Dasar Manajemen Hutan

Dasar Manajemen Hutan 
Manajemen hutan merupakan suatu pengertian luas dari pengetrapan / aplikasi pengetahuan tentang kehutanan dan ilmu yang sejenis dalam mengelola hutan untuk kepentingan umat manusia. Tugas manajer dalam mengelola lahan ialah melaksanakan keinginan dari pemilik. Ia akan menggunakan pengetahuannya dalam membuat perencanaan manajemen dan memperhitungkan untuk mewujudkannya dalam suatu cara yang paling efektif dan efisien.

Alat yang digunakan dalam rangka mewujudkan keinginan pemilik dalam pengelolaan hutan dikenal sebagai “FOREST WORKING PLAN” (RENCANA KERJA HUTAN).

Tujuan manajemen hutan dapat diarahkan untuk berbagai jenis tujuan, baik secara tersendiri atau untuk berbagai kombinasi tujuan. Tujuan utama dari manajemen hutan dapat dibagi dalam 3 (tiga) fungsi yaitu pertama Fungsi proteksi (perlindungan); kedua Fungsi produktif; dan ketiga Fungsi kenikmatan (kesenangan) yang lebih dikenal sebagai fungsi rekreasi. Fungsi proteksi hutan dapat berupa nutuk perlindungan tata air dan kesuburan tanah, daerah tangkapan hujan, taman-taman dan untuk tempat hidupnya binatang liar, proteksi desa-desa, padang gembalaan, jalan kereta api, memperbaiki iklim mikro, proteksi tahan di lereng-lereng. Sedangkan untuk tujuan produksi, dikelola dalam rangka menghasilkan hasil hutan non-kayu seperti untuk damar, gondorukem, kutu lak atau untuk produksi utama hasil kayu. Jadi dalam hal ini manajemen untuk hutan lindung dan suaka margasatwa atau fungsi hutan produksi.

Hutan yang dipruntukan untuk tujuan produksi, khususnya produksi kayu, sejauh ini merupakan suatu hal yang paling utama dan ekstensif, dan pengelolaan ekonomis dari suatu hutan menimbulkan problema khusus yang harus dihadapi sebelum sampai pada suatu tahap untuk menghasilkan “working plan” (rencana kerja) pengelolaan hutan. Problem ini berkaitan dengan masalah perhitungan dan pengaturan hasil, yang dalam hal ini sering disebut Manajemen Hutan dalam arti yang sangat sempit.

Dalam pandangan teori produksi dan ekonomi suatu pohon merupakan investasi dimana pendapatan tahunannya tidak dapat dipisahkan dai modal (capital growing stock), yang memproduksi untuk mendapatkan income (dalam hal ini disebut riap) setiap pohon atau kayu merupakan jumlah dari pertumbuhan tahunan dari pohon itu sendiri, yang dalam hal ini sulit kiranya pertumbuhan itu sendiri dibedakan antara kayu sebagai modal dengan kayu sebagai hasil. Bayangkan suatu pabrik sepatu, tentu berupa pabrik dan alat-alat dan masukannya berupa kulit, karet, lem, paku yang hasilnya berupa sepatu. Sedangkan dalam proses pertumbuhan tegakan hutan, pohon sebagai bagian dari tegakan sekaligus sebagai alat produksi dan dapat sebagai hasil (dapat ditebang).

Maka dalam hal ini kehutanan harus dijalankan ber dijalankan berdasarkan prinsip ekonomi yang benar, yaitu modal harus dapat dipelihara dan mendapatkan penghasilan yang tetap, hal ini mememerlukan suatu cara bahwa modal harus dapat dibedakan dengan pendapatan secara jelas. Dalam kata lain hasilnya dapat diperoleh melalui kegiatan penebangan. Suatu cara yang paling sederhana untuk mendapatkan tujuan ini adalah dengan memelihara/ merawat suatu tegakan hutan yang komplit berkelanjutan dari tegakan umur satu tahun sampai dengan tegakan yang berumur daur (masak tebang). Jadi jika ada hutan seluas 100 Ha, dan setiap 1 Ha berupa tegakan hutan yang berumur 1 tahun dan seterusnya sampai tegakan yang berumur 100 tahun, maka setiap tahunnya akan dapat ditebang sebagai hasil berupa tebangan seluas 1 Ha secara terus menerus. Agar dapat diperoleh hasil hutan berupa kayu secara lestari maka sehabis menebang langsung dilakukan penanaman seluas 1 Ha juga.

Pembangunan tegakan hutan secara seri dari mulai umur muda sampai umur daur inilah yang sering disebut sebagai manajemen untuk kelestarian hasil. Dalam praktek dimana tujuannya memperoleh hasil hutan yang kira-kira sama jumlahnya pada periode yang sama, secara definisi berlawanan dengan manajemen untuk hasil yang sekejap, dimana tanaman diperlakukan sebagai unit yang terpisah, dalam hal ini tidak ada hubungan antara unit satu dengan yang lainnya, pohon akan ditebang ketika dinyatakan sudah masak.

Hasil dari tegakan hutan, jelas tidak saja diperoleh dari tebangan akhir tetapi juga diperoleh dari tindakan silvikultur seperti penjarangan yang memang diperlukan selama kehidupan dari suatu pohon. Apakah hasil dari suatu kegiatan akan diperhitungkan atau tidak didalam suatu hasil total akan tergantung dari pertimbangan ekonomi dan silvikultur yang akan dilaksanakan. Pada umumnya ada kemungkinan untuk dilaksanakandalam kaitannya dengan kerangka kerjamanajemen yang akan memberikan produksi yang lestari yang merupakan hal penting dalam ekonomi. Dalam suatu proses membangun “growing stock” yang dapat berproduksi secara lestari, hasil untuk subsidi kegiatan hanya digunakan dalam tujuannya menyeimbangkan hasil yang dapat dipasarkan. Untuk mencapai tujuan ini tidak mungkin untuk mengatur lebih dulu melalui waktu dan hasil seperti dalam silvikultur, karena umumnya seperti penjarangan titik beratnya lebih didalam teori daripada prakteknya.

Bila hutan akan dibangun melalui penanaman dan akan ditebang habis ketika telah masak, pembangunan secara teratur dari kenaikan umur secara otomatis merupakan pelaksanaan rencana manajemen yang sederhana. Rimbawan, dalam hal ini akan menghadapi adanya hutan yang sudah ada dimana tidak ada batas yang jelas kenaikan umur dan hal ini sulit untuk menentukan berapa riap yang tepat dalam kaitannya riap yang merupakan bagian dari growing stock.

Hutan Normal
Dalam konsep kehutanan yang konvensional maka pengertian hutan normal sangat diperlukan sebagai suatu model yang cocok dalam rangka mengelola hutan atas dasar prinsip kelestarian. Hutan normal dapat didefinisikan suatu hutan yang terdiri dari suatu tegakan hutan yang teratur dan komplit terdiri dari berbagai klas umur yang normal dan teratur yang dalam proporsi yang benar maka tebangan akhirnya akan sama setiap tahunnya.

Menurut Simon (1993) yang dinamakan hutan normal adalah hutan yang dapat mencapai dan menjaga “Derajat Kesempurnaan” hutan untuk memenuhi ketentuan sesuai dengan tujuan pengelolaan. Lebih lanjut dikatakan bahwa untuk mencapai hutan normal diperlukan pemilihan yang tepat tentang pengaturan hasil dan teknik silvikultur yang akan dipakai. Konsep hutan normal memberikan standar penilaian tentang hutan yang diinginkan dan merupakan tujuan yang ideal (sering kurang dapat diwujudkan). Jadi dalam prakteknya hutan normal yang ideal tidak dapat diwujudkan, hanya merupakan model yang diinginkan. Sehingga Davis (1996) mengemukakan konsep yang dinamakan “Fully stock forest” yaitu hutan dengan stok penuh. Dalam menggambarkan hutan yang stoknya penuh dapat dibuat suatu tabel hasil yang menunjukan perkembangan “volume tegakan” dari hutan tersebut. Dalam pengelolaan hutannya ditujukan untuk memperoleh/mewujudkan hutan yang tertata penuh (Fully regulated forest).

Apabila hutan telah dikelola dan terwujud suatu hutan yang tertata penuh maka tebangan tahunannya yang dalam hal ini istilah teknisnya ETAT adalah sebesar riap.

Konsep hutan normal merupakan konsep yang penting untuk mengerti tentang prinsip pengaturan hasil. Apabila digambarkan dalam suatu diagram maka hasil (yiled) dari suatu tegakan hutan yang normal diperoleh dari penebangan pohon yang telah mencapai daur yang telah ditetapkan. Gambar berikut ini merupakan diagram tentang hutan normal.

Gambar Hutan Normal (sumber: Howe, 1979)

Pengertian Manajemen Hutan
Menurut persatuan sarjana kehutanan Amerika Serikat (SAF) yang dinamakan manajemen hutan ialah aplikasi pengetrapan metoda bisnis dan teknik kehutanan dalam pengelolaan hutan. Jadi seorang yang ahli dalam manajemen hutan harus dapat menguasai bidang teknik kehutanan dan juga bisnis.

Tujuan dari manajemen hutan menurut ROTH (1925) ialah agar kegiatan kehutanan dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Jadi dapat dikatakan bahwa manajemen hutan merupakan inti atau garis utama kehutanan. Manajer kehutanan memperhatikan segala sesuatu yang mempengaruhi kegiatan dalam areal kerja yang menjadi tanggung jawabnya.

Apabila dihubungkan dengan pengertian manajemen secara umum dimana fungsi manajemen ialah perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan maka ruang lingkup manajemen hutan itu sangat luas sekali. Kegiatan manajemen hutan juga sering disebut sebagai pengelolaan hutan, dalam hal ini maka dapat dikatakan bahwa ilmu manajemen merupakan pelaksanaan atau penggabungan dari ilmu-ilmu teknis dan sosial kehutanan dalam rangka mengelola hutan untuk kepentingan umat manusia secara lestari. Seorang ahli manajemen hutan menggabungkan pengetahuan baik aspek bisnis dan sosial serta aspek teknologinya.

ASPEK BISNIS DAN SOSIAL:
- Ekonomi, Organisasi dan Administrasi, Keuangan, Akounting, Statistik, Pemasaran, Hukum Dagang, Perburuhan, Perumahan, dan Ilmu sosial & Politik.

ASPEK TEKNOLOGI :
- Silvik dan Silvikultur, Ilmu Ukur kayu, Eksploitasi dan Penggergajian, Teknologi kayu, Hama dan Penyakit Hutan, Manajemen dan Pengendalian Kebakaran, Manajemen Suaka Margasatwa, Penggembalaan, Teknik sipil.

Prinsip Kelestarian
Asas kelestarian hasil merupakan prinsip dasar dalam pengelolaan hutan. Prinsip ini dikenalkan pertama kali oleh Carlowitz seorang ahli kehutanan dari Jerman pada tahun 1713 dan sampai sekarang telah menjadi asas yang umum digunakan dalam pengelolaan hutan diseluruh dunia. 

Menurut Baarder (1945) Kelestarian adalah mencapai prestasi tertentu secara terus-menerus stabil dan teratur.

Hutan dianggap telah dimanfaatkan secara laestari bila tebangan tahunan atau periodik tidak mengurangi kapasitas hasil dan bila setelah penebangan dilakukan di seluruh kawasan hutan, potensi tegakan dilapangantidak berkurang dibandingkan dengan sebelum dilakukan penebangan.

Disamping prinsip kelestarian dikenal juga adanya prinsip serba guna dari lahan hutan yang lebih dikenal sebagai “Multiple Use Principle”. Prinsip ini disepakati sebagai hasil dari kongres kehutanan sedunia ke V tahun 1960 di Seattle Amerika Serikat. Dalam prinsip ini hutan disamping menghasilkan kayu juga berfungsi sebagai penghasil air, ttanaman makanan ternak, margasatwa, rekreasi di alam terbuka dll. Jadi kelestarian menjadi dasar kebijakan dalam mengelola hutan nasional yaitu “memproduksi barang dan jasa dari hutan secara lestari” secara lugas akan memberikan “pencapaian dan memberikan “pencapaian dan pemeliharaan sepanjang masa yang maksimal atau output periodik yang teratur dari kekayaan hutan nasional tanpa mengganggu produktivitas lahan”.

Demikian juga perlu diingat adanya thema dari kongres kehutanan ke VIII tahun 1978 di Jakarta yaitu “Forest For People” sehingga maraknya pengelolaan hutan untuk masyarakat dengan melalui kegiatan “Agroforestry”.

Pada waktu ini dikenal adanya istilah pengelolaan hutan lestari atau yang lebih dikenal sebagai “Sustainable Forest Manajemen”, yang terdiri dari tiga aspek yaitu:

1) Aspek Manajemen hutan, meliputi:
a. Kapasitas sumber daya hutan
- Kapasitas hutan
- Pengamanan hak pemilikan

b. Kapasitas Usaha jangka panjang
c. Perencanaan pengelolaan 
d. Penilaian realisasi produksi kayu bulat
e. Penilaian terhadap rehabilitasi hutan
f. Efisiensi pelaksanaan logging
g. Manajemen dan tata kerja HPH

2) Aspek lingkungan, yang meliputi:
a. Tanah
b. Air
c. Biodiversity

3) Aspek sosial ekonomi dan budaya, meliputi:
a. Askes
b. Hak-hak tradisional
c. Manfaat hutan bagi masyarakat lokal
d. Partisipasi

Menurut ahli- ahli dari Asosiasi Perkayuan yang membentuk Forest Stewardship Counciel (FSC) mengemukakan prinsip-prinsip pengelolaan hutan yang benar adalah dengan indikator-indikator sebagai berikut Pamulardi (1995):
1) Adanya rencana pengelolaan yang menegaskan tujuan dari pengelolaan setiap bagian hutan, cara mencapai tujuan termasuk gambaran-gambaran tindakan yang diperlukan dalam menghadapi berbagai perubahan ekologi, ekonomi, dan sosial.
2) Adanya keamanan hutan dengan jalan menegaskan wilayah hutan serta kepemilikannya yang dikelola oleh pemiliknya sedemikian rupa agar hutan tersebut tetap merupakan penutup lahan yang permanen.
3) Masing-masing pihak yang berkaitan dengan pemanfaatan hutan harus mendapat manfaat sosial ekonomis dari kegiatan tersebut.
4) Hak adat harus dipertahankan.
5) Dalam kegiatan pengelolaan hutan diusahakan tidak menimbulkan dampak lingkungan yang merugikan.
6) Tingkat produksi kayu diusahakan berprinsip kepada kelestarian.
7) Pengelolaan hutan harus menghasilkan potensi ekonomi yang maksimal dengan memanfaatkan semua kemungkinan pemanfaatan hutan baik langsung maupuan tidak langsung.
8) Biaya yang diperlukan untuk memproduksi kayu harus dilukiskan dengan biaya yang sebenarnya.

Sedangkan kriteria dan prinsip kelestarian hutan menurut ITTO adalah:
1. Keamanan sumberdaya hutan,
2. Kontinuitas produksi,
3. Konservasi flora dan fauna,
4. Dampak lingkungan,
5. Keuntungan sosial-ekonomi (masyarakat),
6. Perencanaan. 

Secara diagramatik dapat digambarkan adanya sistem pengelolaan hutan lestari di Indonesia sebagai berikut:
Manajemen Hutan Seumur (Even-Aged Forest Management)
Atas dasar struktural tegakan yang menjadi objek pengelolaan maka dikenal adanya tegakan hutan seumur dan tegakan hutan tak seumur. Tegakan adalah kesatuan pohon-pohon atau tumbuhan lain yang menempati suatu areal tertentu dan memiliki komposisi jenis, umur, kondisi yang cukup seragamuntuk dapat dibedakan dari hutan atau kelompok tumbuhan lain disebabkan atau sekitar areal tersebut. Tegakan merupakan unit dasar bagi suatu perlakuan silvikultur.

Maka dalam pengelolaan hutan dikenal adanya manajemen hutan seumur dan manajemen hutan tak seumur. Manajemen hutan seumur merupakan pengelolaan hutan yang berasal dari sistem tebang habis lalu dilakukan permudaan buatan atau alam sehingga diperoleh hutan yang umurnya hampir seragam. Sedangkan manajemen hutan tak seumur berhubungan dengan “hutan alam” dimana dilakukan penebangan dengan menggunakan sistem tebang pilih.

Suatu tegakan dikatakan tegakan seumur adalah tegakan yang terdiri dari pohon-pohon yang berumur sama atau paling tidak berada dalam kelas umur yang sama. Menurut Junus (1984) yang mengutip pendapat Smith mengatakan bahwa suatu tegakan dianggap seumur kalau perbedaan umur antara pohon-pohon paling tua dan yang paling muda tidak melebihi 20% dari daur.

Manajemen Hutan Tak Seumur (Uneven-Aged forest Management)
Pengelolaan hutan yang objeknya tegakan hutan tak seumur disebut manajemen hutan tak seumur. Hutan tak seumur adalah hutan yang terdiri dari tegakan-tegakan tidak seumur.

Secara ringkas maka dapat dikatakan bahwa dalam pengelolaan hutan yang lestari dilakukan kegiatan pengaturan hutan dimana objeknya adalah tegakan seumur atau tegakan tidak seumur yang pada akhirnya akan dapat diwujudkan suatu hutan tertata penuh atau yang lebih dikenal sebagai “Fully Regulated Forest”. Diagram berikut ini akan dapat memberikan gambaran tentang sistem pemanenan dan permudaan dari tegakan tersebut.

Fig Diameter distribution per acre for an uneven-aged virginstand of beech-birch-maple-hemlock (adapted from Meyer and Stevenson, 1943)
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson