Perlindungan Hukum Terhadap Penggunaan Alat Transportasi Melalui Perjanjian Leasing

Perlindungan Hukum Terhadap Penggunaan Alat Transportasi Melalui Perjanjian Leasing : Dalam memenuhi kebutuhan, dana adalah hal yang paling penting dalam kebutuhan sehari-hari, apalagi dalam berusaha di berbagai bidang bisnis karena bagi orang bisnis uang adalah hal yang paling pokok atau mendasar untuk menjalankan bisnisnya. Di dalam perkumpulan orang-orang atau lembaga maupun badan hukum yang justru kelebihan dana meski hanya bersifat momentum dana yang berlebihan tersebut perlu diinvestasikan dengan cara yang paling menguntungkan secara ekonomis.

Sesuai dengan kaidah ekonomi ada demand dan ada pula supply, maka akhirnya terciptalah institusi yang secara tradisional pihak yang mempunyai kelebihan dana mensupply dana langsung kepada yang membutuhkan. Oleh karena itu sarana penyediaan dana yang dibutuhkan masyarakat perlu diperluas. Secara konvesional dana yang diperlukan untuk menunjang pembangunan tersebut disediakan oleh lembaga perbankan, akan tetapi dewasa ini lembaga perbankan saja tidak dapat mencukupi kebutuhan akan dana tersebut. Oleh karena itu perlulah dicari alternatif pembiayaan lain.

Mengantisipasi hal tersebut, maka pemerintah pada tahun 1998 melalui Keppres No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan membuka peluang bagi berbagai badan usaha untuk melakukan kegiatan-kegiatan pembiayaan sebagai alternatif lain untuk menyediakan dana guna menunjang pertumbuhan perekonomian Indonesia tersebu, yaitu antara lain : sewa guna usaha (leasing), modal venture, perdagangan surat berharga, anjak piutang, usaha kartu kredit, dan pembiayaan konsumen.

Peluang usaha tersebut diberikan kepada badan usaha yang berbentuk : (1) bank, (2) lembaga keuangan bukan bank, dan (3) perusahaan pembiayaan, yaitu badan usaha di luar bank dan lembaga keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan pembiayaan.

Sebagai tindak lanjut, dikeluarkanlah SK Menkeu RI No. 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan. Di dalam SK tersebut diatur lebih lanjut mengenai berbagai kegiatan yang dapat dilakukan oleh lembaga pembiayaan tersebut beserta tata cara pendirian dan perincian untuk pendirian serta pengawasan, salah satunya adalah sewa guna usaha (leasing) yaitu lembaga yang menyediakan barang modal.

Leasing di Indonesia mulai muncul pertama kali pada tahun 1974. Pada awal kemunculannya leasing tidak menunjukkan suatu perkembangan yang berarti, hingga tahun 1980 jumlah perusahaan leasing yang ada sebanyak 5 buah, dan meningkat pada tahun 1981 menjadi 8 buah perusahaan, dan mencapai puncaknya pada akhir tahun 1984 dengan jumlah perusahaan sebanyak 48 buah. Hal yang menggembirakan adalah bahwa peningkatan ini juga diiringi dengan peningkatan besarnya kontrak leasing, yaitu sebanyak Rp. 436,10 milyar, padahal leasing di Indonesia adalah lembaga yang baru dan belum diatur dalam suatu undang-undang khusus. Bahkan sampai saat ini yang ada barulah berbentuk Keputusan Presiden maupun Keputusan Menteri Keuangan yang pada mulanya hanya mengatur segi-segi yuridis administratif serta perlakuan perpajakan terhadap usaha leasing.

Istilah leasing sebenarnya berasal dari kata lease yang berarti sewa atau lebih umum sewa-menyewa. Salah satu perbedaan sewa-menyewa dengan leasing dapat dilihat pada objeknya. Objek perjanjian sewa-menyewa berupa barang berwujud yang berbentuk apa saja, sedangkan objek leasing umumnya adalah barang modal, alat produksi dan beberapa bentuk barang konsumsi. Dalam bahasa Indonesia, leasing sering diistilahkan dengan sewa guna usaha. Di dalam sistem pembiayaan berpola leasing, para pihak yang terlibat di dalamnya tersebut adalah : (1) Lessor, (2) Lessee, dan (3) Supplier.

Di Indonesia, leasing mempunyai alas hukum yang berlaku, yaitu kebebasan berkontrak seperti yang terdapat dalam pasal 1338 ayat (2) KUHP Perdata, yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Sepanjang memenuhi syarat seperti yang diatur oleh perundang-undangan, ketentuan tentang perikatan yang terdapat dalam Buku Ketiga KUH Perdata, berlaku juga untuk leasing. Disamping alas hukum mengenai asas kebebasan berkontrak, terdapat beberapa alas hukum lain yang lebih bersifat administratif, diantaranya yang terpenting adalah : (1) Surat Keputusan Menteri Keuangan No. Kep-38/MK/IV/1/1972 tentang Lembaga Keuangan, yang telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 562/MK/011/1982; (2) Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. Kep-122/MK/IV/2/1974, No. 32/M/SK/2/1974, No. 30/Kpb/ 1/1974, tentang Perizinan Usaha Leasing; (3) Keputusan Presiden RI No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan; (4) Keputusan Menteri Keuangan RI No. 1251/KMK/031/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 1256/KMK/00/1989; (5) Keputusan Menteri Keuangan RI No. 634/KMK/013/1990 Tentang Pengadaan Barang Modal Berfasilitas Melalui Perusahaan Sewa Guna Usaha (Perusahaan Leasing); (7) Keputusan Menteri Keuangan RI No. 1169/KMK/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing); (8) Keputusan Menteri Keuangan RI No. 448/KMK.017/2000 tentang Lembaga Pembiayaan; (9) Keputusan Menteri Keunagan RI No. 172/KMK.06/2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan No. 448/KMK.017/200 tentang Perusahaan Pembiayaan; dan (10) Keputusan Menteri Keuangan RI No. 185/KMK.06/2002 tentang Penghentian Pemberian Izin Usaha Perubahan Pembiayaan.

Perjanjian leasing ini nampak semakin popular dengan semakin berkembangnya industri dan perdagangan di Indonesia. Di dalam perjanjian leasing terdapat subjek dan objek kontrak leasing. Subjek yang terkait dalamnya adalah pihak lessor dan pihak lessee. Lessor adalah perusahaan pembiayaan atau perusahaan sewa guna usaha (leasing) yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan dan melakukan kegiatan sewa guna usaha (leasing) (pasal 1c Keputusan Menteri Keuangan RI No. 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (leasing)). Sedangkan lesse adalah perusahaan atau perorangan yang menggunakan barang modal dengan pembiayaan dari lessor (pasal 1d Keputusan Menteri Keuangan RI No. 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna (leasing)). Disamping kedua pihak tersebut, yang menjadi pendukung dalam kegiatan kontrak leasing adalah pihak supplier dan kreditur atau lender. Supplier adalah penjual dan pemilik barang yang disewakan. Kreditur adalah seorang atau lembaga yang mendukung kegiatan pembiayaan di bidang leasing, seperti lembaga perbankan dan lembaga non bank lainnya.

Objek leasing adalah barang-barang modal/alat-alat produksi yang harganya relatif mahal. Sebagai contoh objek leasing seperti mobil, pesawat, motor, bus, peralatan pengeboran, peralatan listrik, truk, pembangkit tenaga listrik, peralatan telepon, perkakas tenun/tekstil, peralatan bengkel, peralatan kantor, komputer, mesin-mesin percetakan, mesin-mesin untuk pertambangan, peralatan rumah sakit dan peralatan untuk industri perkayuan.

Di dalam pasal 9 Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (leasing) ditentukan bahwa setiap transaksi sewa guna usaha wajib diikat dalam suatu perjanjian sewa guna usaha atau lease agreement. Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat antara lessor dengan lessee dibuat dalam bentuk tertulis, baik itu dituangkan dalam bentuk akta di bawah tangan maupun akta otentik. Akta di bawah tangan adalah sebuah akta yang dibuat oleh para pihak, sedangkan akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu. Dalam hal ini adalah notaris.

Berdasarkan uraian tersebut di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengangkat mengenai “Perlindungan Hukum terhadap Pengunaan Alat Transportasi Melalui Perjanjian Leasing Di PT.Auto Mobil Samarinda”. 

PERMASALAHAN
1. Bagaimanakah bentuk dan isi perjanjian operating lease ?
2. Apa sajakah kendala yang dihadapi para pihak dalam perjanjian leasing ?
3. Bagaimana pula upaya hukum dan penyelesaian wanprestasi dan overmacht dalam perjanjian leasing ?

PEMBAHASAN
A. Bentuk dan Isi Perjanjian Operating Lease 
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa penyebutan copy kontrak leasing yang harus disampaikan oleh para pengusaha leasing kepada Dirjen Moneter, Direktorat lembaga-lembaga keuangan dalam pengumuman Dirjen Moneter No. PENG-307/DJM/III.1/7/1974 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Leasing dapat disimpulkan bahwa perjanjian leasing harus dibuat secara tertulis.

Ketentuan dalam perjanjian leasing yang ditandatangani oleh lessee, telah ditentukan sedemikian rupa oleh lessor, dan lessee hanya dapat menerima ketentuan tersebut. Dengan menandatangani perjanjian tersebut, maka lessee dianggap telah menyetujui dan terikat dengan isi perjanjian, karena perjanjian leasing merupakan salah satu perjanjian standar.

Mengacu pada asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam pasal 1338 KUH Perdata, maka para pihak bebas untuk menentukan isi dan syarat dalam perjanjian dengan memperhatikan pasal 1337 KUH Perdata, yaitu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Adapun isi perjanjian operating lease dengan memperhatikan pengumuman Direktorat Jenderal Moneter No. PENG-307/DJM/III.1/7/1974 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Leasing adalah : (1) ketentuan mengenai objek perjanjian; (2) jangka waktu perjanjian; (3) harga sewa; (4) cara dan tempat pembayaran; (5) hak dan kewajiban para pihak; (6) penyerahan (tanggal pengiriman dan batas pengiriman); dan (7) berakhirnya perjanjian operating lease antara lessor dan lessee akan berakhir tanpa mengurangi apa yang ditentukan dalam KUH Perdata, yaitu : (a) setelah berakhirnya jangka waktu kontrak leasing, lessee dapat memperpanjang perjanjian dengan izin tertulis dari perusahaan leasing yang bersangkutan; (b) Lesse dapat mengakhiri kontrak leasing dengan lessor kapanpun dengan melakukan pemberitahuan secara tertulis kepada lessor dalam jangka waktu satu bulan tanpa mendapat kompensasi apapun (termasuk untung/rugi), kecuali terhadap pembayaran sewa bulan terakhir; (c) Apabila lessee tidak puas dengan servis lessor dan selama 7 hari berturut-turut lessor tidak melakukan pemberitahuan tertulis, dalam hal ini lessor tidak berhak atas kompensasi apapun (termasuk untung/rugi) dari lessee, kecuali terhadap pembayaran sewa sebelumnya; (d) jika objek leasing tersebut hilang, musnah atau rusak sedemikian rupa sehingga tidak diperbaiki lagi, demikian pula dengan penggantiannya dalam satu bulan setelah kejadian itu juga tidak dimungkinkan; dan (e) apabila salah satu pihak dalam perjanjian tidak memenuhi kewajibannya, sehingga mengakibatkan adanya syarat batal sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata.

B. Kendala yang Dihadapi Para Pihak dalam Perjanjian Leasing
Dalam perjanjian leasing khususnya operating lease, kesulitan yang sering terjadi adalah bahwa di Indonesia perjanjian leasing pada saat ini tidak diatur secara tersendiri baik di dalam UU ataupun di dalam KUH Perdata. Oleh karena itu untuk mengadakan perjanjian leasing kedua belah pihak memuat ketentuan yang ada dalam KUH Perdata sesuai kesepakatan mereka mengikatkan dirinya untuk mengadakan suatu persetujuan mengenai perjanjian yang berkenaan pada kesepakatan yang mereka buat.

Salah satu kendala dalam kontrak leasing adalah peraturan tentang ketentuan leasing di Indonesia masih terbilang disepelekan. Hal ini menjadi ganjalan atau kendala yang masih sangat dikhawatirkan oleh pihak lessor. Hal ini disebabkan oleh lessor pada operating lease harus mampu, ahli dan terampil di bidangnya. Hal ini disebabkan unsur yang ada dalam perjanjian tersebut mengandung resiko.

Jadi perusahaan yang bertindak sebagai pihak lessor, seharusnya mengetahui dan menguasai secara seksama keadaan pasar dari barang yang di leasing, dan juga mampu menguasai biaya perbaikan dan pemeliharaan serta pandai menghitung berbagai biaya (ongkos), termasuk biaya asuransi, urusan pajak dan bila perlu biaya BBM dan sebagainya. Bilamana lessor yang melakukan pembiayaan berupa penyediaan barang modal khususnya operating lease berhasil menangani kendala-kendala seperti ini, maka kemungkinan memperoleh keuntungan akan lebih besar pula. Dan dalam hal ini pihak lessor juga menemukan kendala secara teknik, yaitu pihak lessor memerlukan tenaga ahli yang sesuai bidang masing-masing dan menguasai secara khusus masalah yang berkaitan dengan kendala di atas. Untuk kendala teknik inilah pihak lessor tidak sedikit memerlukan dana yang relatif mahal, karena dari setiap bidang teknik harus mampu menjaga nama baik perusahaan leasing agar masyarakat umum khususnya perusahaan-perusahaan yang memerlukan barang modal tidak merasa khawatir untuk melakukan kerja sama dengan pihak lessor.

Sebagaimana telah diterangkan di atas pada operational leasing, pihak lessor di dalam kontrak leasing mengikatkan diri untuk memikul beban resiko ekonomisnya, yaitu baik resiko yang berkenaan dengan lessor maupun resiko yang bertalian dengan sisa harga/nilai dari barang yang menjadi objek transaksi yang bersangkutan. Disinilah letak keuntungan bagi pihak lessee, disamping keuntungan-keuntungan lain seperti penggunaan teknis, kehilangan barang yang bersangkutan dan lain-lain, oleh karena kesemuanya itu dibebankan pada lessor. Jadi bagi lessee penggunaan alat perusahaan itu lebih fleksibel, sehingga memungkinkan perusahaan tu berkembang tanpa resiko yang berat.

Menurut keterangan dari pihak lessor yang menyediakan barang modal yang objeknya berupa kendaraan (mobil), lessor mendapat masalah yang rumit yaitu bahwa pada waktu perjanjian leasing antara kedua belah pihak telah berakhir, dan pihak lessee telah mengembalikan objek leasing kepada pihak lessor, maka pihak lessor biasanya kemudian mencari beberapa ahli maintenance yang mengerti tentang kondisi mesin dari objek leasing tersebut yang telah beberapa waktu digunakan oleh pihak lessee. Biasanya pihak lessee khusus mempekerjakan orang yang menangani kendaraan seperti driver (supir), tetapi dari driver tersebut pada umumnya hanya bisa mengendarai dan belum tentu mengetahui cara dan teknik yang baik untuk melakukan perawatan supaya objek kendaraan leasing tersebut tetap dalam kondisi baik selayaknya pada saat lessor pertama kali menyerahkan objek untuk disewa guna usaha.

Dalam hal ini untuk mengatasi kendala tersebut biasanya pihak lessor tetap melakukan perawatan terhadap kendaraan objek leasing, baik kondisi luar maupun mesin kendaraan, supaya kondisi objek kembali normal dan layak digunakan lagi oleh perusahan lain yang ingin melakukan sewa guna berupa barang modal dengan kontrak leasing. Jadi kendala yang menjadi masalah adalah ketika pihak lessor mendapatkan penundaan waktu yang cukup lama, yaitu kurang lebih 2 minggu sampai 1 bulan untuk perawatan objek berupa kendaraan ini. Perusahaan leasing yang melakukan operating leasing biasanya harus mempunyai modal yang relatif besar untuk penyediaan kendaraan objek leasing yang banyak.

Setelah pihak lessor mengalami kendala yang ada di atas, maka pihak lessee sendiri biasanya juga mendapatkan kendala berupa tekanan bahwa harus disediakannya dana yang besar untuk melakukan penyediaan barang modal kepada pihak lessor. Jadi mau tidak mau, pihak lessee telah menyetujui kesepakatan yang mereka buat dan ketentuan yang telah dicantumkan oleh pihak lessor meskipun lessee berat hati untuk menyetujui ketentuan tersebut, karena dalam hal ini lessor bertanggung jawab penuh atas segala resiko dan kendala dalam perjanjian leasing.

Di dalam pelaksanaan perjanjian leasing juga sering muncul adanya kendala lain yang dilakukan oleh pihak lessor maupun pihak lessee. Kendala tersebut tidak lepas dari hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian. Biasanya dalam perjanjian leasing, lessor selalu membatasi atau membebaskan diri dari tanggung jawab mengenai hal-hal yang berkenaan dengan pembayaran pajak dan biaya-biaya lain yang berhubungan dengan pengurusan barang modal dengan jalan mengalihkan tanggung jawabnya tersebut kepada lessee. Pembayaran pajak dalam kegiatan leasing, dalam hal ini penggunaan alat transportasi antara lain berupa : (1) pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas pengalihan barang modal yang menjadi objek leasing; (2) dalam pengurusan STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan) dan BPKB (Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor). Biaya-biaya lain antara lain berupa : (a) biaya yang dikeluarkan untuk menempatkan barang modal di lokasi yang ditetapkan dalam perjanjian, yang biasanya merupakan tempat lessee, dan (b) biaya perpanjangan STNK selama jangka waktu berlaku leasing.

Selama perjanjian leasing berlangsung dapat terjadi bahwa barang modal mengalami kerusakan, kehilangan atau kehancuran akibat dari suatu peristiwa di luar kesalahan pihak lessor atau lessee. Hal ini menimbulkan masalah fisik dalam perjanjian leasing. Dalam perjanjian leasing, lessor dapat membebankan tanggung jawab atas resiko kepada lessee dengan mencantumkan klausula eksenorasi. Klausula eksenorasi dalam perjanjian leasing adalah syarat yang secara khusus membebankan lessor dengan tanggung jawab terhadap akibat yang merugikan, yang timbul dalam pelaksanaan perjanjian.

Pencantuman klausula eksenorasi dalam suatu perjanjian dimungkinkan karena adanya asas kebebasan berkontrak yang membebaskan para pihak untuk menentukan syarat-syarat tentang tanggung jawab ini, asalkan tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Pelaksanaan suatu perjanjian tidak lepas dari kemungkinan terjadinya wanprestasi oleh salah satu pihak dalam perjanjian. Seseorang dikatakan wanprestasi apabila tidak melakukan apa yang telah diperjanjikan atau tidak memenuhi prestasinya, karena adanya kesalahan yang mengandung kesengajaan maupun kelalaian.

Perjanjian leasing sebagai salah satu bentuk perjanjian standar, ketentuannya telah diatur sedemikian rupa. Mengingat sifat Buku III KUH Perdata yang bersifat sebagai pelengkap, maka apabila tidak diatur dalam perjanjian, ketentuan dalam Buku III KUH Perdata yang akan berlaku. Lessor dalam menyelesaikan perselisihan dengan lessee tidak menerapkan secara kaku ketentuan tersebut, mengingat lessee adalah relasi lessor. Untuk menjaga hubungan baik dengan lessee, lessor biasanya menggunakan langkah-langkah yang sudah menjadi kebiasaan perusahaan, seperti pemberitahuan kedua belah pihak dalam mencari jalan keluar untuk memecahkan masalah secara kekeluargaan dan musyawarah. Jika masih belum dapat diatasi, maka baru diserahkan kepada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

C. Upaya Hukum dan Penyelesaian Wanprestasi serta Overmacht dalam Perjanjian Leasing
Tujuan yang diharapkan oleh para pihak yang mengadakan perajnjian adalah terpenuhinya prestasi, namun tidak jarang pihak yang diharapkan memenuhi prestasi tersebut tidak bersedia atau menolak memenuhi prestasi secara sempurna. Dalam hal ini timbullah persoalan tentang wanprestasi atau cidera janji.

Wanprestasi yaitu tidak terlaksananya suatu prestasi karena kesalahan lessee baik dengan kesengajaan atau kelalaian. Wanprestasi berarti prestasi buruk. Wanprestasi sendiri mempunyai pengertian keadaan tidak terpenuhinya kewajiban oleh lessee yang telah diperjanjikan sebelumnya karena kesalahannya. Wanprestasi dapat berupa : (1) tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; (2) melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan; (3) melakukan apa yang dijanjikan, tetapi terlambat; dan (4) melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Di dalam praktek pelaksanaan perjanjian operating leasing terdapat dua jenis wanprestasi, yaitu : (1) wanprestasi yang berupa keterlambatan pembayaran uang sewa; (2) Wanprestasi berupa penggadaian barang modal dan pemindahtanganan hak sewa barang modal kepada pihak ketiga.

Dalam hal lessee yang dituduh lalai dan dimintakan supaya kepadanya diberikan sanksi atas kelalaiannya tersebut, dapat membela diri dengan mengajukan alasan untuk membebaskan diri dari sanksi tersebut. Alasan lessee untuk membebaskan diri dari sanksi atas kelalaiannya tersebut, salah satunya adalah dengan mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht).

Keadaan memaksa adalah tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh lessee disebabkan terjadinya suatu peristiwa yang bukan karena kesalahannya, yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu perjanjian dibuat. Ketentuan overmacht dalam kontrak leasing antara pihak lessor dan lessee berisi ketentuan mengenai penggantian kerugian yang disebabkan karena keadaan memaksa, forje majeur seperti kecelakaan, kerusakan dan lain-lain.

Apabila lessee bertanggung jawab penuh terhadap kendaraan yang disewanya, maka lessor hanya bertanggung jawab untuk memastikan kondisi kendaraan dalam keadaan baik pada saat disewakan, sehingga apabila terjadi wanprestasi oleh salah satu pihak maka pihak yang melakukan wanprestasi harus mengganti kerugian sebesar yang diterima pihak tersebut. Dalam hal yang berada di luar kekuasaan atau kemampuan lessee, seperti kecelakaan, pencurian maka lessee dapat meminta perpanjangan waktu, keringanan seperti penundaan pembayaran atau hal lain yang disepakati para pihak.

P E N U T U P
A. Kesimpulan
Isi perjanjian operating lease dengan memperhatikan pengumuman Direktorat Jenderal Moneter No. PENG-307/DJM/III.1/7/1974 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Leasing adalah : (a) ketentuan mengenai objek perjanjian; (b) jangka waktu perjanjian; (c) harga sewa; (d) cara dan tempat pembayaran; (e) hak dan kewajiban para pihak; (f) penyerahan (tanggal pengiriman dan batas pengiriman); dan (g) berakhirnya perjanjian

Kendala yang dihadapi dalam kontrak leasing antara lain peraturan tentang ketentuan leasing di Indonesia masih terbilang disepelekan bahwa Indonesia masih belum mengatur secara khusus undang-undang memuat tentang leasing, kendala secara teknik yaitu pihak lessor memerlukan tenaga ahli yang sesuai bidang masing-masing dan menguasai secara khusus masalah yang berkaitan dengan perjanjian leasing. Setelah pihak lessor mengalami kendala yang ada di atas, maka pihak lessee sendiri biasanya juga mendapatkan kendala berupa tekanan bahwa harus disediakannya dana yang besar untuk melakukan penyediaan barang modal kepada pihak lessor. Jadi mau tidak mau, pihak lessee telah menyetujui kesepakatan yang mereka buat dan ketentuan yang telah dicantumkan oleh pihak lessor meskipun lessee berat hati untuk menyetujui ketentuan tersebut, karena dalam hal ini lessor bertanggung jawab penuh atas segala resiko dan kendala dalam perjanjian leasing.

Bahwa upaya hukum dan penyelesaian wanprestasi serta overmacht yaitu antara lain :
a. Dalam hal wanprestasi yang berupa keterlambatan pembayaran uang sewa, maka pihak lessor berhak melakukan denda atas keterlambatan pembayaran tersebut dengan jumlah yang telah ditentukan dalam perjanjian. Namun dalam prakteknya, pihak lessor akan memberikan teguran baik secara lisan (melalui telepon) maupun dengan surat kepada lessee. Lessor juga masih memberikan tenggang waktu kepada lessee untuk menyelesaikan tunggakan uang sewa kepada lessor serta dalam hal terjadinya keterlambatan pembayaran yang dilakukan kurang dari tiga hari dari tanggal jatuh tempo, maka lessee tidak dikenai denda.

b. Dalam hal wanprestasi berupa penggadaian barang modal dan pemindahtanganan hak sewa barang modal kepada pihak ketiga, maka pihak lessor segera melakukan tindakan sebagai berikut : sehari setelah diketahui bahwa barang jaminan digadaikan, pihak lessor segera mengirim tim informannya untuk menarik barang modal tersebut berdasarkan atas surat kuasa yang dibuat oleh para pihak bersamaan dengan disepakatinya perjanjian leasing diantara mereka.

c. Dalam hal lessee yang dituduh lalai dan dimintakan supaya kepadanya diberikan sanksi atas kelalaiannya tersebut, dapat membela diri dengan mengajukan alasan untuk membebaskan diri dari sanksi tersebut. Alasan lessee untuk membebaskan diri dari sanksi atas kelalaiannya tersebut, salah satunya adalah dengan mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht).

B. Saran 
Kontrak leasing sebaiknya dibuat di hadapan pejabat yang berwenang (notaris), hal ini perlu dilakukan untuk melindungi pihak lessee yang merupakan pihak lemah dalam perjanjian dari perbuatan curang yang mungkin dilakukan lessor. Perlu diupayakan penerapan sistem perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian leasing secara efektif dan menyeluruh. Perlunya diadakan lembaga yang secara khusus menangani leasing dan segala permasalahannya.

BIBLIOGRAFI
Abdulkadir Muhammad. 1992. Hukum Perikatan. Citra Aditya Bakti, Bandung.
J. Satrio. 1993. Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Undang-Undang. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Marpaung C.D. 1985. Pemahaman Mendasar Atas Usaha Leasing, Integrita Press, Jakarta.
M. Yahya Harahap. 1986. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Alumni, Bandung.
Salim. 2003. Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta.
Subekti, R. 1983. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Intermasa, Jakarta.
Subekti, R. 1999. Hukum Perjanjian. Intermasa, Jakarta.
Subekti, R. dan Tjitrosudibio R. 1999. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pradnya Paramita, Jakarta.
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson