah-langkah untuk menentukan akuntabilitas sebagai berikut:
a. Kembangkan kriteria performan untuk setiap program
b. Siapkan pemeriksaan bebas untuk mengukur performan
c. Siapkan laporan kepada masyarakat tentang hasil pengukuran.
Sejalan dengan pendpaat di atas, akuntabilitas merupakan peningkatan sikap tanggung jawab pengelola meliputi :
a. Penggunaan sumber daya yang efisien dan efektif.
b. Kesesuaian anta tujuan, hasil dan kegiatan fungsional dan hasil dengan moral, etika serta nilai masyarakat.
c. Kepedulian mengenai peningkatan kualitas yang berkelanjutan sesuai dengan tuntugan pihak-pihak yang berkepentingan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa untuk mewujudkan dari sikap akutantabilitas dalam pengelolaan biaya tercermin dari adanya pembukuan, pemeriksaan dan pelaporan.
a) Pembukuan
Pembukuan merupakan pola kegiatan yang sangat pokok dalam system manajemen keuangan yang tertib. Pembukuan bertujuan agar dana yang dipakai dapat mencapai hasil yang maksimal, efisien dan efektif guna membiayai kegiatan. Menurut Djamaluddin (1992:76), pembukuan yang efektif mempunyai indikator:
a. Mencegah penyalahgunaan uang yang dapat menyimpang dari prosedur anggaran yang telah ditentukan.
b. Mencegah adanya pemborosan dalam pembiayaan.
c. Mencegah defisit anggaran.
d. Melakukan verifikasi (pembuktian) bahwa anggaran yang ada telah digunakan sesuai dengan rencana kerja yang telah ditetapkan.
Untuk pembukuan ini diperlukan tata buku organisasi yang bertugas menyelenggarakan pembukuan dan sistem transaksi.
b) Pemeriksaan Anggaran
Pemeriksanaan keuangan adalah rangkaian kegiatan penelitian penggunaan dana anggaran. Pemeriksanaan keuangan dimaksudkan apakah dana yang disediakan itu digunakan secara efisien atau boros atau menyimpang dari ketentuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pemeriksanaan merupakan kegiatan audit, yang terdiri atas dua kegiatan utama, yaitu pre-audit dan post-audit. (Djamaluddin (1992:78) Pre-audit apabila pemeriksaan itu dilakukan sebelum terjadi pembayaran atau transaksi keuangan. Pre-audit disebut internal audit, karena yang menjalankan pre-audit adalah pelaksana anggaran sendiri. Alat-alat yang dapat dapat digunakan untuk keperluan pre-audit antara lain sistem penjatahan atau penentuan ongkos. Pelaksanaan pre-audit erat kaitannya dengan pembukuan.
Post-audit merupakan kegiatan pemeriksanaan keuangan yang dilakukan setelah transaksi keuangan diselesaikan dan dibukukan. Wujud post-audit ini adalah pemeriksanaan atas transaksi-transaksi keuangan, catatan-catatan pembukuan, serta memuat laporan hasil pemeriksanaan. Tujuan pemeriksanaan post-audit mencakup legalitas, ketelitian dan pertanggungjawaban keuangan dari penggunaan pelaksanaan anggaran yang telah ditetapkan.
c) Pelaporan
Pembukuan dan pemeriksanaan dapat memberikan informasi yang berkaitan dengan status finansial suatu lembaga. Sedangkan pelaporan berkaitan dengan desiminasi informasi keuangan untuk meningkatkan pemahaman terhadap lembaga dan untuk keperluan pengambilan keputusan. Pelaporan ini dapat dilakukan baik secara eksternal maupun secara internal. Gaffar (2000:132)
Dalam mewujudkan peningkatan kualitas pelaporan pembiayaan secara tepat waktu, transparan dan komprehensif, telah diterbitkan sistem panduan pelaporan keuangan yang baku dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah tentang Standar Akuntansi Pemerintahan yang selanjutnya menjadi standar dalam penyusunan system akuntansi pemerintah. Sistem ini selanjutnya menjadi pedoman dalam proses akuntansi transaksi keuangan pemerintah yang diperlukan baik dalam dalam mendukung kebutuhan pimpinan maupun sebagai pedoman dalam pengambilan keputusan sepanjang tahun anggaran maupun laporan keuangan dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran sesuai dengan ketentuan Undang-Undang.
Sistem pelaporan yang baik memberikan dampak positif terhadap meningkatnya akuntabilitas pengelolaan keuangan, apalagi institusi yang bersifat milik publik, seperti Universitas Syiah Kuala sebagai institusi pendidikan yang besar, perlu dikembangkan pelaporan yang transparan pada publik, sebagaimana disebutkan pada pilar penguatan tata kelola, pencitraan publik dan akuntabiltias. (Rencana Strategis Dapartemen Pendidikan Nasional, 2005-2009).