Apakah Layak Agroforestry Diterapkan Di Taman Nasional Ujung Kulon

Apakah Layak Agroforestry Diterapkan Di Taman Nasional Ujung Kulon 
Taman Nasional Ujung Kulon secara administrasi berbatasan langsung dengan 14 desa di dua kecamatan yaitu kecamatan Sumur dan Cimanggu, sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani (sawah, ladang, kebun) dan nelayan. Berdasarkan hasil sensus tahun 2004 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik jumlah penduduk di 14 desa tersebut ± 25.000 orang. Karakteristik desa – desa disekitar Taman Nasional Ujung Kulon saling berdekatan dan memanjang mengikuti jalan raya tidak tersebar, desa – desa tersebut dihimpit oleh kawasan laut dan kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Komoditas utama pertanian adalah padi, kelapa, melinjo, cengkeh dan kopi, sedangkan komoditas dari laut sebagian besar adalah ikan.

Secara sosial ekonomi, sebagian besar penduduk di sekitar kawasan Taman Nasional Ujung Kulon berada dibawah garis kemiskinan dan berpendidikan rendah. Kemiskinan diakibatkan karena sempitnya lapangan kerja yang ada dan tidak adanya alternatif usaha lain atau sumber pendapatan lainnya. Hasil pertanian sampai saat ini belum bisa mereka andalkan, dikarenakan mereka hanya bisa panen 1 kali dalam 1 tahun, sehingga hasil yang didapat dari panen hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama 1 tahun dan mengganti biaya pupuk ( 1 karung pupuk diganti dengan 2 karung padi ), selain itu sawah yang mereka garap hanya bisa mereka olah ketika datang musim hujan saja, sedangkan pada saat musim kemarau tiba, praktis semua lahan persawahan, mereka tinggalkan dan tidak ada usaha untuk menanaminya dengan jenis lainnya seperti palawija atau kacang – kacangan. 

Hasil dari perkebunan sebenarnya cukup menjanjikan bagi mereka seperti melinjo dan kelapa, cukup menjanjikan karena tersedia pasar yang cukup luas baik di tingkat lokal maupun nasional, produk setengah jadi dari hasil kelapa dan melinjo belum banyak yang muncul di tingkat lokal/ belum ada persaingan produk, selain itu sudah ada pengusaha lokal yang dapat memberikan inspirasi bagi mereka bahwa mengolah produk bahan mentah menjadi bahan setengah jadi akan mendapatkan hasil yang lebih baik. Tetapi, saat ini hasil dari perkebunan belum sesuai yang diinginkan masyarakat, harga kelapa yang mereka jual masih murah di tingkat pasar lokal, begitu pula dengan melinjo yang mereka jual harganya masih cukup murah. 

Dengan demikian untuk meningkatkan taraf ekonominya, ditengah keterbatasan lapangan kerja yang ada, mereka memiliki kecenderungan melakukan perluasan lahan pertanian atau perkebunan di dalam kawasan hutan yang tujuannya untuk meningkatkan hasil panennya. Pola ekstensifikasi ini yang sampai sekarang masih mereka lakukan, mereka belum mengenal bagaimana mengolah lahan pertanian yang baik sehingga dapat melakukan panen 2 kali dalam 1 tahun dan dapat memanfaatkan lahan sawahnya ketika datang musim kemarau dengan jenis tanaman palawija, mereka juga belum tahu bagaimana mengolah kelapa menjadi bahan setengah jadi seperti kopra atau minyak kelapa yang nilainya lebih tinggi, belum tahu juga bagaimana mengolah melinjo menjadi emping atau produk lainnya.

Ketidaktahuan dan alternatif yang tidak mereka temukan dalam mengolah lahan dan produk akan mengakibatkan mereka terus melakukan perluasan lahannya didalam kawasan yang apabila itu terus dibiarkan akan mengancam habitat badak Jawa, karena habitat badak Jawa akan terus mengalami pengurangan atau menyempit. Selain itu juga menyebabkan masalah lain misalnya hutan dataran rendah Taman Nasional Ujung Kulon berkurang, banjir, kekeringan, dan faktor hidrologi terganggu.

Di Taman Nasional Ujung Kulon permasalahan yang paling menonjol selain illegal logging adalah perambahan hutan, dalam beberapa kasus perambahan hutan yang ditemukan di Taman Nasional Ujung Kulon, pelaku mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan sebenarnya dilatar belakangi oleh usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka merasa tidak tercukupi dengan hasil yang mereka dapatkan selama ini, dan keterbatasan lahan yang mereka miliki.

Untuk itu perlu tindakan konkrit dalam mengatasi sumber masalah ini, ada 2 permasalahan yang bisa dikelompokan dalam kasus ini yaitu, belum optimalnya pengolahan lahan pertanian secara intensif dan belum optimalnya pengelolaan hasil dari pertanian dan perkebunan. Melihat permasalahan diatas, sistem agroforestry menjadi salah satu alternatif yang bisa diterapkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengurangi laju perambahan hutan.

Kenapa agroforestry bisa menjadi salah satu alternatif penyingkir halangan? Bukankah mereka melakukan kegiatan bertani dan berkebun didalam kawasan Taman Nasional Ujung Kulon? Apakah tidak menimbulkan polemik dan apakah bisa diterapkan di Taman Nasional Ujung Kulon?. Pertanyaan – pertanyaan tersebut sering kali kami dengar dikalangan internal Taman Nasional Ujung Kulon, NGO dan masyarakat. 

Agroforestry bisa menjadi salah satu penyingkir halangan karena karena dengan memakai sistem agroforestry yang baik, masyarakat dapat memperoleh hasil yang lebih dari beberapa jenis tanaman yang ditanam (untuk diluar kawasan), sehingga lahan yang belum dimanfaatkan secara optimal dapat berfungsi lebih baik. Aktivitas diluar kawasan yang sangat menjanjikan akan mengurangi ketergantungan mereka untuk selalu merambah hutan, memang sebagian besar lahan pertanian dan perkebunan masyarakat ada didalam hutan Taman Nasional Ujung Kulon, dan agroforestry tidak akan dilaksanakan didalam kawasan karena memang masyarakat lokal sudah memiliki pengetahuan lokal dalam mengolah kebunnya. Permasalahannya bukan pada pola tanamnya tetapi masyarakat tidak mampu meningkatkan hasil panennya secara signifikan dengan keterbatasan lahan yang ada serta belum mencoba menerapkan sistem agroforestry di lahannya sendiri, karena mereka tidak mempunyai ilmu yang mendasar mengenai bagaimana mengolah lahan dengan baik.

Sebenarnya ada beberapa langkah untuk menilai apakah memang agroforestry layak untuk dilaksanakan di Taman Nasional Ujung Kulon sebagai salah satu penyingkir halangan, diantaranya dengan menggunakan RAFT. Untuk itu apabila kita memakai metode RAFT akan diperoleh keterangan sebagai berikut :

· Terminology
Sistem agroforestry tradisonal di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon, mirip seperti yang dilampung (sumber jaya), namun untuk nama system local seperti sistem talun di Halimun belum teridentifikasi. Rata-rata setiap KK mengelola 0,5 ha diluar kawasan, sedangkan di dalam 1 – 1,5 ha/KK.

Belum ada usaha/dukungan dari pemda secara teknis dan kontinyu untuk membantu memberikan pencerahan bagaimana mengelola lahan pertanian dan perkebunan dengan baik dan mengembangkan usaha hasil tani. Selama ini masih menjadi tanggung jawab Balai Taman Nasional Ujung Kulon. Sehingga ketika konflik terjadi, pemahaman masyarakat, bahwa musuh bersamanya hanya berurusan dengan Taman Nasional Ujung Kulon.

Masyarakat sudah lama mengenal sistem tumpang sari yang hampir mirip dengan sistem agroforestry, karena sebagian wilayah Taman Nasional Ujung Kulon dulu dikelola oleh Perum Perhutani, sehingga istilah agroforestry sering mereka anggap tumpang sari.

· Use of trees in space and time
Kelapa, melinjo, dan cengkeh selama ini telah memberikan kontribusi ekonomi kepada kehidupan mereka selama ini. Tetapi ada kecenderungan untuk memperluas lahan perkebunan mereka, karena mereka tidak memiliki teknik pengolahan lahan yang baik dan hal ini mengancam pada habitat Badak Jawa. Walaupun pihak Taman Nasional Ujung Kulon sudah berupaya memberikan akses kepada masyarakt untuk mengelola kawasan, dengan terbentuknya nota ke sepahamanan antara TN dan Masyarakat, tetapi pada prakteknya, kesepakatan ini sulit dijalankan. Sebagian besar masyarakat juga memanfaatkan kayu kelapa yang sudah tidak berproduktif untuk bahan bangunan.

· Tree Mangement and domestication
Untuk komoditas padi, melinjo, kelapa, cengkeh, dan kopi masyarakat belum memperlakukan pola-pola pengelolaan yang baik. Pengelolaan hanya dilakukan ketika akan menanam saja yaitu membuat larikan, dan membersihkan rumput disekitar tanaman, setelah itu dibiarkan hingga dewasa. Tidak ada pola jarak tanam, tanaman di tanam tersebar diantara tanaman hutan. Ada kecenderungan mereka lebih melindungi tanaman kebunnya dari pada tanaman hutan sehingga apabila tanaman perkebunannya terganggu oleh tanaman hutan mereka akan menebang tanaman hutan tersebut. Tetapi mereka sudah melakukan pembibitan sendiri untuk cengkeh, kopi, melinjo. Pembibitan biasanya mereka lakukan dengan memanfaatkan bekas plastik makanan sebagai penampung media tanam atau polibag, setelah itu bibit biasanya diletakkan disekitar tempat mandinya, dikarenakan masyarakat punya asumsi bibit tersebut dengan sendirinya akan selalu tersiram air atau basah. Untuk kelapa tidak dilakukan pembibitan.

· Local Ecological Knowledge and IPR
Punya kearifan local, bahwa Badak adalah “abah”. 
Ada ritual adat sidekah bumi untuk rasa terima kasih atas panen
Ada teknologi local dalam pembibitan cengkeh, kopi, melinjo, kelapa

· Componen interaction
Ekonomi : Ada sebagian hasil kebun sebagai penunjang ekonomi keluarga, baik dari hasil buahnya maupun kayunya (kelapa).

Ekologi : belum teridentifikasi
Adanya tanaman melinjo, kopi, cengkeh, kelapa dan padi sebenarnya adalah peninggalan sistem pengelolaan hutan dengan cara tumpang sari, ketika itu Taman Nasionalk Ujung Kulon mendapat tambahan wilayah bekas hutan produksi Perum Perhutani

· Input/output relation and profitability assessment
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Saints tahun 2007 bahwa hasil kelapa yang berada dekat dengan kawasan TNUK hasilnya lebih banyak dibandingkan dengan yang berada jauh dari kawasan. Alasannya tanah dekat kawasan lebih subur dan lebih banyak jumlah pohonnya. Melinjo dipanen 1 tahun dua kali. Melinjo dijual Rp 15000/kg. kelapa Rp 500 – Rp 2000/butir bisa dipanen beberapa kali dalam 1 tahun. Harga kedua komoditas tersebut beberapa tahun kedepan tidak mengalami fluktuasi yang terlalu berarti, tidak terpengaruh pasar global dan persaingan sangat kompetitif.

· Tree and land tenure and policy issues
- Ada kecenderungan masyarakat memperluas lahan garapan ke dalam kawasan konservasi.
- Ada jual beli tanah di dalam kawasan.
- Tumpang tindih batas kawasan antara tanah milik masyarakat dengan kawasan TNUK

· SWOT of the AF technology

Dengan hasil yang demikian menunjukkan bahwa potensi agroforestry apabila diterapkan di masyarakat sekitar Taman Nasional ujung Kulon akan sangat cocok, dan nantinya dapat meningkatkan pendapatan ekonomi mereka sehingga ancaman perambahan hutan dapat dikurangi.
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson