Hutang Luar Negeri dan Sikap Servil Indonesia : Ada yang secara “simpatik” bertanya, mungkin termasuk Anda, mengapa pilihan strategi ekonomi Indonesia yang disarankan sekelompok elit politik dan cendekiawan tertentu adalah “strategi bertekuk-lutut terhadap IMF dan negara donor?” Tentu perkataan “strategi” tidak relevan di sini. Tidak bisa “bertekuk-lutut” merupakan suatu “strategi”, yang ada hanyalah munculnya kembali sikap primitif, semacam “instinct inlander”, naluri pribumi! Ini adalah kecenderungan self-disempowerment yang selalu dicemaskan para pendiri Republik ini. Tulisan ini dimaksudkan untuk menyambut pertemuan Paris Club III.
Bagaimana menghadapi IMF?
Untuk itu kita perlu mendukung dan menanggapi secara positf sikap Presiden Megawati yang melegakan, yang menegaskan baru-baru ini bahwa Indonesia tidak akan menjadi bangsa yang terus berhutang. Demikian pula kita dukung sikap Wapres Hamzah Haz yang menegaskan agar kitalah yang harus proaktif meminta pertimbangan keringanan hutang pada IMF. (Ini berarti, menurut pemberitaan media massa 4/9/2001, berbeda dengan sikap Menko Dorodjatun yang sekedar pasif menunggu). Kita patut memuji political-will dan political-courage Presiden dan Wakil Presiden.
Kita harus bermula dari penegasan suatu platform nasional, yaitu platform “mengutamakan kepentingan nasional, bahwa yang kita bangun adalah rakyat, bangsa dan negara”. Dengan kata lain, apabila ada pembangunan ekonomi yang menyengsarakan rakyat, yang menggusur atau memarginalisasi rakyat, yang mendisempower rakyat, maka ini merupakan suatu default of development. Apabila ada pembangunan ekonomi yang mengakibatkan tercerai-berainya bangsa, tentu bukanlah pembangunan ekonomi yang benar. Apabila ada pembangunan ekonomi yang memperpuruk negara, menjadikan negara tercemoh dan terdikte, tentulah ini merupakan yang keliru total.
Oleh karena itu sebaiknya kita berpedoman pada sikap tidak menandatangani LoI (Letter of Intent), selama LoI termaksud membahayakan masa depan Indonesia.
Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian kita adalah sbb:
(1) Minimal yang kita harus peroleh dari bargaining dengan IMF/Bank Dunia dan negara-negara donor adalah 10 tahun dibebaskan tidak membayar cicilan dan tidak membayar bunga. Rescheduling 10 tahun ini pun tidak dibebani bunga.
(2) Dari butir (1) di atas maka Indonesia harus berani mulai menghentikan membuat hutang baru.
Kita punya bukti adanya kekuatan dalam-negeri, adanya kekuatan self-empowerment selama 3 tahun terakhir ini (tanpa bantuan IMF, tanpa investasi asing, tanpa perbankan aktif dan sehat, dll), yaitu bahwa kita tetap bertahan hidup, betapapun sebagai rakyat kita hidup subsistan.
(3) Indonesia harus mampu mentransformasikan Repelita 5 tahunan ke dalam 5 tahun RAPBN yang saling berkaitan satu sama lain. Dengan kata lain RAPBN disusun setiap tahun, dengan tahun pertama dilengkapi dengan “RAPBN bayangan” 4 tahun ke depan, sehingga bisa direncanakan dan disajikan kepada publik (DPR) bahwa di situ nampak ada rencana setiap tahun mengurangi beban pembayaran hutang.
(4) Berkaitan dengan butir (3) di atas maka kita harus berani secara terencana dan pasti mengurangi beban hutang kita. Apabila tiap tahun keseluruhan beban hutang Pemerintah kita kurangi 5%, maka secara linier dalam waktu 20 tahun hutang Indonesia akan selesai.
(5) Sikap kita kepada IMF penuh ambiguitas. Namun menurut pendapat saya, Pemerintah tidak harus anti IMF. Kita tidak harus mengusir IMF, tidak perlu ada sikap “the hell with IMF”. Sebaliknya IMF justru harus kita jadikan “sahabat” Indonesia, artinya menjadikannya sebagai anggota lobby Indonesia untuk menghadapi negara-negara donor, dengan tujuan utama memperoleh keringanan atau hair-cut bagi hutang-hutang Indonesia.
IMF harus kita sadarkan, agar mau mulai merasa bertanggung-jawab terhadap kebangkrutan ekonomi Indonesia dan kemudian bersikap manis (bayar budi) terhadap Indonesia, karena IMF telah ikut ambil bagian dalam menjerumuskan Indonesia ke dalam debt trap. IMF harus tetap berada di Indonesia untuk menjadi anggota lobby Indonesia yang memihak kepada kita.
IMF wajib merasa ikut bertanggung jawab pula terhadap kebodohan dan kekeliruannya dalam ikut mengatur secara keliru (misguiding) kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia. Termasuk dalam kekeliruan ini adalah menasehati secara paksa kepada policy makers Indonesia, yang memang incompetent dan sekaligus mudah servile (“menghamba”) terhadap penasehat Barat. Misalnya IMF menyarankan likuidasi 16 bank tanpa disertai sikap antisipasi sehingga mengakibatkan capital flights besarbesaran yang menguras modal nasional. Dengan sangat sulit Indonesia memperoleh pencairan hutang kepada IMF sebesar US$ 400 juta, namun sebaliknya capital flights puluhan milyar US$ dibiarkan oleh IMF terjadi di bawah hidung IMF. Celakanya dalam keadaan darurat dan gawat semacam itu otoritas moneter dengan bangga mempertahankan rejim devisa bebas sebebas-bebasnya, sesuai saran IMF.
(6) Di samping itu harus diingat bahwa IMF harus mempertanggung-jawabkan diri karena selama 32 tahun itu IMF telah membantu rezim otoriter Indonesia.
Di sini kita perlu mempertimbangkan “Doktrin Odious Debt” yang dikemukakan oleh pakar hukum terkemuka, Alexander Nahun Sack, mantan menteri pada pemerintahan Tsar Nicolas II (yang kemudian menjadi pakar hukum internasional di Paris sekitar tahun 1923). Doktrin itu kurang lebihnya menyatakan: if a despotic power incurs a debt not for the needs or in the interest of the State, but to strengthen its despotic regime, to repress the population that fights against it, etc., this debt is odious for the population of the State.
Dengan kata lain, this debt is not an obligation for the nation; it is a regime’s debt, a personal debt of the power that has incurred it, consequently it falls with the fall of this power, yang barangkali oleh para anggota “Tujuh Pendekar” pengamat pinjaman luar negeri dan mungkin pula sebagaimana dikatakan oleh Jeffry Winters, hal ini dinilai sebagai suatu “criminal debt”.
(7) Kesalahan utama dapat pula terletak pada sikap Indonesia yang mengagumi pasar bebas. Kita telah “menobatkan” pasar bebas sebagai “berdaulat”, mengganti dan menggeser kedaulatan rakyat. Kita boleh heran akan kekaguman ini, mengapa Kabinet harus ramah terhadap pasar, mengapa kriteria menteri ekonomi harus orang yang bersahabat kepada pasar, bahkan sekelompok ekonom tertentu mengharapkan Presiden Megawati pun harus ramah terhadap pasar. Mengapa kita harus keliru sejauh ini. Mengapa pasar bebas kita jadikan “berhala” baru?
Mengapa tidak sebaliknya bahwa pasarlah yang harus bersahabat kepada rakyat, petani, nelayan, dst dst. Mengapa pasar di Jepang dapat diatur bersahabat dengan petani Jepang, sehingga beras di Jepang per kilo yang mencapai harga rupiah sebesar Rp. 30.000,- para importir Jepang tidak mengimpor beras murah dari luar negeri. Mengapa pula kita harus “memperpurukkan” petani-petani kita, justru ketika kita petani sedang panen padi, kita mengimpor beras murah dari luar negeri.
Siapakah sebenarnya pasar itu? Bukankah saat ini di Indonesia pasar adalah sekedar (1) kelompok penyandang/ penguasa dana (penerima titipan dana dari luar negeri/ komprador, para pelaku KKN, termasuk para penyamun BLBI, dst); (2) para penguasa stok barang (termasuk penimbun dan pengijon); (3) para spekulan (baik di pasar umum dan pasar modal); dan (4) terakhir adalah rakyat awam yang tenaga-belinya lemah. Pada hakekatnya yang demikian itu ramah kepada pasar adalah ramah kepada ketiga kelompok pertama pelaku utama (baca: para penguasa) dan penentu pasar.
Oleh karena itu pasar harus tetap dapat terkontrol, terkendali, not to fully rely-on, tetapi sebaliknya pasarlah yang harus mengabdi kepada negara