Adaptasi Pengelolaan Hutan Masyarakat Di Pulau-Pulau Kecil
Kajian kelestarian pengelolaan hutan dan eksistensi masyarakat lokal dalam arus perubahan sosial budaya, ekonomi, ekologi dan demografi tetap menjadi isu yang menarik di tingkat lokal, nasional dan global (Chomitz et al. 2007; Lynch dan Talbott 2001; Suharjito at al. 2000). Sebab masyarakat lokal mempunyai sistem yang adaptif dalam pengelolaan hutan (Edmuns dan Wollenberg 2003; Nath 2005; Claridge dan O’Callaghan 1995; Korten 1986) seperti kelembagaan adat (Golar 2007; Wiratno et al 2004) dan modal sosial (Suharjito dan Saputro 2008). Dalam konteks ini perlu dikaji lebih jauh kemampuan masyarakat lokal mengelola sumberdaya hutan dalam merespon perubahan lingkungan pada suatu geografi yang khas seperti di pulau-pulau kecil. Sampai saat ini belum banyak dikaji mengenai sistem pengelolaan hutan adat yang dikelola secara turun temurun di pulau-pulau kecil, termasuk respon dan kemampuan masyarakat terhadap perubahan lingkungan dan implikasinya pada performansi hutan.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan perubahan lingkungan terhadap Kaindea sebagai strategi adaptasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan di pulau-pulau kecil; menjelaskan wujud pengaturan sistem pengelolaan Kaindea dan implikasinya terhadap performansi Kaindea.
METODE PENELITIAN
Teori cultural ecology Steward (1955) menjadi rujukan dalam menjelaskan respon masyarakat terhadap perubahan lingkungan dalam pengelolaan sumberdaya hutan adat Kaindea sebagai strategi adaptasi masyarakat pulau-pulau kecil. Adaptasi cultural ecology secara operasional dijabarkan melalui konsep ekologi yaitu geografi, demografi, ekonomi serta politik dan bagimana masyarakat merespon perubahan dan mencari pola baru (Geertz 1983; Kuntowijoyo 2002; dan Fox 1996).
Penelitian ini dilakukan di Pulau Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Metode penelitian adalah studi kasus melalui perspektif emik. Pengambilan data dilakukan sejak Nopember 2007- Juni 2008. Unit analisis pada bekas dua wilayah adat (Kadie Mandati dan Wanci) yang mempunyai hutan adat (Kaindea). Data terdiri data primer dan data sekunder. Konsep penelitian dipakai adalah perubahan lingkungan, yaitu tekanan penduduk, intervensi pasar dan dinamika politik; konsep adaptasi pengaturan sumberdaya, yaitu organisasi sosial, teknologi, pengaturan tenaga kerja, dan ragam mata pencahariaan; dan performansi Kaindea. Analisis data dilakukan dengan analisis sejarah, hubungan sebab-akibat, dan performansi.
PERUBAHAN LINGKUNGAN
Pulau Wangi-Wangi merupakan pulau-pulau kecil dan khas. Luas daratan 152,9 km2 yang beriklim D (Smith dan Ferguson) sehingga bersuhu panas. Rata-rata curah hujan rendah dengan topografi landai dan berbukit antara 1-350 m dpl. Sumber air berasal dari gua-gua dan air tanah dangkal. Sebagian besar masyarakat hidup dari pertanian lahan kering dan selebihnya disektor jasa perdagangan, industri dan PNS. Jumlah penduduk tahun 2006 berjumlah 48.083 jiwa. Awalnya berhubungan dengan Maluku. Kemudian sistem pemerintahan adat bernaung di Kesultanan Buton. Sejarah hubungan Kadie Mandati dan Wanci di pusat kekuasaan berbeda. Sejarah menentukan perkembangan masyarakat (Kuntowijoyo 2002).
Tekanan penduduk
Tekanan penduduk pulau-pulau kecil adalah perbandingan jumlah penduduk terhadap luas lahan yang berpotensi air tawar atau lahan subur (DKP 2007:67). Awalnya penduduk Wangi-Wangi tinggal di Koba. Karena keterbatasan sumber air dan lahan pertanian yang subur, komunitas bergerak ke arah barat pesisir pulau untuk memudahkan kontrol dan akses terhadap sumberdaya.
Pada awal abad ke-20, Schoorl (2003:5) menggambarkan Kadie (desa/kampung adat) dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Kadie Mandati dan Wanci termasuk daerah yang padat penduduknya di Pulau Wangi-Wangi. Masing-masing Kadie menanggapi kepadatan secara berbeda. Kadie Mandati mengelompok dan Kadie Wanci memencar. Saat itu, status Kaindea sebagian dialihkan kepemilikan dan pengelolaan untuk dikelola keluarga.
Loncatan penduduk Wangi-Wangi terjadi sekitar tahun 1961 (23.073 jiwa) dengan rata-rata pertumbuhan 2,86 persen setiap tahun. Mengacu pada rasio jumlah jiwa terhadap luas lahan (152,9 km2), maka tahun 1961 saja kepadatan penduduk Wangi-Wangi mencapai 415 jiwa/km2. Angka ini jauh melebihi hasil penelitian Van Beukering untuk daerah perladangan di Indonesia, maksimum 50 jiwa/km2. (Fox (1996:33). Sementara tekanan penduduk mencapai 1840 jiwa/km2. Jika dikaitkan dengan sistem perladangan masyarakat yang sudah melakukan intensifikasi, maka sebelum tahun 1961 tekanan penduduk telah terjadi di Pulau Wangi-Wangi. Hasil penelitian emik masyarakat mengisahkan bahwa kurun waktu sebelum tahun 1960 merupakan masa kekurangan pangan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Geertz (1983:25-26) bahwa ciri-ciri tekanan penduduk adalah ketika ladang-ladang ditanami terlalu cepat (intensif); praktek pertanian yang boros dan perluasan lahan pertanian ke arah hutan.
Saat ini kepadatan penduduk yang cukup tinggi. Kondisi ini menyebabkan ruang bercocok tanam semakin sempit. Akibatnya kebutuhan pangan yang tidak mencukupi dan daerah tangkapan hujan semakin berkurang. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa hampir semua komoditi pangan telah didatangkan dari luar daerah wangi-Wangi seperti sayur-sayuran, buah-buahan dan bumbu-bumbuan. Sementara beras didatangkan dari Kendari dan Sulawesi Selatan. Kuntowijoyo (2002:83) menjelaskan bahwa sempitnya lahan pertanian dan kurangnya makanan akibat dari tekanan penduduk yang tinggi.
Intervensi Pasar
Intervensi pasar menurut Alexander (1999) dalam Ahmad (2005:13) menggunakan tiga konsep, yaitu “dagang, pedagang dan perdagangan”. Konsep dagang menempatkan pasar sebagai arena sistem tukar menukar barang dan sirkulasi barang dagangan. Konsep pedagang menggambarkan tipe pedagang dan lembaga-lembaga sosial yang menyalurkan mereka ke hubungan sosial yang rumit. Sedangkan perdagangan diartikan sebagai suatu aliran informasi yang terstruktur berdasarkan budaya. Masyarkat Wangi-wangi mempunyai orientasi ekonomi dari subsisten menjadi komersial. Mata pencahariaan dari pertanian lahan kering jangka pendek menjadi perdagangan dengan komoditas ekonomi jangka panjang dan barang-barang luar yang bernilai ekonomi. Dari pertukaran barang dan jasa yang bersifat lokal (barter) menjadi aktivitas ekonomi uang dalam lingkup regional, nasional dan bahkan internasional. Masyarakat Wangi-Wangi pada awalnya hidup subsisten pada pertanian tradisional dengan lahan yang relatif terbatas. Ekologi yang tandus dan miskin hara serta permintaan tenaga kerja yang tinggi. Jumlah kesempatan kerja di pertanian ladang tidak seimbang dengan jumlah penduduk mendorong masyarakat mencari alternatif pekerjaan lain di luar daerah dengan bermigrasi. Masyarakat Orang Wanci bermigrasi ke Maluku dan Orang Mandati melakukan perdagangan antar pulau. Perkembangan sektor perekonomian migrasi ini memberikan keuntungan secara ekonomi yang lebih baik dibanding sektor pertanian (subsisten).
Terjadinya kontak dengan daerah lain yang secara ekonomi maju telah membawa dampak pada masyarakat Wangi-Wangi. Terlibatnya masyarakat Wangi-Wangi dalam arus perekonomian telah memberikan pengaruh pada masyarakat terutama pada jiwa konsumerisme. Hal yang dapat dilakukan adalah mengamati barang-barang fisik dalam suatu keluarga. Mekarnya pemukiman penduduk dengan rumah permanen, banyaknya kendaraan bermotor, alat elektronik (video, tape, kamera, televisi, AC). Tanaman tradisional banyak berubah ke komodoti ekonomi. Akibatnya kebutuhan sumberdaya (lahan/hutan) semakin meningkat. Penyumbang kerusakan hutan di Wangi-Wangi adalah ekspansi kebun ke wilayah hutan, kebutuhan bahan bangunan dan kayu bakar. Praktek destruktif masyarakat merupakan indikator masuknya intervensi ekonomi dalam kehidupan masyarakat (Wiratno et al. 2004).
Dinamika Politik
Dinamika politik berkaitan dengan peraturan dan kebijakan pemerintah yang mempengaruhi pengelolaan sumberdaya hutan. Masalah pengelolaan hutan di Pulau Wangi-Wangi khususnya di Kadie adalah dinamika politik pemerintah sejak zaman kesultanan dan intervensi VOC, orde lama, orde baru dan reformasi. Intervensi VOC terhadap Buton ketika menjalankan politik dagang dan penebangan pohon rempah-rempah termasuk di Kepulauan Tukang Besi.
Tahun 1960an pemerintahan adat beralih ke sistem distrik dan desa. Peran pemerintahan adat (kesultanan) dihapuskan menyebabkan perhatian pemerintah terhadap hutan adat mengalami kemunduran. Aturan adat dalam pengelolaan sumberdaya mulai diabaikan. Pembukaan hutan Lebho tahun 1968 di Longa Wanci menjadi bukti peranan adat tidak diakomodasi negara. Pemerintah desa seharusnya melanjutkan fungsi Sara mulai terbaikan seperti peralihan kewenangan Meantu’u (kepala adat/Sara) ke kepala desa. Mandati pada peralihan tersebut tidak menimbulkan masalah terhadap kontrol sumberdaya karena kepala desa yang diangkat masih turunan Meantu’u Mandati. Sebaliknya di Wanci, transisi kekuasaan kepala desa tidak ditunjuk dari turunan langsung Meantu’u, sehingga kontrol sumberdaya semakin berkurang.
Wakatobi menjadi kabupaten tahun 2003, kebutuhan lahan perkantoran, fasilitas umum lainnya, perumahan dan bahan bangunan menjadikan konversi hutan dan lahan. Kebijakan pembatasan kayu mendorong pencurian kayu.
STRATEGI ADAPTASI PENGELOLAAN KAINDEA
Organisasi Sosial
Kelembagaan Adat
Sejak awal, masyarakat Pulau Wangi-Wangi sudah tertata dalam suatu pemerintahan adat. Setelah menjadi bagian dari Kesultanan Buton, struktur pemerintahan dan pengelolaan Kaindea semakin baik. Struktur organisasi disesuaikan dengan tugas dan tanggungjawab terhadap masyarakat dan pengelolaan sumberdaya alam.
Pada tahun 1960 pemerintahan adat dibubarkan dan beralih ke sistem distrik. Peran lembaga adat (Sara) mulai bergeser dengan penunjukkan kepala desa yang menggantikan Meantu’u sebagai kepala di Kadie (kampung/desa). Kepala desa di Mandati tetap ditunjuk dari turunan meantu’u sementara di wanci tidak dilakukan lagi.
Tahun 1997an, masyarakat melihat bahwa peranan pemerintah desa menjadi pengayom Sara, ternyata tidak bisa diharapkan berkaitan dengan kontrol sumberdaya dan kondisi sosial. Sara Mesjid yang diharapkan, ternyata tidak mampu karena posisi mereka lebih banyak mengurus masalah agama. Keadaan ini mengundang reaksi sejumlah orang menggagas lembaga adat yang berfungsi menjaga agar adat dan pengelolaan sumberdaya. Sedangkan yang berkaitan dengan hukum agama tetap dijalankan oleh Sara Mesjid. Pada perkembangannya lembaga adat ini tidak berjalan sesuai dengan tujuan pembentukannya. Berbagai kasus tanah dan perambahan hutan tidak mampu diselesaikan. Sebagian pengurus lembaga adat menjadi pengurus partai politik, dan calon legislatif sehingga masyarakat tidak percaya.
Untuk menjaga eksistensi sumberdaya (Kaindea-kebun) masyarakat Mandati mempunyai falsafah : “Bhara u pobela-bela akoe na togo” (pengelolaan sumberdaya harus mengutamakan kepentingan umum)“; “Tepamoninia u’togo” (melindungi konservasi air dan kesuburan lahan); “Te sowo’a u’Sara” (ketahanan pangan komunitas adat).
Sistem Sosial dan Kekerabatan
Sistem sosial dan kekerabatan terdapat variasi penting antara Mandati dan Wanci. Hal ini tidak lepas dari orientasi hidup masyarakat dalam menyesuaikan dirinya dengan lingkungan termasuk pengelolaan sumberdaya alam. Masyarakat Mandati menyukai berdagang dan bertani, meskipun saat ini orang Mandati sudah ada yang menjadi pegawai negeri meskipun tidak sebanyak Orang Wanci. Sebaliknya masyarakat Wanci umumnya pegawai dan bertani/nelayan. Kadie Wanci mempunyai hubungan baik dengan pusat kekuasaan (Kesultanan Buton) di Wolio sedangkan Mandati kurang.
Dalam perkawinan arti hubungan kekerabatan antara dua daerah ini terdapat beberapa perbedaan. Di Mandati, perkawinan antara sepupu satu kali (Tolida) diperkenankan terutama pada keluarga bangsawan. Di Wanci perkawinan Tolida dihindari dan lebih disukai perkawinan sepupu dua kali (Topendua) atau tiga kali (Topentalu). Di Mandati perkawinan memperhatikan asal–usul dan sangat menyukai yang hubungan kekerabatan lebih dekat agar harta, pusaka, tidak berpindah, juga ilmu dan status tidak luntur. Di Wanci tidak mempermasalahkan turunan dan pusaka. Untuk mempertahankan hubungan sosial (Santuha), Mandati sangat konservatif. Untuk mengontrol perilaku sosial, dikenal dengan nama Sikola tandai. Artinya setiap perilaku seseorang akan terekam secara sosial sampai pada anak dan turunannya.
Sistem Teknologi
Kaindea dan kebun merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Pada awal abad 20, ketika penduduk Kadie mulai padat. Penduduk Kadie Mandati yang di Wungka dan Longa Mandati minta agar sebagian lahan dan Kaindea dapat dikelola oleh masyarakat. Setelah dibentuk Sara Mesjid, maka delapan Kaindea Sara dialihkan ke keluarga. Kebun merupakan aktifitas yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat karena sumber utama kehidupan masyarakat dan status sosial. Kaindea Sara di Kadie Wanci hanya dua dialihkan.
Pada awalnya masyarakat sudah mengenal bercocok tanam secara tradisional dan berpindah. Kebun masyarakat hanya berbentuk ladang (Ontoala). Awal abad 20 lahan semakin terbatas, masyarakat intensif mengolah lahan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Saat itu istilah kebun (Koranga) mulai dikenal, sejalan dengan diizinkannya lahan sekitar Motika untuk dibuka masyarakat untuk berkebun. Vegetasi Kaindea yang awalnya hanya kenari, enau, bambu dan mangga kemudian dibiarkan banyak tumbuh berbagai vegetasi lainnya. Tahun 1960an hubungan dengan Jawa mulai intensif, sistem pertanian mengalami kemajuan dengan sentuhan teknologi “cangkul”. Masyarakat mulai mengolah tanah dengan dicangkul dan dibuatkan gundukan tanah untuk menanam ubi kayu. Jenis ubi diganti dengan varietas umur panennya lebih singkat (6 bulan). Sistem pertanian Welli’a beralih ke Rawu’a.
Pengaturan Tenaga Kerja Keluarga
Awalnya wanita dirumah mengurus keperluan keluarga. Wanita melakukan kegiatan dengan menenun dan membuat tembikar dari tanah liat. Perpindahan anggota keluarga terutama ayah sebagai akibat dari sistem kekerabatan patrikal yang dianut masyarakat menempatkan laki-laki sebagai penanggunggjawab dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga membawa konsekuensi pada anggota keluarga yang lain. Setelah intensifikasi kebun, isteri banyak membantu suami untuk mencari kayu bakar, membawa hasil kebun ke pasar disamping tugas pokok sebagai ibu rumah tangga.
Pada masa migrasi, peran isteri menggantikan kedudukan ayah dalam keluarga ketika suami merantau, sehingga dituntut menyediakan kebutuhan rumah tangganya dengan memanfaatkan kebun untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Anak-anak laki-laki remaja bekerja membantu di kebun dengan teman-temannya (Porabha) dan perempuan membantu ibu dirumah. Pekerja anak di bawah usia menjadi gejala yang sering terjadi ketika ayah belum pulang dari perantauan. Ketika dewasa, anak laki-laki akan merantau dan anak perempuan segera dinikahkan. Setelah ekonomi pasar mulai berkembang, wanita banyak beralih menjadi penjual ikan, pedagang barang-barang kelontong, barang-barang bekas dan penjual bahan makanan kecil (jajanan). Sedangkan keperluan ekonomi diurus oleh laki-laki termasuk pertanian.
Pengembangan Ragam Mata Pencaharian
Pengembangan ragam mata pencaharian dilakukan dengan migrasi, yaitu upaya masyarakat meninggalkan kampung halamannya untuk berlayar dan mencari kerja. Pada awal tahun 1960an masyarakat sangat merasakan rendahnya daya dukung ekologi (lahan). Akibat tidak seimbangnya antara kesempatan kerja yang tersedia dan jumlah tenaga kerja akibat pertambahan penduduk yang tinggi telah mengakibatkan pengangguran dan menguatnya ketergantungan pada sektor pertanian. Pada saat yang sama, sektor pertanian tidak dapat memberikan jaminan hidup yang memadai, sehingga umbi hutanpun harus dimakan karena krisis pangan. Faktor ekologi dan tekanan penduduk dan pasar direspon masyarakat untuk mencari pekerjaan lain dengan melakukan migrasi (berlayar dan mencari kerja) dalam rangka mempertahankan dan memenuhi kebutuhan hidup. Puncak migrasi ke luar negeri (Singapura, Malaysia) terjadi dalam kurun waktu 1980-1987. Pada periode ini juga masyarakat sebagian ke Maluku menjadi pemetik cengkeh musiman atau berkebun.
Intensif dan jangkauan mobilitas aktifitas ekonomi menunjukan bahwa intervensi pasar (ekonomi) mempengaruhi masyarakat Wangi-Wangi. Masyarakat sekarang banyak yang berdagang baik antar pulau maupun mengisi kios-kios di pasar lokal. Dampaknya pada perubahan struktur bangunan dan perumahan serta sarana dan prasarana ekonomi, transportasi darat turut berkembang dimana pembanguan fisik dan sosial mempunyai perbedaan dengan sebelum tahun 1980an. Smeltser yang dikutip Kuntowijoyo (2002) bahwa perkembangan dan perubahan sosial ekonomi suatu masyarakat terjadi karena akibat dari kontak dengan ekonomi di luar sektor pertanian. Perubahan itu berwujud pada perubahan perilaku, pergeseran struktur sosial, segmentasi dan proses sosial.
PERFORMANSI KAINDEA
Karateristik Kaindea di Pulau Wangi-Wangi
Kaindea adalah hutan yang sengaja ditanam oleh masyarakat yang berfungsi ekologi, ekonomi dan sosial. Kaindea yang merupakan bagian integral dengan kebun (Koranga). Kaindea merupakan lahan yang subur dengan solum tanah yang dalam yang kawasan dikelilingi kebun masyarakat. Kaindea berfungsi lindung (konservasi tanah dan air); ekonomi (ketahanan pangan komunitas); dan sumber bahan kegiatan adat, kekerabatan dan tempat melakukan pertemuan rahasia. Awalnya, tanaman yang ditanam adalah tanaman pohon seperti kenari, enau, mangga dan bambu, sedangkan tanaman pangan adalah umbi.
Awalnya semua Kaindea merupakan milik dan dikelola oleh Sara. Pada abad ke-20, status kepemilikan dan pengelolaan diserahkan sebagian ke keluarga sebagai balas jasa atas pengabdian keluarga kepada adat.
Pada awalnya Kaindea mempunyai karateristik yang sama, yaitu dalam penguasaan tanah dan sumberdaya adalah komunal. Orientasi usaha adalah subsisten dan pola pengelolaan adalah agroforestry. Seiring waktu ada perubahan karateristik pada wilayah Adat Wanci sementara di Mandati tetap. Untuk lebih jelasnya karateristik hutan Kaindea di Pulau Wangi-Wangi dapat dilihat pada Tabel.
Tabel Karateristik hutan Kaindea di Pulau Wangi-Wangi
Sumber : Pengamatan, wawancara dan FGD 2008.
Performansi Emik
Kinerja pengelolaan versi masyarakat menunjukkan kemampuan masyarakat mengelola sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan manusia dari generasi ke generasi. Kaindea di Pulau Wangi-Wangi mempunyai tingkat performansi berbeda menurut wilayah adat. Hal ini menunjukkan kemampuan masyarakat mengelola sumberdaya sebagaimana dapat dilihat pada Tabel.
Tabel Daftar Kaindea, persebaran, luas, kepemilikan dan performansi emik
Sumber : pengamatan, wawancara dan FGD 2008.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
Kesimpulan
Perubahan lingkungan di Pulau Wangi-Wangi telah terjadi yaitu tekanan penduduk, intervensi ekonomi dan dinamika politik.
Perubahan lingkungan direspon dengan penguatan organisasi sosial, penyesuaian teknologi, pengaturan tenaga kerja dan pengembangan ragam mata pencaharian.
Performansi Kaindea berbeda-beda dan respon masyarakat yang berpengaruh terhadap performansi Kaindea adalah organisasi sosial. Hal ini dibuktikan pada masyarakat Adat Mandati yang mempunyai organisasi sosial lebih konsisten. Termasuk falsafah pengelolaan sumberdaya termasuk Kaindea masih dipegang teguh masyarakat.
Organisasi sosial (institusi dan modal sosial kekerabatan) terbukti sebagai sarana mengatur sumberdaya hutan Kaindea menjadi tetap lestari. Disisi lain ada klaim negara bahwa Kaindea sebagai hutan lindung. Untuk mengantisipasi konflik dikemudian hari diharapkan kemauan politik agar transformasi kebijakan kelembagaan dengan berbasis masyarakat baik di tingkat nasional maupun lokal. Undang-Undang yang tumpang tindih yang berkaitan dengan sumberdaya perlu disingkronisasi untuk mencegah konflik kepentingan antara pusat dan daerah melalui Perda.
Kebutuhan sumberdaya akan terus meningkat dan disisi lain Wangi-Wangi sebagai pulau-pulau kecil di dalam kawasan konservasi sangat rentan dengan perubahan. Dalam konteks pemerintah daerah diperlukan penetapan kawasan hutan dan perencanaan daya dukung. Dalam konteks kepentingan masyarakat lokal adalah perlu dikembangkan ragam mata pencahariaan, peningkatan kapasitas dan teknologi pertanian tepat guna. Agar lebih operasional, kebijakan tersebut perlu dibarengi perangkat insentif dan disinsentif untuk mengarahkan dan mengendalikan kegiatan dalam pulau dan kawasan.
Abstract
The objective of this study is to explain how local community in small islands can manage forest under population pressure, market intervention and political dynamics. This study is expected to answer how community adaptated with environmental change in forest management in small islands. The result of the study showed that community in Wangi-Wangi Island has a unique forest management system based on community. It’s called Kaindea. Management of Kaindea done by Sara (custom) and family and it’s used custom order. Environmental change which are population pressure, market intervention and political dynamics has influenced Kaindea management. Public response as result of environmental change is responsed by reinforcement of social organization, adjustment of local agriculture technology, family jobs description and expansion of livelihood. The conclusion is the study is that social organization (institution and social capital) has been very impotant roles on forest management and sustainability. It’s suggested to have a further study about how orthogonal transformation in local institution passed to formal institute, by making community based forest management regulation, especially in customary forest.
Key words: adaptation, Kaindea, forest, and sustainability
DAFTAR PUSTAKA
Asuhadi S. 2008. Profil Hasil Praktikum CBIA di Desa Longa. Wangi-Wangi: Bappeda Wakatobi
Chomitz K., Giacomo, DL., Piet B., Timothy ST., Sheila WK., 2007. Perluasan Pertanian, Pengentasan Kemiskinan dan Lingkungan di Hutan Tropis. Laporan Penelitian Kebijakan Bank Dunia. Salemba Empat: Jakarta.
Claridge, C., O’Callaghan B. 1995 (Ed). Community Involvement in Wetland Management: Lesson from the Field. Kuala Lumpur: Incorporating the Proceeddings of Workshop 3: Wetland, Lokal People and Development
DKP 2007. Petunjuk Teknis Perencanaan Tata Pulau-Pulau Kecil. Jakarta: Ditjen KP3K Departemen Kelautan dan Perikanan
Edmuns D., Wollenberg E. 2003. Local Forest Management. The Impacts of Devolution Policies. London: Earthscan Publications
Fox J. 1996. Panen Lontar. Perubahan Ekologi dalam Kehidupan Masyarakat Pulau Rote dan Sawu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Geertz C. 1983. Involusi Pertanian. Proses Perubahan Ekologi di Indonesia (terjemahan Supomo). Jakarta: Bhatara Karya Aksara.
Golar 2007. Strategi adaptasi masyarakat Adat Toro. Kajian kelembagaan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di taman nasional Lore Lindu Propinsi Sulawesi Tengah. Bogor: Program Pascasarjana IPB (Disertasi yang tidak dipublikasikan).
Korten DC. 1986. Community Management: Asian Experience and Perpectives. Philippines: Kumarian Press.
Kuntowijoyo 2002. Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940. Yogyakarta: Mata Bangsa.
Lynch OJ., Talbott K. 2001. Keseimbangan Tindakan. Sistem Pengelolaan Hutan Kerakyatan dan Hukum Negara di Asia dan Pasifik (terjemahan ND Sasanti). Jakarta: Elsam.
Nath TK, Inoue M., Myant H. 2005. Small-scale agroforestry for upland community development: A case study from Chittagong Hill Tracts, Bangladesh. The Japanese Forest Society and Springer-Verlag Tokyo. 10 : 443–452
Rabani LO. 1997. Migrasi dan Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Kepulauan Tukang Besi Kabupaten Buton 1961-1987. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM (Skripsi tidak dipublikasikan).
Schoorl P. 2003. Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton. Jakarta: Djambatan-Perwakilan KITLV.
Suharjito D., Saputro E. 2008. Modal Sosial Dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Pada Masyarakat Kasepuhan, Banten Kidul. Bogor: Balitbang Kehutanan. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 5 N. 4 Desember 2008, hal. 317-335.
Suharjito D., Khan Azis, Djatmiko WA., Sirait MT., Evelyna S. 2000. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Kerjasama FKMM-Ford Foundation. Yogyakarta: Adityamedia.
Steward JH. 1955. Theory of Culture Change. Urbana: University Illionis Press
Wiratno, Daru I., Syarifudin, Ani K. 2004. Berkaca di Cermin Retak. Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional. Jakarta: The Gibbon Fundation-Indonesia, PILI-NGO Movement.