Teori Perkembangan Kognitif dan Teori Perkembangan Moral: Implikasinya bagi Pembelajaran

Teori Perkembangan Kognitif dan Teori Perkembangan Moral: Implikasinya bagi Pembelajaran : Anak adalah masa depan bangsa dan negara. Satu kalimat tersebut sangat sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Namun sayang, kita jarang untuk mengambil makna dari kalimat tersebut, kita terkesan mengiyakan kalimat tersebut tanpa lebih jauh untuk mencari implikasi lebih jauh dari kalimat tersebut. 

Pada dasarnya setiap anak memiliki hak-hak dasar yang dijamin oleh hukum. Jaminan perlindungan terhadap hak-hak anak di dunia diatur oleh Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of The Child) tahun 1989, konvensi ini telah diratifikasi lebih dari 190 negara. Pemerintah Republik Indonesia meratifikasi konvensi ini dengan Kepres Nomor 36 th 1990, sehingga Konvensi PBB tentang Hak Anak tersebut telah menjadi hukum Indonesia dan mengikat seluruh warga negara Indonesia. 

Adapun hak-hak anak yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak tersebut dapat dikelompokan menjadi: Hak atas Kelangsungan Hidup (Survival Rights), Hak atas Perlindungan (Protection Rights), Hak untuk Tumbuh dan Berkembang (Developmental Rights), dan Hak untuk Berpartisipasi (Participation Rights).

Salah satu hak yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak adalah hak untuk tumbuh dan berkembang, salah satu media utama untuk memenuhi terwujudnya hak ini adalah pendidikan. Saat ini pendidikan merupakan hak bagi semua orang, tidak mempertimbangkan asal-usul, jenis kelamin, kedudukan sosial, taraf penghidupan, dan sebagainya. Semua orang berhak memperoleh pendidikan, tanpa terkecuali. Hal ini tidak seperti pada masa dahulu, pada masa penjajahan, dimana pendidikan hanya dapat diakses oleh golongan-golongan tertentu pada masa itu yang memiliki kedudukan tinggi.

Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dam proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Setiap individu adalah unik, meminjam istilah psikologi adalah individual differences. Artinya setiap individu memiliki perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut termanifestasi dalam bermacam-macam segi, mulai dari perbedaan ciri dan kondisi fisik, pola berpikir, dan cara-cara merespon atau mempelajari hal-hal baru. Dalam hal belajar, masing-masing individu memiliki kelebihan dan kekurangan dalam menyerap pelajaran yang diberikan. Oleh karena itu dalam dunia pendidikan dikenal berbagai metode untuk dapat memenuhi tuntutan perbedaan individu tersebut. Di negara-negara maju sistem pendidikan bahkan dibuat sedemikian rupa sehingga individu dapat dengan bebas memilih pola pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dirinya.

Sistem pendidikan kita saat ini dikritik oleh banyak kalangan, seperti praktisi pendidikan, pemerhati masalah sosial, dan para ahli psikologi perkembangan, sebagai pendidikan yang tidak menghargai potensi pertumbuhan individual. Hal ini terlihat dari pola pendidikan kita yang dianggap berorientasi pada hasil akhir, terlalu banyak mengandung materi hafalan, dan terlalu menekankan pada penguasaan materi akademis(Pikiran Rakyat, 25 Mei 2011). Padahal dalam UU No. 20 Tahun 2003, tersirat bahwa tujuan pendidikan lebih menekankan pada tata nilai, etika, dan moralitas peserta didik. Presiden RI bahkan mengingatkan para pendidik formal dan nonformal bahwa sasaran pendidikan bukan hanya kepintaran, kecerdasan, dan ilmu pengetahuan, tetapi juga moral, budi pekerti, dan watak. Selain itu juga nilai, perilaku mental, dan kepribadian yang tangguh, unggul, dan mulia (Kedaulatan Rakyat, 21 Mei 2011).

Pendidikan yang baik harusnya mengakomodasi proses tumbuh kembang anak dan perbedaan potensi setiap individu. Sehingga dapat memfasilitasi setiap anak didik untuk merealisasikan potensi yang dimilikinya. Tumbuh kembang anak terjadi dalam tahap-tahap yang berurutan dan berkelanjutan. Penting bagi para orangtua dan pendidik untuk mengerti tahap-tahap perkembangan tersebut, sehingga dapat membantu memfasilitasi dan memberi bantuan stimulasi bagi anak dalam menjalani masa perkembangan tersebut. 

Tahap-tahap perkembangan juga memberi kesempatan bagi tumbuhnya keterampilan-keterampilan hidup anak, hal ini tentu saja memudahkan para orangtua dan pendidik dalam menanamkan atau menyampaikan materi pendidikan yang sesuai dengan tahap perkembangan yang sedang dilalui anak.

Tugas Perkembangan
Dalam proses pertumbuhannya setiap anak secara umum akan mengalami proses-proses pertumbuhan yang mengakibatkan pemerolehan keterampilan-keterampilan diri. Hal ini yang sering disebut dengan tugas perkembangan, akan dialami oleh setiap individu, namun belum tentu dalam rentang waktu yang sama, ada yang lebih awal, namun ada pula yang lebih lambat.

Tugas perkembangan (Havighurst dalam Hurlock, 2002) adalah tugas yang muncul pada saat atau sekitar suatu periode tertentu dari kehidupan individu, yang jika individu tersebut berhasil akan menimbulkan rasa bahagia dan membawa kearah keberhasilan dalam tugas-tugas perkembangan berikutnya. Sebaliknya jika gagal melaksanakan tugas perkembangan, akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam melaksanakan tugas-tugas perkembangan selanjutnya. 

Beberapa tugas perkembangan muncul sebagai akibat dari proses kematangan fisik, misalnya tumbuhnya keterampilan fisik dalaam olahraga. Ada juga yang berkembang sebagai jawaban atas tuntutan sosial budaya masyarakat, misalnya internalisasi nilai dan norma. Tugas perkembangan bisa juga bisa juga muncul sebagai nilai-nilai aspirasi individual sepert urusan pemilihan bidan pekerjaan yang ditekuni. Tugas-tugas perkembangan terbagi dalam ranah-ranah perkembangan individual, yaitu: 
  • Ranah yang berkaitan dengan kemampuan jasmani atau fisik, 
  • Ranah yang berkaitan dengan aspek kognitif atau kecerdasan, 
  • Ranah yang berkaitan dengan aspek tata nilai dan moralitas, 
  • Ranah yang berkaitan dengan aspek kehidupan emosional dan sosial. 
Untuk dapat melaksanakan tugas perkembangan dengan baik, setiap individu harus melakukan penyesuaian diri dalam tumbuh kembangnya. Penyesuaian diri ini secara garis besar terbagi menjadi dua macam, yaitu penyesuaian diri personal dan penyesuaiam diri sosial. Penyesuaian diri personal mencakup: penyesuaian fisik, penyesuaian emosi, dan penyesuaian moralitas.

Penyesuaian fisik, dengan kondisi tubuh yang sedang berkembang anak perlu melakukan penyesuaian agar dapat beraktivitas dengsn sehat. Kondisi tubuh yang sehat adalah tujuan utama, hal ini dapat diperoleh dengan mengkonsumsi makanan yang bergizi, cukup istirahat, dan dukungan aktivitas gerak olahraga.

Penyesuaian emosi, seiring bertambahnya usia anak dituntut untuk mampu mengenali, memahami, dan mengelola emosi. Penyesuaian emosi ini mencakup pada tiga hal, yaitu adekuasi emosi, kematangan emosi, dan kemampuan kontrol emosi. Penyesuaian moral, yaitu penyesuaian terhadap aturan-aturan yang ada di dalam masyarakat yang bertujuan untuk membimbing perilakunya di dalam kehidupan. Peraturan tersebut dapat berupa nilai dan norma yang dibentuk oleh masyarakat maupun berupa ajaran agama yang bersumber pada keyakinan manusia tentang Tuhan.

Perkembangan Kognitif
Teori tentang perkembangan kognitif sebagai aliran utama dikemukakan oleh Jean Piaget. Ia mengemukakan bahwa perkembangan kognitif yang dialami oleh anak melalui tahap-tahap tertentu yang kurang lebih sama pada semua anak. Adapun tahap-tahap perkembangan kognitif terbagi dalam empat tahap, yaitu tahap sensori-motorik (usia 0-2 tahun), tahap praoperasional (usia 2-7 tahun), tahap operasional konkret (usia 7-11 tahun), dan tahap operasional formal (usia 11 tahun keatas) (Suparno, 2001). 

Tahap Sensori-Motorik 
Pada tahap ini inteligensi anak lebih didasarkan pada tindakan inderawi anak terhadap lingkungannya seperti melihat, meraba, menjamah, mendengar, membau, dan sebagainya. Pada tahap ini perilaku-perilaku anak masih berupa reflek-reflek terhadap lingkungannya. Anak belum memiliki bahasa simbol untuk mengungkapkan sesuatu. 

Tahap Praoperasional 
Pada tahap ini ditandai utama dengan pembentukan simbol bahasa untuk merepresentasikan benda-benda yang ada di lingkungannya. Selain itu muncul permainan yang bersifat pura-pura, misalnya permainan menjadi dokter yang mengobati pasiennya pada anak perempuan, atau pada anak laki-laki adalah permainan perang-perangan dengan peran tentara atau jagoan. 

Tahap Operasional Konkret 
Pada tahap ini dicirikan dengan perkembangan sistem pemikiran yang didasarkan pada aturan-aturan tertentu yang logis. Seorang anak sudah menguasai proses perubahan atau transformasi yang bersifat reversibel dan kekal. Dengan hal ini anak telah mengembangkan pemikiran logis yang dapat diterapkan dalam memecahkan persoalan-persoalan konkret yang dihadapi. 

Tahap Operasional Formal 
Pada tahap ini anak sudah sudah dapat berpikir logis, berpikir berdasar teoretis formal berdasarkan proposisi dan hipotesis dan dapat mengambil kesimpulan lepas dari apa yang diamati saat itu. Perkembangan pemikiran pada tahap ini sudah sama dengan orang dewasa secara kualitatif, perbedaannya dengan orang dewasa adalah dalam hal kuantitas, yaitu banyaknya skema pada orang dewasa.

Seperti yang telah dikemukan di depan bahwa semua individu adalah unik, memiliki kombinasi profil psikologis yang berbeda satu sama lain, hal ini juga terjadi pada kecerdasan. Pandangan psikologi positivistik terbaru menyatakan bahwa semua anak itu cerdas atau berbakat, hanya saja pola pendidikan yang ada sering tidak mengakomodasi keberbakatan sang anak. Salah satu penganut aliran ini Howard Gardner menyebutkan bahwa pada dasarnya kecerdasan itu bervariasi atau majemuk, ada sembilan jenis kecerdasan yang dikemukakannya (Amstrong, 2009). 
  • Kecerdasan visual-spasial, kemampuan seseorang untuk memahami secara lebih mendalam hubungan antara objek dan ruang. Peserta didik ini memiliki kemampuan, misalnya, untuk menciptakan imajinasi bentuk dalam pikirannya atau kemampuan untuk menciptakan bentuk-bentuk tiga dimensi. 
  • Kecerdasan linguistik, kemampuan seseorang untuk menggunakan bahasa dan kata-kata, baik secara tertulis maupun lisan, dalam berbagai bentuk yang berbeda untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya. 
  • Kecerdasan logis-matematis, kemampuan seseorang dalam berpikir secara induktif dan deduktif, berpikir menurut aturan logika, memahami dan menganalisis pola angka-angka, serta memecahkan masalah dengan menggunakan kemampuan berpikir. 
  • Kecerdasan kinestetik, kemampuan seseorang untuk secara aktif menggunakan bagian-bagian atau seluruh tubuhnya untuk berkomunikasi dan memecahkan berbagai masalah. 
  • Kecerdasan musikal, kemampuan seseorang untuk peka terhadap suara-suara nonverbal yang berada di sekelilingnya, termasuk dalam hal ini adalah nada dan irama. 
  • Kecerdasan interpersonal, kemampuan seseorang untuk peka terhadap perasaan orang lain. Mereka cenderung untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain sehingga mudah bersosialisasi dengan lingkungan. 
  • Kecerdasan intrapersonal, kemampuan seseorang untuk peka terhadap perasaan dirinya sendiri. Ia cenderung mampu untuk mengenali berbagai kekuatan maupun kelemahan yang ada pada dirinya sendiri. 
  • Kecerdasan naturalis, kemampuan seseorang untuk peka terhadap lingkungan alam, misalnya senang berada di lingkungan alam yang terbuka seperti pantai, gunung, cagar alam, atau hutan. 
  • Kecerdasan eksistensial, kemampuan seseorang untuk memikirkan dan memahami suatu fenomena secara holistik dan mendalam. 
Perkembangan Moral
Perkembangan moral mengacu perkembangan anak dalam mengakuisisi nilai-nilai dan moralitas dalam kehidupannya, yaitu nilai tentang apa yang baik dan benar, atau pantas dan tidak pantas di dalam kehidupannya. Moral pada dasarnya dipandang sebagai penyelesaian antara kepentingan diri dan kelompok, antara hak dan kewajiban. Moral juga dapat diartikan bagaimana orang harus berperilaku dan bersikap kepada orang lain. Perilaku tersebut muncul bersamaan dengan peralihan eksternal ke internal yang disertai perasaan tanggung jawab pribadi atas setiap tindakan seperti adanya pertimbangan kesejahteraankelompok diatas kepentingan pribadi (Coles, 2000)

Teori ini dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. Kohlberg membagi perkembangan moralitas kedalam tiga tingkatan yang masing-masing tingkatan terbagi kedalam dua stadium, sehingga keseluruhan ada enam stadium (Mőnks, Knoers, & Haditono, 2002).

Tingkatan pertama adalah penalaran moral secara prakonvensional, pada tingkatan ini seorang anak mendasarkan pada objek di luar diri individu sebagai ukuran benar atau salah. Pada stadium pertama orientasinya adalah patuh dan takut hukuman, suatu tingkah laku dinilai benar bila tidak dihukum dan salah bila perlu dihukum. Seseorang harus pada otoritas karena otoritas tersebut memegang kuasa, dalam hal ini adalah orangtua. Pada stadium dua penalaran moral didasarkan pada orientasi hedonisme instrumental. Penalaran moral masih mendasarkan pada objek diluar dirinya, namun sudah memperhatikan alasan perbuatannya, misalnya mencuri adalah perbuatan salah, tetapi masih bisa dimaafkan bila alasannya adalah untuk memenuhi kebutuhan dirinya atau orang lain yang disenanginya.

Tingkatan kedua adalah penalaran moral konvensional, yaitu mendasarkan pada pengharapan sosial, yaitu suatu perbuatan dinilai benar bila sesuai dengan peraturan yang ada dalam masyarakat. Stadium ketiga orientasi pribadi yang baik, anak menilai suatu perbuatan itu baik bila hal itu dapat menyenangkan orang lain, yaitu apabila ia dapat berbuat seperti apa yang diharapkan oleh orang lain atau oleh masyarakat. Stadium keempat, orientasi pelestarian otoritas dan aturan sosial, anak melihat aturan-aturan sosial yang ada sebagai sesuatu yang penting yang harus dijaga dan dilestarikan.

Tingkatan ketiga, penalaran moral yang pascakonvensional, memandang aturan-aturan yang ada di dalam masyarakat tidak absolut, tetapi relatif, dapat diganti dengan yang lain atau baru. Stadium lima, orientasi kontrol legalistis, memahami bahwa peraturan yang ada di dalam masyarakat merupakan perjanjian antara diri orang dengan masyarakat. Individu harus memenuhi kewajiban-kewajibannya, tetapi sebaliknya lingkungan juga menjamin kesejahteraan masing-masing individu. Stadium enam, orientasi yang mendasarkan atas prinsip dan hati nurani sendiri, individu mengembangkan penilaian benar salah berdasarkan suara hatinya tentang makna kebenaran, mencoba untuk tidak mengkaitkannya dengan keharusan peraturan sosial yang ada.
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson